LOGINHis rule was simple: I was his substitute and would be his contract wife for two years with no strings attached. He would give me the respect and everything I want except his heart, for it belonged to his fiancĆ©e abroad. But I want more; I want his heart. So I confessed my love to him. He divorced me for breaking the rules. Now a turn of events after our divorce lands me in his bed. I thought I was safe since he didn't see me the next day before I left. But a month later⦠I learned I carried a part of him inside me. Now Iām torn... Do I keep the secret? Or face the man who swore he could never love me⦠again?
View MoreāBapak, Azahra kangen banget.ā Aku menatap nisan yang sudah berdiri empat tahun lamanya. Sungguh, membaca namanya membuat hatiku semakin ingin memeluk sosoknya. Padahal sudah tiga tahun silam, tapi rasa itu tidak hilang. Aku mencoba mengukir senyum, melihat bunga segar yang baru saja kutaburkan. Aku sudah mengirim doa, semoga saja sampai dengan cepat, sebagai bentuk rindu dan baktiku.
āAzahra?ā terdengar suara berat yang memanggil. Spontan aku menoleh, dan kala melihat siapa yang datang, aku bangkit dari posisi dudukku. Aku ingat betul siapa laki-laki berpawakan tinggi, putih, dan bermata sipit ini. Namanya Wangsasatya, laki-laki dari kalangan Cina Muslim yang dahulu adalah anak dari majikan Bapak. Kami saling mengenal baik, sebab Bapak sering mengajakku ke rumah besar itu, dan aku dengan Wangsasatya sering bermain di halaman luas rumah miliknya.
āSatya? Kamu kok ada di sini?ā
Laki-laki itu tersenyum. āMumpung aku lagi di rumah, pengen mampir ke makam Pak Adam. Eh, kebetulan ketemu kamu di sini. Ada sesuatu yang pengen aku berikan, soalnya kalau datang ke rumah, enggak mungkin bisa ketemu. Oh iya, kamu sekarang ini libur atau udah boyong dari pesantrenmu?ā
āAku lagi ambil cuti untuk beberapa hari.ā
Dia mengangguk. āTunggu aku sebentar, ya?ā Dia mengajukan permintaan, tapi nadanya lebih condong seperti pertanyaan, apakah aku bisa menunggunya sebentar. Dengan raut ragu aku mengangguk pelan, kemudian mempersilahkannya untuk mengambil posisi lebih dekat dengan makam saat dia meminta celah untuk jalan.
Sama sepertiku, Wangsasatya menaburkan bunga segar yang ia bawa, menyiramkan air dari botol kaca, kemudian menengadahkan tangannya dan memejamkan mata untuk berdoa. Aku duduk di sampingnya dan membersamai bacaan surat yang dibacanya.
Dua puluh menit berlalu, dan kini aku sudah berada di samping mobil Wangsasatya. Dia sedang mengambil sesuatu dari mobilnya. Tidak membutuhkan waktu lama, Satya keluar dengan membawa sebuah barang. Langsung saja barang itu disodorkan padaku sebuah buku dengan judul Khadijah. Satya tidak berbicara apa-apa padaku. Hanya saja, secercah senyum disodorkan bersamaan dengan pemberian buku berukuran tebal itu.
Aku ikut menyusul senyumnya. Melihat buku itu membuatku berpikir kembali, bagaimana Satya yang berumur sepuluh tahun lalu gemar sekali membaca buku. Bahkan jika bermain pun akan membawa satu atau dua buku di genggaman tangannya. Buku membuatnya berpikir tidak pada umurnya. Bagaimana tidak? Wangsasatya kecil sudah mengetahui banyak sekali ilmu dan informasi hanya dengan membaca buku. Buku dongeng sudah habis dilahapnya, hingga ia meminta buku yang seharusnya dibaca oleh ilmuwan.
