Share

3. Perasaan Gelisah

“Papa ....”

Can tersenyum lebar, merentangkan kedua tangan dengan berjongkok, mensejajarkan agar lebih mudah membalas dekapan anak lelaki berusia dua tahun tersebut. “Kau tampak menggemaskan, Nak.”

Anak lelaki itu tertawa, menggeliat geli saat kecupan di pipinya berulang kali dilakukan Can.

“Baiklah.”

“Sekarang ganti cium Papa, Nak.”

Can mengulum senyum setelah mengurai pelukan. Pipi kanan ia condongkan agar mendapatkan atensi dari putranya; Reyhan Hasad Sener.

Dua kecupan ringan dan bersuara itu menghangatkan perasaan Can. “Sudah?”

Pria tampan itu mengangguk, lalu mengecup lama kening Reyhan.

Seorang perempuan berbalut gaun sebatas lutut mendekati dua Ayah dan anak tersebut. Ia melipat kedua tangan di dada, menatap kesal sekaligus tajam pada Can yang menyadari keberadaannya. “Kau izin secara mendadak. Bagaimana bisa aku tidur tanpa kehadiranmu, Sayang?”

“Mama sedih pagi ini, Papa.”

Reyhan berucap layaknya anak seusia dua tahun yang sudah lumayan cerdas. Bahkan, raut Reyhan memperlihatkan kesedihan yang sedikit membuat Can tidak nyaman.

Ia menarik pelan kedua sudut bibir.

“Dekati Mamamu,” pinta Can dan anak itu segera berlari mendekati Ibunya yang mendelik tajam ke arah Can.

“Can ... kau ingin menyuruhku bermain dengan Reyhan sebagai pengalihan?”

“Akira,” panggil Can mendekati perempuan dengan tinggi tidak lebih dari bahu tegapnya.

Pria itu menatap teduh istrinya yang dibalas tatapan memelas. Ia mencebik, merasa suaminya tidak peka dengan keadaan perempuan bermanik coklat itu. Semalam ia sudah mengkhawatirkan suaminya yang tidak kembali ke rumah.

Mendapati dirinya berulang kali menghubungi dan nyaris putus asa. Pria itu menyampaikan pesan yang membuatnya sedih.

Ia tidak terbiasa ditinggal tanpa diberi kabar sejak awal oleh suaminya. “Aku mengharapkan kau bisa membicarakan hal semalam, Sayang. Kau tau, kan? Aku tidak terbiasa ditinggal oleh dirimu.”

Can sangat mengetahui hal tersebut.

Bahkan, ia kerap bingung dengan istrinya yang sering mengikuti Can dalam perjalanan bisnis jika perempuan itu memiliki banyak waktu luang. Mungkin, Akira juga akan tetap mencari celah, meskipun itu sangat kecil kemungkinan asalkan bisa bersama suaminya.

Can merasa seperti dipantau, sekalipun ia tahu perempuan yang mendampingi adalah istrinya sendiri.

“Aku sudah bicara jujur.”

“Tapi perasaanku tetap merasa gelisah. Kau terlalu asing semalam, Sayang.”

Pria itu mengembuskan napas lelah. Ia meminta Akira melirik putra mereka yang sedari tadi diam, memerhatikan keduanya. “Lebih baik kau temani Reyhan. Aku harus membersihkan tubuh dan mengerjakan kembali pekerjaan yang semalam belum selesai,” timpal Can, berlalu meninggalkan Akira tanpa memedulikan tatapan melongo sekaligus kesal Akira.

Langkah Can menapaki undakan satu per satu.

Ia memang merasa lelah. Tentu tersisip rasa bersalah saat kembali ke rumah Akira yang sudah ditempatinya selama dua tahun. Tapi, jauh di sudut terkecil hatinya, ia berusaha tidak tersugesti lebih dalam dengan tatapan putranya.

Can memang telah gagal memberikan kehidupan sempurna untuk anaknya. Ia telah menodai pernikahannya dengan kebohongan kecil yang dirasanya akan semakin membesar.

“Seharusnya kau lebih bisa memberikan Akira jawaban lebih cepat, Can.”

“Sesibuk apa pun dirimu. Dia tetap merasa khawatir dan takut akan terjadi sesuatu di dirimu. Bukankah, kecelakaan yang membuatmu koma beberapa minggu sudah menjadi trauma yang lekat dalam ingatan Akira?”

