Aryo menghisap rokoknya dalam. Sudah jam sebelas malam, berulang kali dia berusaha merebahkan dirinya di tempat tidur dan memejamkan matanya, namun tak bisa membuatnya tertidur. Ranjang tanpa Sri adalah hal yang begitu aneh. Akhirnya dia memutuskan untuk keluar pondok, menyalakan rokok. Matanya memandang langit malam yang ditaburi bintang, seakan mengejek dirinya yang tengah kesepian.
Tentu Sri saat ini sedang bersenang-senang dengan rekan kerjanya. Bagiamana pun, Sri adalah wanita pada umumnya, yang suka pesta, pakaian bagus dan makanan enak. Beberapa hal yang belum pernah diberikan untuk istrinya itu.Sri dan dia bernasib sama. Sama-sama yatim piatu sejak kecil. Sama-sama miskin dan terbiasa akan kesusahan hidup. Dua hal itu yang membuat dia dan Sri terasa cocok.Namun, hati Aryo mulai meragu, seminggu ini istrinya itu banyak berubah. Sri mulai berdandan seperti orang kota, mulai berbicara ini itu yang berkaitan dengan perusahaan yang bahkan tak dimengerti oleh Aryo. Terkadang, Aryo sedikit menyesali keputusan telah mengizinkan istrinya itu bekerja. Ditambah lagi dengan omongan Udin yang berkaitan dengan Yayuk.Akan tetapi, Aryo meyakini dalam hati, Sri adalah wanita yang baik. Dia takkan mungkin berubah secepat itu, mungkin benar, perubahan Sri adalah tuntutan perusahaan. Aryo berulang kali meyakinkan dirinya.Aryo kemudian bangkit, hati ini dia diberikan rezeki tidak terduga walaupun bukan berupa uang. Dia dipanggil Pak Maman datang ke rumahnya. Entah angin dari mana, Pak Maman memberinya motor, walaupun bukan motor baru, bahkan ini motor tua yang umurnya entah berapa. Akan tetapi kondisinya terawat dan cukup bagus, kata Pak Maman, banyak kenangan di motor ini. Beliau memberikannya karena punya motor lain, dan motor ini tidak terpakai.Aryo mengelus motor tua itu dengan tersenyum, sudah lama dia ingin memiliki kendaraan sendiri, tapi apa daya, pekerjaannya sebagai buruh tani hanya bisa menghasilkan uang untuk makan.Aryo tersenyum, dia tak sabar menunggu kepulangan Sri dan menunjukkannya pada istrinya itu. Pasti Sri akan sangat senang.***Yayuk menyipit memandang Sri saat ada benda asing yang melingkar di lehernya, padahal benda mahal itu tak ada sebelumnya di sana.Mereka berada di kamar yang sama. Sri baru selesai mandi, sambil mengeringkan rambutnya dia melirik Yayuk."Ada apa, Yuk?""Apa saja yang kalian bicarakan tadi?""Tidak banyak. Pak Bos hanya menanyakan aku berasal dari mana?"Serius? Itu yang ada di lehermu?""Oh, ini? Katanya hadiah."Yayuk semakin menyipitkan matanya."Kau tak memberi tahu statusmu kan?"Sri menggeleng, "Bukannya kau melarang aku mengatakannya.""Bagus." Yayuk tersenyum puas."Tapi, terkadang aku merasa ini tidak benar, Yuk. Aku merasa menghianati Mas Aryo. Bagaimana pun aku sudah menikah.""Dan jika kau katakan kau sudah menikah, tamatlah riwayatmu.""Apa benar, menikah atau tidak berpengaruh di sini?""Ya, tentu saja." Yayuk berusaha meyakinkan, dan bodohnya Sri percaya begitu saja."Oh ya Sri. Kok kamu mau sih nikah sama Aryo? Padahal dengan kecantikanmu, kau bisa mendapatkan pria kaya dan hidupmu menjadi enak."Sri tersenyum."Mas Aryo itu laki-laki yang sangat baik. Dia sabar dan pengertian, itulah yang membuatku jatuh cinta padanya.""Tapi zaman sekarang, cinta saja tidak cukup. Tas bermerek tak bisa dibeli dengan cinta.""Tapi, kami bahagia.""Ya, syukurlah!" Yayuk tak tertarik lagi untuk melanjutkan. Dia kemudian merebahkan tubuhnya membelakangi Sri.