Share

4

"Baju siapa itu, Sri?" Aryo tak bisa menahan rasa ingin tahunya, saat ini istrinya tengah memakai baju yang tak pernah dilihat sebelumnya.

"Punya Yayuk." Sri menatap puas penampilannya, ke arah cermin yang sudah memudar yang terletak di kamar tidur mereka yang kecil.

"Baju itu kelihatan kekecilan."

"Kata Yayuk inj lagi trend saat ini, Mas."

"Mas nggak suka, Sri. Dan rambutmu, bisakah kau gerai saja? Mas merasa terganggu melihat lehermu akan menjadi santapan mata laki-laki lain."

Sri menghela nafas, kemudian berbalik menatap suaminya.

"Mas, penampilan sangat menentukan kualitas diri, Yayuk sudah mengajariku banyak hal. Aku tak ingin terlihat jelek dan kuno, Mas."

Aryo terdiam. Baru seminggu, istrinya itu sudah berubah. Entah kenapa, mulai merasa Sri yang ini bukan Sri yang biasanya.

"Dan Rokmu, apa tak bisa diganti dengan celana panjang?" Aryo merasa terganggu dengan rok ketat di atas lutut itu.

Sri berbalik, dengan wajah lelah.

"Mas, Mas nggak ngerti bagaimana berkerja di perusahaan. Aku tidak mungkin memakai daster rumah dan mengepang rambutku."

"Tapi, Mas ingin kamu mengenakan rok yang lebih panjang."

Sri mengabaikan protes suaminya. Sambil memasang jam tangannya, Sri meninggalkan kamar mereka.

"Maaf ya, Mas. Aku tidak sempat memasak hari ini, aku terburu-buru." Sri berlalu tanpa menunggu jawaban dari Aryo.

***

"Wah! Semakin cantik saja kamu, Sri."   Wawan, dia teman Yayuk. Dipuji begitu, Sri tak mampu menyembunyikan rona di pipinya. Mereka tengah makan siang di kantin kantor.

"Kau tak tau saja, dia ini kembang desa di kampung kami." Yayuk menimpali.

"Oh, pantas saja, oh ya, apa kau sudah punya pacar?"

"O, aku ...." Sri melirik Yayuk.

"Menurutmu apa wanita secantik Sri tak memiliki pacar? Ah! Buang jauh-jauh hayalanmu, laki-laki sepertimu tak pantas untuk Sri."

"Ucapanmu membuatku tersinggung." Wawan melanjutkan makannya. Sedangkan Sri tersenyum canggung.

"Besok ada acara perusahaan." Yayuk mengusap mulutnya.

"Kita ikut?" tanya Sri polos.

"Tentu saja, ini kesempatan kita untuk bersenang-senang. Cuma sekali setahun, jangan di sia-siakan."

Sri menggigit bibirnya. "Aku tak punya baju bagus, Yuk."

"Tenang saja, aku punya banyak gaun kok."

"Syukurlah." Senyum Sri merekah, membuat Wawan seakan mau meneteskan air liurnya.

"Heh, kodok bisa masuk ke mulutmu."  Yayuk memukul lengan Wawan.

Memang, tak ada yang bisa memungkiri kecantikan Sri.

Setelah makan siang bersama di kantin, mereka kembali ke tempat bekerja masing-masing. Yayuk dan Sri tidak berada dalam satu ruangan, Yayuk bekerja di bagian penjahitan, sedangkan Sri masih bekerja di bagian dasar menggunting bahan dasar. Pekerjaannya tidak begitu sulit bagi Sri.

"Pssst...!" Sri menoleh ke arah Warni. Gadis itu tersenyum sumringah.

"Lihat siapa yang datang." Warni menunjuk dengan lirikan matanya ke arah pintu masuk pabrik. Bos besar mereka yang merangkap sebagai pemilik perusahaan.

"Oh, Pak bos." Sri kembali melanjutkan pekerjaannya.

"Segitu aja ekspresinya?" Warni menatap tak percaya.

"Memang kenapa, War?"

"Enggak sih," jawab Warni hanya cengengesan.

Yang baru saja masuk itu adalah Novan, dia sengaja berkeliling dan memastikan bahwa karyawan baru mampu mengerjakan pekerjaan mereka dengan baik.

Ada beberapa orang yang ditegur olehnya, saat proses pengguntingan tidak teliti dan membuat bahan terbuang sia-sia.

"Gimana ini? Itu bahan terbuang mubazir," sang supervisor bagian pengguntingan ikut merasa tak enak, dia tak mau dianggap tak becus membina anggotanya, sedangkan wanita yang melakukan kesalahan itu hanya bisa mengucapkan berulang kali minta maaf.

