Share

5. Si Anak Bawang

Esok pagi, ketika Sofi menyadari bahwa Indah belum masuk sekolah, dia berpikir bahwa sesuatu terjadi padanya. Ketika dia mengirimkan pesan pada Indah menanyakan apa dia akan masuk atau tidak, gadis itu tidak membalasnya. Sofi berpikir mungkin dia akan menunggu hingga bel masuk berbunyi. Namun, ketika bel masuk berbunyi, Indah tidak muncul dan orang yang terakhir masuk ke dalam kelas hanya Reynaldi. Sofi mulai gelisah karena Indah sama sekali tidak ada kabar. Sofi mengambil ponselnya lalu mengirim pesan lagi ke Indah. Ketika dia mengirim pesan ke Indah, seorang guru masuk ke dalam kelas dan mereka memulai pelajaran pertama.

Ketika jam pelajaran pertama selesai, Sofi memeriksa ponsel nya untuk memeriksa apa Indah sudah membalas pesannya atau tidak. Namun, tidak ada jawaban sama sekali. Gadis itu keluar kelas dan berdiri di sebelah pintu masuk kelas bermaksud untuk menelpon Indah. Dia mendekatkan ponselnya ke arah telinga kanannya dan dia mendengar suara dari ponsel tersebut.

*Tuuuuuut.. Tuuuuuut..*

“Ayo, angkat,” gumam Sofi sambil melihat sekitar koridor tersebut. Koridor brgitu sepi dan tidak ada yang berlalu-lalang, mengingat bahwa para siswa sedang menunggu pelajaran selanjutnya.

*Tuuuuuut-maaf, nomor yang anda tuju tidak dapat di hubungi.*

“Aih, ga di jawab.” Sofi mendengus sebal dan kembali menelepon Indah. Ketika dia menelepon seseorang keluar dari kelas. Dia melihat siapa yang keluar dan mendapati Reynaldi berada di ambang pintu kelas. Ketika dia menatapnya, Reynaldi membalas tatapan Sofi dengan datar. Lelaki itu terdiam sejenak dan melihat apa yang sedang dilakukan Sofi.

“Lo lagi nelpon siapa?” tanya Reynaldi.

“Gue lagi nelpon Indah,” jawab Sofi. Gadis itu melihat Reynaldi yang merespon jawabannya dengan menggangukkan kepalanya sambil mengangkat alisnya, “Lo sendiri mau ke mana?” tanya Sofi.

“Gue mau ke toilet,”

Sofi mengangkat alisnya. “Oh, oke,”

Reynaldi mengangkat bahunya acuh sambil berjalan meninggalkan Sofi disana. Sofi melihat punggung Reynaldi yang semakin menjauh. Dia kembali fokus mendengar nada sambung dari ponselnya namun tidak ada respon dari Indah. Sofi menghela napas dan akhirnya menyerah. Dia kembali masuk ke dalam kelas dan duduk di kursi miliknya. Ketika dia duduk Naufal menghampirinya dan duduk di sebelahnya.

“Fi, udah ada kabar dari Indah lom?” tanya Naufal. Sofi menggelengkan kepalanya. Naufal menghela napas sambil menopang dagu. Keduanya terdiam tidak berkata apapun lagi hingga guru masuk ke dalam kelas. Naufal kembali ke tempat duduknya sambil melihat ke bangku sebelahnya. Dia mengangkat alisnya bingung karena dia baru menyadari bahwa teman sebangkunya belum kembali lagi dari toilet.

‘Ni orang pasti mabal lagi,’ pikirnya sambil tersenyum miring. Lalu Naufal membuka buku miliknya dan mulai fokus belajar.

****

Selain sebagai tempat untuk membeli makan dan minuman, kantin pun bisa digunakan sebagai tempat kaburnya para siswa ketika jam pelajaran sedang berjalan. Di sana sudah ada 5 siswa yang tidak mengikuti pelajaran kedua. Salah satu diantaranya adalah Reynaldi. Lelaki itu tidak makan atau minum apapun. Yang dia lakukan hanya duduk sendiri sambil mendengarkan lagu dari dalam ponselnya menggunakan headphone miliknya.

Dia menikmati alunan lagu bergenre akustik itu. Perlahan dia menutup matanya dan membiarkan alunan lagu itu mengisi kepalanya yang sebelumnya terasa kosong. Petikan lembut dari gitar tersebut terekam di dalam benaknya dan membayangkan kalau dirinya yang sedang memetik gitar tersebut.

Namun, khayalannya terhenti ketika lagu yang sedang dia putar mati. Dia membuka matanya bingung dan merasakan ponselnya bergetar. Reynaldi melihat ke layar ponsel dan mendapati ibunya menelepon. Dia menghela napas panjang sambil mengangkat telepon dari ibunya.

