“Papa ....”
Can tersenyum lebar, merentangkan kedua tangan dengan berjongkok, mensejajarkan agar lebih mudah membalas dekapan anak lelaki berusia dua tahun tersebut. “Kau tampak menggemaskan, Nak.”
Anak lelaki itu tertawa, menggeliat geli saat kecupan di pipinya berulang kali dilakukan Can.
“Baiklah.”
“Sekarang ganti cium Papa, Nak.”
Can mengulum senyum setelah mengurai pelukan. Pipi kanan ia condongkan agar mendapatkan atensi dari putranya; Reyhan Hasad Sener.
Dua kecupan ringan dan bersuara itu menghangatkan perasaan Can. “Sudah?”
Pria tampan itu mengangguk, lalu mengecup lama kening Reyhan.
Seorang perempuan berbalut gaun sebatas lutut mendekati dua Ayah dan anak tersebut. Ia melipat kedua tangan di dada, menatap kesal sekaligus tajam pada Can yang menyadari keberadaannya. “Kau izin secara mendadak. Bagaimana bisa aku tidur tanpa kehadiranmu, Sayang?”
“Mama sedih pagi ini, Papa.”
Reyhan berucap layaknya anak seusia dua tahun yang sudah lumayan cerdas. Bahkan, raut Reyhan memperlihatkan kesedihan yang sedikit membuat Can tidak nyaman.
Ia menarik pelan kedua sudut bibir.
“Dekati Mamamu,” pinta Can dan anak itu segera berlari mendekati Ibunya yang mendelik tajam ke arah Can.
“Can ... kau ingin menyuruhku bermain dengan Reyhan sebagai pengalihan?”
“Akira,” panggil Can mendekati perempuan dengan tinggi tidak lebih dari bahu tegapnya.
Pria itu menatap teduh istrinya yang dibalas tatapan memelas. Ia mencebik, merasa suaminya tidak peka dengan keadaan perempuan bermanik coklat itu. Semalam ia sudah mengkhawatirkan suaminya yang tidak kembali ke rumah.
Mendapati dirinya berulang kali menghubungi dan nyaris putus asa. Pria itu menyampaikan pesan yang membuatnya sedih.
Ia tidak terbiasa ditinggal tanpa diberi kabar sejak awal oleh suaminya. “Aku mengharapkan kau bisa membicarakan hal semalam, Sayang. Kau tau, kan? Aku tidak terbiasa ditinggal oleh dirimu.”
Can sangat mengetahui hal tersebut.
Bahkan, ia kerap bingung dengan istrinya yang sering mengikuti Can dalam perjalanan bisnis jika perempuan itu memiliki banyak waktu luang. Mungkin, Akira juga akan tetap mencari celah, meskipun itu sangat kecil kemungkinan asalkan bisa bersama suaminya.
Can merasa seperti dipantau, sekalipun ia tahu perempuan yang mendampingi adalah istrinya sendiri.
“Aku sudah bicara jujur.”
“Tapi perasaanku tetap merasa gelisah. Kau terlalu asing semalam, Sayang.”
Pria itu mengembuskan napas lelah. Ia meminta Akira melirik putra mereka yang sedari tadi diam, memerhatikan keduanya. “Lebih baik kau temani Reyhan. Aku harus membersihkan tubuh dan mengerjakan kembali pekerjaan yang semalam belum selesai,” timpal Can, berlalu meninggalkan Akira tanpa memedulikan tatapan melongo sekaligus kesal Akira.
Langkah Can menapaki undakan satu per satu.
Ia memang merasa lelah. Tentu tersisip rasa bersalah saat kembali ke rumah Akira yang sudah ditempatinya selama dua tahun. Tapi, jauh di sudut terkecil hatinya, ia berusaha tidak tersugesti lebih dalam dengan tatapan putranya.
Can memang telah gagal memberikan kehidupan sempurna untuk anaknya. Ia telah menodai pernikahannya dengan kebohongan kecil yang dirasanya akan semakin membesar.
“Seharusnya kau lebih bisa memberikan Akira jawaban lebih cepat, Can.”
“Sesibuk apa pun dirimu. Dia tetap merasa khawatir dan takut akan terjadi sesuatu di dirimu. Bukankah, kecelakaan yang membuatmu koma beberapa minggu sudah menjadi trauma yang lekat dalam ingatan Akira?”
Ketukan sepatu tidak terdengar lagi.
Ia bersitatap di lantai atas dengan Bibi Akira—Nyonya Erdem—tinggal satu atap bersama Can di sini. Dua tahun mereka hidup dengan beberapa anggota keluarga di dalamnya, tapi Can merasa tidak pernah nyaman terus diusik oleh mereka.
