Beranda / Romansa / Belahan Jiwa / 5. Lelaki Sempurna (2)

Share

5. Lelaki Sempurna (2)

Penulis: Dela Tan
last update Terakhir Diperbarui: 2024-05-18 08:40:17

Dengan izin Ibu, malam itu juga Tiara menulis surat balasan untuk Ben.

Hai Ben,

Iya, aku bersedia.

TiaRa, bukan TiaNa.

Membaca kembali surat balasan itu, Tiara terkikik. Jika Ibu punya cerita masa muda yang terus diulang tentang Bapak ganteng yang menaksirnya meskipun dia tidak terlalu cantik, Tiara punya cerita ini yang akan dia ceritakan pada anaknya nanti.

Hah, anak? 

Tiara menepuk dahinya sendiri. ‘Mikir jangan kejauhan!’ Dia membatin, lalu kembali terkikik.

Dan begitulah, mereka langsung jadian. Karena Ben akan melanjutkan kuliah ke Amerika, waktu kebersamaan mereka sangat sempit. Dalam dua minggu, Ben sudah membawa Tiara menghadap orang tua dan adik perempuannya, Mimi. 

Meskipun keluarga kaya raya, papa mama Ben sangat ramah dan tidak sombong. Apalagi Mimi, yang sangat ingin punya kakak perempuan, langsung menerimanya dengan hangat.

Mereka bertemu setiap hari, Ben mengantar Tiara pulang sekolah dengan mobilnya setiap hari. Meskipun awalnya Tiara merasa berkhianat pada dua sahabatnya, Ruby dan Alana, yang biasanya pulang bareng naik angkot. Namun, kedua sahabatnya itu sangat pengertian dan malah mendorong Tiara memanfaatkan waktu yang sempit sebaik-baiknya.

Dan karena Ben telah membawa Tiara ke hadapan orang tuanya, tentu saja Tiara pun memperkenalkan Ben pada Bapak dan Ibu. 

Melihat calon menantu yang cakap, tampan, sopan, berprestasi dan dari keluarga berada, tentu saja kedua orang tua Tiara langsung menerimanya. Tiga bulan kemudian, Ben menyematkan cincin di jari manis Tiara. Juga melingkarkan sebuah kalung di lehernya.

“Cinta jarak jauh terlalu berat untuk dijalani, Ara. Ini hanya tanda pengikat. Cincin ini dariku, dan kalung ini dari Mama. Keluargaku sangat menyayangimu. Mimi bahkan sangat memujamu, sampai aku tidak tahu yang kakaknya itu kamu atau aku. Berjanjilah kamu akan menungguku.”

Tiara membisu dengan mata berkaca-kaca. Kemudian mengangguk dan memeluk Ben erat-erat. Cinta yang baru bertunas ini, harus segera dipisahkan jarak. Betapa berat. Namun, Tiara yakin hatinya tidak akan berpaling.

Enam bulan kemudian, Ben lulus dan berangkat ke Boston, Amerika Serikat. 

“Aku berjanji akan pulang tiap semester, akan mengirim surat padamu setiap minggu, bahkan jika surat balasanmu belum aku terima, aku tetap akan menulis lagi. Aku juga akan meneleponmu setiap akhir pekan.” Ben menghapus air mata Tiara di bandara, lalu memeluknya erat, seolah tak ingin melepaskannya.

Dan janji itu memang ditepati. Surat Ben selalu datang tanpa absen. Ben selalu meneleponnya tiap Sabtu malam dan selalu pulang setiap semester. Surat-surat Ben selalu menceritakan kehidupan kampus dan teman-teman barunya.

Sementara ketika menelepon, kerinduan mereka agak terobati karena mendengar suara masing-masing, meskipun suaranya timbul tenggelam. Saat itu teknologi belum semaju sekarang, komunikasi hanya mengandalkan metode konvensional.

Tiara yakin, Ben memang lelaki yang sempurna. Dia sangat beruntung memilikinya.

Setelah enam tahun menunggu, akhirnya Ben kembali, dengan gelar dokter di tangannya. Sebenarnya Ben berencana melanjutkan ke jurusan bedah kecantikan. Sebab, tiada guna belajar jauh-jauh ke Amerika di universitas terbaik, jika hanya menjadi dokter umum.

Namun, orang tuanya berpendapat, tidak adil bagi Tiara yang sudah lama menunggu, untuk menunggu lagi. Karena itu, lebih baik mereka melangsungkan pernikahan dahulu, lalu Tiara ikut ke Amerika, sementara Ben melanjutkan studi. 

Sebagai anak yang patuh, Ben menuruti keinginan orang tuanya. Tiara juga telah mempersiapkan diri, setelah lulus SMA dia hanya kursus Bahasa Inggris intensif, belajar menyetir mobil dengan setir kiri, dan mempelajari kebiasaan serta budaya Amerika agar di sana ia bisa bergaul.

Dan inilah hari besar itu. Hari pernikahan Tiara dan Ben. 

Ibu mencium kening Tiara, mengangkat kerudung pengantin melewati kepalanya. Menutupi wajah Tiara. Dipeluknya Tiara erat. 

“Bagi seorang Ibu, yang paling membahagiakan adalah saat mereka menyaksikan anak perempuannya menjadi pengantin.” Suara Ibu menahan haru. Air matanya menetes. Tiara mencium pipi Ibu dan mengusap air mata itu.

