MasukDana menatap jam tangan rolex yang melingkari pergelangan tangan kirinya. Dari perhitungannya, sepertinya ia tidak akan bisa sampai di kantor dalam waktu tiga puluh menit lagi. Kini Dana meminta Sanusi untuk mencari sebuah coffee shop terdekat untuk melangsungkan meeting secara online yang harus ia hadiri. Dana tahu jika ini akan membuat Yudhistira (Yudhis) marah kepadanya namun ia tidak bisa berbuat banyak.Mencari coffee shop masih jauh lebih baik daripada melangsungkan meeting di dalam mobil.
"Pak, apa di sekitar sini ada coffee shop?" tanya Dana pada Sanusi kala mereka baru saja keluar dari basemen parkir.
"Ada, Pak... di ujung jalan sana dekat warung soto sapi. Memangnya kenapa, Pak?"
"Setengah jam lagi saya ada meeting yang harus saya hadiri, tapi tidak mungkin saya sampai di kantor tepat waktu. Lebih baik saya hadiri meeting ini secara online."
"Baik, Pak saya akan mengantarkan bapak ke coffee shop itu. Dulu saya sering mengantarkan Mbak Hanna ke warung soto yang ada di depannya."
"Okay, kita ke sana saja, Pak."
Sanusi menganggukkan kepalanya. Kini ia segera melajukan mobilnya menuju ke arah coffee shop berada. Begitu sampai di sana, Dana segera masuk ke dalam coffee shop sedangkan Sanusi memilih untuk menunggu Dana di dekat pos satpam.
Di waktu yang sama, Hanna yang baru saja keluar dari gedung kantor milik Veranda memilih untuk berjalan kaki karena ia ingin makan siang dengan soto sapi yang sudah sejak dulu menjadi langganannya. Mumpung lokasi warung soto ini tidak jauh dari tempat ini meskipun ia harus berjalan kaki sekitar 15 menit. Siapa sangka terik sinar matahari Jakarta siang hari ini benar-benar membuat kesabarannya yang setipis tisu dibagi tujuh ini hampir lenyap. Terlebih suara klason mobil dan motor yang ada di sekitarnya sesekali ia dengar. Belum lagi banyak pengguna motor yang sedang cosplay menjadi Valentino Rossi. Melihat hal ini, kadang Hanna rindu tinggal di Amerika. Sayangnya ia tidak bisa kembali ke sana karena di sana bukanlah tempat yang membuatnya merasa lebih nyaman dan aman karena Adit bisa muncul kapan saja.
Kini saat ia sampai di warung soto langganannya, Hanna segera masuk dan ia memesan satu soto sapi daging dengan tambahan babat yang diiris-iris. Akhirnya, ia bisa menikmati soto langgannya ini setelah satu tahun lebih tidak menyantapnya. Pernah Hanna mencoba membuat soto sapi ketika tinggal, di Amerika, namun nyatanya tetap saja berbeda dengan soto yang ada di sini.
Saat pesanan sotonya datang, Hanna segera menyantapnya dengan tambahan lauk tempe serta tahu bacem yang ada di meja. Sumpah.... rasanya satu porsi saja tidak membuat Hanna kenyang. Kini ia menambah satu porsi soto sapi lagi. Ia tak peduli tatapan beberapa pasang mata yang ada di sekitarnya. Toh, ia tidak hanya makan untuk dirinya sendiri namun juga untuk calon anak yang ada di dalam kandungannya.
Siapa sangka jika kegundahannya selama dua hari itu bisa hilang dalam jangka waktu setengah jam ini hanya dengan menyantap soto sapi lengkap bersama berbagai lauknya. Kini Hanna segera berdiri dan berjalan menuju ke arah kasir. Mungkin karena dulu Hanna sering mampir ke tempat ini sepulang sekolah, maka kasir yang berjaga sampai masih mengenalinya.
"Setahunan enggak kelihatan, Kak. Saya kira kakak pindah ke luar kota," ucap sang kasir sambil memasukkan catatan apa saja yang Hanna makan.
"Oh, saya setahunan kemarin memang tidak tinggal di Jakarta. Ini baru balik dan kebetulan lewat sini, jadi sekalian mampir. Kangen sama sotonya."
