Share

2. Nyaman dan Berakhir Suka

Emine mengenggam erat ponsel Can.

Ia mengirim pesan atas persetujuan Can sekitar lima belas menit lalu. Emine puas saat Can menuruti permintaannya, berdalih tidak bisa pulang untuk pekerjaan yang banyak dan rasa lelah menyita waktu nyaris seharian. Termasuk saat ia dan Can pergi mengunjungi kolega setelah perjalanan bisnis.

Rutinitas Emine beberapa minggu terakhir. Hari ini menjadi kali pertama ia berhasil memikat atasannya.

“Kau tidak tidur? Jam sudah terlalu larut untuk sekadar tetap membuka mata. Kau bisa terlambat bekerja nanti pagi.”

Perempuan berjubah mandi putih itu berbalik. Ia tersenyum kecil, mendapati Can sudah mengganti pakaian dengan kaus lengan pendek, selaras dengan celana yang dipakainya.

Ia tengah berjalan mendekati Emine sambil menggosok rambut dengan handuk kecil di tangan. “Apa pesanku sudah dibalas istriku?”

Pertanyaan itu mengusik perasaan Emine.

Ia tanpa sadar menipiskan senyum, tapi segera memperlihatkan kembali dengan rasa senang. “Dia percaya karena telah menunggumu. Bahkan, dia memahami jika kau tidak ingin menerima telepon saat sudah tengah malam,” tambah Emine dan melihat tatapan nanar Can.

“Aku telah mengkhianatinya.”

“Artinya kau menyesali percintaan kita, Can?”

Can menatap Emine yang memandangnya sendu di balik sorot terluka.

Ada perasaan berdebar dan nyaman ketika Can menghabiskan belasan menit untuk mereka mengembalikan deru napas. Percintaan kali kedua jauh lebih memuaskan dibandingkan yang pertama. Tapi ia tidak menampik ada perasaan tidak wajar menyusup dalam dirinya. Begitu nyaman dan seolah menikmati detik yang terus berputar di saat dirinya mendekap hangat Emine setelah bercinta.

“Tidak.”

“Aku hanya tidak terbiasa melakukan hal seperti ini.”

Emine mengulum senyum dan mendekat, lalu memberikan kecupan manis di pipi pria itu. “Lupakan saja. Dia tidak akan tau mengenai hubungan kita berdua. Karena aku akan menjaga rahasia ini di saat kau pun akan menepati janjimu.”

Pria itu hanya berdeham.

Ia mengusap puncak kepala Emine dan berucap, “Pakai saja bajuku di sana. Setidaknya sampai malam ini, sebelum besok pagi asistenku akan membawa yang lebih pantas untukmu.”

Emine mengangguk dengan senyum manis.

Perempuan itu meninggalkan Can yang juga akan bersiap kembali tidur. Ia ingin melupakan bagaimana rasa sesak dan perih tetap menjalar di dalam sudut terkecil hatinya.

Can berharap, pagi nanti perasaan itu sudah lenyap dan ia bisa menerima perubahan kehidupannya tanpa terendus oleh Akira.

**

“Aku hampir melupakan sesuatu.”

Emine sedikit memiringkan kepalanya saat sarapan pagi bersama Can.

Diam-diam, ia mengulas senyum tipis mendengar Can memuji masakannya dan begitu lahap dalam suapan tersebut.

“Apa?” tanya perempuan itu yang duduk berseberangan dengan Can.

Can menatap lurus Emine, sedikit membasahi tenggorokannya karena harus teringat percintaan semalam mereka.

Tubuh Emine terlalu menjadi candu bagi Can. Bahkan, hanya dalam hitungan malam, ia tidak bisa mengendalikan pikirannya dengan tubuh dan sentuhan jemari tangan Emine di tubuhnya. Can memutuskan untuk mandi lebih cepat dan tidak ingin menatap wastafel terlalu lama. Pikirannya akan semakin jauh dan ia akan terlihat memalukan jika tidak bisa mengendalikan diri.

“Aku pria pertama yang sudah menidurimu dan membuatmu mendapatkan pengalaman tidak terduga. Sudah seharusnya kau libur bekerja hari ini hingga tiga hari kedepan.”

Tatapan tidak berkedip Emine membuat Can salah tingkah. Ia membuang pandangan, lalu berdeham untuk mengendalikan dirinya sendiri.

Tidak berapa lama, dengkusan geli dan senyum Emine terlihat di sana. “Kau sangat manis, Can. Aku tidak menyesal telah menyerahkan kehormatanku padamu.”

