Share

11). Hera Putus Asa

Hera terbaring di kamarnya dengan pikiran kosong.

Gadis itu hanya terus melamun meski Ana dan Marrine sudah membujuknya untuk makan malam.

Sejak siang hingga malam hari, Hera masih enggan menyentuh makanan yang disajikan oleh para pelayan istana.

Bahkan ketika mereka ingin mengobati luka memar yang masih terlihat membekas di leher Hera, gadis itu melarang dan malah terus menjauhkan diri.

Ana yang tidak pernah melihat Hera dalam keadaan seperti ini, merasa sangat cemas dan begitu khawatir.

Biasanya jika sedang merajuk atau marah, Alpha Elios yang akan datang dan menenangkan adiknya. Namun ditempat ini, tidak ada Alpha Elios yang bisa membujuk Hera seperti biasa.

"Ratu Hera, apakah anda tidak lapar? Kami sudah menyiapkan menu spesial .... "

"Bagaimana caranya aku bisa keluar dari tempat ini?"

Marrine tergagap, tidak bisa berkata-kata.

Sementara Ana yang berdiri di sisi ranjang Hera hanya bisa mencengkram kuat pakaiannya.

"Ratu Hera?"

"Aku tidak takut pada siapapun, tentu saja. Bagaimana aku bisa merasakan takut jika aku saja tidak bisa melihat hal yang seharusnya aku takuti. Sebelumnya, dia memperlakukanku dengan baik, membuatku berpikir bahwa dia mungkin tidak seburuk yang orang-orang katakan. Namun ketika dia bahkan telah berani mencengkeram leherku dan membuatku hampir terbunuh, aku baru menyadari jika dia memang benar-benar Iblis sejati."

Marrine, dan Ana hanya bisa berdiri dengan kepala tertunduk dalam.

Mereka tidak berani membuka suara ketika Hera mengeluarkan semua isi hatinya.

Bahkan beberapa pelayan yang berdiri diluar pintu kamar, yang masih membawa nampan berisi makanan, berdiri kaku dengan raut wajah muram.

"Aku ingin kembali ke Goldenmoonpack."

Marrine segera beringsut mendekati ranjang dan menahan tubuh Hera, berusaha menenangkan gadis itu yang telah menitihkan air mata.

Hera menangis dengan suara isakan lirih yang terdengar pilu.

"Aku ingin pulang .... "

"Ratu Hera, saya mohon jangan lakukan itu. Yang Mulia, akan sangat marah jika Anda .... "

Hera menyentak pegangan Marrine pada lengannya.

"Marah? Lalu kenapa kalau dia marah. Apakah dia akan menangkapku lalu membunuhku. Menghabisiku seperti dia menikmati tubuh para tumbalnya? Lalu, apakah aku harus takut dan bersujud dibawah kakinya."

Ana menelan ludah, semua orang berdiri dengan kedua tangan mengepal.

Ikut merasakan emosi yang Hera rasakan.

"Yang Mulia Ratu .... "

"Sudah kubilang aku tidak takut pada siapapun, bahkan pada kematian sekalipun."

Hera berdiri, bergerak turun dari atas ranjang, namun Ana dengan sigap segera membantu Marrine untuk menahan tubuh Hera sebisanya.

Sungguh, ketika dalam pengaruh emosi, Hera bisa lebih kuat dari apapun.

Semua pelayan menatap khawatir, tidak pernah sekalipun mereka melihat Hera yang seputus asa saat itu.

Biasanya, Hera selalu menampilkan wajah ceria dan tersenyum hangat selama tinggal di Istana.

"Ratu, kami mohon tolong jangan lakukan apapun. Anda harus tetap berada disini untuk keamanan anda sendiri."

"Aku tidak bisa tinggal di tempat terkutuk ini, cukup aku saja yang dikutuk terlahir dalam keadaan buta dan ditakdirkan menjadi pasangan seorang iblis!"

"Jika Anda tetap keras kepala, maka kami semua'lah yang akan mati Ratu!" 

Hera mematung.

Membuat Marrine dan Ana yang masih menahan tubuh Hera secara spontan menoleh ke arah asal suara.

Seorang  pelayan perempuan masuk kedalam kamar Hera dengan air mata beruraian.

Tubuhnya bergetar sebelum jatuh bersimpuh dibawah kaki Hera secara tiba-tiba.

"A-apa yang kau lakukan?"

Hera berusaha mundur ketika merasakan seseorang memeluk kedua kakinya, meski tidak bisa karena terhalang kaki ranjang.