"Pacar kakak yang ganteng itu juga enggak pernah mampir lagi sekarang."
Somprett....
Kenapa juga harus membawa-bawa Adit yang meskipun tampan tapi kelakuan seperti setan.Tidak mungkin Hanna menceritakan semuanya, Hanna hanya mengatakan alasan yang sebenarnya tidak terlalu bohong menurutnya.
"Saya sudah putus sama dia beberapa waktu lalu."
"Yah, Kak... padahal gantengnya minta ampun itu pacarnya, penampilannya juga keren. Nyari yang modelan begitu susah."
"Percuma tampan kalo kelakuannya enggak baik."
"Yang ganteng selalu dapat pemakluman, Kak meskipun kelakuan minus kalo di sini."
"Bagi orang lain silahkan seperti itu, bagi saya dia sudah saya anggap mati. Sudah ah, Mas... berapa itu saya habisnya?"
Akhirnya Hanna mencoba memutus basa basi ini karena ia mulai merasa tidak nyaman. Setelah kasir laki-laki berusia 25 tahunan ini selesai menyebutkan berapa yang harus ia bayar, Hanna segera mengeluarkan uangnya dari dompet.
"Gagal move on, Kak? Foto di dompetnya masih sama pacarnya itu," goda sang kasir yang membuat Hanna cukup terkejut. Kini Hanna segera mengeluarkan foto itu dan membaliknya sehingga bagian belakang foto menjadi di depan. Tentu saja ia belum bisa membuang foto itu di tempat sampah karena di dalam foto itu ada sosok dirinya juga.
"Gagal move on? Enggak lah. Kaya laki-laki di dunia ini cuma dia aja. Sudah ya, Mas saya duluan."
Setelah mengatakan hal itu, Hanna segera keluar dari dalam warung soto sapi. Di saat Hanna keluar dari pintu warung tersebut, sosok Sanusi yang baru saja membayar kopi yang ia nikmati sambil menunggu boss-nya itu segera menyebrang jalan karena melihat sosok Hanna. Jalanan yang macet di depannya ini tidak membuat Sanusi memelankan langkah kakinya. Ia terus mencari Hanna yang sudah tak nampak lagi batang hidungnya. Begitu ia bisa menemukan sosok Hanna, ternyata Hanna sudah berjalan di sekitar trotoar menuju ke arah selatan. Sontak saja Sanusi segera berteriak memanggil Hanna.
"MBAK HANNA....," teriak Sanusi yang membuat Hanna langsung menghentikan langkah kakinya karena ada yang memanggil namanya.
Saat membalikkan tubuhnya, Hanna bisa melihat sosok mantan driver pribadinya yang sedang berjalan cepat ke arahnya. Tidak,... tidak, ia tidak bisa ada di tempat ini sekarang. Ia harus kabur sebelum orang-orang yang pernah ada dan dekat dengan kehidupannya mengetahui kisah menyedihkannya ini. Secepat yang Hanna bisa, ia berlari menyusuri trotoar ini. Melihat bahwa jembatan penyebrangan cukup jauh, Hanna memilih untuk menyebrang jalan yang ada di dekatnya meskipun saat ini jalan sedang cukup padat. Suara Sanusi yang terus menerus memanggil namanya membuat Hanna semakin panik. terlebih orang-orang yang mulai memandang ke arahnya.
Dengan terpaksa Hanna harus menyebrang jalan ini. Karena panik dan sedikit gugup, Hanna sampai tidak melihat ke kiri dan kanannya demgan seksama sebelum menyebrang jalan. Alhasil sebuah motor matic bermesin 125 cc menyerempet dirinya hingga terjatuh. Bukannya ditolong oleh pengendara yang menyerempetnya, Hanna justru dihadiahi umpatan dan ditinggal pergi begitu saja hingga akhirnya beberapa orang mulai mendekat termasuk Sanusi.
Sekuat tenaga Hanna berusaha untuk sadar namun matanya tiba-tiba saja mulai terasa berat dan ia akhirnya terpejam. Suara-suara orang yang ada di sekitarnya masih bisa ia dengar namun akhirnya ia kehilangan kesadarannya.
