Share

5

Author: Gleoriud
last update Last Updated: 2022-06-07 19:44:19

Aryo tak berhenti melihat ke ujung jalan, azan Maghrib sudah selesai lima belas menit yang lalu, namun Sri belum juga pulang. Aryo akhirnya memutuskan keluar dari pondok, menyusul istrinya sampai jalan besar, melewati pematang sawah yang diterangi oleh lampu pijar yang di gantung di atas tiang bambu untuk menerangi jalan.

Tidak jauh, kira-kira seratus meter dia sudah sampai di jalan desa. Deru motor mengalihkan perhatian Aryo, tidak salah lagi, itu motor Yayuk dan dibelakang gadis itu adalah istrinya.

Motor berhenti tepat di depan Aryo. Mata Aryo terlihat membelalak, rahangnya mengeras.

"Makasih ya, Yuk. Aku cukup senang hari ini." Sri turun dari motor Yayuk, agak kewalahan membawa barang belanjaan di tangannya. Yayuk mengangguk, dan melirik Aryo sekilas.

"Mas?"

"Kenapa rambutmu, Dek?"

Sri agak tergagap, dia meraba rambutnya. Memang, sepulang bekerja mereka singgah ke salon, Yayuk mengatakan kalau rambut Sri tak bermodel, jadi dia menyarankan Sri untuk memotongnya dan langsung di iyakan oleh Sri.

"Oh, aku memotongnya, Mas."

"Kenapa kau tak bilang dulu pada Mas?" Jujur merasa kehilangan, rambut panjang Sri adalah salah satu yang paling disukainya dari istrinya itu.

"Nanti aja aku jelaskan ya, Mas. Aku capek." Sri berjalan mendahului Aryo yang masih menampilkan wajah tidak puas.

Sesampai di pondok, Sri langsung membuka tudung saji. Dia bernafas lega, ada nasi dan lauk serta sayur yang masih hangat di sana.

Aryo hanya diam menunggu istrinya itu menyelesaikan makan malamnya. Setelah selesai, Aryo mendekati Sri, dia ingin berbicara serius dengan istrinya itu.

"Dek,"

"Hmmm?" Sri menjawab pelan, matanya terlihat mengantuk.

"Seminggu ini, mas lihat kau terlalu banyak berubah."

"Perubahan dibutuhkan, Mas. Begitu kata Yayuk. Oh ya! Tadi Yayuk sempat membawaku mampir ke toko baju."

"Uang dari mana?"

"Yayuk yang pinjamkan. Boleh dibayar pas gajian." Sri tersenyum semangat. Dia mengeluarkan gaun bewarna biru muda dari kantong belanjaannya.

"Cantik kan, Mas?" Sri menunjukkan gaun biru itu.

"Cantik, tapi apa nggak terlalu terbuka, Dek? Mas lihat, nggak ada lengannya."

"Ini masih sopan, Mas. Besok malam kami ada acara perusahaan, jadi semua karyawan wanita wajib pakai gaun."

"Besok malam?"

"Iya." Sri mengangguk semangat.

"Artinya kau takkan pulang?"

"Acaranya diadakan di hotel, Mas. Dan kami langsung menginap di sana."

"Tapi, Dek. Mas tidak izinkan kamu nginap di sana."

"Mas," Sri mulai menunjukkan wajah serius. "Mas sudah mengizinkan aku untuk bekerja, artinya Mas juga harus siap dengan segala kewajiban yang dilimpahkan kepadaku. Termasuk mengikuti acara perusahaan."

"Tapi, kau wanita bersuami, mana mungkin kau meninggalkan suamimu di rumah sendiri."

"Mas, hanya satu malam. Ini pun sekali setahun. Tolonglah, Mas. Mengertilah." Sri menggenggam tangan Aryo. Mau tak mau, laki-laki itu hanya mengangguk walau terpaksa.

"Entah kenapa, Mas lebih suka kau menjadi ibu rumah tangga, setiap saat kita bertemu."

"Kita sudah bicarakan ini, Mas. Kita takkan maju kalau hanya bergantung pada belas kasih orang lain."

