Share

4

Penulis: Gleoriud
last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-07 19:42:56

"Baju siapa itu, Sri?" Aryo tak bisa menahan rasa ingin tahunya, saat ini istrinya tengah memakai baju yang tak pernah dilihat sebelumnya.

"Punya Yayuk." Sri menatap puas penampilannya, ke arah cermin yang sudah memudar yang terletak di kamar tidur mereka yang kecil.

"Baju itu kelihatan kekecilan."

"Kata Yayuk inj lagi trend saat ini, Mas."

"Mas nggak suka, Sri. Dan rambutmu, bisakah kau gerai saja? Mas merasa terganggu melihat lehermu akan menjadi santapan mata laki-laki lain."

Sri menghela nafas, kemudian berbalik menatap suaminya.

"Mas, penampilan sangat menentukan kualitas diri, Yayuk sudah mengajariku banyak hal. Aku tak ingin terlihat jelek dan kuno, Mas."

Aryo terdiam. Baru seminggu, istrinya itu sudah berubah. Entah kenapa, mulai merasa Sri yang ini bukan Sri yang biasanya.

"Dan Rokmu, apa tak bisa diganti dengan celana panjang?" Aryo merasa terganggu dengan rok ketat di atas lutut itu.

Sri berbalik, dengan wajah lelah.

"Mas, Mas nggak ngerti bagaimana berkerja di perusahaan. Aku tidak mungkin memakai daster rumah dan mengepang rambutku."

"Tapi, Mas ingin kamu mengenakan rok yang lebih panjang."

Sri mengabaikan protes suaminya. Sambil memasang jam tangannya, Sri meninggalkan kamar mereka.

"Maaf ya, Mas. Aku tidak sempat memasak hari ini, aku terburu-buru." Sri berlalu tanpa menunggu jawaban dari Aryo.

***

"Wah! Semakin cantik saja kamu, Sri."   Wawan, dia teman Yayuk. Dipuji begitu, Sri tak mampu menyembunyikan rona di pipinya. Mereka tengah makan siang di kantin kantor.

"Kau tak tau saja, dia ini kembang desa di kampung kami." Yayuk menimpali.

"Oh, pantas saja, oh ya, apa kau sudah punya pacar?"

"O, aku ...." Sri melirik Yayuk.

"Menurutmu apa wanita secantik Sri tak memiliki pacar? Ah! Buang jauh-jauh hayalanmu, laki-laki sepertimu tak pantas untuk Sri."

"Ucapanmu membuatku tersinggung." Wawan melanjutkan makannya. Sedangkan Sri tersenyum canggung.

"Besok ada acara perusahaan." Yayuk mengusap mulutnya.

"Kita ikut?" tanya Sri polos.

"Tentu saja, ini kesempatan kita untuk bersenang-senang. Cuma sekali setahun, jangan di sia-siakan."

Sri menggigit bibirnya. "Aku tak punya baju bagus, Yuk."

"Tenang saja, aku punya banyak gaun kok."

"Syukurlah." Senyum Sri merekah, membuat Wawan seakan mau meneteskan air liurnya.

"Heh, kodok bisa masuk ke mulutmu."  Yayuk memukul lengan Wawan.

Memang, tak ada yang bisa memungkiri kecantikan Sri.

Setelah makan siang bersama di kantin, mereka kembali ke tempat bekerja masing-masing. Yayuk dan Sri tidak berada dalam satu ruangan, Yayuk bekerja di bagian penjahitan, sedangkan Sri masih bekerja di bagian dasar menggunting bahan dasar. Pekerjaannya tidak begitu sulit bagi Sri.

"Pssst...!" Sri menoleh ke arah Warni. Gadis itu tersenyum sumringah.

"Lihat siapa yang datang." Warni menunjuk dengan lirikan matanya ke arah pintu masuk pabrik. Bos besar mereka yang merangkap sebagai pemilik perusahaan.

"Oh, Pak bos." Sri kembali melanjutkan pekerjaannya.

"Segitu aja ekspresinya?" Warni menatap tak percaya.

"Memang kenapa, War?"

"Enggak sih," jawab Warni hanya cengengesan.

Yang baru saja masuk itu adalah Novan, dia sengaja berkeliling dan memastikan bahwa karyawan baru mampu mengerjakan pekerjaan mereka dengan baik.