Pria itu mampu mengeluarkan uang. Bahkan, kekayaan keluarga dan finansial menghidupi Akira dan Reyhan terbilang lebih dari cukup.
Entah kenapa, istrinya lebih menuruti keinginan Bibi dan Paman, pengganti orangtua Akira yang telah tiada. Termasuk ingin tinggal di rumah masa kecilnya saja.
“Aku tau.”
“Jadi, aku tidak akan membuat Akira khawatir untuk kesekian kalinya,” tambah pria itu menatap lurus Nyonya Erdem.
“Aku tidak ingin Keponakanku merasa terluka, Can. Kuharap ini kali terakhir aku melihatnya bersedih.”
Can hanya mengangguk.
Pria itu sedari awal memang tidak begitu dekat dengan wanita tersebut.
“Aku masuk dulu,” cetus pria itu berlalu, meninggalkan Nyonya Erdem membiarkan hanya mendengar langkah sepatu Can yang menjauh.
Tatapan wanita itu lurus ke bawah, bersitatap dengan Keponakannya yang juga menatap dirinya lekat. Sorot mata itu menyiratkan takut kehilangan sekaligus kesal mendapati sifat Can yang membuat mereka berada di titik dulu.
Sebuah anggukan dengan kelopak mata tertutup sejenak, menjadi tanda bagi Akira dapat mengembuskan napas berat.
Di luar halaman rumah Akira.
Emine berdiri di seberang sana, menerbitkan senyum miring bersama sayatan luka yang begitu perih. Bahkan, lebih perih saat membayangkan Can kembali bersama Akira.
Pasangan suami istri yang akan tetap menghidupkan momen lebih intim dan mesra. Nyatanya semakin meremukkan tubuh Emine. Bayangan Emine tidak bisa ia enyahkan tentang status Can bersama Akira.
Keterdiaman Emine pudar bersama panggilan telepon dari tasnya. Ia merogoh dan mengambil, lalu menerima panggilan telepon dari orang yang dikenalnya.
“Aku sudah bersamanya, semalam.”
“Ya. Baik dulu ataupun sekarang, aku tetap menginginkan Can.”
“Aku tidak ingin kalah lagi dan menjadi seorang perempuan yang lemah,” timpal Emine dan menutup percakapan dengan orang di seberang sana.
Sorot manik hazel itu menatap tajam Akira yang menggendong putranya dan memasuki mobil.
Emine memiringkan sedikit kepalanya, melihat perempuan di seberang sana pergi bersama sopir. “Apa kau masih mengingatku, Akira?”
Dadanya bergemuruh dengan rasa sesak yang membuat kulit putih Emine memerah, merambat hingga leher jenjangnya. “Kurasa, dua tahun bukanlah waktu yang terlalu lama sampai kau melupakan diriku,” tambahnya mengulas senyum miring.
Range Rover berwarna putih sudah berlalu dari area halaman luas tersebut.
Emine mengangguk pelan, lalu beralih mengirim pesan pada pria yang ia ketahui berada di lantai atas. Tepat di sisi kiri dari Emine berdiri.
Ia merasakan debaran kuat sekaligus gelenyar dalam tubuh ketika berhasil mengirim dua foto dengan pose semalam; Emine dalam balutan selimut ketika Can membersihkan diri, sebelum akhirnya mereka bercinta untuk kali kedua.
Temui aku kapan pun kau mau, Can. Aku akan selalu menyambut dan melayanimu hingga puas.
Kedua pipi putih itu merona, meskipun ia sudah bisa menebak bagaimana respons tubuh Can.
“Aku mencintaimu, Can,” bisik Emine, mengubah tatapan kebencian dan nakal yang sempat terpatri, kini berganti sendu.
Ia terdiam dengan senyum perih saat jemari tangan itu membuka satu galeri berisi foto Emine bersama Can.
Ratusan foto mesra mereka akan selalu Emine simpan. Bahkan, ia tidak melupakan tiap bagian yang mereka ciptakan saat itu.
“Aku akan membuatmu kembali merasakan kehangatan cinta kita, Can.”
