Dan nggak perlu lo perpanjang lagi. Lo nggak perlu berharap untuk bisa balikan lagi sama Gani. Lo nggak perlu mikirin dia lagi. Udah nggak ada gunanya.
Lagian, kalau sampe Gani beneran selingkuh, memangnya lo mau pacaran sama cowok yang pernah nyelingkuhin lo? Nggak mau kan?
Kalo udah selesai, ya berarti jelas, memang udah selesai. Nggak usah lo berharap lagi!
Kalopun Gani nggak selingkuh sama sekali, omongan Salma ada benernya.
Meskipun lo paham soal latar belakang dan trauma Gani kayak gimana, tetep aja, kalo Gani itu beneran sayang sama lo, harusnya dia nggak ngelepasin lo gitu aja. Harusnya dia mau berjuang dan hadapi ketakutannya.
Lagian, malah bagus kan kalo Gani minta putus? Kalo nggak gini kan lo jadi nggak sadar. Lo bakalan tetep jalan terus sama cowok yang nggak beneran sayang sama lo.
Udah jelas sekarang semuanya gimana. Nggak perlu lo sesali, nggak perlu lo tangisi lagi. Fokus sama hidup lo dan kebahagiaan lo sendiri aja. Cowok kalo bisanya cuma nyakitin, jangan lo kasih space di hati sama pikiran lo. Udah selesai. Jadi tinggalin semuanya.
+
“Sal…” Aku menghela nafas dan merenung sejenak. “Kita nggak usah bahas Gani lagi, ya... Gue lagi kepengen ngelatih diri gue buat move on dan mau berhenti mikirin Gani lagi.”
“Jujur aja, gue masih nggak punya bukti soal dia selingkuh, atau nggak. Cuma sekarang, kenyataannya gue udah putus dari dia, dan gue mesti bisa terima. Sekarang semuanya udah jelas… Dan gue juga nggak mau terus-terusan berharap ke orang yang udah nggak peduli lagi sama gue. Gue mau fokus ke hidup gue dan kebahagiaan gue.”
“Oke. Gue setuju banget! Gue dukung lo! No more Gani!” Salma menghela nafas pelan. “Sekarang lebih baik, lo fokus ke kebahagiaan diri lo sendiri. Gue yakin kok, Din, lo pasti bisa ngelewatin semuanya ini. Memang awalnya rasanya itu nggak gampang, tapi percaya sama gue, lo itu cantik, pinter, mandiri, dan punya duit sendiri. Lo sama sekali nggak butuh Gani buat anggep lo itu berarti…”
Mendengar Salma mengatakan hal tersebut, hatiku terasa sedikit lebih tenang daripada sebelumnya. Rasanya seperti diingatkan bahwa aku itu tetap berharga, meskipun Gani tidak menganggapku dan memperlakukanku seperti itu.
“Dengerin gue ya, Dinda…” Salma menatapku dengan serius sambil memegang kedua bahuku. “Nggak ada gunanya lo berusaha pertahanin laki-laki yang nggak mau pertahanin lo juga. Tinggalin aja laki-laki yang nggak mau serius sama lo. Mendingan, lo fokus ke hidup lo sekarang. Nikmati hidup lo. Pokoknya, jangan sampe lo penuaan dini gara-gara cowok!”
Aku mengangguk setuju. Senyumku mengembang lagi karena kata-kata dari Salma barusan. “Kita pergi nyalon aja yuk sekarang. Gue bener-bener nggak mau stres gara-gara Gani lagi.”
“Gitu dong!” Salma menepuk kedua tangannya sekali. “Pokoknya hari ini, kita full seneng-seneng! Jangan pernah biarin laki-laki mana pun buat nyakitin kita!”
“Setuju.” Aku tersenyum sekali lagi dan mengangguk. “By the way, gue bawa member card. Lo bawa member card juga nggak?”
“Member card apaan?” Salma menatapku dengan bingung untuk beberapa detik saja. Dia kemudian tersenyum lebar, dan mendadak raut wajahnya dipenuhi dengan semangat lagi. “Ini kalo Kartika tau, kita bakal disuguhi omelan dia seharian penuh sih…”
Aku tertawa geli. “Yang bagian ini… nggak perlu kita ceritain ke bunda kita tercinta kan?”
