Pernikahan Ben dan Tiara diadakan di tepi pantai. Kain sifon hijau pupus dan tule putih melambai-lambai. Bangku-bangku kayu putih diikat pita raksasa berwarna hijau pupus berderet di kedua sisi.
Di tengahnya, jalan menuju altar digelari karpet dari rumput buatan, ditaburi kelopak mawar putih. Lilin-lilin dalam gelas dinyalakan di sepanjangnya. Angin semilir menebarkan semerbak mawar putih dan harum bunga lily. Dua bunga kesukaan Tiara.
Yang hadir tidak banyak, karena Tiara dan Ben hanya ingin mengundang teman-teman yang benar-benar mereka kenal, dan kerabat dekat. Orang tua Ben tidak keberatan, meskipun mereka pengusaha, tidak mendesak untuk mengundang seluruh relasi yang jumlahnya tidak main-main, tetapi tidak dikenal pengantin.
Tiara berjalan menghampiri altar, lengannya dikaitkan di lengan Bapak. Rambutnya disanggul tinggi dililit mutiara. Gaun putih model kemben dari bahan brokat membungkus ketat tubuhnya. Membuat lekuknya tampak nyata.
Ia tidak terlalu tinggi, hanya setinggi rata-rata gadis Asia. Ia juga bukan gadis kurus, karena ia suka makan, apalagi yang manis-manis. Tiramisu, cheese cake, chocolate melt, adalah kelemahannya. Untung metabolismenya aktif, jadi ia tidak terjebak dalam tubuh yang gemuk, hanya agak berisi.
Choker mutiara dua baris yang disambung batu zamrud berbentuk kotak bertatah berlian melingkari lehernya. Buket calla lily putih dalam genggamannya.
Sebenarnya ia tidak terlalu cantik. Tetapi mata hitamnya yang terbingkai bulu mata lebat adalah daya tarik utamanya. Mata milik Bapak yang menurun padanya.
Kulitnya yang kecoklatan terlihat keemasan tertimpa sinar matahari sore. Riasan wajah Tiara tidak berlebihan. Hanya sentuhan make up berwarna natural. Keseluruhan tampilan yang sederhana dan elegan, tetapi ia tampak bagai dewi Yunani.
Tiara memang tidak suka memoles wajah. Sehari-hari ia hanya mengoleskan krim pelindung matahari di wajahnya, bahkan tanpa membubuhkan bedak, dan bibirnya hanya dihiasi lipstik warna terracota. Rambutnya pun sudah tiga tahun tidak berganti gaya, bob sebahu. Bahkan ia mengaku modelnya masih sama sejak SMP.
Ben memperhatikan Tiara berjalan perlahan menghampiri altar, didahului oleh sepasang bocah laki-laki yang berperan sebagai pembawa cincin dan gadis kecil yang membawa keranjang bunga, menaburkan kelopak mawar sepanjang jalan.
Senyum Tiara penuh, matanya hanya tertuju padanya. Sementara dirinya sesekali melirik sahabatnya yang khusus datang dari Amerika, yang duduk di barisan kursi depan bersama dua sahabat Tiara, Ruby dan Alana.
Tiara tiba di hadapannya. Ben menuntun tangannya untuk mengucap sumpah suci. Segala nasihat yang disampaikan bapak pendeta lewat dari pikiran dan pendengarannya.
Sejak tadi Ben berusaha menekan gelisah. Berkali-kali ia mencuri pandang pada sahabatnya, yang terlihat tenang.
‘Ah, kenapa aku juga tidak tenang.’ Ben berkata dalam hati, ‘Kelihatannya dia baik-baik saja.’
“Benjamin Adam, bersediakan Anda menerima Tiara Larasati sebagai pendamping dalam susah dan senang, dalam suka dan duka, sampai maut memisahkan?” Suara pendeta membuyarkan dialog tunggal dalam hati Ben.
Ada jeda. Ben terdiam. Ia melayangkan pandang, pada para tamu yang hadir. Lalu matanya berhenti di wajah Mama. Mama menatapnya penuh harap dengan mata yang siap mengalirkan bening, kedua tangan Mama ditangkupkan di depan dada. Ben mengalihkan pandang, kembali menatap Tiara.
