“Hatimu sedang dipenuhi cinta, Nak.” Tiba-tiba Ibu berkata dengan pandangan penuh selidik. Mereka sedang menikmati teh dengan kue nastar yang dibuat Ibu tadi sore.
“Aku tidak bisa menyembunyikannya dari Ibu ya?” Tiara tersipu, merasa dipergoki sedang tersenyum-senyum sendiri.
Matanya yang indah berbinar. Mata bulat dengan bulu mata panjang dan lebat itu persis milik Bapak. Sekarang binarnya mencerminkan hatinya yang dipenuhi rasa bahagia.
“Wajahmu bercahaya, matamu berbinar.” Ibu tersenyum, “Percayalah, tak ada yang membuat wajah seorang wanita lebih bercahaya daripada ketika ia bahagia. Tapi binar paling terang adalah saat hatinya dipenuhi cinta.”
“Aku punya rahasia yang ingin aku bagi dengan Ibu dan Bapak. Tapi aku malu,” kata Tiara.
“Mengapa harus malu? Jatuh cinta adalah proses dirimu menjadi dewasa.” Kata Ibu bijak, sementara Bapak hanya senyum-senyum sambil mengangguk.
Tiara lalu berdiri dari kursi dapur, pergi ke kamarnya untuk mengambil surat yang sudah kusut karena dibaca berulang-ulang. Membawanya ke dapur, menyodorkan surat Ben pada Ibu dengan senyum yang tak terhapus dari bibirnya.
Memang tidak ada rahasia di antara mereka. Apapun yang dialaminya, Tiara selalu bercerita pada Ibu dan Bapak.
“Tidak apa-apa, Nak. Itu bukan dosa. Rasa yang hadir di hati tak bisa direncanakan. Kamu tidak bisa memilih ingin jatuh cinta dengan siapa, atau tidak ingin jatuh cinta pada siapa. Tidak bisa memilih kapan mau jatuh cinta, atau kapan mau berhenti mencinta.” Ibu berteori.
“Ibu tidak cantik, tapi dulu banyak yang mengejar.” Begitu Ibu biasa bercerita dengan bangga. Cerita yang sama yang selalu diulang setiap kali mereka berkumpul.
Tidak seperti keluarga lain yang berkumpul di ruang tamu sambil nonton TV, mereka suka menghabiskan waktu di dapur. Sambil minum teh manis panas dan pisang atau singkong goreng. Menu kesukaan keluarga.
Saat hari hujan cerita Ibu akan makin seru. Terkadang Agung juga ‘terjebak’ harus menyimak teori-teori tentang cinta dari Ibu. Mereka hanya dua bersaudara yang sangat akur.
“Tapi Bapak juaranya. Lihat Bapak, seganteng itu mau sama Ibu, siapa yang menolak?” Ibu mengangkat dagunya ke arah Bapak.
Bapak hanya tersenyum sambil mengangguk-angguk. Bapak memang tampan, perawakannya juga tinggi. Ketampanan yang sekarang tercetak di wajah Agung, dan perawakan yang menurun juga pada Agung. Tiara hanya mewarisi matanya.
Selain mata Bapak, semua yang ada di wajah Tiara adalah milik Ibu. Sehingga Tiara sering merasa kurang cantik, dia juga kurang tinggi, hanya seratus lima puluh delapan. Hanya matanya yang menjadi kelebihannya.
Usia Bapak hampir lima puluh, kegantengannya masih terlihat. Hidung bangir dengan alis tebal dan mata yang dalam. Dulu pasti Bapak cool sekali karena ia tidak banyak bicara. Sementara Ibu cerewet. Tiara heran mereka bisa cocok. Mungkin benar bahwa opposites attract, seperti dua kutub magnet yang tarik menarik.
“Memangnya apa yang istimewa dari Ibu, Pak?” Tiara penasaran.
“Entahlah, mungkin ibumu memang pasangan jiwa Bapak. Begitu melihatnya Bapak langsung merasa klik.”
“Saat kamu bertemu pasangan jiwamu, kamu akan merasa menyatu dengannya tanpa bisa menjelaskan alasannya.” Ibu menambahkan, “Cinta tidak butuh alasan, tidak perlu di cocok-cocokkan. Cinta yang mencari-cari alasan bukanlah cinta. Itu telah menjadi sebuah kondisi.”
Tiara meyakini semua yang diucapkan Ibu. Bagaimana tidak, Ibu sudah mengalaminya, jadi Ibu tidak hanya berteori. Tidak mengada-ada dan berkhayal betapa hebatnya yang namanya cinta. Tiara tak pernah bosan mendengarnya. Menurutnya, cerita cinta Ibu dan Bapak itu sangat romantis. Bahkan sampai sekarang, mereka masih pergi ke mana-mana berdua, masih saling bergandengan tangan, Tiara juga tidak pernah mendengar mereka bertengkar.
‘Langsung merasa klik tanpa bisa dijelaskan alasannya.’ Tiara mencatatnya dalam hati.