Sanusi yang melihat Hanna pingsan dengan darah yang mulai terlihat di kakinya segera menelepon ambulance. Tidak ada yang berani membantu Hanna karena mereka tidak memiliki ketrampilan untuk menolong orang dalam keadaan darurat seperti ini.
Kala ambulance datang, Sanusi ikut masuk ke dalam mobil. Ia terus menerus menangis karena melihat kondisi Hanna yang tidak sadarkan diri. Begitu Hanna sampai di rumah sakit dan masuk ke ruang UGD, Sanusi segera mengurus administrasi. hampir setengah jam menunggu hingga akhirnya dokter yang menangani Hanna keluar untuk menemui dirinya.
"Bapak keluarganya?"
Saat pertanyaan itu ditanyakan oleh sang dokter, Sanusi memilih menganggukkan kepalanya. Jika bukan dirinya yang 'cosplay' menjadi keluarga lalu siapa lagi? Tidak mungkin ia menghubungi mantan majikannya karena ia cukup mengenal mereka dengan baik. Bagi mereka, sekali keputusan sudah diambil maka tidak ada revisi lagi. Hanna yang sudah diusir dari rumah tentu saja sudah bukan bagian dari keluarga itu lagi.
"Alhamdulillah, janin yang ada di dalam rahim pasien bisa kami pertahankan dan tidak ada cidera yang serius di tubuhnya."
Ada rasa lega yang Sanusi rasakan di dalam hatinya kala mendengar kabar Hanna ini. Kini ia memilih menunggu Hanna di dekat ranjang Hanna tertidur saat ini. Jika bukan karena dirinya, tidak mungkin Hanna akan terbaring di ranjang rumah sakit seperti ini.
***
Pernikahan Gadis dan Gavirel yang dilangsungkan hari ini membuat Hanna dan Adit cukup takjub. Tamu yang hadir kali ini mungkin bisa mencapai ribuan orang. Pengaruh orangtua Gadis serta keluarganya di dunia bisnis membuat tidak hanya mereka saja yang hadir di tempat ini namun juga keluarga Adit. Karena itu sejak Adit sibuk menemani Gavriel di beberapa acara Adat yang harus dijalani, Hanna, Raga dan Lean memilih menemani orangtua Adit berkeliling kota ini. Hanna tidak pernah menyangka jika Lean yang berusia 4 tahun lebih ini sudah lebih banyak mengenal kota ini daripada dirinya. Mereka bahkan mengunjungi beberapa tempat yang justru dipandu oleh Lean. Yang paling memalukan adalah Hanna beberapa kali salah mengambil jalan di sini. Terlalu banyak jalan satu arah yang membuat dirinya sedikit shack shick shock. Maklum saja dulu ketika tinggal di Klaten ia lebih banyak menghabiskan waktunya di Jogja daripada di Solo karena ia kuliah d
Hanna melihat jam tangan yang melingkari tangan kirinya malam ini. Ia bisa melihat jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan sampai saat ini baik Raga maupun Adit sama sekali belum memberikannya kabar sama sekali. Hmm... tidak ia sangka jika Adit dan Raga benar-benar menikmati waktu mereka berdua saja tanpa kehadiran dirinya. Kali ini mungkin ia bisa memaafkan hal itu karena ia masih berada di dalam mobil Pradnya dan masih dalam perjalanan pulang menuju ke rumahnya. Perjalanannya akan menempuh waktu yang cukup lama karena mereka terjebak macet parah. Hmm... sungguh, dulu ketika ia tinggal di klaten, mau ke Jogja saja tidak sampai satu jam perjalanan, tapi di Jakarta dari rumah ke kantor terkadang bisa menghabiskan waktu satu jam lebih. Bukan jarak yang jauh namun kemacetan adalah sumber masalahnya. Karena itu pula Hanna tidak bisa protes kepada Adit ketika Adit sering kali memilih memakai transportasi udara sebaga