"Yang Mulia Ratu, sebelumnya tolong ampuni saya jika yang saya lakukan ini sangat lancang. Saya mohon dengan sangat tetaplah tinggal disini dan jangan pernah pergi meninggalkan kami. Kami semua akan musnah dalam kemarahan Yang Mulia Raja jika Anda benar-benar nekat pergi meninggalkan Istana Darken. Mungkin Anda tidak takut pada Yang Mulia Zeus atau bahkan pada kematian sekalipun. Tapi apakah Anda tidak berpikir bahwa kami semua juga akan terkena imbas dari kemarahan Yang Mulia Raja. Kami semua pasti akan mati jika Anda sampai pergi. Kumohon jangan lakukan itu Ratu Hera."

"Lizzy! Berdiri dan pergilah dari sini."

Marrine menatap marah pada salah satu pelayannya itu.

Namun sebelum Marrine sempat menyeret paksa pelayan itu, Hera sudah lebih dulu menunduk dan menarik bahu Lizzy untuk berdiri.

"Jangan bersujud dibawah kakiku."

Namun Lizzy semakin memeluk erat kaki Hera dan menggelengkan kepalanya keras kepala.

"Kumohon Ratu, tetaplah dampingi Yang Mulia Raja tinggal di Istana ini. Anda mungkin tidak mengerti bahwa kami semua merasa sangat beruntung dan senang karena mendapatkan Ratu sebaik Anda. Kami tidak takut jika harus berkorban nyawa demi Anda, tapi jika kami semua mati, keluarga kamilah yang akan menderita. Saya memiliki seorang anak perempuan yang perlu saya nafkahi, saya tidak memiliki sanak saudara yang bisa mengurusnya. Jadi kumohon Ratu, kasihanilah kami."

Hera menggigit bibir bawahnya, menahan rasa sakit di ulu hatinya yang terdalam.

Bertanya-tanya dalam hati, kenapa semua orang yang tidak bersalah harus selalu menjadi korban karena dirinya?

Dulu, ketika ayahnya membunuh semua Omega yang diam-diam mengatainya, Hera merasa sangat marah dan bersalah.

Hera tidak ingin kejadian dimasa lalu seperti itu sampai terjadi lagi dimasa kini.

"Aku tidak akan pergi. Berdirilah, dan berikan aku makanan. Aku sangat lapar."

Semua orang menghela napas lega ketika melihat Hera tersenyum tipis, Lizzy segera beranjak berdiri, dan mengucapkan terima kasih dengan senyum bahagia.

Sepeninggalnya mereka, Hera akhirnya mau makan meski masih dengan raut wajah muram.

Ana diam bergeming ditempatnya,"Ratu Hera?"

"Aku mengerti Ana. Tidak perlu mengkhawatirkan aku, pergilah."

"Tapi, anda .... "

"Aku butuh waktu sendiri, kumohon keluarlah."

Ana akhirnya mengalah dan pamit undur diri.

Sepeninggal Ana, kamar itu menjadi sangat Hening.

Dingin dan terasa mencekam.

Hera meletakan alat makannya. Meraba ranjang dan naik keatas kasur dengan perlahan.

Gadis itu meraih selimut dan menenggelamkan diri sepenuhnya dibalik selimut tebal yang nyatanya tidak menghangatkan tubuhnya sama sekali.

Hera menangis terisak, membekap mulutnya sendiri dan meringkuk seperti janin.

Dadanya terasa sesak dan teramat sakit.

Tidak ada yang bisa mengerti dirinya. Tidak ada yang bisa mengerti kondisinya, bahkan dirinya sendiri.

Hera terlalu lemah untuk berontak dari takdir.

Terlahir buta ...

Lemah ...

Dan menjadi belahan jiwa dari seorang iblis ...

Hera bahkan tertawa sumbang dalam isakan tangisnya sendiri.

"Tidak bisakah kau ambil saja nyawaku?" Hera berbisik lirih, mencengkram bagian dadanya yang teramat sesak.

Air matanya bahkan tidak mau berhenti mengalir meski Hera twlah menyekanya berkali-kali. Hera berusaha meredamnya dengan menggigit bibir bawah keras-keras, hingga Hera bisa merasakan darahnya sendiri.

Lama gadis itu menangis dalam diam, berusaha meredam suaranya agar tidak terdengar hingga keluar kamar, gadis itu menepuk dadanya berulangkali, sebelum akhirnya jatuh tertidur dengan tubuh dingin yang menggigil.

Pintu jendela terbuka lebar karena angin kencang yang mendobraknya secara tiba-tiba.

Siluet seorang pria masuk melalui jendela, berbaring diatas ranjang dan menarik tubuh gadis itu untuk menyalurkan kehangatan dari tubuhnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status