Pintu ditutup rapat dan tidak lupa dikunci cepat. “Astaga! Apa yang sempat kulihat beberapa waktu tadi?!” Susan histeris setelah bersusah payah membungkam mulutnya. Emine tertunduk malu. Ia tidak menyangka saat ciuman dari Can yang selalu disukainya, berniat membalasnya, justru berakhir memalukan. Fuat menyeringai puas melihat raut tersipu Emine. “Aku sudah bersusah payah membungkam mulut Susan, Ayse. Untung saja dia tidak berontak berlebihan,” timpal pria itu tersenyum jahil sambil melipat kedua tangan di dada. “Ah, aku jadi merindukan seorang perempuan bisa menghangatkan ranjangku. Bukankah setelah ciuman panas akan berakhir di sebuah ranjang? Ck! Fantasi liarku mulai memengaruhi pikiran dan milikku yang perlahan menegang.” “Berengsek!” Fuat tergelak mendengar teriakan dua perempuan yang memekik, menatap horor ucapan teman pria mereka. Kedua tangan Fuat terangkat untuk memberitahu jika pria itu hanya bercanda. “Tenanglah. Aku tidak semesum itu mengenai pikiran kotorku,” cengir
Seluruh pasang mata yang memerhatikan wanita berparas cantik, meskipun sudah melahirkan seorang anak berusia dewasa, tetap menarik atensi mereka dengan wajah kencang dan tidak melupakan status wanita tersebut.Mereka memberikan salam hormat dan dibalas sangat hangat oleh wanita yang tidak segan memberikan senyum lebih ramah.Pintu menjulang tinggi itu dibuka sedikit tergesa, lalu mendapati pria dengan nama belakang Sener sedang memeriksa beberapa laporan.Manik mata itu segera bersitatap ke arah pintu, terkesiap kaget dan menghentikan aktifitasnya. “Mama?”Can menghampiri Nyonya Sener, lalu meraih tangan kanan wanita itu untuk dikecup dan dibawa ke kening. Raut bingung sangat kentara di paras tampan karena tidak mengetahui kedatangan sang Mama. “Apa ada masalah, Ma? Kenapa datang secara tiba-tiba ke mari? Seharusnya aku bisa menjemput Mama jika ingin pergi ke perusahaan.”“Mama ingin memakimu.”Jawaban tegas, singkat dan sorot kentara itu membuat kening pria itu mengernyit. “Kenapa Ma
Senyum semringah terlihat sempurna di paras wanita yang masih beberapa tahun lagi menyentuh awal lima puluh tahun, meskipun perawatan di tubuhnya akan selalu menunjang dan sangat pantas memadupadankan pakaian berkelas. “Apa yang sore ini sedang disiapkan keponakanku?” Akira berbalik, menatap bersemu Nyonya Erdem—Bibi Akira—yang datang tanpa diketahui Akira, masuk ke dalam kamar perempuan itu. Ia terlalu sibuk mempercantik kamar agar terkesan lebih romantis dan sensual untuk menyambut suami tercinta. “Aku hanya memberikan sensasi lain agar Can datang dan bisa menikmati kebersamaan kami yang sudah terasa lama tidak hidup layaknya pengantin lagi, Bibi.” Nyonya Erdem tertawa kecil melihat bibir mengerucut Akira. Ia bisa melihat kelopak mawar diberikan di atas tempat tidur, minuman di atas meja kecil sudut ruangan, lalu dengan segala aroma menggoda untuk menjalin pasangan suami istri lebih terasa hidup; bergairah. “Bagaimana dengan Reyhan? Apa tugasku untuk mengasuhnya hari ini selam
Tidak ada yang menarik saat Emine harus bertemu Can di unit apartemen. Bahkan, setelah pria itu mengajaknya dengan penerbangan yang sama hingga berakhir di penthouse di negara yang mereka singgahi. Can lebih banyak diam tanpa berniat membuka satu percakapan pun.Emosi pria itu sedang tersulut dengan suasana hati yang benar-benar buruk, tidak pantas Emine ambil kesempatan karena hanya memperparah keadaan.Namun, perasaan mencelos menatap punggung lebar duduk di sofa, membelakangi Emine sedang menuang kesekian kali wine ke dalam gelas. Pria itu sedang stres, mengalihkan pikiran waras dengan minuman yang ia harapkan bisa meredakan pusing berdenyut, menyadari jika ia sudah mulai tidak nyaman dengan status pernikahan.“Can! Hentikan! Kau hampir menghabiskan dua botol!” sentak Emine meraih botol kedua yang sudah setengah tandas.Sosok pria di hadapannya sedikit mengerang, terus meminta botol tersebut kembali ke tangannya. Tapi Emine tidak kuat lagi dan merasa asing dengan pria yang dulu jau
