Beranda / Romansa / Belahan Jiwa / 3. Kesalahan Manis

Share

3. Kesalahan Manis

Penulis: Dela Tan
last update Terakhir Diperbarui: 2024-05-17 21:00:19

Jam istirahat sekolah, semua murid saling mendahului mengambil tempat agar bisa berdiri di pagar besi di luar kelas. Pemandangan dari situ sangat strategis. Bisa melihat ke lantai-lantai lain. Bisa mengincar orang yang ditaksir. Melemparkan sinyal, berharap yang ditaksir menangkap sinyal itu. Jika pun tidak bersambut, setidaknya bisa mencuri pandang diam-diam. 

Gedung sekolah bercat biru muda itu terdiri dari tiga lantai. Kelas-kelas diletakkan di lantai sesuai tingkatnya. Kelas satu SMA di lantai satu, kelas dua di lantai dua dan kelas tiga di lantai tiga. 

Di lantai dasar ada kantin. Lapangan basket terletak di tengah-tengah. Para murid laki-laki yang mencari perhatian murid perempuan akan bermain basket saat jam istirahat. Dan semua gadis akan berlomba berdiri di pagar besi agar bisa melihat dan terlihat oleh incarannya.

Tiara baru kelas satu SMA. Lelaki itu kelas tiga. Tiara tidak tahu namanya. Tidak berani mencari tahu. Tiara suka karena lelaki itu sangat cool. Mata dan rambut kecoklatan, bibir tipis yang tampak selalu tersenyum. Ia bintang basket sekolah. 

Beberapa kali mereka berpapasan di tangga menuju kantin. Tiara selalu merasa jantungnya berdebar lebih keras, sampai ia khawatir lelaki itu mendengarnya. Tapi lelaki itu selalu lewat begitu saja. Tidak memedulikannya. Merambatkan rasa kecewa di hatinya.

‘Bagaimana caranya agar kamu melihatku?’ bisik Tiara dalam hati. Sadar ia bukan murid populer. 

Namun…

Akhir-akhir ini pandang mereka selalu bertemu. Setidaknya menurut perasaan Tiara. Lalu sebuah keyakinan hadir. Atau sebuah harapan? Entahlah. Kadang sebuah keyakinan dan harapan menjadi bias. Terutama ketika harap itu telah terakumulasi sekian waktu.

Siang ini panas sekali. Bel tanda jam istirahat telah berdentang-dentang lima menit yang lalu. Seluruh murid langsung berhamburan. Pagar di luar langsung penuh. Tiara memutuskan duduk di kelas saja, malas berhimpitan demi satu celah di pagar. Meskipun itu berarti ia melewatkan waktu melihat lelaki itu. Beradu pandang ‘tanpa sengaja’ dengannya.

Seorang murid laki-laki memasuki kelas, mengedarkan pandangan. Lehernya dipanjang-panjangkan. Jelas ia sedang mencari seseorang. Tiara mengenalinya sebagai anak kelas tiga. Sahabat lelaki itu. Ia sering melihat mereka berjalan bersama, tertawa-tawa. Mereka sama-sama pemain basket.  Ada sebuah amplop di tangannya. Hati Tiara mulai berdebar-debar.

Mata murid laki-laki itu berhenti mencari. Ia tersenyum pada seorang murid perempuan yang juga hanya berdiam di dalam kelas. Ia menghampirinya, lalu menyerahkan surat itu.

“Dari Ben.” Katanya, “Balas ya…”  Murid itu berlalu. Meninggalkan murid perempuan yang memegang amplop di tangannya itu terbengong-bengong. 

Nama gadis itu, Tiana. 

‘Jadi, nama lelaki itu Ben.’ Tiara membatin.

Tiara yakin surat Ben itu untuknya. Pasti murid laki-laki itu salah nama. Pasti. Tapi, bagaimana cara agar Tiana mau menyerahkan surat itu padanya?

‘Ah, mungkin aku yang salah. Mungkin memang Ben menyukai Tiana, bukan aku.’ Tiara menghibur diri, menepis kecewa yang merambati hatinya.

Sejak hari itu, Tiara tak pernah lagi berdiri di pagar. Menghindari memandang Ben adalah suatu cara melupakannya, menghilangkan kecewanya.

Satu minggu berlalu. Ia tidak mendengar atau melihat apapun lagi. Tiana juga terlihat biasa-biasa saja. Tidak bahagiakah ia disurati Ben?

Siang itu, Tiara benar-benar kelaparan. Tadi ia tak sempat sarapan karena kesiangan bangun. Sekarang perutnya keroncongan. Tiara melangkah menuju kantin yang terletak di lantai dasar, di belakang lapangan basket. 

Ia menuruni tangga perlahan. Sebuah sosok melewatinya cepat. Turun melompati tangga dua-dua. Ben. 

Hampir terjatuh karena kaget, diam-diam Tiara mengusir sedih karena Ben melewatinya begitu saja. Jadi benar, yang disukainya adalah Tiana... Ia hampir membatalkan niatnya untuk turun ke kantin. Lebih baik ia kembali saja ke kelas.