“Bagaimanapun cinta dimulai atau diakhiri, itu selalu punya sisi indah untuk dinikmati. Syukurilah ketika kamu merasakan keindahannya. Cinta adalah penyemangat hidup. Cinta melembutkan hati. Cinta yang besar malah punya kekuatan luar biasa untuk mengalahkan apapun.” Kata Ibu lagi. “Ceritakan tentang… siapa nama yang telah berhasil merebut hatimu ini? Ben?”
Tiara mengangguk.
“Iya, Benjamin Adam. Dia anak kelas tiga. Bintang basket, selalu juara kelas. Tadinya mata kita suka ketemu gitu di pagar. Aku antara yakin tidak yakin kalau yang dia pandang itu aku. Sampai dia kirim surat, eh salah alamat pula. Dia titipin temannya, dan malah dikasihin ke Tiana. Hihi…”
Tiara terkikik mengingat itu.
“Surat ini?” Ibu mengacungkan surat di tangannya. “Lalu, kok akhirnya bisa sampai ke tanganmu?”
“Ya… Setelah satu minggu, mungkin Ben bingung kok aku gak balas. Nah... kemarin waktu jam istirahat, dia lewatin aku di tangga menuju kantin, terus nagih balasannya. Baru deh ketahuan, kalau itu sebetulnya ditujukan buat aku. Jadi, aku minta ke Tiana. Untung aja Tiana gak naksir juga, jadi dia malah bingung dan belum balas suratnya. Hari ini aku baru terima itu dari Tiana.”
“Wah… lucu juga.” Ibu tertawa. Bapak juga ikut tersenyum. “Ini surat sampai lecek, kamu bacain terus ya?!” Tuduh Ibu.
“Iyalah, Bu. Kan kita udah lama suka liat-liatan. Aku sempat sedih waktu Tiana yang dikirimi surat. Eh ternyata itu buat aku. Ya kan aku senaaanggg banget.”
“Memang kayak gimana orangnya Ben itu, sampai kamu kesengsem begini? Ganteng mana sama Bapak?”
“Yah Ibu, gak bisa dibandingkan dong. Gantengnya beda. Ben itu cool banget, tinggi, putih, mata dan rambutnya coklat. Kayak campuran bule gitu. Dia gak banyak bicara, populer, jago basket, otaknya encer. Dengar-dengar, lulus SMA nanti dia mau lanjutin kuliah kedokteran di Amerika.” Tiara agak menerawang membayangkan Ben, dan pipinya bersemu dadu.
“Mau lanjutin kuliah ke Amerika? Dia sudah kelas tiga sekarang kan? Berarti, kalau kalian jadian, bakal jadi hubungan jarak jauh?” Ibu agak mengernyit.
“Ya gak apa-apa, Bu. Kan bisa surat-suratan. Aku bersedia kok nunggu.” Tiara memang sudah memutuskan di dalam hatinya, jika Ben memintanya menunggu, dia akan menunggu.
“Hm… cinta jarak jauh, ketika baru seumur jagung, semoga bisa melewati rintangan.” Ibu agak termenung, “Semoga dia memang seberharga itu untuk kamu tunggu.”
“Hai… sweetheart senang sekali bertemu denganmu lagi,” Marcia memeluk Tiara erat, mencium pipinya kiri dan kanan. “Aduh, sudah berapa lama ini?” “Lima tahun?” Melihat Tiara mengacungkan tangannnya, Marcia membelalak. “Astaga! Waktu benar-benar tidak menunggu.” “Dan kamu…” Marcia menepuk lengan atas Tristan sambil mengernyit, berpura-pura marah. “Berani-beraninya membuat anakku menangis. Apa yang kamu lakukan padanya? Kamu harus menebusnya! Apakah kamu sudah minta maaf?” Tristan mengangkat kedua tangannya dengan sikap menyerah. “Ampun. Aku akan menebusnya seumur hidup. Aku berjanji, itu pertama dan terakhir aku membuatnya menangis. Mulai saat ini, aku hanya akan menyelimutinya dengan cinta. Hanya akan membuatnya tersenyum.” “Nah, itu baru benar!” Marcia masih mengerucutkan bibir. “Sudah kukatakan mataku tidak salah. Aku menangkap binar-binar cinta di mata kalian. Sekarang terbukti, bukan?” “Ya ya…” Tristan dan Tiara tertawa. “Itu juga sebabnya kami kembali ke sini, Tristan ingin
Jari Tristan menjalari seluruh lekuk tubuh Tiara, mereka berbaring berhadapan, belum kembali mengenakan pakaian yang berserakan di lantai, masih dipenuhi peluh, masih mengatur napas yang nyaris habis. Tadi Tristan bagai kesetanan, menggumuli Tiara sampai merintih, melenguh, berteriak, hingga suaranya habis. Dan kini, tubuh Tiara tergolek tak bertenaga. “Kamu kuat banget,” Tiara berbisik. “Padahal sudah tidak muda lagi.” Tristan tertawa, “Jangan menganggap remeh orang tua. Aku masih kuat kalau kamu mau nambah. Napasku panjang karena aku sering lari, full marathon 42 km. Bagaimana, masih mau lagi?” Tristan menggoda Tiara, memindahkan jarinya dan memutar-mutar di sekitar areolanya. Tiara menggedikkan bahu, “Rasanya tidak nyaman. Sepertinya lecet, kamu sih terlalu ganas.” “Akibat menahan lima tahun, sayang. Oh bukan, kalau menghitung dari kita kenal, sebenarnya tujuh tahun.” Tristan menggosokkan hidungnya ke hidung Tiara. “Jadi, mulai sekarang kamu harus siap aku sergap untuk dib