“Ya. Saya bersedia.” Tidak ada pilihan lain, ia harus melanjutkan ini.
“Tiara Larasati, bersediakan Anda mendampingi Benjamin Adam mengarungi hidup, melahirkan anak baginya, menjadi pendukung dalam segala keadaan, sampai maut memisahkan?”
Tiara menatap Ben. Ada genangan bening di matanya yang indah.
“Ya… tentu saja. Saya bersedia.” Tiara mengangguk kuat-kuat. Genangan bening itu bergulir di pipinya.
Bapak pendeta meminta cincin yang dibawa oleh bocah pembawa cincin. Ben memandang wanita yang sebentar lagi resmi sebagai istrinya, sementara ekor matanya menangkap sosok sahabatnya yang lekat menatapnya. Ia merasa hatinya dicubit-cubit. Aliran empedu naik ke mulutnya. Ia merasa mual.
Cincin disematkan di jari manis kanan masing-masing.
“Dengan disematkannya cincin di jemari kedua mempelai, saya nyatakan pernikahan ini sah. You may kiss the bride -Anda boleh mencium sang pengantin.” Bapak pendeta mengakhiri upacara.
Ben mencium kening Tiara sekilas. Desah kelegaan dan keharuan terdengar di tengah para hadirin. Resmi sudah mereka menjadi suami istri. Terikat dalam perkawinan suci.
Mulai hari ini mereka takkan terpisahkan lagi. Selamanya. Seumur hidup.
“Hai… sweetheart senang sekali bertemu denganmu lagi,” Marcia memeluk Tiara erat, mencium pipinya kiri dan kanan. “Aduh, sudah berapa lama ini?” “Lima tahun?” Melihat Tiara mengacungkan tangannnya, Marcia membelalak. “Astaga! Waktu benar-benar tidak menunggu.” “Dan kamu…” Marcia menepuk lengan atas Tristan sambil mengernyit, berpura-pura marah. “Berani-beraninya membuat anakku menangis. Apa yang kamu lakukan padanya? Kamu harus menebusnya! Apakah kamu sudah minta maaf?” Tristan mengangkat kedua tangannya dengan sikap menyerah. “Ampun. Aku akan menebusnya seumur hidup. Aku berjanji, itu pertama dan terakhir aku membuatnya menangis. Mulai saat ini, aku hanya akan menyelimutinya dengan cinta. Hanya akan membuatnya tersenyum.” “Nah, itu baru benar!” Marcia masih mengerucutkan bibir. “Sudah kukatakan mataku tidak salah. Aku menangkap binar-binar cinta di mata kalian. Sekarang terbukti, bukan?” “Ya ya…” Tristan dan Tiara tertawa. “Itu juga sebabnya kami kembali ke sini, Tristan ingin
Jari Tristan menjalari seluruh lekuk tubuh Tiara, mereka berbaring berhadapan, belum kembali mengenakan pakaian yang berserakan di lantai, masih dipenuhi peluh, masih mengatur napas yang nyaris habis. Tadi Tristan bagai kesetanan, menggumuli Tiara sampai merintih, melenguh, berteriak, hingga suaranya habis. Dan kini, tubuh Tiara tergolek tak bertenaga. “Kamu kuat banget,” Tiara berbisik. “Padahal sudah tidak muda lagi.” Tristan tertawa, “Jangan menganggap remeh orang tua. Aku masih kuat kalau kamu mau nambah. Napasku panjang karena aku sering lari, full marathon 42 km. Bagaimana, masih mau lagi?” Tristan menggoda Tiara, memindahkan jarinya dan memutar-mutar di sekitar areolanya. Tiara menggedikkan bahu, “Rasanya tidak nyaman. Sepertinya lecet, kamu sih terlalu ganas.” “Akibat menahan lima tahun, sayang. Oh bukan, kalau menghitung dari kita kenal, sebenarnya tujuh tahun.” Tristan menggosokkan hidungnya ke hidung Tiara. “Jadi, mulai sekarang kamu harus siap aku sergap untuk dib