**
Minggu siang ini Can memutuskan kembali ke ruang kerja di sisi kamar. Pria itu meraih MacBook di atas sofa kamar, lalu meraih ponsel di atas meja yang sejak tadi ia abaikan. Can hanya berniat sekilas melirik layar ponsel. Harus terpaku saat ada nomor asing tertera di sana dan terlihat ada foto yang dikirim. Segera jemari ramping itu membuka isi pesan dan tertegun, merasakan gejolak hasrat tubuhnya terbakar melihat dua pose Emine. Perempuan yang memperlihatkan senyum nakal. Tidak segan menaikkan arah kamera, mengambil senyuman nakal dengan satu tangan secara asal menahan selimut agar tidak turun. Sepertinya pose itu diambil Emine saat Can membersihkan tubuh dan bergegas ingin pulang. Tentu sebelum hasratnya tidak bisa tertahankan untuk mencecap perempuan yang ia ambil keperawanannya. Tubuh Can berdesir. Napasnya berembus tidak beraturan dan pikirannya kembali pada malam panas mereka. Can terbuai dan ada satu titik di mana ia cukup kaget juga senang menjadi pria pertama untuk Emine
“Aku merindukan sentuhanmu, Can.”Oksigen di dalam mobil menjadi terkuras hitungan detik. Ia begitu sulit menelan saliva saat suara di seberang sana berucap rindu, begitupula suara yang terkesan manis di dengar Can.Ia membetulkan letak AirPods, meskipun tidak ada yang salah.Can berusaha untuk fokus mengemudikan mobil. Ia dalam perjalanan pulang dari rumah orangtuanya sendirian dan ikut makan malam di sana.“Sayang? Kau baik-baik saja di sana? Atau aku menganggumu? Aku bisa menutup panggilan—““—tidak.”“Hanya saja aku belum terbiasa mendengarkan kalimat mesramu.”Can mengakui dengan sangat polos.Bahkan, ia bisa merasakan kedua pipi bersih tanpa bulu halus di sekitar rahang, terasa memanas. Pria itu salah tingkah dan semakin merasa kalah saat tawa di seberang sana mengusik dirinya.“Emine. Aku tidak ingin berada di posisi seperti ini. Bagaimanapun aku adalah atasanmu yang harus kau hormati.”Can mengeluarkan statusnya di perusahaan yang juga menjadi tempat Emine mencari pekerjaan se
Entah kenapa pagi ini terasa berbeda saat Can datang ke perusahaan. Kemudian, pria itu disambut manis oleh Emine yang berdiri di depan meja kerjanya, menyapa Can yang membalas singkat dan segera masuk ke ruangan. Sebenarnya perasaan pria itu semakin tidak keruan hanya dalam satu malam. Bersikap normal dan menganggap semuanya menjadi hal lalu sangat sulit bagi pria itu. Bahkan, pekerjaan yang ia selesaikan dan interaksi Akira padanya cukup mengabur. Pikiran pria keturunan Turki itu dipenuhi oleh satu nama; Emine. “Selamat pagi Tuan Sener.” Can mendongak. Belum sampai satu menit ia duduk di kursi kebesaran, lalu mengingat dan memahami perasaan yang menyusup aneh. Perempuan yang memenuhi pikirannya masuk dengan senyum manis, membawa satu bekal, sesuai keinginannya. Emine meletakkan tas yang sudah terisi bekal sarapan pagi bersama peralatannya. “Aku sudah membuatkan sarapan pagi untukmu, Can.” Manik coklat itu bersitatap cukup lama dengan Emine. Ia merasa tidak asing dengan senyum
Rapat internal siang ini telah usai. Emine sibuk membereskan berkas Can di posisi pria itu duduk. Karena Can berada di luar ruangan, berbicara beberapa hal ringan dengan lelaki yang menjabat sebagai General Manajer tersebut. “Terimakasih atas undangan Anda, Tuan. Dengan senang hati saya akan datang menghadiri pesta pernikahan putri Anda.” Can tersenyum kecil. Ia sudah menganggap lelaki tiga tahun lebih tua dari Ayahnya adalah orangtuanya juga. Can diajarkan untuk beradaptasi dan menyelaraskan apa yang sudah diminta orangtuanya. Bahkan, ketika ia tidak mengingat apa pun, hatinya selalu saja menyukai pertemuan dengan banyak orang dari beberapa kalangan berbeda. “Sungguh suatu kehormatan jika Anda datang, Tuan.” “Sebenarnya saya ingin mengadakan pesta di Ankara. Hanya saja, calon suami putri saya memang meminta kami untuk menyiapkan di sana. Mengingat Ibu dari calon menantu saya sedang sakit dan berada di kursi roda.” Can mengucapkan turut kesedihannya dan berdoa agar wanita itu se