Salma tertawa senang. “Bukan gue ya, yang ngehasut lo…”
“Lo bilang ke Mira ya, Din, kalo kita mau ke ‘Bear and Bar’?” Tanya Salma ketika aku sedang berganti pakaian di salah satu bilik toilet umum yang ada di sebuah hotel. “Iya. Kok lo bisa tau?” “Ini, ada notif masuk di hape lo. Nggak sengaja gue baca…” “Ohh… Bales apa lagi dia?” “Cuma bilang jaga diri doang sih ini… Tumben ya, nih anak nggak cerewet? Biasanya kan lamaan dia ngomelnya, ketimbang Kartika…” “Ya kan dia di Sydney, Sal… Dia pasti juga mikir kali. Bakalan percuma ngomelin kita yang jaraknya jauh dari dia…” Jawabku yang kemudian ke luar dari bilik dan menghampiri Salma yang sedang memakai blush on di kedua pipinya. “Gue yakin banget sih ini, kalo misalnya Kartika sama Mira ada di sini sekarang, mereka bakalan nyuruh lo balik ke apartemen dan kasih lo seribu satu pertanyaan…” Aku tersenyum geli di depan cermin. “Iya, bener banget. Gue bisa bayangin mereka ngomelnya gimana lagi…” Kataku sambil mengamati tubuhku yang dibalut dengan mini dress berwarna biru tua, yang baru saj
“Lo ngasih kondom se-box buat gue?” Tanyaku dengan ekspresi bingung. “Ya iyalah, oneng! Buat siapa lagi memangnya? Kartika?” Aku mengamati tanggal kadaluarsa yang ada di bagian bawah box. “Kapan lo belinya?” Tanyaku dengan heran karena sejak tadi, aku dan Salma sama sekali tidak memasuki apotek atau toko obat-obatan. “Tadi. Pas lo lagi sibuk milih-milih baju, gue melipir sebentar…” Jawab Salma sambil mencari sesuatu di dalam tasnya lagi. “Vaksin lo gimana?” “Vaksin?” “HPV, DPT, dan kawan-kawannya.” Jawab Salma dengan tidak sabar. “Udah lengkap semua.” “Lo masih rutin minum pil nggak?” Tanya Salma sambil menunjukkan kotak kontrasepsi kepadaku. “Pil tiap hari. Kan sekalian buat ngatur mens gue juga.” Dalam kondisi aktif, atau tidak aktif secara seksual, aku memang setiap hari mengkonsumsi pil kontrasepsi yang diresepkan khusus oleh dokter. Selain untuk mencegah kehamilan pada saat aku sedang aktif dengan Gani secara seksual, pil tersebut juga berfungsi untuk mengatur siklus men
*** Miranda Rineke: How’s there? === I think I wanna go home deh ini :( === What’s going on? === Idk. Maybe I’m too old for bear n bar... Lumayan ngantuk & mau rebahan di kasur === LoL. Salma gmn? === Udah foreplay sama cowok baru... *** “Dinda!” Aku mendongak dan tersenyum ke arah sosok yang menyapaku barusan. “Lo di sini juga...” Kataku sambil menyimpan ponselku ke dalam tas lagi. Rangga duduk di sebelahku. Ia kemudian memajukan wajahnya dan mendekat ke arah telingaku supaya aku bisa mendengar suaranya dengan lebih jelas lagi. “Gue padahal besok minggu mau hubungin lo tau. Eh, udah ketemu di sini aja.” Aku bergantian mendekatkan wajahku ke dekat telinga Rangga. “Ada job apa lagi?” Tanyaku langsung, karena sudah hafal dengan kebiasaan Rangga yang lebih sering meneleponku hanya untuk hal-hal yang berkaitan dengan pemotretan. “Tau aja lo.” Rangga menepuk lututku pelan sambil tersenyum manis. “Bentar. Gue mesen dulu.” Ia lalu memanggil salah seorang bartender dan meme
Kedua kakiku melangkah santai melewati lorong untuk menuju ke pintu keluar. Kedua mataku fokus pada layar ponselku sendiri, karena aku harus secara rutin membaca beberapa e-mail yang baru masuk dan belum sempat aku buka. Namun, tiba-tiba saja tubuhku terdorong dari arah belakang, diikuti dengan suara beberapa perempuan yang juga merintih kesakitan sekaligus tertawa geli. Tubuhku terpojok jatuh ke tembok sisi kiri. Tangan kiriku langsung bersandar pada tembok, dan di saat yang bersamaan, tangan kananku dan kedua lututku bersentuhan dengan lantai untuk menahan tubuhku. Tidak ada yang luka sampai berdarah ataupun lecet dari tubuhku. Tapi tetap saja, jatuh itu sakit. Dan sekarang aku juga tidak tahu ponselku terlempar ke sebelah mana. “Kamu nggak apa-apa?” Tanya seorang laki-laki yang tiba-tiba saja muncul, entah dari mana. Dia kemudian setengah berjongkok di sampingku, sambil mengulurkan tangan kanannya kepadaku. Tangan kirinya bergerak dari arah belakang untuk menggenggam bahuku yang
