Hanna langsung menegang kala tiba-tiba Veranda memeluknya kala mereka berada di dalam ruang kerja wanita itu. Hanna masih bingung dengan apa yang Veranda lakukan padanya saat ini. Saat Hanna akan membuka mulutnya untuk menanyakan kenapa Veranda melakukan hal ini kepadanya namun Veranda sudah berbicara lebih dulu.
"Terimakasih karena kamu masih mau mempertahankan janin kamu sampai saat ini. Mulai sekarang kamu tidak akan sendiri lagi. Saya akan mendampingi kamu sampai kamu bisa mandiri dan menata hidup kamu kembali bersama anak kamu nanti."
Kata-kata Veranda benar-benar membuat Hanna speechless siang hari ini. Hanna masih heran bagaimana bisa Veranda seakan bisa membedah isi hati dan kepalanya dengan mudah. Lagipula ia hanya menyebutkan namanya adalah Hanna, itu pun hanya sekilas saat mereka berada di dalam lift.
Kini saat Veranda mengurai pelukannya, Hanna langsung dituntun untuk duduk di sofa panjang yang ada di ruangan itu. Sebelum mendudukkan dirinya di sana, Hanna bisa melihat jika di belakang sofa yang akan ia duduki terdapat meja panjang dari kayu jati dan banyak terdapat foto-foto bersama wanita hamil dan beberapa penghargaan dari beberapa organisasi pemberdayaan wanita atas dedikasi dan perhatian yang diberikan Veranda kepada sesama kaumnya.
Veranda yang menyadari arti tatapan Hanna pada foto-foto di belakangnya itu hanya bisa tersenyum.
"Sepertinya saya tidak perlu menerangkan diri saya terlalu banyak kepada kamu."
"I... itu," ucap Hanna sambil menunjuk foto di belakangnya sambil mulai duduk.
"Ya, kamu benar. Saya mendedikasikan hidup saya untuk mendampingi para wanita yang sedang membutuhkan dukungan."
"Dukungan?"
"Iya, dukungan. Ketika kalian memutuskan mempertahankan anugerah yang telah Tuhan berikan dan memutuskan mengambil resiko disisihkan dari keluarga bahkan orang-orang disekitar kalian, maka saya akan berusaha memberikan dukungan 'kekuatan' tanpa memandang latar belakang kalian sama sekali."
"Apa yang mendasari ibu melakukan hal ini?"
"Karena saya tahu bagaimana beratnya menjadi orangtua tunggal. Saya tidak pernah menikah dengan ayah biologis anak saya karena dia meninggal dalam sebuah kecelakaan sebelum kami menikah."
"Anak ibu usia berapa?"
"Dua puluh tahun dan sekarang dia sedang kuliah di luar negri. Sengaja sejak dia memasuki bangku SMP saya menyekolahkan dia di luar negri agar dia tidak pernah mendengar cibiran orang-orang tentang latar belakang dan masa lalu saya. Bagi saya setiap anak terlahir suci dan dia tidak memiliki dosa. Mereka tidak berhak dikucilkan hanya kerena kesalahan orangtuanya. Selain itu orang yang pernah membuat kesalahan tetap berhak memperbaiki dirinya. Karena sejatinya guru yang paling baik adalah pengalaman."
Hanna tersenyum mendengar cerita singkat dari Veranda ini. Kini tekadnya semakin bulat untuk menjadi orangtua tunggal bagi calon anaknya. Jika Veranda saja bisa melalui semua itu, dirinya pasti juga bisa. Ia akan membuktikan bahwa orangtua tunggal pun tetap bisa mendidik anak dengan baik bahkan memberikan kehidupan yang layak. Hanna bertekad bahwa ia akan memberikan fasilitas hidup untuk calon anaknya minimal dengan standar yang sama seperti apa yang orangtanya berikan kepadanya selama ini. Meskipun untuk membuktikan hal itu dirinya harus bekerja dengan cerdas dan keras.
"Kamu bisa tinggal di rumah aman sampai melahirkan. Jika kamu ingin memiliki tabungan dan ketrampilan maka kami akan memberikan pelatihan. Kami juga memiliki beberapa usaha untuk memberdayakan para ibu tunggal agar tetap berpenghasilan setelah keluar dari rumah aman."
"Maaf sebelumnya, tapi saya berniat untuk melanjutkan pendidikan saya sambil bekerja dan mengasuh anak saya setelah dia lahir nanti. Saya sudah mengecewakan kedua orangtua saya yang mengirim saya jauh-jauh ke Amerika untuk menempuh pendidikan. Seharusnya saya pulang membawa gelar, tapi yang ada justru membawa aib untuk mereka. Mereka mau saya menggugurkannya atau jika saya mempertahankannya, maka setelah melahirkan anak ini harus diserahkan ke panti asuhan. Secepatnya saya akan mengurus pergantian nama saya agar orang tidak akan tahu latar belakang saya."