***Gadis itu menunggu tak sabar anak kecil yang tengah berlari ke arahnya. Perasaan berdebar itu tak bisa dienyahkan. Batu saja dia melakukan hal gila, mengirim surat cinta pada laki-laki. Harga dirinya tergadai sudah."Gimana?" Gadis yang tak lain adalah Yayuk itu menyeret anak kecil di depannya.Anak perempuan itu menggeleng."Suratnya dikembalikan lagi, Kak.""Apa?" Yayuk melotot tak percaya."Kata Mas itu, bawa lagi suratnya, ya sudah, itu makanya di bawa lagi.""Dia tak bertanya suratnya dari siapa?""Nanya, Kak. Aku bilang dari Kak Yayuk.""Terus?""Dia bilang nggak kenal, terus disuruh kembalikan lagi."Yayuk merasa harga dirinya jatuh ke dasar jurang, dia meremas surat itu, semalaman dia tak tidur dan menulis berulang-ulang, menyampaikan cintanya yang belum kesampaian. Dan seenaknya laki-laki itu mengembalikan suratnya tanpa tertarik membacanya? Ini sudah keterlaluan.Selama ini tak ada yang mengabaikannya, dia primadona desa dan ayahnya adalah seorang lurah. Dia di puja di mana saja, di sekolah atau pun di kampungnya. Dia tak pernah tertarik pada laki-laki lain, hanya pada anak itu, si yatim piatu Aryo.Apa katanya? Dia tak mengenal Yayuk? Laki-laki mana yang tak mengenalnya, bahkan pemuda-pemuda di desa tetangga sangat memujanya.Sejak saat itu, Yayuk bertekad, akan membalas penghinaan yang telah dilakukan Aryo padanya.Yayuk menghela nafas berat, dia yakin Sri sudah masuk ke alam mimpinya. Rasanya begitu menyedihkan, bahkan perasaan cinta pada Aryo tak bisa dibasmi walaupun sudah berlalu bertahun-tahun. Hal itu yang membuatnya tak kunjung menikah bahkan di usianya yang ke dua puluh enam tahun. Dia belum bisa membuka hatinya untuk laki-laki lain. Bahkan walau hanya berpapasan singkat kemaren sore, Yayuk masih merasa dentuman itu begitu kuat di dalam dadanya. Walaupun Aryo sama sekali tak menoleh ke arahnya.Yayuk mencintai Aryo, jauh sebelum Sri mencintainya. Tapi, dalam hal ini, ternyata Sri lebih beruntung, dia mampu mengikat Aryo dalam pernikahan."Sah!" Sahutan serempak bergaung di mesjid besar itu. Marisa mengusap air matanya, Sri menangis dan menutup wajahnya sendiri. Bukankah sebuah keajaiban? Hatinya yang awalnya beku luluh karena kegigihan Briyan. Pria itu tak mau mundur sedikit pun, bahkan semakin maju menggapai cinta Sri walaupun ditolak berkali-kali.Sifat Briyan selama bertolak belakang dengan Aryo yang melepaskannya tanpa berpikir dua kali. Mereka memang terlahir dari rahim yang sama, wajah yang sama, tapi nasib yang berbeda serta sikap yang berbeda pula.Ini untuk yang ke-tiga kalinya dia pernah melalui momen ini, dan kali ini pula rasanya Sri masih tak percaya. Ada banyak rasa yang dirasakannya. Sedih, bahagia, haru dan seperti mimpi. Sri terkesiap saat kepalanya diusap lembut, dia menemukan seorang pria tampan dengan wajah teduh dan menenangkan. Wajah itu, yang akan menjadi imam di sisa hidupnya."Ayo! Cium tangan suamimu!"bisik Marisa. Sri tergagap, kemudian dia menyambut uluran tangan Briyan dan membawa ke waj
Teruntuk Marisa istrikuApa kabar Marisa? Aku melihatmu terus dari kejauhan saat kau telah menjadi bintang yang tak mungkin lagi aku raih. Tuhan maha adil dengan segala kuasa-Nya. Memberikan derajat yang tinggi padamu, dan memberikan hukuman yang berat padaku.Apakah dayaku, Marisa. Sejak kepergianmu puluhan tahun silam, saat itu juga hatiku hancur dan menghabiskan malam-malam dengan mabuk minuman keras. Saat kau tak ada, aku merasa benar-benar kehilangan. Aku sudah mencarimu waktu itu untuk meminta maaf, ingin memulai kembali pernikahan yang indah dan penuh maaf. Tapi, kau benar-benar pergi, Marisa.Takdirku tak berhenti begitu saja, aku hancur, terbuang dan menjadi gelandangan. Berbagai penyakit menggerogotiku, jantung dan diabetes serta darah tinggi.Aku tau Marisa, takkan ada maaf untukku lagi, namun di punghujung nafasku, aku ingin meminta maaf kepadamu, aku tak mau mati dengan beban penyesalan yang tak berkesudahan. Andaikan waktu bisa diulang Marisa, aku ingin kita kembali ke m