“Apa?”

“Aldi, kamu tahu gak dimana biasanya nyimpen bumbu dapur?”

“Bumbu dapur? Mama lagi di rumah?”

Iya Di. Cepet kasih tahu dimana bumbu dapurnya,”

“Mama ngapain ke rumah?”

“Kamu tuh ya bukannya jawab pertanyaan mama malah nanya yang ga usah di tanya,”

“Tanya aja Bi Iyem,”

“Bi Iyem lagi keluar. Di rumah ga ada siapa-siapa,”

Ketika Reynaldi akan bicara, dia mendengar suara pria yang dia tidak kenal. Samar-samar dia mendengar pria itu memanggil ibunya, ‘Sayang’.

“Sst! Aku lagi telepon anakku,” Ibunya memberi isyarat ke pria itu agar menjauh dari dirinya. Seketika, Reynaldi tersenyum miring karena tidak dapat menahan emosinya.

“Oh, mau makan siang sama brondong ya. Haha,”

“Ga kok Di, cuman rekan kerja aja kok,”

“Aldi pamit. Daah,”

“Eh bentar dulu bantu ma—“

Reynaldi memutuskan telepon dari ibunya dan langsung memilih mode pesawat agar ibunya tidak dapat menghubunginya lagi. Dia memijat kepalanya yang terasa pening. Reynaldi merasa ingin teriak dan melempar meja yang ada di hadapannya. Dia ingin meluapkan emosinya yang selalu dia tahan selama ini. Tangannya berpindah menuju kepalanya dan menjenggut rambutnya ke belakang, bermaksud untuk menghilangkan amarah dari dirinya.

”Menjijikan,” gumam Reynaldi.

Reynaldi bangun dari duduknya dan berniat untuk membeli sebuah minuman. Ketika dia pergi ke penjual minuman jus, bel istirahat pertama berbunyi. Dia melihat ke jam tangan miliknya dan mendapati sudah pukul 9 pagi. Dia melihat ke arah pintu masuk kantin dan sudah ada beberapa yang datang.

“Jadinya mau beli apa dek?” tanya Bapak Dodo, penjual minuman jus.

“Mau jus alpukat saja,”

“Di minum di sini?”

“Iya, pak,”

“Oke siap!” kata Bapak Dodo dan langsung mengambil buah alpukat dan membelahnya.

Sambil menunggu, Reynaldi memperhatikan sekitar kantin yang sudah cukup ramai oleh para siswa. Dari arah yang tidak cukup jauh, seseorang melambaikan tangan padanya. Reynaldi memperhatikan ke lelaki itu dan mendapati bahwa dia adalah teman sebangkunya. Reynaldi membalas lambaian Naufal sambil tersenyum tipis. Naufal bersama teman yang ada di sampingnya bernama Bagas berjalan menghampiri Reynaldi.

“Yo, Rey! Mabal lo?” tanya Naufal ketika sudah berhadapan dengan Reynaldi.

“Ya, gitu deh,” Reynaldi menjawabnya dengan malas karena tidak terlalu ingin bicara dengan teman sebangkunya.

Naufal mengganggukkan kepalanya pertanda dia mengerti. Dia langsung merangkul Bagas, “Lo udah kenalan ama dia ‘kan?” tanya Naufal sambil menunjuk Bagas dengan telunjuk kanannya. Reynaldi menatap Bagas dengan seksama dari atas sampai bawah, membuat orang yang dipandangnya menjadi kikuk.

“Nama lo Bagas. Iya ‘kan?” tanya Reynaldi yang langsung mendapat reaksi anggukkan dari Bagas.

“Tapi, jujur aja gue belum kenalan sama lo. Cuman tahu nama lo aja dan itu juga tahunya pas lagi di absen ma guru,”

“Iya, gue tahu. Makanya si Opal mau kenalin gue sama lo,” kata Bagas sambil melirik Naufal.

“O-oke,”

Entah kenapa, Reynaldi mulai merasa tidak nyaman dengan keberadaan teman kelasnya. Dia berpikir ingin mengusir mereka dari hadapannya. Naufal hanya tersenyum miring ke Reynaldi sambil berjalan menghampiri bapak itu yang sedang memblender buah alpukat. Naufal memesan 2 minuman jus ke bapak itu lalu kembali berhadapan dengan Reynaldi.

“Oh iya Rey, kalo bisa nanti jangan bolos lagi ya. Bukannya gue sok ngatur atau gimana, cuman ya meskipun lo malas belajar setidaknya lo ada kehadiran di dalam kelas,” kata Naufal.

Reynaldi hanya menatap Naufal lalu beberapa saat kemudian dia mengalihkan pandangannya ketika Bapak Dodo memanggilnya.