Ada beberapa orang yang ditegur olehnya, saat proses pengguntingan tidak teliti dan membuat bahan terbuang sia-sia.

"Gimana ini? Itu bahan terbuang mubazir," sang supervisor bagian pengguntingan ikut merasa tak enak, dia tak mau dianggap tak becus membina anggotanya, sedangkan wanita yang melakukan kesalahan itu hanya bisa mengucapkan berulang kali minta maaf.

"Saya akan lebih hati-hati, Pak."

"Saya akan memantau pekerjaanmu selama tiga hari ini, kalau tak ada kemajuan, terpaksa masa training di pangkas, dan kamu tak bisa bisa melanjutkan menjadi karyawan tetap." Laki-laki yang mendampingi Novan mendengus, sedangkan wanita berusia akhir dua puluhan itu memucat.

Novan terus berjalan, rata-rata dari mereka melakukan pekerjaan dengan baik. Tiba-tiba matanya menangkap sesosok tubuh yang tak bisa mengalihkan perhatiannya. Seorang gadis, dengan wajah bulat telur, rambut panjang yang digelung, serta baju kemeja bewarna merah maroon yang melekat pada tubuh padatnya. Satu kata yang terucap dalam hati Novan, gadis itu sangat cantik.

Dia begitu fokus dengan alat dan bahan di depannya, tanpa peduli krasak-krusuk temannya yang lain yang sedikit heboh karena kedatangan Novan.

Novan berdehem, tersenyum penuh arti dan mendekati gadis yang tak lain adalah Sri.

"Ada kendala?" tegurnya. Sri yang sedang fokus sedikit kaget karena kemunculan Novan secara tiba-tiba.

"Tidak, Pak." Sri menjawab seadanya tanpa menghilangkan kesan ramah. Sungguh, sikap yang sangat natural. Entah kenapa, dada Novan merasakan ada desiran halus saat gadis itu sempat menatap matanya dengan berani.

"Bagus. Oh ya, namamu Sri Rahayu?" Novan melihat name tag yang tersemat di kemeja Sri.

"Panggil Sri saja, Pak."

"Oh, ya. Sri."

"Iya, Pak."

"Kerja yang bagus. Silahkan lanjutkan!"

"Terimakasih, Pak." Sri mengangguk.

Novan akhirnya berlalu, tapi ingatannya tak lepas dari senyum manis gadis itu.

"Sri Rahayu," gumamnya pelan.

"Dia karyawan yang rajin, Pak. Selama seminggu saya mengamati, dia melakukan pekerjaan tanpa kesalahan." Sang supervisor berceloteh dengan bangga.

"Oh ya?" Novan semakin tertarik. Entah kenapa, pandangan pertama, dia langsung jatuh hati pada wanita itu.

***

Aryo mencuci kakinya setelah berkubang lumpur menanam benih. Dia memutuskan untuk istirahat sejenak di pondok tanpa dinding yang berada di tepi sawah. Dia tak sendiri, ada Udin yang juga ikut menanami sawah bersama Aryo.

Mereka membuka bekal masing-masing. Perut mereka keroncongan minta di isi, setelah menanam benih tanpa henti dimulai dari pagi.

"Aku dengar, istrimu diterima bekerja di pabrik, Yo."

"Iya, sudah seminggu. Berkat pertolongan Yayuk."

"Syukurlah! Setidaknya, ekonomi keluarga kalian sedikit terbantu."

"Sebenarnya aku tidak begitu mendukung istriku bekerja, tapi, Sri kayaknya senang dan menikmati. Mungkin dia juga merasa bosan terus saja di rumah."

"Mungkin karena tidak ada kesibukan. Kalau kalian punya anak, pasti Sri lebih betah di rumah."

Aryo terdiam, dia selalu menghindari topik ini. Anak? Siapa yang tak ingin memilikinya, tapi sampai saat ini, Tuhan belum memberi kepercayaan kepada mereka. Entah siapa yang salah, yang jelas mereka tak pernah memeriksakan diri ke dokter spesialis kandungan karena tak ada biaya.

"Maaf, Yo. Aku nggak maksud," Udin tersadar saat melihat perubahan wajah Aryo.

