"Baju siapa itu, Sri?" Aryo tak bisa menahan rasa ingin tahunya, saat ini istrinya tengah memakai baju yang tak pernah dilihat sebelumnya.
"Punya Yayuk." Sri menatap puas penampilannya, ke arah cermin yang sudah memudar yang terletak di kamar tidur mereka yang kecil."Baju itu kelihatan kekecilan.""Kata Yayuk inj lagi trend saat ini, Mas.""Mas nggak suka, Sri. Dan rambutmu, bisakah kau gerai saja? Mas merasa terganggu melihat lehermu akan menjadi santapan mata laki-laki lain."Sri menghela nafas, kemudian berbalik menatap suaminya."Mas, penampilan sangat menentukan kualitas diri, Yayuk sudah mengajariku banyak hal. Aku tak ingin terlihat jelek dan kuno, Mas."Aryo terdiam. Baru seminggu, istrinya itu sudah berubah. Entah kenapa, mulai merasa Sri yang ini bukan Sri yang biasanya."Dan Rokmu, apa tak bisa diganti dengan celana panjang?" Aryo merasa terganggu dengan rok ketat di atas lutut itu.Sri berbalik, dengan wajah lelah."Mas, Mas nggak ngerti bagaimana berkerja di perusahaan. Aku tidak mungkin memakai daster rumah dan mengepang rambutku.""Tapi, Mas ingin kamu mengenakan rok yang lebih panjang."Sri mengabaikan protes suaminya. Sambil memasang jam tangannya, Sri meninggalkan kamar mereka."Maaf ya, Mas. Aku tidak sempat memasak hari ini, aku terburu-buru." Sri berlalu tanpa menunggu jawaban dari Aryo.***"Wah! Semakin cantik saja kamu, Sri." Wawan, dia teman Yayuk. Dipuji begitu, Sri tak mampu menyembunyikan rona di pipinya. Mereka tengah makan siang di kantin kantor."Kau tak tau saja, dia ini kembang desa di kampung kami." Yayuk menimpali."Oh, pantas saja, oh ya, apa kau sudah punya pacar?""O, aku ...." Sri melirik Yayuk."Menurutmu apa wanita secantik Sri tak memiliki pacar? Ah! Buang jauh-jauh hayalanmu, laki-laki sepertimu tak pantas untuk Sri.""Ucapanmu membuatku tersinggung." Wawan melanjutkan makannya. Sedangkan Sri tersenyum canggung."Besok ada acara perusahaan." Yayuk mengusap mulutnya."Kita ikut?" tanya Sri polos."Tentu saja, ini kesempatan kita untuk bersenang-senang. Cuma sekali setahun, jangan di sia-siakan."Sri menggigit bibirnya. "Aku tak punya baju bagus, Yuk.""Tenang saja, aku punya banyak gaun kok.""Syukurlah." Senyum Sri merekah, membuat Wawan seakan mau meneteskan air liurnya."Heh, kodok bisa masuk ke mulutmu." Yayuk memukul lengan Wawan.Memang, tak ada yang bisa memungkiri kecantikan Sri.Setelah makan siang bersama di kantin, mereka kembali ke tempat bekerja masing-masing. Yayuk dan Sri tidak berada dalam satu ruangan, Yayuk bekerja di bagian penjahitan, sedangkan Sri masih bekerja di bagian dasar menggunting bahan dasar. Pekerjaannya tidak begitu sulit bagi Sri."Pssst...!" Sri menoleh ke arah Warni. Gadis itu tersenyum sumringah."Lihat siapa yang datang." Warni menunjuk dengan lirikan matanya ke arah pintu masuk pabrik. Bos besar mereka yang merangkap sebagai pemilik perusahaan."Oh, Pak bos." Sri kembali melanjutkan pekerjaannya."Segitu aja ekspresinya?" Warni menatap tak percaya."Memang kenapa, War?""Enggak sih," jawab Warni hanya cengengesan.Yang baru saja masuk itu adalah Novan, dia sengaja berkeliling dan memastikan bahwa karyawan baru mampu mengerjakan pekerjaan mereka dengan baik.Ada beberapa orang yang ditegur olehnya, saat proses pengguntingan tidak teliti dan membuat bahan terbuang sia-sia."Gimana ini? Itu bahan terbuang mubazir," sang supervisor bagian pengguntingan ikut merasa tak enak, dia tak mau dianggap tak becus membina anggotanya, sedangkan wanita yang melakukan kesalahan itu hanya bisa mengucapkan berulang kali minta maaf."Saya akan lebih hati-hati, Pak.""Saya akan memantau pekerjaanmu selama tiga hari ini, kalau tak ada kemajuan, terpaksa masa training di pangkas, dan kamu tak bisa bisa melanjutkan