Hera terbaring di kamarnya dengan pikiran kosong.
Gadis itu hanya terus melamun meski Ana dan Marrine sudah membujuknya untuk makan malam.
Sejak siang hingga malam hari, Hera masih enggan menyentuh makanan yang disajikan oleh para pelayan istana.
Bahkan ketika mereka ingin mengobati luka memar yang masih terlihat membekas di leher Hera, gadis itu melarang dan malah terus menjauhkan diri.
Ana yang tidak pernah melihat Hera dalam keadaan seperti ini, merasa sangat cemas dan begitu khawatir.
Biasanya jika sedang merajuk atau marah, Alpha Elios yang akan datang dan menenangkan adiknya. Namun ditempat ini, tidak ada Alpha Elios yang bisa membujuk Hera seperti biasa.
"Ratu Hera, apakah anda tidak lapar? Kami sudah menyiapkan menu spesial .... "
"Bagaimana caranya aku bisa keluar dari tempat ini?"
Marrine tergagap, tidak bisa berkata-kata.
Sementara Ana yang berdiri di sisi ranjang Hera hanya bisa mencengkram kuat pakaiannya.
"Ratu Hera?"
"Aku tidak takut pada siapapun, tentu saja. Bagaimana aku bisa merasakan takut jika aku saja tidak bisa melihat hal yang seharusnya aku takuti. Sebelumnya, dia memperlakukanku dengan baik, membuatku berpikir bahwa dia mungkin tidak seburuk yang orang-orang katakan. Namun ketika dia bahkan telah berani mencengkeram leherku dan membuatku hampir terbunuh, aku baru menyadari jika dia memang benar-benar Iblis sejati."
Marrine, dan Ana hanya bisa berdiri dengan kepala tertunduk dalam.
Mereka tidak berani membuka suara ketika Hera mengeluarkan semua isi hatinya.
Bahkan beberapa pelayan yang berdiri diluar pintu kamar, yang masih membawa nampan berisi makanan, berdiri kaku dengan raut wajah muram.
"Aku ingin kembali ke Goldenmoonpack."
Marrine segera beringsut mendekati ranjang dan menahan tubuh Hera, berusaha menenangkan gadis itu yang telah menitihkan air mata.
Hera menangis dengan suara isakan lirih yang terdengar pilu.
"Aku ingin pulang .... "
"Ratu Hera, saya mohon jangan lakukan itu. Yang Mulia, akan sangat marah jika Anda .... "
Hera menyentak pegangan Marrine pada lengannya.
"Marah? Lalu kenapa kalau dia marah. Apakah dia akan menangkapku lalu membunuhku. Menghabisiku seperti dia menikmati tubuh para tumbalnya? Lalu, apakah aku harus takut dan bersujud dibawah kakinya."
Ana menelan ludah, semua orang berdiri dengan kedua tangan mengepal.
Ikut merasakan emosi yang Hera rasakan.
"Yang Mulia Ratu .... "
"Sudah kubilang aku tidak takut pada siapapun, bahkan pada kematian sekalipun."
Hera berdiri, bergerak turun dari atas ranjang, namun Ana dengan sigap segera membantu Marrine untuk menahan tubuh Hera sebisanya.
Sungguh, ketika dalam pengaruh emosi, Hera bisa lebih kuat dari apapun.
Semua pelayan menatap khawatir, tidak pernah sekalipun mereka melihat Hera yang seputus asa saat itu.
Biasanya, Hera selalu menampilkan wajah ceria dan tersenyum hangat selama tinggal di Istana.
"Ratu, kami mohon tolong jangan lakukan apapun. Anda harus tetap berada disini untuk keamanan anda sendiri."
"Aku tidak bisa tinggal di tempat terkutuk ini, cukup aku saja yang dikutuk terlahir dalam keadaan buta dan ditakdirkan menjadi pasangan seorang iblis!"
"Jika Anda tetap keras kepala, maka kami semua'lah yang akan mati Ratu!"
Hera mematung.
Membuat Marrine dan Ana yang masih menahan tubuh Hera secara spontan menoleh ke arah asal suara.Seorang pelayan perempuan masuk kedalam kamar Hera dengan air mata beruraian.