“Meskipun telah berpisah, aku tidak langsung mencarimu. Aku ingin melihat apakah takdir akan kembali mempertemukan kita. Jika tidak, berarti kita memang tidak berjodoh, dan aku benar-benar akan menghapus segala harapan. Tetapi ternyata… kita kembali dipertemukan. Dan kali ini, aku tak akan melepaskanmu.” Tristan meremas tangan Tiara. “Tentu saja, jika kamu belum bertemu seseorang, dan jika kamu bersedia.” Tiara menunduk, jantungnya berdentum-dentum. “Waktu kamu ulang tahun, kita tidak berfoto. Sekarang, kita sudah bisa berfoto bersama.” Kata Tristan lagi. “Supaya aku bisa melihat bagaimana wajah kita berdua ketika berdampingan, dan aku bisa memandangainya ketika aku sendirian.” Wajah Tiara seketika merona. “Kamu kok jadi lebay begini, malu ah sudah tua.” Tiara kembali berusaha menarik tangannya, tetapi Tristan malah pindah tempat duduk dari depannya ke sebelahnya. “Melihat reaksi kamu, kamu pasti belum bertemu seseorang, dan kamu bersedia. Ya kan?” Di akhir kalimat, Tristan be
Berbeda dari biasanya, dimana Tiara hampir selalu hadir lebih dulu dan Tristan hampir selalu terlambat, kali ini, Tiara berjalan berlama-lama, ingin membiarkan Tristan menunggunya.Ia bahkan hampir menyesali telah setuju untuk menemuinya lagi, setelah susah payah membakar jembatan, sekarang jembatan itu akan dibangun kembali?Namun, kata-kata Tristan yang mengatakan ‘banyak yang ingin disampaikan’, telah menggelitik rasa penasarannya. Sebanyak apa? Apa yang dia pendam dalam lima tahun ini, dan mengapa harus disampaikan padanya? Bukankah semuanya telah selesai?Tiara tiba di depan Blue Elephant. Seorang penerima tamu menyambutnya dengan senyum ramah.“Selamat siang. Untuk berapa orang, Bu?”“Sepertinya teman saya sudah di sini,” Tiara agak melongokkan kepala. “Entah dia sudah sampai belum…”“Boleh saya cek namanya?”“Tristan.”Penerima tamu itu memeriksa daftar nama di meja, “Sudah datang, mari saya antar, Bu.” Dia berjalan mendahului Tiara.Tiara mengikutinya ke sebuah meja. Ini bahka
Tiara berdiri di depan sebuah jendela lebar yang tirainya disingkapkan, menatap jajaran box berisi bayi-bayi yang terbaring di dalamnya.Kirana berdiri di sebelahnya, berjingkat-jingkat sambil memanjangkan leher.“Yang mana ya Mam?” Kirana bertanya.“Kayaknya yang itu tuh, yang ketiga dari kiri.” Tiara meletakkan telunjuknya di kaca.Kirana menoleh padanya, “Kok Mami milih yang itu?”“Soalnya merah sendiri. Yang lain pada kuning.” Tiara menjelaskan alasan akan bayi yang dipilihnya.Kirana kembali mengalihkan pandang ke box bayi itu, berusa
And if you should ask mewhich you are,my answer is -you are a scar. -Lang Leav-Pada akhirnya kita harus mengakui bahwa cinta tidak selalu benar. Cinta bisa jatuh di waktu yang salah, pada orang yang keliru, dalam keadaan yang tidak tepat. Pun ketidakbenaran itu tak menutupi kenyataan bahwa cinta itu hadir. Tak pula lalu meniadakan keberadaannya, bagaimana keras pun itu berusaha disingkirkan, dihapus, dilupakan.Pada akhirnya, itu hanya bisa dibiarkan mereda, mengendap, terkikis bersama waktu. Jika itu tak juga lenyap, dan rasa sakitnya terus terasa, kesakitan itu justru membuatnya nyata. Bahwa cinta itu ada. Pernah ada.Sebab siapa yang bisa menjamin apakah sebuah cinta akan berlangsung selamanya. Atau hanya hadir sesaat. Bukan kemampuan kita untuk melepaskan atau terus menggenggamnya yang akan menentukan rentang waktu cinta, melainkan kedalamannya. Terlepas dari apakah cinta itu benar, atau salah.Tiara menelusuri percakapan-percakapan di layar ponselnya. Semua percakapan denga