Share

6. Berkunjung

Setelah dia selesai mengurusi barang-barang di kamarnya, Indah duduk di pinggiran kasur sambil menatap kamar barunya. Matanya sedang mengenali kondisi kamarnya mulai dari ukuran kamar yang tidak sama dengan ukuran kamarnya dulu, letak dimana dia menyimpan barang-barangnya di kamar seperti lemari, meja belajar, dan warna cat kamar yang berwarna kuning. Tak lupa posisi jendela kamar yang menghadap timur memperlihatkan kondisi langit yang perlahan berubah menjadi jingga hingga letak pintu kamar yang berada di sebelah kiri pojok kamarnya. Dia mengehela napas sambil bangun dari duduknya.

Indah perlahan sambil berjalan menuju jendela kamarnya lalu berdiam di sana menatap kondisi di luar rumahnya. Dia melihat kondisi rumahnya yang cukup tenang di sore itu. Bagi Indah hal ini tidak familiar baginya mengingat bahwa lingkungan sekitar di rumahnya dulu para tetangga akan berdiam di luar dan menikmati udara di sore hari. Biasanya Indah selalu melihat tetangganya, Bapak Didi di depan rumahnya selalu menyiram tanaman sambil bersenandung sebuah lagu yang tidak pernah di dengar oleh Indah karena lagu yang selalu dia senandungkan adalah lagu lawas di tahun 80-an.

Ada juga tetangganya yang berada di sebelah rumah Bapak Didi. Setiap Indah pulang sekolah, dia melihat Aki Asep yang selalu duduk di teras dan melihat cucu-cucunya bermain di teras rumahnya. Indah ingat wajah Aki Asep ketika tersenyum melihat cucu-cucunya yang bermain dengan bahagia. Pipi keripu Aki Asep tertarik ke atas semua karena senyumannya yang sangat bahagia sekaligus haru karena dia dapat melihat cucu-cucunya sambil menunggu dirinya dapat menutup mata dengan tenang.

Ada juga tetangga lain yang berada di samping rumahnya yang selalu menjadi tempat untuk menggosip di sore hari. Beberapa ibu rumah tangga yang berada di sekitar komplek itu selalu berkumpul dan menggosip di depan rumah Ibu Yuyu. Indah bersyukur kalau ibunya bukan salah satu tukang gosip di jalanan seperti itu. Dan hal yang membuat Indah canggung adalah ketika dia melewati mereka saat pulang sekolah. Dia selalu merasa bersalah karena dia selalu melewati mereka tanpa bilang permisi.

Indah tersenyum miring ketika dia mengingat masa-masa ketika dia masih tinggal di rumah yang baru saja dia tinggalkan hari ini. Dia berharap dia dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan rumahnya yang menurutnya sangat berbeda.

“Indah!” Ana memanggilnya dari luar kamar dan dengan sigap dia keluar dari kamarnya.

“Ya, kenapa?”

“Tolong bawain kardus ini ke kamar mama yang isinya baju mama,” Ana menunjuk sebuah kotak berisikan pakaian miliknya. Indah mengambil kotak itu lalu membawanya ke kamar Ana. Setelah dia menyimpannya, dia keluar dari kamar lalu mengecek apa yang harus dia bereskan selanjutnya.

1 jam telah berlalu, pada akhirnya Ana dan Indah selesai membereskan semuanya. Sekarang mereka sedang duduk santai di sofa sambil menonton acara TV kesukaan mereka yang menayangkan film drama Korea. Keduanya sangat serius ketika menonton film tersebut hingga akhir. Setelah itu, Indah pamit duluan untuk tidur lebih awal, mengingat kalau besok masih hari sekolah.

Indah masuk kedalam kamarnya lalu langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur. Dia mengambil ponselnya yang sebelumnya dia simpan di pinggiran kasur. Ketika dia menyalakan ponselnya, dia mengangkat alisnya terkejut karena tidak menyangka dia mendapat notifikasi pesan lebih dari 20. Indah membuka aplikasi obrolan tersebut dan melihat siapa saja yang berada di daftar obrolannya hari ini.

4 obrolan, 50 pesan tidak terbaca, 2 panggilan tak terjawab.

Sayur Sop: HEH BABI KALO LO GA JAWAB JAWAB BESOK BAKAL GUE CAKAR MUKA LO! (20)

Nopal: Ndah, lo masih hidup ga sih? (5)

XII-MIA 20xx: Sayur Sop: besok ada pr ga? Gue lupa (24)

+62 82x-xxxx-xxxx: Ini sama Reynaldi. Simpen no.gue ya (1)

‘Dapet darimana nomor gue?’ pikir Indah.

