“Dakota kenapa Rikkard lama sekali? Bukannya toilet tidak jauh dari ballroom?” Audrey melirik arlojinya sekilas, putranya itu lama sekali berada di toilet. Padahal jarak toilet menuju ballroom hotel di mana dirinya dan Dakota menghadiri seminar, sangatlah dekat.“Mungkin Rikkard berlari-lari dulu. Kau tahu, kan? Putramu yang tampan itu sangat aktif. Waktu aku menjaganya saja, dia pernah melompat dari sofa ke lantai. Oh, astaga, kalau membayangkan itu jantungku ingin berhenti. Rikkard benar-benar anak yang aktif.” Dakota berujar bercerita pengalamannya mengenai Rikkard yang sangat aktif. Setiap kali menjaga Rikkard memang menyenangkan, tapi sekaligus membuat Dakota selalu olahraga jantung. Pasalnya, Rikkard tak pernah takut melompat dari tempat tinggi ke tempat rendah. Jika Dakota menegur, maka keponakannya itu selalu mengatakan bukan laki-laki lemah. Audrey mendecakan lidahnya pelan. “Dakota, dua pengasuh sudah menjaga Rikkard. Rasanya tidak mungkin kalau dua pengasuh Rikkard tidak
Tangis Rikkard menggema keras kala masuk ke dalam apartemen. Bocah laki-laki itu meraung, menangis histeris di gendongan Audrey. Teriakan tangis Rikkard sempat membuat Audrey kewalahan. Dakota yang mencoba untuk mendiamkan Rikkard pun gagal. Rikkard berontak, kaki mungilnya menendang-nendang perut Audrey, hingga membuat Audrey sedikit meringis kasakitan mendapatkan amukan Rikkard.“Aku ingin bersama dengan Daddy! Mommy jahat! Mommy memisahkanku dengan Daddy!” teriak Rikkard dengan tangis yang semakin keras.“Rikkard, dia bukan Daddy-mu. Kau salah orang, Nak.” Audrey berusaha membujuk Rikkard.“Dia Daddy-ku, Mommy!” Rikkard meraung menangis semakin keras.Audrey yang kewalahan mendapatkan amukan Rikkard pun langsung memberikan Rikkard pada kedua pengasuh putranya itu. “Bawa putraku ke kamar,” tukasnya memberi perintah.“Baik, Nyonya.” Kedua pengasuh Rikkard segera membawa Rikkard meninggalkan tempat itu, menuju kamar. Tampak Rikkard terus berteriak menangis menyebut-nyebut ‘Daddy’, dis
Xander terdiam melihat dokumen yang diberikan oleh Chad—asistennya. Sebuah dokumen yang tertulis di sana ‘Rikkard Russel.’ Nama lengkap bocah laki-laki yang telah memanggilnya Daddy. Jantung Xander berdebar lebih cepat melihat nama ibu kandung Rikkard adalah ‘Skyla Audrey. S. Russel’. Lalu nama ayah dari Rikkard tertulis ‘Athes Russel’, kekonyolan macam apa ini? Kenapa nama data ayah kandung Rikkard adalah Athes Russel? Kilat mata cokelat Xander menatap dokumen itu tajam dan memendung kemarahan.“Jelaskan apa maksud semua ini, Chad?” seru Xander seraya meremas dokumen di tangannya.“Tuan Xander, saya tidak terlalu banyak mendapatkan informasi tentang anak laki-laki yang bernama Rikkard. Yang saya dapatkan adalah data di mana yang tertulis jelas ibu kandung Rikkard adalah Nyonya Audrey. Tapi yang membuat saya sedikit bingung, nama ayah kandung Rikkard adalah Tuan Athes Russel. Usia Rikkard masih berusia 2 tahun. Sedangkan Anda dan Nyonya Audrey bercerai tiga tahun yang lalu. Dan waktu
“Mommy…” Suara Rikkard polos memasuki kamar Audrey. Refleks, Xander dan Audrey mengalihkan pandangan mereka pada sumber suara itu. Tampak mata Rikkard mengerjap beberapa kali melihat sosok pria yang ada di samping Audrey.“Daddy? Is that you?” Wajah Rikkard sumiringah bahagia melihat Xander datang. Mata sembab akibat menangis kemarin memancarkan kebahagiaannya kala melihat Xander.Hati Xander menghangat setiap kali Rikkard memanggilnya dengan sebutan ‘Daddy’, senyuman samar di wajah Xander terus terlukis. Gelenyar rasa bahagia menelusup ke dalam dirinya memancarkan sebuah pengharapan.“Rikkard! Masuk ke kamar sekarang!” Audrey menyeka sisa air matanya, lalu menarik tangan Rikkard sedikit kasar, menjauh dari kamarnya.“Mommy! Aku ingin bersama Daddy!” Rikkard berontak meraung menangis kala Audrey menarik tangannya. Dengan sigap, Xander maju dan langsung menggendong Rikkard. Tangis Rikkard pun terhenti kala sudah di gendongan Xander.“Xander! Berikan Rikkard padaku!” Audrey hendak menga