Ketukan sepatu tidak terdengar lagi.

Ia bersitatap di lantai atas dengan Bibi Akira—Nyonya Erdem—tinggal satu atap bersama Can di sini. Dua tahun mereka hidup dengan beberapa anggota keluarga di dalamnya, tapi Can merasa tidak pernah nyaman terus diusik oleh mereka.

Pria itu mampu mengeluarkan uang. Bahkan, kekayaan keluarga dan finansial menghidupi Akira dan Reyhan terbilang lebih dari cukup.

Entah kenapa, istrinya lebih menuruti keinginan Bibi dan Paman, pengganti orangtua Akira yang telah tiada. Termasuk ingin tinggal di rumah masa kecilnya saja.

“Aku tau.”

“Jadi, aku tidak akan membuat Akira khawatir untuk kesekian kalinya,” tambah pria itu menatap lurus Nyonya Erdem.

“Aku tidak ingin Keponakanku merasa terluka, Can. Kuharap ini kali terakhir aku melihatnya bersedih.”

Can hanya mengangguk.

Pria itu sedari awal memang tidak begitu dekat dengan wanita tersebut.

“Aku masuk dulu,” cetus pria itu berlalu, meninggalkan Nyonya Erdem membiarkan hanya mendengar langkah sepatu Can yang menjauh.

Tatapan wanita itu lurus ke bawah, bersitatap dengan Keponakannya yang juga menatap dirinya lekat. Sorot mata itu menyiratkan takut kehilangan sekaligus kesal mendapati sifat Can yang membuat mereka berada di titik dulu.

Sebuah anggukan dengan kelopak mata tertutup sejenak, menjadi tanda bagi Akira dapat mengembuskan napas berat.

Di luar halaman rumah Akira.

Emine berdiri di seberang sana, menerbitkan senyum miring bersama sayatan luka yang begitu perih. Bahkan, lebih perih saat membayangkan Can kembali bersama Akira.

Pasangan suami istri yang akan tetap menghidupkan momen lebih intim dan mesra. Nyatanya semakin meremukkan tubuh Emine. Bayangan Emine tidak bisa ia enyahkan tentang status Can bersama Akira.

Keterdiaman Emine pudar bersama panggilan telepon dari tasnya. Ia merogoh dan mengambil, lalu menerima panggilan telepon dari orang yang dikenalnya.

“Aku sudah bersamanya, semalam.”

“Ya. Baik dulu ataupun sekarang, aku tetap menginginkan Can.”

“Aku tidak ingin kalah lagi dan menjadi seorang perempuan yang lemah,” timpal Emine dan menutup percakapan dengan orang di seberang sana.

Sorot manik hazel itu menatap tajam Akira yang menggendong putranya dan memasuki mobil.

Emine memiringkan sedikit kepalanya, melihat perempuan di seberang sana pergi bersama sopir. “Apa kau masih mengingatku, Akira?”

Dadanya bergemuruh dengan rasa sesak yang membuat kulit putih Emine memerah, merambat hingga leher jenjangnya. “Kurasa, dua tahun bukanlah waktu yang terlalu lama sampai kau melupakan diriku,” tambahnya mengulas senyum miring.

Range Rover berwarna putih sudah berlalu dari area halaman luas tersebut.

Emine mengangguk pelan, lalu beralih mengirim pesan pada pria yang ia ketahui berada di lantai atas. Tepat di sisi kiri dari Emine berdiri.

Ia merasakan debaran kuat sekaligus gelenyar dalam tubuh ketika berhasil mengirim dua foto dengan pose semalam; Emine dalam balutan selimut ketika Can membersihkan diri, sebelum akhirnya mereka bercinta untuk kali kedua.

Temui aku kapan pun kau mau, Can. Aku akan selalu menyambut dan melayanimu hingga puas.

Kedua pipi putih itu merona, meskipun ia sudah bisa menebak bagaimana respons tubuh Can.

“Aku mencintaimu, Can,” bisik Emine, mengubah tatapan kebencian dan nakal yang sempat terpatri, kini berganti sendu.

Ia terdiam dengan senyum perih saat jemari tangan itu membuka satu galeri berisi foto Emine bersama Can.

Ratusan foto mesra mereka akan selalu Emine simpan. Bahkan, ia tidak melupakan tiap bagian yang mereka ciptakan saat itu.

“Aku akan membuatmu kembali merasakan kehangatan cinta kita, Can.”

**

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status