“Meskipun telah berpisah, aku tidak langsung mencarimu. Aku ingin melihat apakah takdir akan kembali mempertemukan kita. Jika tidak, berarti kita memang tidak berjodoh, dan aku benar-benar akan menghapus segala harapan. Tetapi ternyata… kita kembali dipertemukan. Dan kali ini, aku tak akan melepaskanmu.” Tristan meremas tangan Tiara. “Tentu saja, jika kamu belum bertemu seseorang, dan jika kamu bersedia.” Tiara menunduk, jantungnya berdentum-dentum. “Waktu kamu ulang tahun, kita tidak berfoto. Sekarang, kita sudah bisa berfoto bersama.” Kata Tristan lagi. “Supaya aku bisa melihat bagaimana wajah kita berdua ketika berdampingan, dan aku bisa memandangainya ketika aku sendirian.” Wajah Tiara seketika merona. “Kamu kok jadi lebay begini, malu ah sudah tua.” Tiara kembali berusaha menarik tangannya, tetapi Tristan malah pindah tempat duduk dari depannya ke sebelahnya. “Melihat reaksi kamu, kamu pasti belum bertemu seseorang, dan kamu bersedia. Ya kan?” Di akhir kalimat, Tristan be
Berbeda dari biasanya, dimana Tiara hampir selalu hadir lebih dulu dan Tristan hampir selalu terlambat, kali ini, Tiara berjalan berlama-lama, ingin membiarkan Tristan menunggunya.Ia bahkan hampir menyesali telah setuju untuk menemuinya lagi, setelah susah payah membakar jembatan, sekarang jembatan itu akan dibangun kembali?Namun, kata-kata Tristan yang mengatakan ‘banyak yang ingin disampaikan’, telah menggelitik rasa penasarannya. Sebanyak apa? Apa yang dia pendam dalam lima tahun ini, dan mengapa harus disampaikan padanya? Bukankah semuanya telah selesai?Tiara tiba di depan Blue Elephant. Seorang penerima tamu menyambutnya dengan senyum ramah.“Selamat siang. Untuk berapa orang, Bu?”“Sepertinya teman saya sudah di sini,” Tiara agak melongokkan kepala. “Entah dia sudah sampai belum…”“Boleh saya cek namanya?”“Tristan.”Penerima tamu itu memeriksa daftar nama di meja, “Sudah datang, mari saya antar, Bu.” Dia berjalan mendahului Tiara.Tiara mengikutinya ke sebuah meja. Ini bahka
Tiara berdiri di depan sebuah jendela lebar yang tirainya disingkapkan, menatap jajaran box berisi bayi-bayi yang terbaring di dalamnya.Kirana berdiri di sebelahnya, berjingkat-jingkat sambil memanjangkan leher.“Yang mana ya Mam?” Kirana bertanya.“Kayaknya yang itu tuh, yang ketiga dari kiri.” Tiara meletakkan telunjuknya di kaca.Kirana menoleh padanya, “Kok Mami milih yang itu?”“Soalnya merah sendiri. Yang lain pada kuning.” Tiara menjelaskan alasan akan bayi yang dipilihnya.Kirana kembali mengalihkan pandang ke box bayi itu, berusa
And if you should ask mewhich you are,my answer is -you are a scar. -Lang Leav-Pada akhirnya kita harus mengakui bahwa cinta tidak selalu benar. Cinta bisa jatuh di waktu yang salah, pada orang yang keliru, dalam keadaan yang tidak tepat. Pun ketidakbenaran itu tak menutupi kenyataan bahwa cinta itu hadir. Tak pula lalu meniadakan keberadaannya, bagaimana keras pun itu berusaha disingkirkan, dihapus, dilupakan.Pada akhirnya, itu hanya bisa dibiarkan mereda, mengendap, terkikis bersama waktu. Jika itu tak juga lenyap, dan rasa sakitnya terus terasa, kesakitan itu justru membuatnya nyata. Bahwa cinta itu ada. Pernah ada.Sebab siapa yang bisa menjamin apakah sebuah cinta akan berlangsung selamanya. Atau hanya hadir sesaat. Bukan kemampuan kita untuk melepaskan atau terus menggenggamnya yang akan menentukan rentang waktu cinta, melainkan kedalamannya. Terlepas dari apakah cinta itu benar, atau salah.Tiara menelusuri percakapan-percakapan di layar ponselnya. Semua percakapan denga