"Maafkan mas, Dek. Jika kau menderita selama ini karena hidup kita yang miskin."

Sri tersenyum, menyandarkan kepalanya pada dada bidang suaminya.

"Jangan bicara begitu lagi, Mas. Aku bahagia dengan Mas."

"Sykurlah, Dek." Aryo membalas pelukan Sri. Tapi, di sudut hatinya yang paling dalam, ada kegelisahan yang tak bisa dijelaskan oleh Aryo. Entah apa.

***

Sri berjalan tidak percaya diri di antara kerumunan tamu undangan yang hadir di pesta ulang tahun perusahaan itu. Jujur, ini lah pertama kalinya dia pergi ke pesta yang begitu modern dan sangat berkelas. Dia sampai tak bisa menutup mulutnya melihat dekorasi yang di tata begitu apik dan indah.

Sri tersadar saat sikutnya di senggol Yayuk. Yayuk yang malam ini begitu cantik dan elegan.

"Ada Pak Bos." Yayuk merelakan senyum namun, Novan malah terpaku pada gadis yang bergerak canggung di samping Yayuk. Malam ini wanita itu sangat cantik, bahkan Novan mengabaikan panggilan Laura yang selama ini berusaha merebut perhatiannya.

"Malam, Pak!" Yayuk mengangguk berlebihan, sedangkan Sri hanya tersenyum hormat sekedarnya.

"Malam." Mata Novan melirik ke arah Sri.

"Silahkan nikmati pestanya."

"Oh, terimakasih, Pak." Yayuk mengangguk lagi. Sedangkan Sri malah asik menatap kolam renang yang memantulkan indahnya lampu warna-warni.

"Sri Rahayu?"

"Oh, iya, saya, Pak."

"Bisa ikut saya sebentar?"

Sri mengerjap, dia melirik Yayuk untuk minta pendapat. Yayuk malah mendorongnya, terlihat memberikan dukungan.

"Ehm, saya,"

"Saya tunggu di taman hotel." Novan berlalu begitu saja.

"Pergi sana!" Yayuk menyemangati Sri. "Mana tau kamu langsung naik jabatan."

"Ah! Nggak mungkin kerja baru seminggu langsung naik jabatan."

"Itu makanya, temui aja dulu."

Sri hanya pasrah, tak ada pilihan lain selain mengikuti Novan dari belakang. Beberapa orang menatap Sri ingin tau sejak Novan sengaja mendekatinya.

Sri akhirnya sampai di tempat yang dimaksud. Novan tersenyum hangat, lalu menepuk kursi yang dicat dari besi yang di ukir begitu cantik dan dilapisi cat putih.

"Duduk!"

"Saya," Sri menggigit bibirnya sendiri, rasanya begitu canggung.

"Jangan terlalu kaku, saya hanya ingin berbincang dan mengenalmu lebih jauh, ini bukan urusan kantor, jadi, santai saja. Oke?" Novan kembali tersenyum ramah.

Mau tak mau Sri meletakkan bokongnya duduk di samping laki-laki itu. Novan semakin takjub, wanita ini bahkan seribu lebih cantik jika dilihat dari dekat.

"Sri Rahayu,"

"Panggil Sri aja, Pak."

"Hmm, Sri." Novan mengutuk dirinya yang kehilangan kosa kata di dekat wanita itu.

"Ya, Pak." Sri menunduk meremas jemarinya canggung.

"Kamu berasal dari mana?"

"Oh, saya tak jauh dari sini, Pak. Tetanggaan sama Yayuk."

"Oo, pantas saja kalian selalu pergi dan pulang bareng."

Sri mengangguk.

"Oh ya, saya ada sesuatu." Novan mengeluarkan kotak kecil dari balik jasnya.

"Ini, untuk kamu." Novan menyodorkan kotak kecil itu pada Sri dan dilihat wanita itu dengan binggung.

"Apa ini, Pak?"

"Anggap saja hadiah." Novan tersenyum lagi.

"Hadiah? Tapi saya?"

"Kata supervisor kamu, selama seminggu ini kamu berhasil menjadi karyawan terbaik." Novan mencari alasan, yang jelas mengada-ada.