“Ini jus alpukatnya, Dek,” kata Bapak Dodo dengan aksen jawanya.

“Terimakasih,” Reynaldi menerima jus yang sudah dibuat itu lalu membayarnya. Setelah membayar, dia berpamitan dengan Naufal.

“Gue duluan ya, ketua murid,” Reynaldi menekankan kata terakhir ke arah Naufal. Naufal hanya diam sambil menganggukkan kepalanya. Reynaldi menepuk bahu Naufal sambil tersenyum miring ke Bagas lalu berjalan meninggalkan mereka berdua. Bagas yang memperhatikan sikap acuh Reynaldi ketika Naufal bicara dengannya. Dia tersenyum miring.

“Keknya lo bakal kena semprot lagi dari Pa Taufik pas masuk kelas,” kata Bagas sambil menyikut lengan Naufal.

“Yah, sepertinya begitu,” Naufal masih menatap Reynaldi yang berjalan ke tempat duduk di ujung kiri kantin dan tidak ada yang menduduki tempat tersebut selain dirinya. Ketika Naufal masih menatap Reynaldi Bagas mengambil minuman jus yang sudah di pesan. Setelah membayarnya, dia langsung menyodorkannya langsung di hadapan Naufal

“Nih, jus jeruk lo,”

Naufal langsung menerimanya lalu minum jus jeruknya sedikit menggunakan sedotan, “Kuy, duduk di tempat biasa,”

Naufal dan Bagas pun duduk di tempat favorit mereka yang dekat dengan jendela. Ketika mereka berjalan, Reynaldi melirik mereka berdua dari kejauhan. Dia mendecak sebal lalu kembali mendengarkan lagu menggunakan headset. Dia menaikan volume suara lagu lebih tinggi dari sebelumnya, mengingat kondisi kantin yang sangat ramai membuat Reynaldi harus mendengar lagu dengan volume suara yang tinggi.

15 menit kemudian, bel masuk kelas berbunyi dan sudah saatnya untuk masuk ke pelajaran ke-3. Beberapa siswa sudah masuk ke dalam kelas mereka masing-masing. Naufal dan Bagas baru saja tiba di kelas. Mereka berdua berjalan ke dalam kelas dan duduk di bangku masing-masing. Ketika Naufal baru saja duduk, dia melihat Reynaldi yang berada di depan kelas.

‘Akhirnya ga mabal juga ni orang,’ pikir Naufal sambil mengambil napas lega karena dia lolos tidak di omeli oleh wali kelasnya. Reynaldi berjalan menuju bangkunya. Baru saja mengambil 10 langkah, samar-samar dia mendengar bisikan dari teman-temannya.

“Tumben dia mau masuk kelas Pa Taufik,”

“Udah dapet SP 1 kali. Makanya dia mau masuk,”

“Ni orang pasti di DO dari sekolah gara-gara mabal terus,”

Reynaldi mendengar itu semua dengan jelas. Dia tidak mempedulikan omongan mereka dan terus berjalan menuju bangkunya. Setelah dia duduk, dia menoleh ke arah Naufal yang tersenyum ramah padanya. Reynaldi hanya menatapnya dengan tatapan datar.

“Gue kira lo bakal mabal lagi,” Kata Naufal.

“Hm,” Reynaldi mengalihkan pandangannya dan mengambil tasnya yang dia simpan di bawah meja. Ketika dia mengambil buku dan peralatan tulisnya, Naufal melihat seksama barang-barang yang dia keluarkan oleh Reynaldi.

Buku tulis yang di sampul rapih beserta buku pelajaran yang sudah ada pembatas buku di beberapa halaman, peralatan tulis lengkap yang dia simpan di dalam tempat pensil, dan tidak lupa dia memiliki buku kecil yang sepertinya digunakan untuk mencatat tugas sekolah.

Naufal terus memperhatikan Reynaldi yang masih merapihkan semua barang yang sudah di keluarkan. Merasa di perhatikan, Reynaldi melihat Naufal hingga membuat dirinya terkejut. Reynaldi mengangkat alisnya bingung.

‘Si Rey ada masalah apa ya di sekolahnya dulu? Ni orang kayaknya pinter deh. Dan lagi, di lihat dari peralatan sekolah nya yang komplit dan rapih masa sih gue harus bilang dia orang pemalas. Gue jadi penasaran sama lo, Reynaldi,’

“Lo kenapa, ketua? Ada yang salah?” tanya Reynaldi.

“Ah, ga,” Naufal menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal sama sekali, dia merasa malu. Dia mengambil tas miliknya lalu mengeluarkan buku dan peralatan tulis miliknya, bermaksud untuk mengalihkan perhatian. Reynaldi tersenyum miring sambil melihat ke sekitar ruangan kelas. Lalu, dia kembali melihat Naufal.