āItu buku baru. Papa berikan sebagai hadiah ulang tahun ke delapan untukku. Dia beli dari Prancis kemarin.ā Aku masih ingat obrolan kita di dalam rumah pohon Satya. Ia mengatakan hal demikian, sebab aku membolak-balik buku tebal miliknya. Aku tidak mengerti tentang buku-bukunya, dan kala itu tidak ingin mengerti. Sebab memandang buku berukuran tebal miliknya saja sudah cukup membuat mataku lelah. Bagaimana bisa laki-laki itu menghabiskan berjam-jam untuk membaca?
āAku melihatnya di toko buku saat mencari buku minggu lalu.ā Kalimat yang diucapkan Satya membuatku kembali dari lamunanku tentang masa kecil kita. āSaat melihat buku itu, aku mengingat kamu. Eh, lebih tepatnya cita-cita kamu dulu. Menikah dengan seorang pangeran, kemudian hidup bahagia di dalam kerajaannya,ā ujarnya sambil mengukir senyum tak terlalu lebar.
Ah! Aku jadi malu. Dia ternyata masih ingat dengan cita-cita Azahra yang tak suka membaca seperti dia.
Aku mengambil buku yang sudah lama mengapung di udara. āAku ambil, ya.ā
Satya mengangguk. āKhadijah bisa menjadi panutan untuk menjadi ratu yang taat pada rajanya,ā imbuh Satya. Dan lagi-lagi aku tersipu malu sebab itu.
āOh iya. Mumpung kamu ada di sini, ayo mampir ke rumahku. Pasti Uti senang kalau kamu datang.ā
Keluarga Satya sangat baik. Aku sudah dianggap sebagai putri mereka di sana. Mereka memberiku makanan yang sama dengan Satya, baju baru ketika pulang dari luar negeri, dan kasih sayang yang sepadan dengan yang mereka berikan pada teman kecilku ini. Dulu Bapak sering melarangku untuk ikut ke rumah besar itu, sebab terlalu sering Satya menangis tak mendapat pembelaan jika bertengkar denganku. Mungkin bukan hanya itu alasannya. Menurutku, Bapak takut jika mereka memaksa untuk memintaku, sedangkan aku anak satu-satunya.
Kini, kejadian itu menjadi lucu dan membuatku rindu. Azahra, anak perempuan yang tinggal bersama Bapak, yang selalu menunggu Ibu pulang membawa kue kering dan barang-barang bekas majikannya. Tapi hidupku yang mungkin terlihat perlu dikasihani, tak seburuk dan sesepi demikian. Itu semua berkat Satya dan keluarganya. Sungguh, aku dituan-putrikan di rumah besar milik Satya. Oleh sebab itu, dahulu aku sering bermimpi akan ada seorang pangeran yang menjemput tuan putri ini, dan membawanya ke istana yang sama besarnya dengan rumah Satya.
***
"Bagaimana kamu di pondok?ā Orang paruh baya yang menggenggam erat tanganku ini sedari tadi tidak berhenti mengajukan pertanyaan tentang kabarku sepuluh tahun belakangan ini. Aku bisa melihat antusiasmenya menunggu jawabanku. Wanita cantik ini sangat merindukanku.
āAzahra tidak bisa pulang karena sibuk dengan murid-muridnya, Uti.ā Satya datang dan langsung saja menyahuti pembicaraan kami. Satya tahu itu, sebab pembicaraan kami saling bertukar kabar. Sepuluh tahun memang sudah mengubah segalanya. Bahkan Satya sendiri sudah mewujudkan cita-citanya, menjadi seorang dokter. Namun aku tidak pernah tahu jika menjadi dokter kandungan merupakan keinginannya.
"Oh iya to? Masyaallah, Azahra sudah menjadi ustazah ternyata.ā Uti menepuk pipiku lembut.
āPesanan datang!ā Terlihat dari jarak lima meter, Mbak Ami mendekati kami dengan tatakan minuman yang diangkat tangannya setinggi telinga. Larinya terbirit-birit. Jangan khawatir jika minuman atau nampannya akan jatuh, sebab dia sudah profesional melakukannya.
Kuamati wanita yang kini sedang menata minuman di depanku dan Uti. Senyumnya terus mengembang dan kini malah kian lebar. Mbak Ami semakin cantik, apalagi dengan penampilan barunya. āAh! Ini untuk menutupi uban,ā begitu bisiknya kala kuberi pujian tadi.