"Saya,"

"Buka saja dulu!"

Sri hanya menuruti, saat membuka kotak kecil itu, dia hanya bisa menganga, sebuah kalung, cantik, sangat cantik, memiliki liontin bermata biru muda.

"Sini! Saya pakaikan."

Dan bodohnya, Sri hanya bisa pasrah tanpa menolak.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bekas Merah di Leher Istriku    84

    "Sah!" Sahutan serempak bergaung di mesjid besar itu. Marisa mengusap air matanya, Sri menangis dan menutup wajahnya sendiri. Bukankah sebuah keajaiban? Hatinya yang awalnya beku luluh karena kegigihan Briyan. Pria itu tak mau mundur sedikit pun, bahkan semakin maju menggapai cinta Sri walaupun ditolak berkali-kali.Sifat Briyan selama bertolak belakang dengan Aryo yang melepaskannya tanpa berpikir dua kali. Mereka memang terlahir dari rahim yang sama, wajah yang sama, tapi nasib yang berbeda serta sikap yang berbeda pula.Ini untuk yang ke-tiga kalinya dia pernah melalui momen ini, dan kali ini pula rasanya Sri masih tak percaya. Ada banyak rasa yang dirasakannya. Sedih, bahagia, haru dan seperti mimpi. Sri terkesiap saat kepalanya diusap lembut, dia menemukan seorang pria tampan dengan wajah teduh dan menenangkan. Wajah itu, yang akan menjadi imam di sisa hidupnya."Ayo! Cium tangan suamimu!"bisik Marisa. Sri tergagap, kemudian dia menyambut uluran tangan Briyan dan membawa ke waj

  • Bekas Merah di Leher Istriku    83

    Teruntuk Marisa istrikuApa kabar Marisa? Aku melihatmu terus dari kejauhan saat kau telah menjadi bintang yang tak mungkin lagi aku raih. Tuhan maha adil dengan segala kuasa-Nya. Memberikan derajat yang tinggi padamu, dan memberikan hukuman yang berat padaku.Apakah dayaku, Marisa. Sejak kepergianmu puluhan tahun silam, saat itu juga hatiku hancur dan menghabiskan malam-malam dengan mabuk minuman keras. Saat kau tak ada, aku merasa benar-benar kehilangan. Aku sudah mencarimu waktu itu untuk meminta maaf, ingin memulai kembali pernikahan yang indah dan penuh maaf. Tapi, kau benar-benar pergi, Marisa.Takdirku tak berhenti begitu saja, aku hancur, terbuang dan menjadi gelandangan. Berbagai penyakit menggerogotiku, jantung dan diabetes serta darah tinggi.Aku tau Marisa, takkan ada maaf untukku lagi, namun di punghujung nafasku, aku ingin meminta maaf kepadamu, aku tak mau mati dengan beban penyesalan yang tak berkesudahan. Andaikan waktu bisa diulang Marisa, aku ingin kita kembali ke m

  • Bekas Merah di Leher Istriku    82

    Briyan masih bertahan di posisinya berdiri bahkan setelah Hans berlalu dan lebih dulu masuk rumah. Dia sempat mengangguk sekilas pada wanita cantik yang memakai kebaya hijau muda dan rambut disanggul rapi. Briyan yakin, itulah yang namanya Marisa."Wah, cantik-cantik bunga majikanmu," puji Briyan, hatinya senang sekali saat ini. Sri terlihat biasa saja, tak berniat meluruskan. Dia menggulung selang air kembali dan meletakan pada sebuah wadah yang telah disediakan."Aneh, kamu meninggalkan pekerjaan sebagai menejer demi menjadi pembantu? Kalau begitu bekerja di rumahku saja, setelah ijab qobul." Briyan tersenyum konyol.Sri tak terpengaruh dengan lelucon itu. Biar saja Briyan tau sendiri, supaya laki-laki itu sedikit syok."Kau tinggal di mana?""Di sini!""Ibumu?""Di sini juga," jawab Sri sambil mencuci tangannya."Wah, baik sekali Nyonya Marisa memperbolehkan pembantu tinggal di sini bersama ibunya. Pantas saja Hans memujinya. Jarang-jarang ada orang sebaik itu.""Bapak masuklah dul