“Bisakah kau membagi nomor ponsel atau di mana unitmu berada, Nona Cantik?” Emine bersemu. Ia tidak menduga datang sebagai sekretaris Can ke pesta salah satu rekan kerja orangtua pria itu, justru membuat Emine kebingungan menanggapi banyak pria yang mendekat. Pria di hadapannya adalah orang kelima setelah susah payah Emine menyingkirkan yang lain. Karena jika ia melirik lagi ke sebelah kanan, maka tatapannya sudah dapat bertumpu dengan satu pria di meja tidak jauh. Can sedang mengobrol dengan beberapa rekan bisnis seusia, tapi sesekali melempar tatapan tajam ke arah Emine. Perempuan itu menelan saliva susah payah. “Aku akan langsung pulang bersama Tuan Sener malam ini, Tuan. Maafkan aku. Permisi.” Ia ingin menyelamatkan diri sebelum Can akan memusuhi Emine atau lebih parahnya perempuan itu diposisi Akira. Emine tidak ingin ditinggalkan Can begitu saja dengan kemarahan yang emosional. “Akhirnya,” cetus Emine mengembuskan napas lega setelah berdiri di tempat sepi. Segera ia mengh
“Aku sudah berkeluarga dan memiliki seorang putra berusia dua tahun.” “Seharusnya kita tidak berakhir di ranjang apartemenku, Emine.” Suara lelah, cukup frustrasi dengan meremat rambut hitam sebagai bentuk pelampiasan. Manik coklat itu memerhatikan tubuh tegap dan atletisnya dari cermin, memantulkan diri dengan pakaian yang sudah tidak rapi lagi. Tidak ada lagi tubuh tanpa helai dan peluh yang menempel, menjadi bukti betapa ia bergairah meniduri perempuan selain istrinya. Ia mengembuskan napas berat, menyadari kesalahan karena tidak terbiasa minum dan berakhir membawa sekretarisnya sebagai partner ranjang. “Tuan Sener. Kita melakukannya secara sadar dan aku tidak mempermasalahkannya.” “Ini juga bukan masa suburku.” Penjelasan dengan nada ringan itu membuat Can—Yavuz Can Sener—menoleh ke arah ranjang. Ia mendapati sorot teduh dari manik Emine—Sekretaris baru—Can, mengisi kekosongan posisi lama, baru dua minggu terakhir. Bahkan, bibir keduanya sudah lancang berciuman di hari keti
Emine mengenggam erat ponsel Can.Ia mengirim pesan atas persetujuan Can sekitar lima belas menit lalu. Emine puas saat Can menuruti permintaannya, berdalih tidak bisa pulang untuk pekerjaan yang banyak dan rasa lelah menyita waktu nyaris seharian. Termasuk saat ia dan Can pergi mengunjungi kolega setelah perjalanan bisnis.Rutinitas Emine beberapa minggu terakhir. Hari ini menjadi kali pertama ia berhasil memikat atasannya.“Kau tidak tidur? Jam sudah terlalu larut untuk sekadar tetap membuka mata. Kau bisa terlambat bekerja nanti pagi.”Perempuan berjubah mandi putih itu berbalik. Ia tersenyum kecil, mendapati Can sudah mengganti pakaian dengan kaus lengan pendek, selaras dengan celana yang dipakainya.Ia tengah berjalan mendekati Emine sambil menggosok rambut dengan handuk kecil di tangan. “Apa pesanku sudah dibalas istriku?”Pertanyaan itu mengusik perasaan Emine.Ia tanpa sadar menipiskan senyum, tapi segera memperlihatkan kembali dengan rasa senang. “Dia percaya karena telah men
“Papa ....”Can tersenyum lebar, merentangkan kedua tangan dengan berjongkok, mensejajarkan agar lebih mudah membalas dekapan anak lelaki berusia dua tahun tersebut. “Kau tampak menggemaskan, Nak.”Anak lelaki itu tertawa, menggeliat geli saat kecupan di pipinya berulang kali dilakukan Can.“Baiklah.”“Sekarang ganti cium Papa, Nak.”Can mengulum senyum setelah mengurai pelukan. Pipi kanan ia condongkan agar mendapatkan atensi dari putranya; Reyhan Hasad Sener.Dua kecupan ringan dan bersuara itu menghangatkan perasaan Can. “Sudah?”Pria tampan itu mengangguk, lalu mengecup lama kening Reyhan.Seorang perempuan berbalut gaun sebatas lutut mendekati dua Ayah dan anak tersebut. Ia melipat kedua tangan di dada, menatap kesal sekaligus tajam pada Can yang menyadari keberadaannya. “Kau izin secara mendadak. Bagaimana bisa aku tidur tanpa kehadiranmu, Sayang?”“Mama sedih pagi ini, Papa.”Reyhan berucap layaknya anak seusia dua tahun yang sudah lumayan cerdas. Bahkan, raut Reyhan memperliha