“Daddy ingin pergi ke mana?” Rikkard yang baru saja bangun tidur, menatap Xander yang sudah rapi seperti ingin pergi. Bocah laki-laki itu mengerjapkan mata beberapa kali, tatapannya begitu polos hingga mampu menyihir semua orang yang ada di sana. “Sayang, Daddy-mu harus pulang ke rumahnya.” Audrey yang ada di samping Rikkard memberikan pengertian pada Rikkard. Pasalnya, tak mungkin Xander bermalam lagi di sini. Lebih tepatnya, Audrey tak ingin Xander bermalam di apartemennya lagi. Sudah cukup satu malam saja! Audrey tak tenang jika Xander berada di apartemennya. “Kenapa kita tinggal terpisah?! Daddy dan Mommy harus tinggal di tempat yang sama. Tidak boleh terpisah!” Rikkard ngamuk mendengar ucapan Audrey. Bocah laki-laki itu menggulingkan badannya ke lantai seraya berteriak-teriak tak mau tinggal berpisah dengan sang ayah. “Rikkard, jangan seperti itu, Nak.” Audrey hendak menggendong Rikkard, namun Xander lebih dulu menggendong Rikkrad. Audrey tak bisa berbuat apa pun kalau Rikkard
“Xander?” Jantung Audrey nyaris berhenti melihat Xander berada di hadapannya. Kecemasan, ketakutan, dan kekhawatiran melingkupi dirinya. Jika Xander berhasil masuk ke dalam, artinya penjaga di depan berhasil dilumpuhkan. Sejak Audrey bercerai dengan Xander, ayahnya melarang Xander menginjakan kaki ke mansion keluarganya.“Kau—” Athes bangkit berdiri, mentap Xander penuh amarah. Sorot mata Athes begitu tajam layaknya ingin membunuh Xander. Miranda yang ada di samping Athes, buru-buru memeluk erat lengan Athes. Miranda tak mau sampai Athes main hakim sendiri.“Aku sudah tahu tentang Rikkard. Tujuanku ke sini karena aku ingin menikahi putrimu lagi. Aku tahu kau membenciku atas apa yang telah aku lakukan di masa lalu. Tapi aku menyadari semua kesalahanku. Aku berjanji akan menebus kesalahanku. Aku mohon maafkan aku,” ujar Xander berkata lantang, jantan, dan matang.Raut wajah Athes berubah mendengar ucapan Xander. Pria paruh baya itu melirik Audrey yang menunduk tak berani menatapnya. Rah
Aroma soup membuat Audrey yang tertidur pulas langsung mengerjapkan mata, menandakan akan segera terbangun dari tidur pulasnya. Bulu mata lentik Audrey bergerak-gerak beirama dengan pelupuknya. Perlahan, ketika mata Audrey sudah terbuka, matanya menyipit melihat kamar maskulin yang tak asing di matanya.“Selamat sore, Nyonya Audrey. Silahkan di makan soup-nya,” sapa sang pelayan sopan kala Audrey sudah membuka mata.Audrey memijat tengkuk lehernya. Tubuhnya terasa sedikit pegal dan sangat lelah. Namun, ingatan wanita itu nampaknya belum sepenuhnya ingat. “Aku di mana?” tanyanya seraya menahan ringisan perih di inti tubuh bagian bawahnya.“Nyonya, Anda di penthouse Tuan Xander,” jawab sang pelayan sopan—dan seketika itu juga membuat Audrey terdiam. Tak bisa mengatakan sepatah kata pun. Manik mata abu-abu Audrey memendung sebuah amarah tertahan. Kepingan memori pun mulai tertata di otak Audrey layaknya puzzle yang telah tersusun. Raut wajah Audrey memerah menahan emosi yang ingin meled
Jarum jam dinding menunjukan pukul 7 malam. Audrey masih tetap berada di penthouse Xander bersama dengan Rikkard. Terpaksa, Audrey masih tetap berada di penthouse Xander karena Audrey malas bertengkar dengan Xander. Lebih baik mengalah sebentar demi kebaikan. Selain itu, Audrey pun tak tega merusak kebahagiaan Rikkard. Yang selalu membuat Audrey menyingkirkan egonya adalah Rikkard.Kini Audrey berada di ruang bermain Rikkard, menemani Rikkard yang tengah bermain dengan robot-robotan. Entah, Xander ada di mana. Mungkin Xander berada di ruang kerjanya karena tak ingin membuat amarah Audrey terpancing. Mengingat tadi sore mereka berdebat.Suara dering ponsel terdengar, membuyarkan lamunan Audrey. Refleks, Audrey mengambil ponselnya, dan menatap ke layar tertera nama Dakota di saja. Beberapa detik, Audrey menghela napas dalam. Audrey yakin pasti Dakota panik Rikkard tak ada. Tanpa menunggu lama, Audrey segera menjawab panggilan itu.“Hallo, Dakota?” jawab Audrey kala panggilan terhubung.