Tubuhnya bergetar sebelum jatuh bersimpuh dibawah kaki Hera secara tiba-tiba.
"A-apa yang kau lakukan?"
Hera berusaha mundur ketika merasakan seseorang memeluk kedua kakinya, meski tidak bisa karena terhalang kaki ranjang.
"Yang Mulia Ratu, sebelumnya tolong ampuni saya jika yang saya lakukan ini sangat lancang. Saya mohon dengan sangat tetaplah tinggal disini dan jangan pernah pergi meninggalkan kami. Kami semua akan musnah dalam kemarahan Yang Mulia Raja jika Anda benar-benar nekat pergi meninggalkan Istana Darken. Mungkin Anda tidak takut pada Yang Mulia Zeus atau bahkan pada kematian sekalipun. Tapi apakah Anda tidak berpikir bahwa kami semua juga akan terkena imbas dari kemarahan Yang Mulia Raja. Kami semua pasti akan mati jika Anda sampai pergi. Kumohon jangan lakukan itu Ratu Hera."
"Lizzy! Berdiri dan pergilah dari sini."
Marrine menatap marah pada salah satu pelayannya itu.
Namun sebelum Marrine sempat menyeret paksa pelayan itu, Hera sudah lebih dulu menunduk dan menarik bahu Lizzy untuk berdiri.
"Jangan bersujud dibawah kakiku."
Namun Lizzy semakin memeluk erat kaki Hera dan menggelengkan kepalanya keras kepala.
"Kumohon Ratu, tetaplah dampingi Yang Mulia Raja tinggal di Istana ini. Anda mungkin tidak mengerti bahwa kami semua merasa sangat beruntung dan senang karena mendapatkan Ratu sebaik Anda. Kami tidak takut jika harus berkorban nyawa demi Anda, tapi jika kami semua mati, keluarga kamilah yang akan menderita. Saya memiliki seorang anak perempuan yang perlu saya nafkahi, saya tidak memiliki sanak saudara yang bisa mengurusnya. Jadi kumohon Ratu, kasihanilah kami."Hera menggigit bibir bawahnya, menahan rasa sakit di ulu hatinya yang terdalam.
Bertanya-tanya dalam hati, kenapa semua orang yang tidak bersalah harus selalu menjadi korban karena dirinya?
Dulu, ketika ayahnya membunuh semua Omega yang diam-diam mengatainya, Hera merasa sangat marah dan bersalah.
Hera tidak ingin kejadian dimasa lalu seperti itu sampai terjadi lagi dimasa kini.
"Aku tidak akan pergi. Berdirilah, dan berikan aku makanan. Aku sangat lapar."Semua orang menghela napas lega ketika melihat Hera tersenyum tipis, Lizzy segera beranjak berdiri, dan mengucapkan terima kasih dengan senyum bahagia.
Sepeninggalnya mereka, Hera akhirnya mau makan meski masih dengan raut wajah muram.
Ana diam bergeming ditempatnya,"Ratu Hera?"
"Aku mengerti Ana. Tidak perlu mengkhawatirkan aku, pergilah."
"Tapi, anda .... "
"Aku butuh waktu sendiri, kumohon keluarlah."
Ana akhirnya mengalah dan pamit undur diri.
Sepeninggal Ana, kamar itu menjadi sangat Hening.
Dingin dan terasa mencekam.
Hera meletakan alat makannya. Meraba ranjang dan naik keatas kasur dengan perlahan.
Gadis itu meraih selimut dan menenggelamkan diri sepenuhnya dibalik selimut tebal yang nyatanya tidak menghangatkan tubuhnya sama sekali.
Hera menangis terisak, membekap mulutnya sendiri dan meringkuk seperti janin.
Dadanya terasa sesak dan teramat sakit.
Tidak ada yang bisa mengerti dirinya. Tidak ada yang bisa mengerti kondisinya, bahkan dirinya sendiri.
Hera terlalu lemah untuk berontak dari takdir.
Terlahir buta ...
Lemah ...
Dan menjadi belahan jiwa dari seorang iblis ...
Hera bahkan tertawa sumbang dalam isakan tangisnya sendiri.