Briyan masih bertahan di posisinya berdiri bahkan setelah Hans berlalu dan lebih dulu masuk rumah. Dia sempat mengangguk sekilas pada wanita cantik yang memakai kebaya hijau muda dan rambut disanggul rapi. Briyan yakin, itulah yang namanya Marisa."Wah, cantik-cantik bunga majikanmu," puji Briyan, hatinya senang sekali saat ini. Sri terlihat biasa saja, tak berniat meluruskan. Dia menggulung selang air kembali dan meletakan pada sebuah wadah yang telah disediakan."Aneh, kamu meninggalkan pekerjaan sebagai menejer demi menjadi pembantu? Kalau begitu bekerja di rumahku saja, setelah ijab qobul." Briyan tersenyum konyol.Sri tak terpengaruh dengan lelucon itu. Biar saja Briyan tau sendiri, supaya laki-laki itu sedikit syok."Kau tinggal di mana?""Di sini!""Ibumu?""Di sini juga," jawab Sri sambil mencuci tangannya."Wah, baik sekali Nyonya Marisa memperbolehkan pembantu tinggal di sini bersama ibunya. Pantas saja Hans memujinya. Jarang-jarang ada orang sebaik itu.""Bapak masuklah dul
Mata sendu itu masih terbuka, ada lelah yang tak bisa dijabarkan di sana. Pada hakikatnya dia adalah pria rupawan yang kesepian. Dulu, sebelum dia tau bahwa dia hanyalah anak angkat, dia sering bertanya pada Hans, "di mana ibu?", dan Hans hanya memberikan senyum hangat tanpa memberi penjelasan.Terkadang dia iri dengan teman-temannya di sekolah, yang bergayut manja digendong oleh ibu mereka. Atau, saat acara piknik bersama keluarga, hanya tendanya dan Hans yang paling sedikit isinya."Dad, ini tidak seru," kata Briyan kecil sambil meletakkan gitar mainannya. Teman-temannya berlarian dengan adik atau kakak mereka, atau ada yang membantu ibunya menyiapkan makan malam, sementara di tenda mereka, Hans sibuk dengan majalah bisnis. Mereka tengah piknik acara sekolah, namun Hans tetap saja bekerja."Tidurlah! Atau bermain dengan temanmu yang lain!"Briyan kecil cemberut, mata bulatnya menatap bosan ke luar tenda miliknya, lampu-lampu taman menerangi tenda-tenda yang berjarak kisaran empat me
Sakit itu, sebuah musuh yang tak berwujud tapi mematikan. Dia mengendap begitu dalam, tak bisa diobati, tak bisa ditawar, hanya bisa menggerogoti jiwa yang penuh putus asa dan semakin melemah. Tak terperi, rasa sakit yang dirasakan Briyan seakan bisa membuatnya mati. Begitu hancurnya dia ketika mengetahui kenyataan yang tak ada kenyataan bahagia sedikit saja di masa lalunya. Andaikan pria tua lumpuh itu tidak dalam keadaan cacat, tentu Briyan telah menghajarnya sampai hatinya puas, tapi, laki-laki tua yang Briyan berat mengakui sebagai kakeknya itu, tak lebih dari seonggok daging hidup yang tak mengerti. Dia lumpuh dan depresi. Dan Briyan tau, orang gila tidak bisa diajak berbicara.Seusai menemui Adhiwijaya, Briyan memacu mobilnya seperti orang kesetanan. Dia tak peduli dengan sumpah serapah serta umpatan kasar orang yang disalip secara ugal-ugalan.Wajah pria tampan itu memerah. Matanya masih basah, urat-urat bertonjolan di sepanjang lehernya.Ini sakit, apa yang lebih menyakitkan d
Bolehkah dia menangis dan meraung sekuat tenaga? Andaikan dia tak bersikeras menyelidiki tentang dirinya, tentu rasanya tidak akan sesakit ini. Pada dasarnya dia hanyalah anak yang dibuang untuk menghilangkan malu. Lalu, apa yang benar-benar dimilikinya di dunia ini, tak ada selain nyawanya sendiri."Maafkan aku! Ampuni aku! Aku ikut membantu Adhiwijaya membuang kalian karena terpaksa, aku mohon! Ampuni aku!" Laki-laki tua itu bersimpuh dan terisak di depan Briyan, hilang sudah ketegasan dan kegagahan yang dia perlihatkan beberapa saat yang lalu. Dia terlihat menyedihkan dengan bersimpuh di kaki orang yang lebih muda pada dirinya."Katakan apa saja yang engkau ketahui, Pak! Aku ingin mendengar langsung dari mulutmu. Aku akan mengampunimu jika kau berkata jujur!" jawab Briyan dingin. Nafasnya, sesak dan seakan jantungnya ingin meledak Manahan marah.Danu bangkit, mengusap air mata dengan sapu tangan yang disimpan di balik jasnya, sedangkan Adhiwijaya memperhatikan mereka dengan tatapan