"Tidak apa-apa. Apa yang kau katakan benar."

"Tapi, maaf sebelumnya, Yo. Aku nggak maksud ikut campur urusan rumah tanggamu. Sedikit banyak aku tau tentang Yayuk, dia memang baik, tapi ...."

"Tapi apa?"

"Aku sarankan istrimu jangan terlalu dekat dengan dia."

"Maksudmu?"

"Aduh, aku jadi bergunjing, Yo."

"Katakan saja! Jangan bicara setengah-setengah."

"Yayuk itu, ya, gimana ya ngomongnya, dia agak liar, Yo. Takutnya membawa pengaruh pada istrimu."

Aryo terdiam.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bekas Merah di Leher Istriku    84

    "Sah!" Sahutan serempak bergaung di mesjid besar itu. Marisa mengusap air matanya, Sri menangis dan menutup wajahnya sendiri. Bukankah sebuah keajaiban? Hatinya yang awalnya beku luluh karena kegigihan Briyan. Pria itu tak mau mundur sedikit pun, bahkan semakin maju menggapai cinta Sri walaupun ditolak berkali-kali.Sifat Briyan selama bertolak belakang dengan Aryo yang melepaskannya tanpa berpikir dua kali. Mereka memang terlahir dari rahim yang sama, wajah yang sama, tapi nasib yang berbeda serta sikap yang berbeda pula.Ini untuk yang ke-tiga kalinya dia pernah melalui momen ini, dan kali ini pula rasanya Sri masih tak percaya. Ada banyak rasa yang dirasakannya. Sedih, bahagia, haru dan seperti mimpi. Sri terkesiap saat kepalanya diusap lembut, dia menemukan seorang pria tampan dengan wajah teduh dan menenangkan. Wajah itu, yang akan menjadi imam di sisa hidupnya."Ayo! Cium tangan suamimu!"bisik Marisa. Sri tergagap, kemudian dia menyambut uluran tangan Briyan dan membawa ke waj

  • Bekas Merah di Leher Istriku    83

    Teruntuk Marisa istrikuApa kabar Marisa? Aku melihatmu terus dari kejauhan saat kau telah menjadi bintang yang tak mungkin lagi aku raih. Tuhan maha adil dengan segala kuasa-Nya. Memberikan derajat yang tinggi padamu, dan memberikan hukuman yang berat padaku.Apakah dayaku, Marisa. Sejak kepergianmu puluhan tahun silam, saat itu juga hatiku hancur dan menghabiskan malam-malam dengan mabuk minuman keras. Saat kau tak ada, aku merasa benar-benar kehilangan. Aku sudah mencarimu waktu itu untuk meminta maaf, ingin memulai kembali pernikahan yang indah dan penuh maaf. Tapi, kau benar-benar pergi, Marisa.Takdirku tak berhenti begitu saja, aku hancur, terbuang dan menjadi gelandangan. Berbagai penyakit menggerogotiku, jantung dan diabetes serta darah tinggi.Aku tau Marisa, takkan ada maaf untukku lagi, namun di punghujung nafasku, aku ingin meminta maaf kepadamu, aku tak mau mati dengan beban penyesalan yang tak berkesudahan. Andaikan waktu bisa diulang Marisa, aku ingin kita kembali ke m

  • Bekas Merah di Leher Istriku    82

    Briyan masih bertahan di posisinya berdiri bahkan setelah Hans berlalu dan lebih dulu masuk rumah. Dia sempat mengangguk sekilas pada wanita cantik yang memakai kebaya hijau muda dan rambut disanggul rapi. Briyan yakin, itulah yang namanya Marisa."Wah, cantik-cantik bunga majikanmu," puji Briyan, hatinya senang sekali saat ini. Sri terlihat biasa saja, tak berniat meluruskan. Dia menggulung selang air kembali dan meletakan pada sebuah wadah yang telah disediakan."Aneh, kamu meninggalkan pekerjaan sebagai menejer demi menjadi pembantu? Kalau begitu bekerja di rumahku saja, setelah ijab qobul." Briyan tersenyum konyol.Sri tak terpengaruh dengan lelucon itu. Biar saja Briyan tau sendiri, supaya laki-laki itu sedikit syok."Kau tinggal di mana?""Di sini!""Ibumu?""Di sini juga," jawab Sri sambil mencuci tangannya."Wah, baik sekali Nyonya Marisa memperbolehkan pembantu tinggal di sini bersama ibunya. Pantas saja Hans memujinya. Jarang-jarang ada orang sebaik itu.""Bapak masuklah dul