Tanpa membalas pesan dari Reynaldi, dia langsung menyimpan nomor teleponnya. Lalu, dia menyimpan ponselnya setelah itu karena dia tidak ada keinginan untuk membuka dan membalas pesan dari Sofi dan Naufal. Dia menatap langit kamarnya sebelum dia memejamkan mata dan pergi menuju dunia mimpinya. Perlahan dia menutup matanya hingga akhirnya dia dapat tertidur.

****

“Kenapa lo ga bales chat gue seharian?”

Indah menutup telinganya ketika Sofi berteriak di hadapan wajahnya.

“Setidaknya kalau lo ga ngabarin ke temen lo sendiri ya ke wali kelas kek, kepala sekolah kek ato siapa pun yang bisa lo hubungi di sekolah!” kata Sofi.

“Ya maaf, Fi. Gue kemarin sibuk pindahan rumah jadi ya gue ga sempet lihat hp. Gue lihat sih chat lo sama yang lain, cuman gue males balesnya,”

Sofi mengerutkan keningnya ketika Indah bilang padanya bahwa dia baru saja pindah rumah, “Pindah rumah?” tanya Sofi yang langsung mendapat jawaban anggukkan dari Indah.

“Kenapa lo pindah rumah?”

Indah terdiam tidak menjawab pertanyaan Sofi. Dia memegang belakang lehernya sambil tersenyum kecil. Sofi yang menunggu jawaban dari Indah memperhatikan wajahnya yang ragu untuk menceritakannya padanya. Sofi tidak ingin menanyakan hal itu, namun dia penasaran.

“Apa ini karena bokap lo lagi?” tanya Sofi dengan suara yang sangat pelan yang hanya dapat di dengar oleh. Indah tersenyum miring sambil menganggukkan kepalanya. Sofi langsung menghela napas sambil memijat keningnya.

Dia melihat beberapa siswa yang berada di dalam kelas. Sudah banyak siswa yang datang dan sebentar lagi bel sekolah berbunyi menandakan bahwa kelas akan dimulai. Sofi menatap Indah dengan tatapan tidak percaya karena melihat sahabatnya dapat menjalani kehidupan pahit itu.

“Semoga setelah lo pindah rumah, bokap lo ga akan ganggu lagi,”

Indah menghela napas sambil melihat ponselnya di atas meja, “Pasti masih ganggu, orang masih punya nomor kontak gue,”

“Ya ganti, dong. Bilang ke nyokap lo juga buat ganti nomor telepon,” kata Sofi.

“Nanti deh, gue obrolin,”

Bel sekolah berbunyi, pertanda bahwa semua murid harus masuk ke kelas dan menunggu kedatangan guru yang akan mengajar di pelajaran pertama. Sesaat bel berbunyi, terdengar suara-suara menggema seperti ada yang berlari di sepanjang koridor. Indah bertanya-tanya siapa yang terlambat hingga dia melihat dua orang berlari menuju kelas. Indah mengangkat alisnya ketika melihat Naufal dan Reynaldi lah yang masuk ke dalam kelas dengan napas tersengal-sengal.

“Hei, ketua. Ga nyangka juga lo bakal telat,” kata Reynaldi sambil menyeka keringat di pelipis dan berjalan menuju bangku.

“Jangan manggil gue ketua. Gue ‘kan udah bilang gue ga suka di panggil gitu,” kata Naufal yang melakukan hal sama seperti Reynaldi.

“Suka-suka gue. Mulut-mulut gue ini,” kata Reynaldi tanpa mempedulikan tatapan Naufal yang kesal.

“Sejak kapan mereka jadi akrab?” tanya Indah ke Sofi.

“Sejak kemarin,” kata Sofi.

“Oh, oke,” kata Indah melihat keduanya yang masih berargumen mengenai Naufal yang tidak suka di panggil ketua.

‘Itu berarti dia dapat nomor gue dari Naufal,’

Kegiatan kelas pertama saat itu bagi Indah seperti biasa, tidak ada yang menarik baginya dan dia fokus dalam mengikuti pembelajaran yang sudah di sampaikan. Kadang kalanya dia melirik Sofi yang sibuk memainkan ponsel di kelas dan melihat teman-teman lainnya yang beberapa di antara mereka sedang asik dengan dunia mereka sendiri.

Ketika sang guru sedang mengalihkan perhatiannya dengan hal lain, Indah melirik Naufal dan Reynaldi yang sedang memperhatikan pembelajaran. Naufal dengan posisi tubuh tegap tidak lupa dengan memajukan bangkunya ke depan menulis di bukunya. Bagi Indah, itu hal biasa ketika melihat Naufal seperti itu. Hal yang paling mengejutkan bagi Indah adalah Reynaldi.

Posisi duduk yang terlihat santai yang membuat jarak sedikit dengan meja, dia menulis apapun yang ada di depan papan tulis meskipun terlihat malas untuk mencatat, sebuah buku pelajaran yang dia simpan di atas paha terbuka dan memperlihatkan ada beberapa pembatas buku dan yang sudah di tandai menggunakan stabilo. Sungguh mengejutkan bagi seorang Indah karena mendapatkan sebuah realita tak terduga. Perlahan Indah menyunggingkan senyuman kecil sambil kembali menatap kedepan.