"Kamu tidak perlu seekstrem itu, Hanna."
"Itu perlu, Bu karena saya tidak mau harga saham Aledra Group akan terpengaruh dengan berita ini. Apalagi nama Papa dan Mama di dunia bisnis ini bisa tercoreng karena tidak bisa mendidik anak dengan baik. Saya takut kejadian ini akan digunakan sebagai senjata orang-orang itu untuk menjatuhkan orangtua saya."
Veranda tersenyum setelah behasil mengingat jika Aledra Group adalah sebuah group yang memiliki beberapa bidang bisnis seperti bisnis di bidang penjualan kendaraan pabrikan Jepang, konstruksi hingga pabrik berbagai jenis makanan yang beberapa sudah diekspror ke luar negri.
"Jadi kamu anaknya Arman?" tanya Veranda pelan untuk memastikan semua ini. Jika benar, maka ia harus menyembunyikan Hanna tidak hanya di rumah aman namun harus jauh dari kota ini agar gosip itu tidak beredar. Lebih dari itu adalah keselamatan serta kenyamanan Hanna dan penghuni rumah aman yang harus dirinya pertimbangkan. Ia tidak mau jika Hanna tinggal di sana dan suruhan Arman akan datang untuk mengacau di sana.
Hanna membelalakkan matanya mendengar pertanyaan Veranda ini. Sepertinya Veranda tahu lebih banyak dari apa yang ia perkirakan selama ini.
"Ibu Veranda kenal sama Papa saya?"
"Hmm... kami sekedar kenal karena beberapa kali bertemu di acara ulang tahun perusahaan rekan bisnis dan acara amal tapi jika menjadi rekan bisnis secara langsung, kami belum pernah."
Hanna menghela napas dan Veranda tahu jika Hanna merasa lega karena dirinya dan orangtuanya belum pernah bekerjasama dalam bisnis.
"Saya merasa lega, Bu mendngar hal itu. Kalo begitu apakah saya bisa tinggal di rumah aman milik ibu? Karena saya rasa jika tinggal di hotel terus menerus uang tabungan saya bisa menipis. Rencananya uang itu akan saya gunakan untuk biaya persalinan hingga biaya pendidikan saya nanti setelah melahirkan."
Beberapa saat Veranda mulai berpikir hingga akhirnya kini ia mau tidak mau harus mencari solusi terlebih dahulu.
"Han, agar uang kamu tidak habis, kamu tinggal dulu di rumah saya sambil saya mencari tempat di mana kamu bisa tinggal dengan aman dan nyaman."
"Saya berharap tempat itu bukan di Jakarta."
"Saya akan mengusahakannya."
"Kalo begitu saya pulang ke hotel dulu."
"Baik kalo begitu. Jangan lupa kirimkan alamat hotel kamu ke handphone saya. Sepulang kerja saya akan menjemput kamu."
Hanna menganggukkan kepalanya dan kini ia segera pamit kepada Veranda. Ia harus berkemas-kemas dan tentunya makan siang karena sesuai saran dari dokter Edo, ia harus lebih banyak makan agar ia tidak mengalami darah rendah selama masa kehamilan ini.
Kini Hanna segera pamit kepada Veranda. Veranda memilih mengantarnya sampai ke depan pintu ruang kerjanya. Sambil berjalan menuju ke arah lift, Hanna mulai memikirkan langkah apa yang bisa ia ambil. Di usianya yang sudah 19 tahun tidak ada salahnya ia mencoba membuat akun sekuritas atas nama dirinya atau membeli beberapa kupon SUN agar uangnya lebih aman dan tidak habis tidak jelas untuk berfoya-foya. Ia harus mengingatkan kepada dirinya sendiri jika kini ia bukanlah Hanna Kartika Aledra yang kapanpun ia menginginkan sesuatu maka itu akan langsung terwujud dalam waktu singkat.
***
Setelah memasuki mobil, Adit mencoba mengatur dirinya kembali agar bisa tenang dan mencoba menyingkirkan semua prasangka-prasangka yang mulai menggelayuti dirinya sejak ia bertemu dengan Puspa. Adit berusaha untuk berpikiran positif dan ia tidak boleh cemburu kepada Dana. Tapi kenapa itu sulit sekali ia lakukan? baikah, ia sudah berusaha sekuat tenaga melakukan hal itu sesuai permintaan Hanna, tapi kenyataannya Puspa masih berhubungan baik dengan Dana bahkan mencarikan tempat tinggal yang tersembunyi dari keluarga. Dan Adit yakin kedatangan Puspa ke tempat ini ada sangkut pautnya dengan Raga.Adit mencoba duduk dengan tegak di dalam mobilnya dan pelan-pelan ia menarik napas dalam-dalam lalu ia embuskan perlahan. Beberapa kali Adit melakukan ini hingga ia merasa jauh lebih tenang. Setelah merasa tenang, ia segera mengirimkan pesan untuk Raga.