Emine memelotot sempurna dengan tubuh menegang, mendapati kali pertama Fuat mencium pipi Emine. Bahkan, tangan kanan pria itu menahan tengkuknya agar menempelkan bibir ranum Emine semakin lekat. Wajah Emine memerah dan merambat hingga ke leher jenjang, menatap tajam Fuat dan bersiap memberontak. Namun, gerakan itu terhenti seiring rasa kaget Emine. “Jangan terlihat kaku atau menyerangku, Ayse. Di belakangmu ada Tuan Sener,” bisik Fuat. “Dia berdiri di halaman depan lobi,” lanjut pria itu tepat di sisi wajah Emine, tanpa mengubah posisi sebelum menyelesaikan kalimat. Perempuan itu menatap Fuat dengan pupil melebar, memberikan kode dan pria itu ikut membalas dalam sorot mata. “Maaf, tapi dari ucapanmu beberapa menit lalu. Maka, kau harus membuat cinta pertamamu cemburu.” Emine terkejut. Sorot mata Fuat menyampaikan sikap tegas. Bahkan, Emine menegang saat kedua bahunya di pegang erat Fuat, menunjukkan dirinya yang memang sangat dekat dengan seorang pria. “Ingat. Jika dia bertanya,
“Apa sekarang kau bisa mengakui rasa cemburumu, Sayang?” Can membuang pandangan, meskipun debaran dalam dadanya tidak keruan. Ia merasa ingin marah, membenci Emine yang tidak berucap jujur sejak awal. Bahkan, ia pun baru sadar jika terlalu membenci keadaan di mana pria asing tadi menyentuh Emine. “Seharusnya kau menyadari tentang keinginanmu, Emine,” tekan Can, berusaha meredam gairah saat jemari lentik itu membuat pola abstrak dan membelai sekilas dada bidang Can. “Jika kau sudah menyukaiku dan menerima risiko apa pun dari hubungan kita. Kau hanya bisa menerima sentuhan dari satu pria, yaitu aku.” “Kau masih bisa memiliki pilihan lain untuk mendorong atau menampar mantan kekasihmu itu,” tekan Can. Dua tubuh kembali melebur. Can benar-benar menikmati sentuhan Emine dan bagaimana mereka menciptakan desahan juga gairah yang sama memuncak. Di antara rasa yang berkecamuk di dalam dadanya. Can menikmati permainan Emine dan juga dua hasrat yang bergejolak sama. “Kenapa kau tidak me
Can memasuki apartemen kecil Emine yang berada di level paling rendah. Biaya yang mungkin hanya bisa terjangkau bagi Emine dengan fasilitas yang menurutnya pasti sudah lebih dari cukup. “Kau ingin unit yang lebih besar dan lengkap?” Can berbalik dan melihat Emine masih berdiri tidak lebih dari satu meter. Perempuan itu membiarkan Can berkeliling, melihat keseluruhan tempat tinggal Emine. “Aku sudah merasa lebih dari cukup di sini.” “Tapi apartemen ini cukup jauh dari perusahaan,” timpal Can. Emine mengedik santai, membiarkan Can mendekatinya. “Tidak masalah. Asalkan aku bisa nyaman di tempat tersebut. Aku akan tetap tinggal,” jelas Emine dan membuat Can terdiam sesaat. “Kau ingin minum sesuatu?” tawar Emine ketika tidak ada respons dari Can. “Sebentar. Aku bisa memberikanmu tempat yang lebih nyaman dan akan membuatmu mengirit pengeluaran biaya transportasi ke perusahaan.” Emine mengerjap beberapa kali saat sorot Can begitu lurus menatapnya. “Bagaimana jika kau saja yang menemp
Pintu ditutup rapat dan tidak lupa dikunci cepat. “Astaga! Apa yang sempat kulihat beberapa waktu tadi?!” Susan histeris setelah bersusah payah membungkam mulutnya. Emine tertunduk malu. Ia tidak menyangka saat ciuman dari Can yang selalu disukainya, berniat membalasnya, justru berakhir memalukan. Fuat menyeringai puas melihat raut tersipu Emine. “Aku sudah bersusah payah membungkam mulut Susan, Ayse. Untung saja dia tidak berontak berlebihan,” timpal pria itu tersenyum jahil sambil melipat kedua tangan di dada. “Ah, aku jadi merindukan seorang perempuan bisa menghangatkan ranjangku. Bukankah setelah ciuman panas akan berakhir di sebuah ranjang? Ck! Fantasi liarku mulai memengaruhi pikiran dan milikku yang perlahan menegang.” “Berengsek!” Fuat tergelak mendengar teriakan dua perempuan yang memekik, menatap horor ucapan teman pria mereka. Kedua tangan Fuat terangkat untuk memberitahu jika pria itu hanya bercanda. “Tenanglah. Aku tidak semesum itu mengenai pikiran kotorku,” cengir