"Tidak bisakah kau ambil saja nyawaku?" Hera berbisik lirih, mencengkram bagian dadanya yang teramat sesak.
Air matanya bahkan tidak mau berhenti mengalir meski Hera twlah menyekanya berkali-kali. Hera berusaha meredamnya dengan menggigit bibir bawah keras-keras, hingga Hera bisa merasakan darahnya sendiri.
Lama gadis itu menangis dalam diam, berusaha meredam suaranya agar tidak terdengar hingga keluar kamar, gadis itu menepuk dadanya berulangkali, sebelum akhirnya jatuh tertidur dengan tubuh dingin yang menggigil.
Pintu jendela terbuka lebar karena angin kencang yang mendobraknya secara tiba-tiba.
Siluet seorang pria masuk melalui jendela, berbaring diatas ranjang dan menarik tubuh gadis itu untuk menyalurkan kehangatan dari tubuhnya.
"Ratu Hera, apakah anda tidak ingin keluar untuk menghirup udara segar?"Diambang pintu masuk, Anastasya tampak berdiri disana dan mencoba mengajak Hera keluar karena gadis itu terlihat sangat tidak bersemangat, seperti seseorang yang tidak lagi memiliki gairah hidup.Anastasya sangat cemas dan begitu khawatir karena mendapati wajah lesu Hera dan mata bengkaknya pertanda sehabis menangis.
Hera mengerjapkan kedua matanya, berusaha menyesuaikan cahaya dan mengambil posisi duduk diatas ranjang.Wanita itu tampak mengamati sekelilingnya, pada ruangan klasik super luas yang saat ini tengah Hera tempati. Hera bahkan merasakan tubuhnya juga terasa sangat ringan, seakan semua beban berat yang selama ini dipikulnya telah menghilang dari atas pundak."Apakah ini surga?" Hera bertanya-tanya dalam hati atau lebih tepatnya pada dirinya sendiri.Lalu menundukkan kepalanya, melihat kearah kedua tangan dan tubuhnya sendiri."Jadi, aku benar-benar sudah mati?"Cklek."Ratu Hera?"Hera terkesiap.Secara spontan, gadis itu langsung menoleh kearah asal suara lalu mengerjapkan kedua matanya bingung sekaligus bertanya-tanya, siapakah gerangan ketika dirinya melihat seorang perempuan dengan rambut panjang hitam yang tersampir di bahu sebelah kiri, yang tengah berdiri diambang pintu kamar H
Dengan tubuh bersimbah darah Zeus menatap bengis Darius.Wajah keduanya tak jauh berbeda, terdapat banyak luka menganga dan goresan penuh akan darah. Kedua iris mata mereka sama-sama berwarna merah menyala. "Bagaimana kau bisa menemukanku, heh?" Darius menyeringai sinis, menatap remeh Zeus yang tampak murka dengan urat-urat yang menonjol di lengan dan lehernya. "Apa sebenarnya maumu, keparat!" sentak Zeus marah. Darius malah tertawa keras, suara tawanya bahkan bahkan mampu menggetarkan bumi. Semua makhluk yang berdiri tak jauh dari mereka sampai bergidik ngeri karena mendengar suara Darius yang bergema di dalam hutan. Zeus dan Darius sama-sama seorang iblis sejati. Seorang penguasa kegelapan dengan tingkatan yang berbeda. Jika Zeus merupakan seorang penguasa kegelapan di bagian daratan, maka Darius adalah sang penguas
Gelap, dingin dan juga horor. Itulah kesan pertama yang Hera rasakan saat kedua kakinya melangkah masuk kedalam ruangan itu. Hera bahkan sampai merasakan bulu kuduknya berdiri ketika kedua kakinya melangkah semakin masuk, sampai pintu dibelakangnya tertutup dengan sendirinya hingga menimbulkan suara decitan pelan namun terdengar menakutkan. Hera berjengkit sedikit sambil mengusap pelan dadanya. Lalu kembali menatap ke arah depan untuk mengamati seluruh ruangan yang gelap itu. Ruang peristirahatan Zeus tersebut sangat luas, namun tidak ada apapun didalamnya kecuali sebuah ranjang putih bersih yang berada tepat di tengah-tengah ruangan. Tubuh besar Zeus telah dibaringkan disana, dengan pencahayaan minim yang hanya berasal dari dua lilin di sisi kanan kiri yang terpasang tak jauh dari tiang ranjang. Hera menahan napas ketika bisa melihat tubuh Zeus
