Share

6

Aryo menghisap rokoknya dalam. Sudah jam sebelas malam, berulang kali dia berusaha merebahkan dirinya di tempat tidur dan memejamkan matanya, namun tak bisa membuatnya tertidur. Ranjang tanpa Sri adalah hal yang begitu aneh. Akhirnya dia memutuskan untuk keluar pondok, menyalakan rokok. Matanya memandang langit malam yang ditaburi bintang, seakan mengejek dirinya yang tengah kesepian.

Tentu Sri saat ini sedang bersenang-senang dengan rekan kerjanya. Bagiamana pun, Sri adalah wanita pada umumnya, yang suka pesta, pakaian bagus dan makanan enak. Beberapa hal yang belum pernah diberikan untuk istrinya itu.

Sri dan dia bernasib sama. Sama-sama yatim piatu sejak kecil. Sama-sama miskin dan terbiasa akan kesusahan hidup. Dua hal itu yang membuat dia dan Sri terasa cocok.

Namun, hati Aryo mulai meragu, seminggu ini istrinya itu banyak berubah. Sri mulai berdandan seperti orang kota, mulai berbicara ini itu yang berkaitan dengan perusahaan yang bahkan tak dimengerti oleh Aryo. Terkadang, Aryo sedikit menyesali keputusan telah mengizinkan istrinya itu bekerja. Ditambah lagi dengan omongan Udin yang berkaitan dengan Yayuk.

Akan tetapi, Aryo meyakini dalam hati, Sri adalah wanita yang baik. Dia takkan mungkin berubah secepat itu, mungkin benar, perubahan Sri adalah tuntutan perusahaan. Aryo berulang kali meyakinkan dirinya.

Aryo kemudian bangkit, hati ini dia diberikan rezeki tidak terduga walaupun bukan berupa uang. Dia dipanggil Pak Maman datang ke rumahnya. Entah angin dari mana, Pak Maman memberinya motor, walaupun bukan motor baru, bahkan ini motor tua yang umurnya entah berapa. Akan tetapi kondisinya terawat dan cukup bagus, kata Pak Maman, banyak kenangan di motor ini. Beliau memberikannya karena punya motor lain, dan motor ini tidak terpakai.

Aryo mengelus motor tua itu dengan tersenyum, sudah lama dia ingin memiliki kendaraan sendiri, tapi apa daya, pekerjaannya sebagai buruh tani hanya bisa menghasilkan uang untuk makan.

Aryo tersenyum, dia tak sabar menunggu kepulangan Sri dan menunjukkannya pada istrinya itu. Pasti Sri akan sangat senang.

***

Yayuk menyipit memandang Sri saat ada benda asing yang melingkar di lehernya, padahal benda mahal itu tak ada sebelumnya di sana.

Mereka berada di kamar yang sama. Sri baru selesai mandi, sambil mengeringkan rambutnya dia melirik Yayuk.

"Ada apa, Yuk?"

"Apa saja yang kalian bicarakan tadi?"

"Tidak banyak. Pak Bos hanya menanyakan aku berasal dari mana?

"Serius? Itu yang ada di lehermu?"

"Oh, ini? Katanya hadiah."

Yayuk semakin menyipitkan matanya.

"Kau tak memberi tahu statusmu kan?"

Sri menggeleng, "Bukannya kau melarang aku mengatakannya."

"Bagus." Yayuk tersenyum puas.

"Tapi, terkadang aku merasa ini tidak benar, Yuk. Aku merasa menghianati Mas Aryo. Bagaimana pun aku sudah menikah."

"Dan jika kau katakan kau sudah menikah, tamatlah riwayatmu."

"Apa benar, menikah atau tidak berpengaruh di sini?"

"Ya, tentu saja." Yayuk berusaha meyakinkan, dan bodohnya Sri percaya begitu saja.

"Oh ya Sri. Kok kamu mau sih nikah sama Aryo? Padahal dengan kecantikanmu, kau bisa mendapatkan pria kaya dan hidupmu menjadi enak."

Sri tersenyum.

"Mas Aryo itu laki-laki yang sangat baik. Dia sabar dan pengertian, itulah yang membuatku jatuh cinta padanya."

"Tapi zaman sekarang, cinta saja tidak cukup. Tas bermerek tak bisa dibeli dengan cinta."

"Tapi, kami bahagia."

"Ya, syukurlah!" Yayuk tak tertarik lagi untuk melanjutkan. Dia kemudian merebahkan tubuhnya membelakangi Sri.

***

Gadis itu menunggu tak sabar anak kecil yang tengah berlari ke arahnya. Perasaan berdebar itu tak bisa dienyahkan. Batu saja dia melakukan hal gila, mengirim surat cinta pada laki-laki. Harga dirinya tergadai sudah.

"Gimana?" Gadis yang tak lain adalah Yayuk itu menyeret anak kecil di depannya.

Anak perempuan itu menggeleng.

"Suratnya dikembalikan lagi, Kak."

"Apa?" Yayuk melotot tak percaya.

"Kata Mas itu, bawa lagi suratnya, ya sudah, itu makanya di bawa lagi."

"Dia tak bertanya suratnya dari siapa?"

"Nanya, Kak. Aku bilang dari Kak Yayuk."

"Terus?"

"Dia bilang nggak kenal, terus disuruh kembalikan lagi."

Yayuk merasa harga dirinya jatuh ke dasar jurang, dia meremas surat itu, semalaman dia tak tidur dan menulis berulang-ulang, menyampaikan cintanya yang belum kesampaian. Dan seenaknya laki-laki itu mengembalikan suratnya tanpa tertarik membacanya? Ini sudah keterlaluan.

Selama ini tak ada yang mengabaikannya, dia primadona desa dan ayahnya adalah seorang lurah. Dia di puja di mana saja, di sekolah atau pun di kampungnya. Dia tak pernah tertarik pada laki-laki lain, hanya pada anak itu, si yatim piatu Aryo.

Apa katanya? Dia tak mengenal Yayuk? Laki-laki mana yang tak mengenalnya, bahkan pemuda-pemuda di desa tetangga sangat memujanya.

Sejak saat itu, Yayuk bertekad, akan membalas penghinaan yang telah dilakukan Aryo padanya.

Yayuk menghela nafas berat, dia yakin Sri sudah masuk ke alam mimpinya. Rasanya begitu menyedihkan, bahkan perasaan cinta pada Aryo tak bisa dibasmi walaupun sudah berlalu bertahun-tahun. Hal itu yang membuatnya tak kunjung menikah bahkan di usianya yang ke dua puluh enam tahun. Dia belum bisa membuka hatinya untuk laki-laki lain. Bahkan walau hanya berpapasan singkat kemaren sore, Yayuk masih merasa dentuman itu begitu kuat di dalam dadanya. Walaupun Aryo sama sekali tak menoleh ke arahnya.

Yayuk mencintai Aryo, jauh sebelum Sri mencintainya. Tapi, dalam hal ini, ternyata Sri lebih beruntung, dia mampu mengikat Aryo dalam pernikahan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status