menjadi karyawan tetap." Laki-laki yang mendampingi Novan mendengus, sedangkan wanita berusia akhir dua puluhan itu memucat.Novan terus berjalan, rata-rata dari mereka melakukan pekerjaan dengan baik. Tiba-tiba matanya menangkap sesosok tubuh yang tak bisa mengalihkan perhatiannya. Seorang gadis, dengan wajah bulat telur, rambut panjang yang digelung, serta baju kemeja bewarna merah maroon yang melekat pada tubuh padatnya. Satu kata yang terucap dalam hati Novan, gadis itu sangat cantik.Dia begitu fokus dengan alat dan bahan di depannya, tanpa peduli krasak-krusuk temannya yang lain yang sedikit heboh karena kedatangan Novan.Novan berdehem, tersenyum penuh arti dan mendekati gadis yang tak lain adalah Sri."Ada kendala?" tegurnya. Sri yang sedang fokus sedikit kaget karena kemunculan Novan secara tiba-tiba."Tidak, Pak." Sri menjawab seadanya tanpa menghilangkan kesan ramah. Sungguh, sikap yang sangat natural. Entah kenapa, dada Novan merasakan ada desiran halus saat gadis itu sempat menatap matanya dengan berani."Bagus. Oh ya, namamu Sri Rahayu?" Novan melihat name tag yang tersemat di kemeja Sri."Panggil Sri saja, Pak.""Oh, ya. Sri.""Iya, Pak.""Kerja yang bagus. Silahkan lanjutkan!""Terimakasih, Pak." Sri mengangguk.Novan akhirnya berlalu, tapi ingatannya tak lepas dari senyum manis gadis itu."Sri Rahayu," gumamnya pelan."Dia karyawan yang rajin, Pak. Selama seminggu saya mengamati, dia melakukan pekerjaan tanpa kesalahan." Sang supervisor berceloteh dengan bangga."Oh ya?" Novan semakin tertarik. Entah kenapa, pandangan pertama, dia langsung jatuh hati pada wanita itu.***Aryo mencuci kakinya setelah berkubang lumpur menanam benih. Dia memutuskan untuk istirahat sejenak di pondok tanpa dinding yang berada di tepi sawah. Dia tak sendiri, ada Udin yang juga ikut menanami sawah bersama Aryo.Mereka membuka bekal masing-masing. Perut mereka keroncongan minta di isi, setelah menanam benih tanpa henti dimulai dari pagi."Aku dengar, istrimu diterima bekerja di pabrik, Yo.""Iya, sudah seminggu. Berkat pertolongan Yayuk.""Syukurlah! Setidaknya, ekonomi keluarga kalian sedikit terbantu.""Sebenarnya aku tidak begitu mendukung istriku bekerja, tapi, Sri kayaknya senang dan menikmati. Mungkin dia juga merasa bosan terus saja di rumah.""Mungkin karena tidak ada kesibukan. Kalau kalian punya anak, pasti Sri lebih betah di rumah."Aryo terdiam, dia selalu menghindari topik ini. Anak? Siapa yang tak ingin memilikinya, tapi sampai saat ini, Tuhan belum memberi kepercayaan kepada mereka. Entah siapa yang salah, yang jelas mereka tak pernah memeriksakan diri ke dokter spesialis kandungan karena tak ada biaya."Maaf, Yo. Aku nggak maksud," Udin tersadar saat melihat perubahan wajah Aryo."Tidak apa-apa. Apa yang kau katakan benar.""Tapi, maaf sebelumnya, Yo. Aku nggak maksud ikut campur urusan rumah tanggamu. Sedikit banyak aku tau tentang Yayuk, dia memang baik, tapi ....""Tapi apa?""Aku sarankan istrimu jangan terlalu dekat dengan dia.""Maksudmu?""Aduh, aku jadi bergunjing, Yo.""Katakan saja! Jangan bicara setengah-setengah.""Yayuk itu, ya, gimana ya ngomongnya, dia agak liar, Yo. Takutnya membawa pengaruh pada istrimu."Aryo terdiam.Aryo tak berhenti melihat ke ujung jalan, azan Maghrib sudah selesai lima belas menit yang lalu, namun Sri belum juga pulang. Aryo akhirnya memutuskan keluar dari pondok, menyusul istrinya sampai jalan besar, melewati pematang sawah yang diterangi oleh lampu pijar yang di gantung di atas tiang bambu untuk menerangi jalan.Tidak jauh, kira-kira seratus meter dia sudah sampai di jalan desa. Deru motor mengalihkan perhatian Aryo, tidak salah lagi, itu motor Yayuk dan dibelakang gadis itu adalah istrinya.Motor berhenti tepat di depan Aryo. Mata Aryo terlihat membelalak, rahangnya mengeras. "Makasih ya, Yuk. Aku cukup senang hari ini." Sri turun dari motor Yayuk, agak kewalahan membawa barang belanjaan di tangannya. Yayuk mengangguk, dan melirik Aryo sekilas."Mas?""Kenapa rambutmu, Dek?"Sri agak tergagap, dia meraba rambutnya. Memang, sepulang bekerja mereka singgah ke salon, Yayuk mengatakan kalau rambut Sri tak bermodel, jadi dia menyarankan Sri untuk memotongnya dan langsung di iya
