Pagi menjelang siang, Aryo tak mempedulikan kakinya yang masih terasa nyeri karena bekas jahitan luka robek itu. Harapannya, agar dia cepat sampai ke pondok dan bertemu dengan Sri, dia akan meminta maaf karena tak pulang semalaman, pasti istrinya itu khawatir dengan keadaannya. Dia tau betul, betapa penakutnya Sri tinggal sendiri di pondok pada malam hari.Bahkan sesekali, telapak kakinya terpeleset ke dalam sawah, mengotori celana jins baru yang dibelikan oleh Brenda. Tapi, Aryo sama sekali tak peduli.Tak lama kemudian, Aryo sampai di pondok. Dahinya berkerut, ini hari Minggu, kenapa tak ada tanda-tanda Sri ada di rumah, pondok terkunci rapat dan lampu lima Watt masih menyala di halaman kecil mereka.Aryo tak bisa menyembunyikan wajah muram dan kecewanya. Dia berharap, bisa bertemu dengan Sri, bertanya secara langsung pada wanita itu, dan berharap dia salah lihat kemaren sore. Dia berharap, Sri memberi penjelasan dan pernikahan mereka baik-baik saja.Dengan lunglai, Aryo berjalan ke
"Apa kau tega meninggalkanku, Sri?" Laki-laki muda berbaju lusuh itu tak mampu menahan air matanya."Mas, Maaf!" jawab wanita cantik itu menunduk, air mata terus saja meleleh di pipinya."Pergilah!" Laki-laki itu membalikkan tubuhnya. Sri, bukan lagi wanita lugu yang dikenalnya. Wanita itu bersimpuh, memeluk kaki suaminya sambil terisak."Aku yang salah, aku yang salah, Mas.""Pergilah! mungkin laki-laki kaya itu yang akan membuatmu bahagia."Mimpi itu, ternyata terjadi di dunia nyata. Mungkin ini firasat baginya, bahwa istrinya itu telah berselingkuh.Aryo merasakan bagaimana rasa sakit yang menikam jantungnya, tak ada darah, tak ada benda tajam menghujamnya, namun Aryo merasa kesulitan bernafas karena dadanya yang terasa sesak menahan marah dan kesedihan."Kapan?" Aryo mendesis. Sri memucat, dia menyadari kemana mata Aryo memandang saat ini. Buru-buru Sri menutupnya kembali dengan rambutnya."Aku nggak ngerti pertanyaan, Mas?""Katakan padaku apakah bosmu pelakunya, kapan? Sudah sam
Pulang ke pondok, tak lagi memberi kebahagiaan pada Aryo. Baginya Sri bukan lagi istri yang dipujanya dulu. Dia begitu jijik membayangkan apa yang menjadi miliknya sudah dinikmati oleh laki-laki lain. Dia tak habis pikir sejauh itu istrinya tersesat."Mas," Sri menghidangkan makan malam untuknya. Hal yang beberapa bulan ini tak pernah dilakukannya lagi. Aryo mengambil nasi dan lauk seadanya, sepertinya Sri sengaja memasak malam ini. Bagi Aryo perubahan ini sudah terlambat."Mas masih marah sama aku?" Aryo menatap Sri sekilas, mata sembabnya tak menggugah Aryo sama sekali. Bayangan akan istrinya bercumbu dengan laki-laki lain membuatnya semakin membenci Sri."Sekarang mas yang bertanya padamu, jika mas yang melakukan apa yang kau lakukan, apa kau marah?"Wajah Sri menegang. Tentu saja dia marah, bahkan dia jengkel jika ada wanita lain yang mumuji kegantengan suaminya."Jadi jangan tanya apakah mas marah atau tidak. Kau tau jawabannya." Aryo mengakhiri makan malamnya. Mencuci tangannya
Mereka makan dalam diam, hanya suara jangkrik dan katak sawah yang terdengar.Sri mencuri pandangan pada Aryo. Sejak pertengkaran mereka dua hari yang lalu, Aryo memperlihatkan sikap yang sama."Hmmm, Mas," tegur Sri. Aryo hanya membalas dengan tatapan sekilas."Bagaimana pekerjaan, Mas?" "Aku belum mulai bekerja. Besok aku akan pergi pelatihan. Selama satu bulan."Sri berhenti mengunyah nasi dalam mulutnya, lalu buru-buru menelannya dengan air."Maksud mas, sebulan itu mas takkan pulang?" "Ya, begitulah!""Kenapa mas tak minta pendapatku dulu? Aku tak mungkin tinggal sendiri di pondok kecil ini." Suara Sri terdengar kalut."Kenapa mas harus minta pendapatmu? Apa kau pernah minta pendapat mas saat pergi ke sana ke mari dan akhirnya menyeleweng.""Mas, aku berusaha untuk berubah, aku berusaha untuk memperbaiki pernikakan kita. Aku mohon, beri aku kesempatan sehingga aku bisa membuktikan bahwa aku takkan mengulangi lagi kesalahanku.""Sri, semua tak lagi sama. Mas mencintaimu Sri, tap