“Heh, ketua,” Reynaldi memanggil Naufal dengan sebutan ketua, mengingat bahwa Naufal adalah ketua murid kelas sekaligus mantan ketua OSIS di sekolah.

“Panggil gue Naufal aja, Rey. Gue berasa orang paling penting di kelas ini kalau lo panggil gue kayak gitu,” kata Naufal.

Reynaldi mengangkat bahunya acuh sambil mencari posisi duduk santai. Dia terdiam sejenak lalu kembali bicara dengan Naufal.

“Gue mau minta catatan pelajaran sebelumnya. Kirim semuanya via chat aja.” kata Reynaldi sambil mengulurkan tangannya ke arah Naufal, “Sini, pinjem hp lo. Gue mau masukin kontak gue.”

“Oh, oke.” Naufal mengeluarkan ponselnya lalu di berikan ke Reynaldi. Reynaldi menulis nomor ponselnya lalu memberi nama kontaknya dengan namanya. Lalu dia mengembalikannya ke Naufal.

“Jangan lupa ya dikirim, Naufal,”

“Siap, Rey!” Naufal menerima kembali ponselnya sambil tersenyum tulus. Reynaldi hanya mengganggukkan kepalanya dan tak lama kemudian, Bapak Taufik masuk ke dalam kelas lalu mereka memulai pelajaran.

****

Biasanya ketika pulang sekolah beberapa siswa akan pergi ke suatu tempat sebelum pulang ke rumahnya. Ada yang nongkrong di tempat biasa mereka berkumpul dan ada juga yang masih di sekolah karena ada yang harus diurusi seperti kerja kelompok atau organisasi.

Namun, tidak untuk Reynaldi yang sekarang berada di dalam gedung yang familiar dengan aroma alkohol ketika berada di dalam sana. Para suster dan dokter berlalu-lalai di hadapan Reynaldi ketika dia berjalan untuk pergi ke sebuah kamar. Setelah dia sudah ada di depan kamar yang akan dia kunjungi, dia membuka ruangan itu tak lupa dengan berkata, “Permisi,”

Ketika masuk, kamar itu berisikan sofa dan meja tak lupa terdapat lemari yang cukup besar untuk menyimpan pakaian. Di sana pun terdapat kamar mandi di dalamnya. Reynaldi menutup kembali pintu kamar tersebut sambil berjalan pelan menghampiri seorang pria paruh baya yang tertidur di atas ranjang.

Dengan infusan di tangan kanannya dan mesin pendeteksi jantung yang berada di samping tempat tidurnya sebagai teman pria itu di dalam kamar tersebut. Reynaldi duduk di sebelah pria itu dan menggenggam tangan kanan pria itu dengan lembut. Dia tersenyum kecut.

“Halo Pa, Aldi disini. Gimana kabar Papa di alam bawah sadar sana?” tanya Reynaldi pada ayahnya. Dia berharap hari ini ayahnya akan membuka matanya ketika mendengar suaranya. Dia menatap mata ayahnya yang masih tertutup tak ada tanda-tanda bahwa ayahnya akan membuka matanya. Reynaldi menghela napas panjang sambil tersenyum lagi.

“Semoga Papa baik-baik aja di sana. Kalau bisa, besok Papa bangun dan kembali ke dunia ini ya. Terus, nanti Papa cerita gimana pengalaman papa di alam sana.” Reynaldi tertawa pelan sambil mengeluarkan ponselnya berniat untuk memutarkan lagu kesukaan ayahnya: White Lion – When The Children Cry.

“Aldi putarin lagu kesukaan papa ya.” Reynaldi memutar lagu itu lalu mengatur volume suaranya agar tidak terdengar sampai keluar kamar. Dentingan gitar pun terdengar sebagai pembukaan lagu tersebut. Ketika lagu itu di putar, Reynaldi mengingat masa ketika ayahnya menjelaskan lagu ini padanya ketika dirinya berumur 10 tahun.

Dia tidak mengingat apa yang dikatakan ayahnya karena dia kurang mengerti maksud dari perkataan ayahnya dulu mengenai lagu ini. Yang dia lakukan hanya mendengar kan ayahnya meskipun ucapan ayahnya kembali keluar dari telinga kirinya. Reynaldi tersenyum ketika mengingat masa itu. Ketika dia hanya anak bodoh yang selalu di beri asupan lagu yang tidak semua orang pahami di keluarganya terkecuali ayahnya sendiri. Dia kembali melihat ayahnya yang masih tertidur pulas di atas ranjang itu.

“Pa, lekaslah bangun agar aku dapat memberi tahu arti dari lagu ini,”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status