Group Lapak DosaAdit : Sabtu pagi besok gue mau ajakin kalian ke Bali dua hari. Free semuanya, gue yang tanggung. Ketemu di tempat biasa bagi yang mau.Gavriel : Lo kalo bikin jadwal liburan bisa enggak sih kagak dadakan begini? Gue sudah terlanjur janji pergi ke Solo. Ada acara sama orangtuanya Gadis.Elang : Sumpah... gue heran banget sama lo, Gav. Pacar lo justru menikmati masa jandanya buat keliling dunia, tapi lo di sini jagain emak bapaknya. Apa enggak takut lo kalo Gadis di sana cari terong yang lebih gede dari punya lo?Gavriel : Jodoh itu cerminan diri. Gue yakin kalo gue setia, dia pasti juga seti
Setelah Adit pergi mengantarkan Raga ke sekolah, Hanna segera menuju ke arah kamar mandi yang ada di kamarnya. Ia harus bersiap-siap secepat yang ia bisa dan pergi dari rumah ini sebelum Adit sampai di sini kembali. Sekitar setengah jam waktu yang Hanna butuhkan hingga akhirnya ia keluar dari kamarnya dan turun ke lantai satu rumahnya. Niat hati ingin langsung ngacir ke garasi rumah, namun saat melihat meja makannya yang masih berantakan, tangan Hanna gatal ingin membereskannya. Ia tidak biasa meninggalkan rumahnya dalam keadaan kotor seperti ini. Karena ia tidak mau pulang ke rumah dalam keadaan rumahnya yang sangat tidak nyaman dipandang apalagi di tempati. Kini Hanna berjalan menuju ke ruang makan dan ia taruh tas kerjanya di kursi. Ia lepaskan blazer warna hitam yang ia kenakan dan menyampirkannya pada sandaran kursi. Tanpa membuang banyak waktu, Hanna segera menuju ke arah dapur dan ia mencuci semua piring serta gelas
Raga menatap Adit yang baru saja selesai menyantap sarapannya dengan wajah penuh keheranan. Karena sepertinya tadi pagi Mamanya terlihat baik-baik saja tetapi saat ini Hanna mengatakan ia tidak enak badan sehingga tidak bisa ikut sarapan. Hanna juga mengatakan kepada Raga untuk meminta diantar oleh Adit ke sekolah pagi ini karena ia tidak bisa mengantarnya. "Kenapa lihatin Papa begitu?""Enggak, cuma penasaran aja. Kenapa Mama enggak mau ikut sarapan dan minta aku diantar om Adit? Padahal selama ini Mama selalu sarapan bareng dan antar aku ke sekolah kalo enggak ada meeting pagi di kantor.""Marah kali Mama sama Papa, jadinya enggak mau turun buat sarapan bareng kita.""Mama bukan tipikal orang yang baperan, Om. Kalo enggak sampai kebangetannya sikap orang itu, Mama enggak mungkin menghindar."
Pradnya : Okay, gue mau bantuin lo besok Sabtu. Gue akan ketemu sama Aiman. Kedua mata Hanna langsung membelalak lebar pagi hari ini karena Tuhan mengabulkan doanya secepat ini. Segera saja ia berdiri dan turun dari atas ranjang. Tanpa banyak mengulur waktu lagi, Hanna segera keluar dari kamarnya dan ia menuju ke kamar Raga untuk memberitahukan rencana liburan dadakan mereka ke Bali hari Sabtu besok. Sayangnya saat membuka kamar Raga, ternyata anaknya itu sudah bangun dan tidak ada di dalam kamarnya. Hanna segera menutup pintu itu dan menuruni tangga untuk mencari Raga di tempat gym pribadinya. Baru juga ia melewati ruang makan, langkah kakinya terhenti karena menemukan sosok tamu yang tidak ia harapkan ada di tempat ini. "Kamu ngapain pagi-pagi buta ke sini?" tanya Hanna kepada Adit yang kini seda
Suasana di dalam mobil Adit malam ini sudah sesepi di kuburan pada malam hari. Hanna yang tadi terlihat ceria saat bersama teman-temannya kini sudah memasang wajah lelah dan kantuk sudah mulai menghinggapi dirinya. Saat Hanna menguap, Adit hanya bisa tersenyum."Tidur, Han. Ini masih jauh perjalanan kita.""Duh, enggak deh, Dit. Merem dikit nanti arah tujuan kamu bukan lagi ke rumah aku.""Setakut itu kamu sama aku?""Bukan takut, tapi lebih ke waspada aja.""Kalopun aku sampai ganti arah tujuan kita malam ini, yang pasti bukan ke hotel tapi ke rumah orangtua kamu."Mendengar perkataan Adit ini, rasa kantu