Aku terus berjalan dan laki-laki itu juga ikut berjalan di sampingku. Bahkan ikut berhenti saat aku berhenti, dan ikut berdiri di depan pintu lift yang masih tertutup bersama denganku.“Kamu nggak lagi ngikutin saya kan ya ini?” Tanyaku sambil menoleh dan menatap kedua matanya. Aku sengaja tidak memencet tombol lift untuk memastikan keamananku terlebih dahulu.Salah satu tips ketika menghadapi orang asing yang sedang mendekati kita adalah, tunjukkan ke mereka kalau kita punya keberanian dan kepercayaan diri yang kuat. Karena kita tidak bisa menebak niat hati seseorang, jadi jangan biarkan mereka bisa merasakan atau membaca ketakutan dan kekhawatiran kita sedikit pun.“Aku memang lagi ngikutin kamu.” Jawab dia santai. Tanpa ada rasa bersalah di wajahnya.+Wah, gila ini orang! Pede banget lagi gayanya…Keren sih dia… Keliatan macho juga…Oh, NO! No ya, Dinda! Ati-ati!Zaman sekarang, penjahat itu ada aja bentukannya.Jadi jangan terpengaruh sama penampilan dia.+“Alasan kamu ngikutin
+Fix, ini gue kualat beneran deh kayaknya...Gara-gara tadi bohong dan bilang cari angin, sekarang gue jadi kena angin beneran kan...Ya… biarpun cuma kiasan, tetep aja kan gue bohong tadi…Buset, lumayan juga dinginnya ya… Mana baju gue lumayan kebuka dan serba minim begini pula...Eh, tapi kan, gue tadi bohongnya demi kebaikan sendiri… Mestinya nggak harus sampe kualat dong ya?+“Kamu belum jawab pertanyaanku tadi.” Kata Deo setelah pramusaji selesai mencatat pesanan kita dan bergegas pergi.“Yang mana?” Aku tidak yakin karena Deo memberiku banyak pertanyaan, yang memang sengaja belum aku jawab semuanya.“Soal nama kamu.”“Dinda.”“Nama lengkap?”Aku menatap Deo yang duduk di sebelahku untuk beberapa detik. “Adinda Kelsey Hardana.” Deo mengembangkan senyum manisnya ketika mendengarkan jawabanku. “Kalo aku kurang ajar dan jahatin kamu, kamu juga bisa dengan gampang penjarain aku.” Dan sekarang dia tersenyum geli karena aku meniru inti dari kalimat yang dia ucapkan sebelumnya.Deo m
“Diet?” Tanya Deo sambil melirik ke arah pesananku.“Ada kerjaan.”Deo mengerutkan keningnya. “Kerjaan apa yang cuma ngebolehin kamu minum air putih doang?”“Ada casting buat photo-shoot.”“Majalah?”“Lingerie.”+Gotcha. Boys will be boys.+Dalam hitungan sepersekian detik, aku bisa membaca bahasa tubuh, perubahan ekspresi, dan pergerakan kedua mata Deo ketika aku menyebutkan kata ‘lingerie’. Kedua matanya bergerak dengan cepat untuk menatap tubuhku, seperti mesin scan yang sedang bergerak merekamku dari atas hingga ke bawah.Deo tersenyum. “I think you will get that.”“Who are you? A psychic?”Deo tertawa santai. “Maybe, it’s just my intuition.”“Ada belasan perempuan cantik yang ikut casting, dan yang dibutuhkan hanya satu orang. Menggantikan model yang lagi hamil. Dan kebetulan, model yang lagi hamil itu temen kuliahku dulu. Jadi aku tau persis standarnya kayak apa.”“Aku yakin kamu yang kepilih.”Aku mendengus geli dan melipat kedua tanganku di dada. Entah mengapa, aku merasa ti
Topik pembicaraanku dengan Deo akhirnya berkembang ke berbagai macam hal. Mulai dari hal yang paling sepele dan receh, sampai ke hal yang sifatnya lebih filosofis, dan juga ke beberapa hal tentang kehidupan kita masing-masing. Kita membicarakan beberapa topik yang sifatnya serius, namun kita juga masih bisa bercanda dan tertawa bersama. Komunikasi yang terjadi di antara kita berdua, bisa mengalir dari satu topik, ke topik lainnya dengan begitu lancar. Dan tidak ada kesan seperti sedang dipaksakan sedikit pun. Selain itu, hal baru yang bisa aku tangkap lagi dari Deo adalah, dia memanfaatkan dan mengembangkan hobi, sekaligus potensi yang dimilikinya dengan sangat maksimal. Berawal dari ketertarikannya dengan dunia game dan teknologi, kini dia sedang berusaha untuk menggabungkannya dengan dunia pendidikan. “Anak-anak sekarang itu, tumbuh di era, di mana teknologi sudah semakin canggih. Menurut riset yang aku dan tim pernah teliti, kebanyakan mereka lebih pilih main game daripada baca b