Tiba-tiba, Ben berbalik. Menatapnya.

“Mana balasan suratku?” Ia menengadahkan tangan.

“Ha?” Tiara menatapnya bingung. Mata mereka terpaku dan aliran listrik bepercikan. “Surat… surat apa?” 

“Kamu… nama kamu Tiana, bukan?” Ben tak kalah bingung.

Seketika Tiara ingin melompat-lompat. Betul, ternyata surat itu untukku! Untukku! Hatinya bersorak-sorak. Ia ingin memeluk Ben. Tapi tentu saja ia tidak berani.

“Bukan. Aku Tiara.”

“Oh… Aduh, mati deh gue!” Ben pucat, menepuk jidat, memutar-mutar tubuh di tangga itu. Turun, lalu naik lagi. Tawa Tiara hampir pecah.

“Kamu ambil ya… ya… Ambil dari dia. Itu surat buat kamu! Bukan buat Tiana! Aku pikir namamu Tiana.” Ben berbalik, menuruni satu anak tangga, lalu naik lagi.  

“Pokoknya, aku tunggu balasan suratmu ya.” Ben berlari menjauh. 

Tiara sempat melihat wajahnya bersemu dadu. Warna dadu yang tiba-tiba menyelimuti area sekitar tangga itu. Warna dadu yang juga menyelimuti hatinya.

Esok harinya, Tiara menghampiri Tiana di jam istirahat. “Hai Na. Kamu terima surat dari Ben kan minggu lalu?”

Tiana mengangguk. “Iya, dia minta balasan ya? Tapi aku bingung, jadi belum kubalas.”

“Umm… sebetulnya… sebenarnya, surat itu buat aku.”

“Oh?” Tiana tampak terkejut.

Awalnya, Tiara khawatir membuat Tiana sedih atau kecewa. Syukurlah yang ia lihat adalah raut lega. 

“Makanya… Aku bingung. Kok bisaaa...” Tiana mengembuskan napas, lalu tertawa.

“Besok aku kasihin ke kamu, ya. Aku tinggalin di rumah soalnya.” Tiara mengangguk.

Besoknya, surat Ben sudah ada dalam genggamannya. Surat yang telah terbuka. Tiara tak peduli Tiana sudah membacanya. Dibukanya lipatan kertas yang disobek dari buku tulis itu. Tulisan Ben kecil-kecil dan miring ke kanan. Hanya ada beberapa baris kalimat.

Hai Tiana,

Sepertinya kita harus berhenti saling mencuri lihat.

Kamu mau kan kalau kita jadian?

Balas ya...

Ben.

Tiara tergelak. Pantas Tiana bingung. Pasti pikirnya kapan mereka saling mencuri lihat. 

Sepanjang hari itu, Tiara tak henti tersenyum. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Belahan Jiwa   68. Ekstra 5 - Be My Wife (2) The End

    “Hai… sweetheart senang sekali bertemu denganmu lagi,” Marcia memeluk Tiara erat, mencium pipinya kiri dan kanan. “Aduh, sudah berapa lama ini?” “Lima tahun?” Melihat Tiara mengacungkan tangannnya, Marcia membelalak. “Astaga! Waktu benar-benar tidak menunggu.” “Dan kamu…” Marcia menepuk lengan atas Tristan sambil mengernyit, berpura-pura marah. “Berani-beraninya membuat anakku menangis. Apa yang kamu lakukan padanya? Kamu harus menebusnya! Apakah kamu sudah minta maaf?” Tristan mengangkat kedua tangannya dengan sikap menyerah. “Ampun. Aku akan menebusnya seumur hidup. Aku berjanji, itu pertama dan terakhir aku membuatnya menangis. Mulai saat ini, aku hanya akan menyelimutinya dengan cinta. Hanya akan membuatnya tersenyum.” “Nah, itu baru benar!” Marcia masih mengerucutkan bibir. “Sudah kukatakan mataku tidak salah. Aku menangkap binar-binar cinta di mata kalian. Sekarang terbukti, bukan?” “Ya ya…” Tristan dan Tiara tertawa. “Itu juga sebabnya kami kembali ke sini, Tristan ingin

  • Belahan Jiwa   67. Ekstra 4 - Be My Wife (1)

    Jari Tristan menjalari seluruh lekuk tubuh Tiara, mereka berbaring berhadapan, belum kembali mengenakan pakaian yang berserakan di lantai, masih dipenuhi peluh, masih mengatur napas yang nyaris habis. Tadi Tristan bagai kesetanan, menggumuli Tiara sampai merintih, melenguh, berteriak, hingga suaranya habis. Dan kini, tubuh Tiara tergolek tak bertenaga. “Kamu kuat banget,” Tiara berbisik. “Padahal sudah tidak muda lagi.” Tristan tertawa, “Jangan menganggap remeh orang tua. Aku masih kuat kalau kamu mau nambah. Napasku panjang karena aku sering lari, full marathon 42 km. Bagaimana, masih mau lagi?” Tristan menggoda Tiara, memindahkan jarinya dan memutar-mutar di sekitar areolanya. Tiara menggedikkan bahu, “Rasanya tidak nyaman. Sepertinya lecet, kamu sih terlalu ganas.” “Akibat menahan lima tahun, sayang. Oh bukan, kalau menghitung dari kita kenal, sebenarnya tujuh tahun.” Tristan menggosokkan hidungnya ke hidung Tiara. “Jadi, mulai sekarang kamu harus siap aku sergap untuk dib