Aryo menghisap rokoknya dalam. Sudah jam sebelas malam, berulang kali dia berusaha merebahkan dirinya di tempat tidur dan memejamkan matanya, namun tak bisa membuatnya tertidur. Ranjang tanpa Sri adalah hal yang begitu aneh. Akhirnya dia memutuskan untuk keluar pondok, menyalakan rokok. Matanya memandang langit malam yang ditaburi bintang, seakan mengejek dirinya yang tengah kesepian.Tentu Sri saat ini sedang bersenang-senang dengan rekan kerjanya. Bagiamana pun, Sri adalah wanita pada umumnya, yang suka pesta, pakaian bagus dan makanan enak. Beberapa hal yang belum pernah diberikan untuk istrinya itu.Sri dan dia bernasib sama. Sama-sama yatim piatu sejak kecil. Sama-sama miskin dan terbiasa akan kesusahan hidup. Dua hal itu yang membuat dia dan Sri terasa cocok. Namun, hati Aryo mulai meragu, seminggu ini istrinya itu banyak berubah. Sri mulai berdandan seperti orang kota, mulai berbicara ini itu yang berkaitan dengan perusahaan yang bahkan tak dimengerti oleh Aryo. Terkadang, Ary
Sri dan Yayuk sudah siap dengan tas mereka masing-masing. Hari ini hari Minggu, tentu saja mereka bisa menghabiskan waktu di rumah masing-masing. Sri tidak memiliki rencana apa-apa hari ini, yang dia butuhkan adalah tidur, mungkin karena tak terbiasa tidur dengan AC, dia merasa tubuhnya meriang.Sri baru saja menerima helm dari Yayuk, ketika mereka dikejutkan dengan suara klakson mobil di samping mereka."Mobil Pak Bos tuh!" Yayuk menunjuk dengan dagunya.Benar, Novan menurunkan kaca mobil, tersenyum hangat pada Sri."Ayo, Sri! Saya antar.""Eh?! Nggak usah, Pak. Saya sama Yayuk saja.""Pergi sana!" Yayuk malah mendorong bahu Sri, dan dapat hadiah pelototan."Kamu tak keberatan pulang sendiri kan, Yuk?" tanya Novan."Ya enggaklah Pak. Lagian saya ada keperluan juga ke rumah saudara. Duluan ya, Sri." Tanpa menunggu Sri, Yayuk sudah kabur duluan dengan motornya.Tinggal Sri yang kebingungan."Cepat masuk! Orang akan semakin curiga melihat kamu." Novan membantu membuka pintu, Sri bagaika
Sampai menjelang sore, Aryo dan Sri masih belum bertegur sapa, bahkan Aryo tak menyuruhnya membuat kopi seperti biasa. Memang, Sri belum sempat memasak hari ini, dia lebih banyak menghabiskan waktu di tempat tidur. Dia tak mencegah Aryo pergi ke pasar dengan motornya, membawa beberapa ikat sayur dan beberapa jenis lauk.Bahkan Aryo tak menunggu semua bahan mentah itu diolah oleh Sri, dia mengerjakan sendiri, membersihkan ikan dan memasaknya. Bahkan makan sendiri tanpa menunggu dihidangkan.Sri tau, Aryo tengah mengabaikannya. Suaminya itu, jika sudah marah akan mengunci mulutnya dan takkan menatapnya sama sekali. Sri pun sedang tidak mood untuk memberi penjelasan.Namun, sudah menunggu beberapa lama, Sri mulai jenuh diabaikan."Mas," Sri mendekati Aryo yang tengah melahap nasi di depannya. Dia tak menyahut, hanya memandang Sri sekilas, kemudian kembali dengan aktifitas makan siangnya walaupun ini sudah sore."Mas masih marah sama aku?""Kamu sudah dewasa, bisa menyimpulkan sendiri, ap