āNgomong-ngomong, sudah ada calon apa belum?ā
Aku tersedak mendengar pertanyaan dari Uti. Seharusnya aku tidak perlu terkejut mendapati pertanyaan yang sudah sering kudengar. Apalagi ini adalah pertanyaan yang memang seharusnya dipertanyakan pada wanita yang sudah berusia matang. Bagi masyarakat desa, wanita berumur dua puluh lima tahun sepertiku seharusnya sudah bersuami dan menimang seorang anak.
Aku menatap Uti, menggeleng sambil tersenyum. āBelum ada pangeran yang menjemput Azahra, Uti.ā begitu kataku.
Three hours earlier, Adrian exited his car and strolled into the company with a furious look on his face, exuding a menacing aura that made the employees in the reception instinctively shrink back in fear.On stepping inside the elevator, he shoved his trembling, clenched fists into his pockets, struggling to keep his anger and, mostly, his frustration under control.Each breath he took was a battle.He had thought he would see Simona, or whatever her name was; he wanted to see her, but instead, he found only this chilling void of her absence, as if she had never existed at all.With a surge of emotion, he pulled his hand out and punched the unyielding metallic wall of the elevator, a guttural and exasperated groan escaping his lips."How dare you, Simona!" he shouted, delivering another blow, his knuckles hurting and staining red against the metallic surface.āSir, please, calm...ā Michael began, standing nervously behind his boss, but his voice faltered under the weight of Adrianās
Today, Simona Smith, a 25-year-old secretary at Annās Fashion Empire who lived in the third door on the left on the tenth floor of her rented apartment, was home and didn't report to work due to a severe cold and sore throat. She was seated on her couch, clad in a duvet, hugging her knees while watching TV. Reaching for the hot ginger tea she had been sipping to take a sip, she realized it had gone cold. She stood up to get another cup when her doorbell rang. āWho could it be?ā She muttered to herself, putting the mug she was holding on the kitchen counter, and went to get the door. Simona opened the door and came face-to-face with the most handsome man she had ever seen. āHi, please, I'm looking for Miss Simona Smith,ā Michael said in his professional tone as he took in the appearance of the beautiful woman with a red nose standing in front of him blushing. He realized she must be having a cold, judging from her red nose. But her blushing cheeksāwas it because of him? Michael
Diana's white sedan came to an abrupt halt in front of Anastasia. She had spent the entire night looking for Anastasia. She was worried and scared. She watched the club's footage and saw Anastasia approach a man who took her away in his car, but she could not make out the man's face because of how far away they were. Left with no other choice, she had to call Harold and tell him about what happened. Harold tried to keep her calm on the phone and told her he would take the next available flight and come, but Diana wasn't calm; she could sense the worry in Harold's voice. 'Would he be angry with her for taking Anastasia to the club?' The thought made her heart skip a beat. She was only relieved when Anastasia called and asked her to come get her, but seeing Anastasia's haggard appearance now, all her worries resurfaced. āAnna! Oh, dear, what happened to you?ā Diana exclaimed worriedly, getting out of the car and rushing towards her best friend, who looked like she had been torture
The moment Adrian arrived at his penthouse bedroom, he pinned Simona against the wall and began kissing her hungrily.He bit her on the lips and slipped his tongue into her warm and sweet mouth as he began sucking every corner of her mouth.As the kiss prolonged, he realized Simona wasn't responding. It was almost like she didn't know how to kiss. He thought but shook his head.āSimona is 25 years old; there's no way she was inexperienced; maybe it's because she was drunk; that's why she wasn't responding,ā he thought and pulled away when he saw she was out of breath.āTurn and let me help you out of your clothes,ā Adrian purposely said; even though he was hot and needy, he wanted to be sure Simona wasn't faking being drunk.Simona proved Adrian wrong when, instead of turning around, she wrapped her hands around his neck.āAdrian, I love you,ā she confessed, and it must be the heat of the moment, but Adrian replied,āI love you too,ā without realizing.He spun her around, pulled up he






Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.