  • Belahan Jiwa   66. Ekstra 3 - Tak Akan Melepaskanmu

    “Meskipun telah berpisah, aku tidak langsung mencarimu. Aku ingin melihat apakah takdir akan kembali mempertemukan kita. Jika tidak, berarti kita memang tidak berjodoh, dan aku benar-benar akan menghapus segala harapan. Tetapi ternyata… kita kembali dipertemukan. Dan kali ini, aku tak akan melepaskanmu.” Tristan meremas tangan Tiara. “Tentu saja, jika kamu belum bertemu seseorang, dan jika kamu bersedia.” Tiara menunduk, jantungnya berdentum-dentum. “Waktu kamu ulang tahun, kita tidak berfoto. Sekarang, kita sudah bisa berfoto bersama.” Kata Tristan lagi. “Supaya aku bisa melihat bagaimana wajah kita berdua ketika berdampingan, dan aku bisa memandangainya ketika aku sendirian.” Wajah Tiara seketika merona. “Kamu kok jadi lebay begini, malu ah sudah tua.” Tiara kembali berusaha menarik tangannya, tetapi Tristan malah pindah tempat duduk dari depannya ke sebelahnya. “Melihat reaksi kamu, kamu pasti belum bertemu seseorang, dan kamu bersedia. Ya kan?” Di akhir kalimat, Tristan be

  • Belahan Jiwa   65. Ekstra 2 - Tak Ingin Lagi Kehilanganmu

    Berbeda dari biasanya, dimana Tiara hampir selalu hadir lebih dulu dan Tristan hampir selalu terlambat, kali ini, Tiara berjalan berlama-lama, ingin membiarkan Tristan menunggunya.Ia bahkan hampir menyesali telah setuju untuk menemuinya lagi, setelah susah payah membakar jembatan, sekarang jembatan itu akan dibangun kembali?Namun, kata-kata Tristan yang mengatakan ‘banyak yang ingin disampaikan’, telah menggelitik rasa penasarannya. Sebanyak apa? Apa yang dia pendam dalam lima tahun ini, dan mengapa harus disampaikan padanya? Bukankah semuanya telah selesai?Tiara tiba di depan Blue Elephant. Seorang penerima tamu menyambutnya dengan senyum ramah.“Selamat siang. Untuk berapa orang, Bu?”“Sepertinya teman saya sudah di sini,” Tiara agak melongokkan kepala. “Entah dia sudah sampai belum…”“Boleh saya cek namanya?”“Tristan.”Penerima tamu itu memeriksa daftar nama di meja, “Sudah datang, mari saya antar, Bu.” Dia berjalan mendahului Tiara.Tiara mengikutinya ke sebuah meja. Ini bahka

  • Belahan Jiwa   64. Ekstra 1 - Lima Tahun Kemudian

    Tiara berdiri di depan sebuah jendela lebar yang tirainya disingkapkan, menatap jajaran box berisi bayi-bayi yang terbaring di dalamnya.Kirana berdiri di sebelahnya, berjingkat-jingkat sambil memanjangkan leher.“Yang mana ya Mam?” Kirana bertanya.“Kayaknya yang itu tuh, yang ketiga dari kiri.” Tiara meletakkan telunjuknya di kaca.Kirana menoleh padanya, “Kok Mami milih yang itu?”“Soalnya merah sendiri. Yang lain pada kuning.” Tiara menjelaskan alasan akan bayi yang dipilihnya.Kirana kembali mengalihkan pandang ke box bayi itu, berusa

  • Belahan Jiwa   63. Kamu Adalah Luka Parut

    And if you should ask mewhich you are,my answer is -you are a scar. -Lang Leav-Pada akhirnya kita harus mengakui bahwa cinta tidak selalu benar. Cinta bisa jatuh di waktu yang salah, pada orang yang keliru, dalam keadaan yang tidak tepat. Pun ketidakbenaran itu tak menutupi kenyataan bahwa cinta itu hadir. Tak pula lalu meniadakan keberadaannya, bagaimana keras pun itu berusaha disingkirkan, dihapus, dilupakan.Pada akhirnya, itu hanya bisa dibiarkan mereda, mengendap, terkikis bersama waktu. Jika itu tak juga lenyap, dan rasa sakitnya terus terasa, kesakitan itu justru membuatnya nyata. Bahwa cinta itu ada. Pernah ada.Sebab siapa yang bisa menjamin apakah sebuah cinta akan berlangsung selamanya. Atau hanya hadir sesaat. Bukan kemampuan kita untuk melepaskan atau terus menggenggamnya yang akan menentukan rentang waktu cinta, melainkan kedalamannya. Terlepas dari apakah cinta itu benar, atau salah.Tiara menelusuri percakapan-percakapan di layar ponselnya. Semua percakapan denga

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status