  • Bekas Merah di Leher Istriku    81

    Mata sendu itu masih terbuka, ada lelah yang tak bisa dijabarkan di sana. Pada hakikatnya dia adalah pria rupawan yang kesepian. Dulu, sebelum dia tau bahwa dia hanyalah anak angkat, dia sering bertanya pada Hans, "di mana ibu?", dan Hans hanya memberikan senyum hangat tanpa memberi penjelasan.Terkadang dia iri dengan teman-temannya di sekolah, yang bergayut manja digendong oleh ibu mereka. Atau, saat acara piknik bersama keluarga, hanya tendanya dan Hans yang paling sedikit isinya."Dad, ini tidak seru," kata Briyan kecil sambil meletakkan gitar mainannya. Teman-temannya berlarian dengan adik atau kakak mereka, atau ada yang membantu ibunya menyiapkan makan malam, sementara di tenda mereka, Hans sibuk dengan majalah bisnis. Mereka tengah piknik acara sekolah, namun Hans tetap saja bekerja."Tidurlah! Atau bermain dengan temanmu yang lain!"Briyan kecil cemberut, mata bulatnya menatap bosan ke luar tenda miliknya, lampu-lampu taman menerangi tenda-tenda yang berjarak kisaran empat me

  • Bekas Merah di Leher Istriku    80

    Sakit itu, sebuah musuh yang tak berwujud tapi mematikan. Dia mengendap begitu dalam, tak bisa diobati, tak bisa ditawar, hanya bisa menggerogoti jiwa yang penuh putus asa dan semakin melemah. Tak terperi, rasa sakit yang dirasakan Briyan seakan bisa membuatnya mati. Begitu hancurnya dia ketika mengetahui kenyataan yang tak ada kenyataan bahagia sedikit saja di masa lalunya. Andaikan pria tua lumpuh itu tidak dalam keadaan cacat, tentu Briyan telah menghajarnya sampai hatinya puas, tapi, laki-laki tua yang Briyan berat mengakui sebagai kakeknya itu, tak lebih dari seonggok daging hidup yang tak mengerti. Dia lumpuh dan depresi. Dan Briyan tau, orang gila tidak bisa diajak berbicara.Seusai menemui Adhiwijaya, Briyan memacu mobilnya seperti orang kesetanan. Dia tak peduli dengan sumpah serapah serta umpatan kasar orang yang disalip secara ugal-ugalan.Wajah pria tampan itu memerah. Matanya masih basah, urat-urat bertonjolan di sepanjang lehernya.Ini sakit, apa yang lebih menyakitkan d

  • Bekas Merah di Leher Istriku    79

    Bolehkah dia menangis dan meraung sekuat tenaga? Andaikan dia tak bersikeras menyelidiki tentang dirinya, tentu rasanya tidak akan sesakit ini. Pada dasarnya dia hanyalah anak yang dibuang untuk menghilangkan malu. Lalu, apa yang benar-benar dimilikinya di dunia ini, tak ada selain nyawanya sendiri."Maafkan aku! Ampuni aku! Aku ikut membantu Adhiwijaya membuang kalian karena terpaksa, aku mohon! Ampuni aku!" Laki-laki tua itu bersimpuh dan terisak di depan Briyan, hilang sudah ketegasan dan kegagahan yang dia perlihatkan beberapa saat yang lalu. Dia terlihat menyedihkan dengan bersimpuh di kaki orang yang lebih muda pada dirinya."Katakan apa saja yang engkau ketahui, Pak! Aku ingin mendengar langsung dari mulutmu. Aku akan mengampunimu jika kau berkata jujur!" jawab Briyan dingin. Nafasnya, sesak dan seakan jantungnya ingin meledak Manahan marah.Danu bangkit, mengusap air mata dengan sapu tangan yang disimpan di balik jasnya, sedangkan Adhiwijaya memperhatikan mereka dengan tatapan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status