Sri hanya melongo menerima sebuah kotak yang tak tau apa isinya itu, Yayuk sengaja menghampirinya pas makan siang di kantin."Nih, ada titipan." Yayuk mencomot kentang goreng milik Sri. Kening Sri berkerut."Apa ini, Yuk?""Nggak tau, buka saja.""Siapa yang ngasih?""Pak Bos." Yayuk sedikit berbisik. "Aku mau ke meja yang di sana dulu ya," Yayuk bangkit. Sri mengangguk.Sejenak, Sri mengamati kotak yang dibungkus dengan kertas kado bewarna pink itu. Kemudian, dia membukanya hati-hati, mata Sri membola, sebuah Smartphone model terbaru. Mata Sri juga menangkap secarik kertas yang ditulis begitu rapi."Aku rasa, kamu butuh ponsel baru, karena ponsel lipatmu sepertinya sudah tak layak pakai. Tidak usah berterimakasih, karena aku hanya ingin kau mau ku antar pulang setelah bekerja. Novan."Sri buru-buru melipat kertas itu kembali, kemudian menyelipkan di dalam tas hitamnya. Tas itu juga diberikan Novan tiga hari yang lalu. Sri membuka segel kotak tersebut, kemudian tersenyum sumringah m
Sri baru sampai di pondok setelah azan Maghrib. Sudah tiga hari berturut-turut dia diantarkan oleh Novan setiap kali pulang bekerja. Sejauh ini, dalam pikiran Sri, Novan adalah laki-laki yang baik dan ramah. Dia tidak seperti orang kaya pada umumnya, Novan tidak sombong, dia tak membedakan status sosial karyawannya. Dan diakui oleh Sri, dia mulai merasa nyaman dan kagum akan kerendahan hati bosnya itu.Seperti biasa, dia mendapati Aryo yang duduk di kursi kayu setiap kali dia pulang. Aryo masih memakai sarung dan peci, serta Al-Qur'an di tangannya. Aryo terbiasa menunggu Azan isya dengan membaca Al-Qur'an. Begitu juga dengan Sri dulu, kebiasaan itu telah berlangsung sejak mereka menikah. Setelah mereka shalat berjamaah, mereka akan tadarus bersama.Akan tetapi semenjak bekerja, Sri tak sempat melakukan itu. Tenaganya terkuras bekerja di pabrik, setiap hari Sri harus menyelesaikan target pekerjaannya.akhir-akhir ini, setelah mandi dan makan malam masakan yang dimasak Aryo, dia biasany
"Mau pesan apa?" tanya Novan sambil menyodorkan buku menu ke hadapan Sri. Wanita cantik itu tersenyum canggung, bahkan tak satu pun menu yang ada di buku itu yang dipahaminya. Isinya berbahasa Inggris semua."Saya sama kayak Pak Novan aja.""Oh, gitu ya? Oke." Novan mengamati menu itu satu persatu. Siang ini Novan sengaja mengajak Sri makan siang bersama, memang ini bukan pertama kalinya. Novan sekarang sedang gencar-gencarnya mendekati Sri. Sebuah kebahagiaan tersendiri baginya jika berdekatan dengan gadis lugu itu."Pak, sebenarnya saya merasa tak enak diajak makan siang dan diantar pulang. Orang-orang mulai heboh menggunjingkan saya. Dibilang saya wanita penggoda." Sri menyampaikan unek-unek dalam hatinya. Sebenarnya, dalam hatinya ada kenyamanan tersendiri setiap Novan memberi perhatian khusus padanya. "Santai saja, Sri. Tak semuanya harus dipikirin, orang akan berhenti ngomong kalau udah capek. Oh ya, boleh aku bertamu ke rumahmu, Sri. Ingin silaturrahmi dengan orangtuamu."Sri
Hujan turun makin deras, menyapa rumput yang tumbuh di sekitar pondok. Air yang mengalir di saluran irigasi bewarna kecoklatan dan keruh, bahkan melimpah masuk ke dalam sawah.Di dalam pondok, seorang wanita cantik jelita tengah memandang ujung jalan dengan gelisah, lampu lima Watt menerangi jalan setapak yang biasa mereka lalui setiap menuju jalan desa.Wanita itu adalah Sri, ketika dia pulang, dia mendapati pondok dalam keadaan gelap gulita, biasanya Aryo sudah duduk di kursi rotan sambil mengaji dan ditemani segelas kopi. Tapi, malam ini, suaminya itu tak ada di pondok."Kemana kamu, Mas?" Sri menggigit kukunya gelisah. Ini sudah jam delapan malam, bahkan suaminya itu tak pernah pulang ke pondok seterlambat ini.Seharusnya Sri membelikan suaminya itu handphone, sehingga dia tak perlu kebingungan.Benda pipih yang dinamakan ponsel pintar milik Sri bergetar. Novan, memanggilnya."Halo, Pak?""Hai, kok masih panggil "pak"?""Eh, iya. Mas." Sri tersenyum canggung."Udah di rumah kan? T