Hanna duduk di hadapan Pradnya dan Dana yang malam ini sudah ada di rumahnya. Khusus acara ini, Hanna membiarkan Raga dalam pengasuhan Adit. Karena bagaimanapun juga ia membutuhkan waktu untuk berbicara serius dengan kedua temannya ini. Kala Pardnya dan Dana hanya diam saja, Hanna memilih membuka percakapan lebih dulu."Gue ngundang kalian berdua ke sini karena mau minta maaf atas sikap gue beberapa waktu lalu. Seharusnya gue bisa jauh lebih bijak menanggapi semua itu."Pradnya dan Dana hanya saling pandang sebentar dan mereka tidak bisa menahan tawanya. Apalagi ketika mengingat pembicaraan mereka berdua di dalam mobil tadi menjadi kenyataan saat ini. Hanna yang tanpa tedeng aling-aling langsung meminta maaf membuat mereka menunggu adegan selanjutnya."Gue harap kalian m
Hanna tidak bisa menutupi wajah penuh bahagianya setelah beberapa hari ini dirinya mencari calon pengganti Bejo hingga akhirnya ia menemukan orang itu. Atas bantuan dari Adit dan Malik, akhirnya Hanna bisa menemukan sosok Bramajaya. Laki-laki berusia 28 tahun yang masih single dan tentunya sudah memiliki penngalaman bekerja selama 3 tahun di salah satu perusahaan multi nasional sebagai staff."Bram, mulai besok kamu bisa langsung mulai belajar dari Pak Bejo tentang apa saja yang harus kamu kerjakan. Banyaklah bertanya dan belajar selagi pak Bejo masih ada di tempat ini.""Baik, Bu.""Oh, iya, saya punya anak namanya Raga. Mungkin sesekali dia bakalan ngerepotin kamu dengan permintaan absurd-nya. Kalo kamu merasa dia sudah keterlaluan, kamu bisa langsung
Sejak pulang dari rumah Elang, Adit memperhatikan Hanna yang lebih banyak diam. Berkali-kali Hanna tampak kaget kala ia memanggilnya. Memang fisik Hanna ada di sini namun entah dengan pikirannya saat ini. Setelah Raga masuk ke kamarnya, Adit memilih duduk di samping Hanna yang sedang memperhatikan anggrek bulannya yang kini sudah berbunga lagi dan ia susun ke dalam sebuah vas bunga besar berbentuk bulat. "Ngiri aku sama anggrek-anggrek kamu, Han," ucap Adit yang membuat Hanna menoleh ke arah sumber suara. Hanna hanya tersenyum mendengar perkataan Adit ini. Sudah berkali-kali Adit mengucapkan hal itu setiap kali ia sedang sibuk memandangi bunga-bunga anggreknya yang sedang berbunga. Baiklah, lebih mudah jika ia hanya membeli bunga palsu yang selamanya akan mekar atau bunga anggrek asli yang sudah kenop besar bahkan mekar seluruhnya. Sayangnya hal itu tentunya sangat berbeda sekali dengan membesarkan bunga itu sejak seedling hingga bisa dewasa dan berbunga. Kepuasannya seperti orangtu
Malam ini Hanna, Adit dan Raga sedang berada di rumah Elang. Seperti biasa acara kumpul ini adalah acara kumpul mingguan Adit bersama ketiga temannya. Mengingat baik Adit serta Gavriel sudah memiliki pasangan, mereka mencoba meminimalisir pertemuan mereka di tempat karaoke atau bahkan nightclub. Ya, semua itu hanya tindakan preventif saja untuk membuat Gadis serta Hanna tidak cemburu buta atas apa yang mereka lakukan di sana. Kini saat berada di rumah Elang, Raga memilih bermain bersama Lean di dalam kamar bermain anak itu sedangkan Hanna harus puas berada di dapur bersama asisten rumah tangga Elang untuk menyiapkan makan malam. Ini jauh lebih baik daripada ia mengganggu waktu Adit bersama teman-temannya menonton acara bola. Di waktu yang sama, di ruang keluarga rumah Elang, keempat laki-laki ini sedang berkumpul untuk menonton pertandingan bola. Suara riuhnya sudah mengalahkan suara perdebatan Hanna dan Raga jika berada di rumah. "Cok... matane!""Shut up!" ucap Adit yang mencoba m