‘Gue ga boleh remehin dia,’

****

Bel sekolah berbunyi menandakan bahwa sudah saatnya pembelajaran di sekolah dan para siswa di persilahkan untuk pulang sekolah. Indah meregangkan tubuhnya dan setelah itu dia merapihkan buku-buku dan peralatan tulisnya ke dalam tas. Sesaat dia sedang merapihkan tasnya, Reynaldi menghampirinya dan membuat Indah memberikan ekspresi kebingungan.

“Ada apa, Rey?”

“Ha? Lo lupa ya hari ini hari apa?”

Indah mengangkat alisnya bingung saat setelah Reynaldi mengatakan hal yang membuat dirinya bingung. Dia memeriksa ponsel dan melihat tanggal dan hari di ponselnya. Gadis itu mengedipkan matanya berkali-kali karena dia melupakan hari ini. Hari ini adalah hari Rabu, jadwal dirinya dan Reynaldi akan melakukan belajar bersama di rumah.

Sorry. Gue lupa,” Kata Indah sambil menyimpan ponselnya di dalam saku jaketnya, “Lo naik motor ke sekolah?”

Reynaldi menggelengkan kepalanya, “Gue males bawa, makanya gue telat. Lo sendiri?”

“Em, motor gue di rumah,”

“Jadi, kita bakal naik angkutan umum? Atau order taksi online?”

“Angkutan umum aja, gue males order taksi online,”

“Oke,”

Keduanya pun pulang bersama dengan angkutan umum. Di dalam perjalanan menuju halte, tidak ada yang mengatakan sepatah kata apapun. Baik Reynaldi dan Indah mereka tidak mengobrol. Hanya suara langkah kaki dari mereka berdua sebagai menghilangkan kesunyian di antara mereka.

Ketika di halte pun, mereka tidak mengatakan apapun hingga bus yang mereka tunggu sudah tiba. Keduanya masuk ke dalam dan mendapati bus sangat penuh. Keduanya mencari tempat duduk hingga melihat terdapat 1 kursi lagi yang belum di tepati. Reynaldi menarik Indah yang berada di belakangnya dan menyuruhnya agar duduk di sana.

“Duduk situ,”

“Gapapa nih kalau gue duduk?” tanya Indah.

Ladies first,” kata Reynaldi.

“Oh-oke,” Indah pun langsung duduk dan melihat Reynaldi yang berdiri di hadapannya sambil berpegangan pada pegangan yang sudah di sediakan di dalam bus. Indah melihat Reynaldi yang sedang melihat ke arah jendela bus menatap keluar. Ketika dia memperhatikan Reynaldi, Indah sedikit terkejut karena pandangan mereka bertemu.

“Lo jangan sampai tidur ya. Jangan sampai kita kelewat jalan,” kata Reynaldi dan hanya mendapat balasan anggukkan dari Indah.

“Nanti kalau udah mau deket, gue bakal berdiri dan kita siap-siap turun,”

“Oke,”

Setelah obrolan singkat itu, mereka kembali sibuk dengan diri masing-masing di dalam bus. Reynaldi mengenakan earphone dan mendengarkan sebuah lagu sementara Indah sedang menikmati buku novel bergenre romantis. Kadang kalanya mata Indah mencuri pandangan ke Reynaldi dan melihat apa yang sedang dia lakukan selain mendengarkan lagu. Entah mengapa saat ini Indah merasa penasaran seperti apa seseorang yang berada di hadapannya.

45 menit telah berlalu, akhirnya mereka sudah turun dari bus. Indah meregangkan tubuhnya karena merasa lelah duduk terus di dalam bus sementara Reynaldi sedang melemaskan tangannya yang terasa sakit karena sedari tadi menahan tubuhnya yang harus tetap stabil ketika berdiri di dalam bus.

“Gila, pegel badan gue,” gumam Indah sambil melihat Reynaldi yang masih melemaskan tangannya.

“Kuy, lanjut jalan,” kata Indah sambil menyikut lengan Reynaldi.

“Oke,” kata Reynaldi sambil mengikuti Indah berjalan.

Tak perlu menghabiskan waktu yang lama dari halte menuju komplek rumah, mereka berdua sudah tiba di depan rumah Indah. Tapi, sebelum mereka berdua masuk Indah melihat sekitar seperti sedang mewaspadai sesuatu. Reynaldi yang melihatnya bingung.

“Lo kenapa?”

“Ah, gak kok. Jaga-jaga aja takut ada yang ngikutin?”

“Ha?”

“Kuy masuk,”

Indah pun mengajak Reynaldi masuk ke dalam rumahnya.

“Selamat datang ke rumah gue.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status