"Saya akan lebih hati-hati, Pak."

"Saya akan memantau pekerjaanmu selama tiga hari ini, kalau tak ada kemajuan, terpaksa masa training di pangkas, dan kamu tak bisa bisa melanjutkan menjadi karyawan tetap." Laki-laki yang mendampingi Novan mendengus, sedangkan wanita berusia akhir dua puluhan itu memucat.

Novan terus berjalan, rata-rata dari mereka melakukan pekerjaan dengan baik. Tiba-tiba matanya menangkap sesosok tubuh yang tak bisa mengalihkan perhatiannya. Seorang gadis, dengan wajah bulat telur, rambut panjang yang digelung, serta baju kemeja bewarna merah maroon yang melekat pada tubuh padatnya. Satu kata yang terucap dalam hati Novan, gadis itu sangat cantik.

Dia begitu fokus dengan alat dan bahan di depannya, tanpa peduli krasak-krusuk temannya yang lain yang sedikit heboh karena kedatangan Novan.

Novan berdehem, tersenyum penuh arti dan mendekati gadis yang tak lain adalah Sri.

"Ada kendala?" tegurnya. Sri yang sedang fokus sedikit kaget karena kemunculan Novan secara tiba-tiba.

"Tidak, Pak." Sri menjawab seadanya tanpa menghilangkan kesan ramah. Sungguh, sikap yang sangat natural. Entah kenapa, dada Novan merasakan ada desiran halus saat gadis itu sempat menatap matanya dengan berani.

"Bagus. Oh ya, namamu Sri Rahayu?" Novan melihat name tag yang tersemat di kemeja Sri.

"Panggil Sri saja, Pak."

"Oh, ya. Sri."

"Iya, Pak."

"Kerja yang bagus. Silahkan lanjutkan!"

"Terimakasih, Pak." Sri mengangguk.

Novan akhirnya berlalu, tapi ingatannya tak lepas dari senyum manis gadis itu.

"Sri Rahayu," gumamnya pelan.

"Dia karyawan yang rajin, Pak. Selama seminggu saya mengamati, dia melakukan pekerjaan tanpa kesalahan." Sang supervisor berceloteh dengan bangga.

"Oh ya?" Novan semakin tertarik. Entah kenapa, pandangan pertama, dia langsung jatuh hati pada wanita itu.

***

Aryo mencuci kakinya setelah berkubang lumpur menanam benih. Dia memutuskan untuk istirahat sejenak di pondok tanpa dinding yang berada di tepi sawah. Dia tak sendiri, ada Udin yang juga ikut menanami sawah bersama Aryo.

Mereka membuka bekal masing-masing. Perut mereka keroncongan minta di isi, setelah menanam benih tanpa henti dimulai dari pagi.

"Aku dengar, istrimu diterima bekerja di pabrik, Yo."

"Iya, sudah seminggu. Berkat pertolongan Yayuk."

"Syukurlah! Setidaknya, ekonomi keluarga kalian sedikit terbantu."

"Sebenarnya aku tidak begitu mendukung istriku bekerja, tapi, Sri kayaknya senang dan menikmati. Mungkin dia juga merasa bosan terus saja di rumah."

"Mungkin karena tidak ada kesibukan. Kalau kalian punya anak, pasti Sri lebih betah di rumah."

Aryo terdiam, dia selalu menghindari topik ini. Anak? Siapa yang tak ingin memilikinya, tapi sampai saat ini, Tuhan belum memberi kepercayaan kepada mereka. Entah siapa yang salah, yang jelas mereka tak pernah memeriksakan diri ke dokter spesialis kandungan karena tak ada biaya.

"Maaf, Yo. Aku nggak maksud," Udin tersadar saat melihat perubahan wajah Aryo.

"Tidak apa-apa. Apa yang kau katakan benar."

"Tapi, maaf sebelumnya, Yo. Aku nggak maksud ikut campur urusan rumah tanggamu. Sedikit banyak aku tau tentang Yayuk, dia memang baik, tapi ...."

"Tapi apa?"

"Aku sarankan istrimu jangan terlalu dekat dengan dia."

"Maksudmu?"

"Aduh, aku jadi bergunjing, Yo."

"Katakan saja! Jangan bicara setengah-setengah."

"Yayuk itu, ya, gimana ya ngomongnya, dia agak liar, Yo. Takutnya membawa pengaruh pada istrimu."

Aryo terdiam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status