Apa yang paling disesali oleh Sri, terlalu cepat menaruh rasa semu dan mengabaikan cinta sejati yang telah berbuat banyak pada hidupnya selama ini. Setelah vonis "hamil" didapatkannya, hidupnya berubah. Dari dulu, dia mengidamkan lahirnya seorang anak dari rahimnya. Seharusnya dia senang bukan? Tapi tidak, dia tau pasti bahwa bayi ini tercipta dengan cara salah, dia tau pasti bayi ini bukan miliknya.Walaupun kondisi tubuhnya yang lemas, Sri tetap memaksa untuk bekerja. Pagi-pagi sekali dia sudah berjalan kaki menuju jalan desa dan menunggu angkot untuk bisa sampai di pabrik. Entah kenapa, selama tiga bulan terakhir, Yayuk seolah menjauh darinya. Mereka tak lagi pergi dan pulang bersama.Saat ini, Sri tengah berada di atas angkot yang tengah berhenti menunggu penumpang. Angkot hanya diisi tiga penumpang. Yang pertama adalah Sri, yang ke dua seorang laki-laki paruh baya, dan satu lagi laki-laki berusia tiga puluhan.Laki-laki muda itu duduk di samping Sri. Aroma keringatnya yang tidak
Jam kerja sudah usai. Aryo lihat, Sri sudah menunggunya di dekat parkiran, kalau dulu dia tak mau diantar sampai ke parkiran, saat ini dia tidak peduli dengan pandangan penasaran orang-orang terhadapnya. Aryo memandangnya sekilas, walaupun dilanda perasaan sakit hati, dia tak sejahat itu pada Sri membiarkan wanita itu pulang sendiri.Sepanjang perjalanan, Sri hanya bisa menatap punggung lebar itu tanpa bisa menyentuhnya. Ada kerinduan yang tak bisa dijabarkan saat ini di hatinya. Dia mencintai Aryo, masih. Walaupun dia sempat menaruh simpati pada perhatian Novan."Mas," "Hmm," jawab Aryo singkat. Tampak tidak tertarik.Sri tak melanjutkan, dia melingkarkan tangan di pinggang suaminya dan merebahkan kepalanya di sana, memejamkan matanya yang mengeluarkan cairan bening dan tak terbendung. Sri menangis dalam diam."Sebentar saja! Jangan tolak aku, Mas. Biar saja seperti ini." Sri berujar parau.Aryo tak menjawab dan tak menolak. Bukankah seharusnya begini mereka? Berpelukan mesra di ata
Hari yang melelahkan bagi Novan. Rasanya dia sudah bekerja maksimal dan mengabdikan hidupnya untuk perusahaan. Akan tetapi ayahnya tetap saja tidak percaya akan kemampuan dirinya. Memang, terjadi permasalahan akhir-akhir ini. Salah satunya perusahaan mengalami kerugian karena Novan merekrut pekerja-pekerja baru yang dianggap tak kompeten.Siang ini, mereka tengah duduk santai di tepi kolam renang di rumah keluarga Novan. Hari ini Brenda tampil cantik, blezer bewarna peach dipadukan dengan celana panjang yang membungkus kaki jenjangnya. Brenda sengaja ke rumah Novan untuk memberikan laporan bulanan pada ayah laki-laki itu."Aku liat kau menikmati peranmu, sebagai pengganti papaku di perusahaan." Syarat sindiran, tapi Brenda terlihat biasa saja. Dia tak memperlihatkan wajah tersinggung."Sebenarnya, aku lebih menikmati menjalankan perusahaanku sendiri. Akan tetapi, Paman sedang membutuhkan aku. Lalu, aku harus bagaimana?"Novan hanya tersenyum hambar, dia menyukai Brenda, mencintai mal
Sudah lima belas menit, tatapan tajam Novan seakan menguliti Sri hidup-hidup. Wanita itu meremas jari-jarinya takut. Tak ada tatapan lembut dan manis seperti biasanya, Novan yang berada di depannya adalah laki-laki yang berbeda. Dingin dan terkesan tak peduli."Seseorang memukuliku di rumahku sendiri, dengan penutup wajah dan sikapnya yang bar-bar. Siapa dia? Apakah dia kekasihmu? Dia mengatakan kau hamil, meminta aku bertanggung jawab. Bagaimana aku bisa menjamin, bayi yang ada di perutmu adalah anakku, sementara kita sama-sama tahu, kau ... Sudah tak perawan."Tajam, kejam, tak berperasaan, itulah Novan yang ada di depannya saat ini. Begitu tak bernilainya Sri saat ini. Wanita itu hanya tertunduk mengusap air matanya kasar. Dia tak mengharapkan apa-apa. Semuanya tak lagi berguna baginya. Mungkin mati lebih baik, dari pada kehilangan Aryo."Berapa? Berapa usia kandunganmu? Seharusnya kau mencegahku saat itu." Novan mengusap wajahnya kasar.Jika tadi Sri diam saja, saat ini dia sudah