Hera masih tertidur diatas tubuh Zeus yang masih berbaring di tempat yang sama bahkan dengan posisi yang tidak jauh berbeda. Namun ada setitik keringat yang muncul di kening pria iblis itu membuat Hera yang baru saja membuka kedua matanya, buru-buru turun dari sana karena takut Zeus terbangun dan memergoki dirinya sewaktu-waktu. Wanita itu, segera merapikan pakaiannya yang kusut lalu menatap kearah Zeus yang masih setia memejamkan mata. "Yang Mulia, cepatlah sembuh." Hera menyempatkan diri mengusap setitik keringat di kening Zeus lalu, segera berlalu pergi dari sana, melangkah keluar setelah mengganti lilin yang terbakar hampir habis. Suara pintu yang terbuka lalu tertutup membuat Zeus secara perlahan mengulas senyum miring di bibir pria iblis itu. *** "Queen Hera, saya baru saja dari kamar Anda, tapi An
Hera membuka kedua matanya secara perlahan, hingga iris mata birunya bertemu dengan sepasang mata tajam milik Zeus. Wanita itu memekik, bahkan membelalak ketika melihat iris merah di mata kanan Zeus lalu iris abu di sebelah kiri pria iblis itu. Hera secara spontan mengangkat satu tangannya, menghapus kecanggungan yang sebelumnya terasa dengan menyentuh kelopak mata Zeus yang langsung terpejam. Wanita itu menatapnya dengan mata biru berbinar, penuh kekaguman. "Bagaimana bisa warna kedua matamu, berbeda?" Zeus hanya bergumam pelan, menahan sebelah tangan Hera lalu membawanya ke bibir, mengecup punggung tangan itu dengan lembut. Darah Hera berdesir seperti tersengat aliran listrik. "Kau takut?" Hera menggeleng gugup sambil menggigit pelan bibir bawahnya. "Apakah aku juga bisa memiliki
Alexa terdiam, mematung. Wanita itu secara reflek menyentuh perutnya sendiri, dengan kedua mata yang terbelalak ketika melihat sosok tinggi besar dihadapannya itu. Namun yang membuat Alexa semakin takut adalah tubuh Hera yang berada dalam gendongan Zeus. "Yang Mulia." Alpha Elios yang mendengar kabar dari salah satu warriornya bahwa Zeus muncul secara tiba-tiba di halaman packhouse istana, bergegas menemuinya dan berdiri tepat di depan tubuh Alexa, berusaha melindungi pasangannya yang tengah hamil besar dengan posesif. Ekspresi raut wajah khawatir muncul di raut wajah tegang manusia serigala itu ketika melihat Hera yang terpejam dalam gendongan King Demon Zeus. "Yang Mulia, sebenarnya apa yang terjadi dengan adik saya?" "Dia hanya tidur." Zeus berkata dingin. Alpha Elios mengangguk lalu segera m
Hera melihat refleksi dirinya sendiri disebuah lukisan besar yang terpajang di dinding sebuah ruangan. Lukisan wajah seorang perempuan dengan rambut panjang berwarna hitam legam, yang merupakan sosok dari Luna Quin, yaitu ibunda Hera yang telah lama meninggal belasan ribu tahun yang lalu. Di dalam ruangan yang besar itu, terdapat berbagai macam lukisan buatan mendiang ayahnya. Namun memang yang paling mencolok hanya lukisan di hadapan Hera, karena terpajang tepat menghadap kearah pintu. Hera mengulurkan satu tangannya, menyentuh lukisan tersebut dengan ujung jemari tangan lentiknya hati-hati. Sosok dalam lukisan itu benar-benar menyerupai Hera, wajah keduanya bagai pinang dibelah dua. Dan hanya pada warna kedua bola mata dan rambut saja yang menjadi pembeda diantara keduanya. Hera tersenyum haru, tampak begitu sangat merindukan sosok ibu kandungnya itu.