“Apa maksudmu? Kau ingin menghinaku dengan kalimat manismu, Emine?”

Sorot kesal justru terpatri di sana. Tapi Emine melihat jika tatapan itu bukanlah bagian yang menyeramkan. Can sangat menggemaskan dengan wajah memerahnya.

Emine tertawa kecil.

Can menatap tajam Emine dengan embusan napas kesal. “Aku sudah menjadi pria berengsek untuk kali pertama. Bahkan, semalam kau tampak jauh lebih santai dibandingkan diriku. Seharusnya kau bisa memakiku karena menyentuhmu, ya, kan?”

Perempuan itu mengulum senyum di bibir ranumnya. “Karena aku menyukaimu, Can.”

“A-pa?”

Manik coklat itu nyaris tidak berkedip.

Sorot teduh Emine berbanding terbalik dengan tatapan nakalnya semalam. “Hmm. Aku menyukaimu saat kali pertama aku bekerja untuk menggantikan posisi kosong sebagai sekretarismu,” lanjut Emine, membuat napas Can tercekat.

Bahkan, ia mengunci pandangan pada Emine yang beranjak dari duduknya, lalu mengambil duduk di atas pangkuan Can dengan memeluk mesra leher pria itu. “Kau pria pertama yang berhasil membuatku merasa nyaman dan berakhir dalam rasa suka.”

Tubuh Can berdesir untuk kesekian kali merasakan belaian lembut jemari tangan Emine di pipinya. “Emine, kau tidak bisa menyukai—“

“—Can. Siapa pun berhak menyukai seseorang. Kau tidak bisa mengendalikan perasaan itu,” sahut Emine cepat.

Manik coklat itu memberikan peringatan kecil, tapi Emine tidak merasa tersinggung dan justru menatap teduh Can. Kedua telapak tangan itu menangkup lembut paras tampan pria Turki tersebut. “Aku menyukaimu,” tekan Emine berbisik.

“Satu orang pun tidak bisa menekan atau menyuruh perasaanku ini untuk ditepis. Biarlah aku yang menyimpan dan merasakannya. Kau cukup tau jika perasaanku bukan sekadar menikmati sentuhanmu, Can. Karena aku juga menggunakan perasaanku saat bercinta denganmu,” lanjutnya menunduk dan mendaratkan kecupan singkat di bibir Can.

Pria itu sadar mengenai ucapan Emine.

Ia memilih membiarkan hal tersebut seraya meraih tangan kanan Emine, merematnya pelan. “Berjanjilah padaku untuk selalu tau jika aku memiliki tanggung jawab atas istri dan anakku. Berjanjilah jika kau selalu paham risiko menyakitkan nantinya.”

Emine mengangguk pelan, lalu meraih tubuh Can untuk ia dekap.

Perlahan, Can mengulurkan kedua tangan dan membalas dekapan Emine.

Kedua kelopak mata Emine terpejam, menikmati usapan lembut di punggungnya. Usapan dan dekapan hangat ini adalah hal yang ia rindukan bersama Can.

“Aku menyayangimu,” bisik Emine tepat di telinga Can.

Can mengecup sekilas bibir ranum Emine saat perempuan itu menoleh. “Biarkan aku mengenali situasi baru ini.”

“Baiklah,” bisik Emine sekali lagi dan kembali memeluk erat tubuh Can.

Ia bersandar nyaman di bahu Can, menikmati momen yang akan selalu mendebarkan perasaannya.

Namun, kenyamanan yang ia rasakan tidak berlangsung lama saat panggilan telepon menginterupsi keadaan tenang mereka.

“Akira. Istriku kembali menelepon,” ucap pria itu dan ingin mengurai pelukan.

“Jawab saja. Biarkan aku tetap memelukmu. Aku akan menjaga suaraku,” tandas Emine, membuat Can terdiam sesaat ketika tidak ada pergerakan dari Emine untuk turun dari pangkuannya.

Embusan napas lelah terdengar di telinga Emine. Ia diam, menunggu sampai nama perempuan licik itu terdengar sayup. “Sayang ... kapan kau akan pulang? Aku sudah merindukanmu.”

“Sebentar lagi aku akan pulang. Tenanglah, Akira.”

Rahang Emine mengetat.

Sorot manik hazel itu memandang lurus pada dinding di hadapannya. Luka sayatan itu kembali menganga, seiring dendam yang Emine rasakan hingga detik ini.

Kedua tangan Emine terkepal kuat. “Rasa sakit hatiku akan kubalas setimpal, Akira.”

**

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status