  • Bekas Merah di Leher Istriku    81

    Mata sendu itu masih terbuka, ada lelah yang tak bisa dijabarkan di sana. Pada hakikatnya dia adalah pria rupawan yang kesepian. Dulu, sebelum dia tau bahwa dia hanyalah anak angkat, dia sering bertanya pada Hans, "di mana ibu?", dan Hans hanya memberikan senyum hangat tanpa memberi penjelasan.Terkadang dia iri dengan teman-temannya di sekolah, yang bergayut manja digendong oleh ibu mereka. Atau, saat acara piknik bersama keluarga, hanya tendanya dan Hans yang paling sedikit isinya."Dad, ini tidak seru," kata Briyan kecil sambil meletakkan gitar mainannya. Teman-temannya berlarian dengan adik atau kakak mereka, atau ada yang membantu ibunya menyiapkan makan malam, sementara di tenda mereka, Hans sibuk dengan majalah bisnis. Mereka tengah piknik acara sekolah, namun Hans tetap saja bekerja."Tidurlah! Atau bermain dengan temanmu yang lain!"Briyan kecil cemberut, mata bulatnya menatap bosan ke luar tenda miliknya, lampu-lampu taman menerangi tenda-tenda yang berjarak kisaran empat me

  • Bekas Merah di Leher Istriku    80

    Sakit itu, sebuah musuh yang tak berwujud tapi mematikan. Dia mengendap begitu dalam, tak bisa diobati, tak bisa ditawar, hanya bisa menggerogoti jiwa yang penuh putus asa dan semakin melemah. Tak terperi, rasa sakit yang dirasakan Briyan seakan bisa membuatnya mati. Begitu hancurnya dia ketika mengetahui kenyataan yang tak ada kenyataan bahagia sedikit saja di masa lalunya. Andaikan pria tua lumpuh itu tidak dalam keadaan cacat, tentu Briyan telah menghajarnya sampai hatinya puas, tapi, laki-laki tua yang Briyan berat mengakui sebagai kakeknya itu, tak lebih dari seonggok daging hidup yang tak mengerti. Dia lumpuh dan depresi. Dan Briyan tau, orang gila tidak bisa diajak berbicara.Seusai menemui Adhiwijaya, Briyan memacu mobilnya seperti orang kesetanan. Dia tak peduli dengan sumpah serapah serta umpatan kasar orang yang disalip secara ugal-ugalan.Wajah pria tampan itu memerah. Matanya masih basah, urat-urat bertonjolan di sepanjang lehernya.Ini sakit, apa yang lebih menyakitkan d

  • Bekas Merah di Leher Istriku    79

    Bolehkah dia menangis dan meraung sekuat tenaga? Andaikan dia tak bersikeras menyelidiki tentang dirinya, tentu rasanya tidak akan sesakit ini. Pada dasarnya dia hanyalah anak yang dibuang untuk menghilangkan malu. Lalu, apa yang benar-benar dimilikinya di dunia ini, tak ada selain nyawanya sendiri."Maafkan aku! Ampuni aku! Aku ikut membantu Adhiwijaya membuang kalian karena terpaksa, aku mohon! Ampuni aku!" Laki-laki tua itu bersimpuh dan terisak di depan Briyan, hilang sudah ketegasan dan kegagahan yang dia perlihatkan beberapa saat yang lalu. Dia terlihat menyedihkan dengan bersimpuh di kaki orang yang lebih muda pada dirinya."Katakan apa saja yang engkau ketahui, Pak! Aku ingin mendengar langsung dari mulutmu. Aku akan mengampunimu jika kau berkata jujur!" jawab Briyan dingin. Nafasnya, sesak dan seakan jantungnya ingin meledak Manahan marah.Danu bangkit, mengusap air mata dengan sapu tangan yang disimpan di balik jasnya, sedangkan Adhiwijaya memperhatikan mereka dengan tatapan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status