Tiara berjalan ke pintu menghampiri Bapak, yang juga menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Bapak akan mengiringinya ke altar, dimana Ben sedang menunggu, untuk menyerahkan anak perempuannya ke tangan lelaki itu, untuk dicintai dan dilindungi seumur hidupnya.  

Cinta Tiara dan Ben telah mengalahkan jarak dan waktu. Kini saatnya mereka dipersatukan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Belahan Jiwa   68. Ekstra 5 - Be My Wife (2) The End

    “Hai… sweetheart senang sekali bertemu denganmu lagi,” Marcia memeluk Tiara erat, mencium pipinya kiri dan kanan. “Aduh, sudah berapa lama ini?” “Lima tahun?” Melihat Tiara mengacungkan tangannnya, Marcia membelalak. “Astaga! Waktu benar-benar tidak menunggu.” “Dan kamu…” Marcia menepuk lengan atas Tristan sambil mengernyit, berpura-pura marah. “Berani-beraninya membuat anakku menangis. Apa yang kamu lakukan padanya? Kamu harus menebusnya! Apakah kamu sudah minta maaf?” Tristan mengangkat kedua tangannya dengan sikap menyerah. “Ampun. Aku akan menebusnya seumur hidup. Aku berjanji, itu pertama dan terakhir aku membuatnya menangis. Mulai saat ini, aku hanya akan menyelimutinya dengan cinta. Hanya akan membuatnya tersenyum.” “Nah, itu baru benar!” Marcia masih mengerucutkan bibir. “Sudah kukatakan mataku tidak salah. Aku menangkap binar-binar cinta di mata kalian. Sekarang terbukti, bukan?” “Ya ya…” Tristan dan Tiara tertawa. “Itu juga sebabnya kami kembali ke sini, Tristan ingin

  • Belahan Jiwa   67. Ekstra 4 - Be My Wife (1)

    Jari Tristan menjalari seluruh lekuk tubuh Tiara, mereka berbaring berhadapan, belum kembali mengenakan pakaian yang berserakan di lantai, masih dipenuhi peluh, masih mengatur napas yang nyaris habis. Tadi Tristan bagai kesetanan, menggumuli Tiara sampai merintih, melenguh, berteriak, hingga suaranya habis. Dan kini, tubuh Tiara tergolek tak bertenaga. “Kamu kuat banget,” Tiara berbisik. “Padahal sudah tidak muda lagi.” Tristan tertawa, “Jangan menganggap remeh orang tua. Aku masih kuat kalau kamu mau nambah. Napasku panjang karena aku sering lari, full marathon 42 km. Bagaimana, masih mau lagi?” Tristan menggoda Tiara, memindahkan jarinya dan memutar-mutar di sekitar areolanya. Tiara menggedikkan bahu, “Rasanya tidak nyaman. Sepertinya lecet, kamu sih terlalu ganas.” “Akibat menahan lima tahun, sayang. Oh bukan, kalau menghitung dari kita kenal, sebenarnya tujuh tahun.” Tristan menggosokkan hidungnya ke hidung Tiara. “Jadi, mulai sekarang kamu harus siap aku sergap untuk dib

  • Belahan Jiwa   66. Ekstra 3 - Tak Akan Melepaskanmu

    “Meskipun telah berpisah, aku tidak langsung mencarimu. Aku ingin melihat apakah takdir akan kembali mempertemukan kita. Jika tidak, berarti kita memang tidak berjodoh, dan aku benar-benar akan menghapus segala harapan. Tetapi ternyata… kita kembali dipertemukan. Dan kali ini, aku tak akan melepaskanmu.” Tristan meremas tangan Tiara. “Tentu saja, jika kamu belum bertemu seseorang, dan jika kamu bersedia.” Tiara menunduk, jantungnya berdentum-dentum. “Waktu kamu ulang tahun, kita tidak berfoto. Sekarang, kita sudah bisa berfoto bersama.” Kata Tristan lagi. “Supaya aku bisa melihat bagaimana wajah kita berdua ketika berdampingan, dan aku bisa memandangainya ketika aku sendirian.” Wajah Tiara seketika merona. “Kamu kok jadi lebay begini, malu ah sudah tua.” Tiara kembali berusaha menarik tangannya, tetapi Tristan malah pindah tempat duduk dari depannya ke sebelahnya. “Melihat reaksi kamu, kamu pasti belum bertemu seseorang, dan kamu bersedia. Ya kan?” Di akhir kalimat, Tristan be

  • Belahan Jiwa   65. Ekstra 2 - Tak Ingin Lagi Kehilanganmu

    Berbeda dari biasanya, dimana Tiara hampir selalu hadir lebih dulu dan Tristan hampir selalu terlambat, kali ini, Tiara berjalan berlama-lama, ingin membiarkan Tristan menunggunya.Ia bahkan hampir menyesali telah setuju untuk menemuinya lagi, setelah susah payah membakar jembatan, sekarang jembatan itu akan dibangun kembali?Namun, kata-kata Tristan yang mengatakan ‘banyak yang ingin disampaikan’, telah menggelitik rasa penasarannya. Sebanyak apa? Apa yang dia pendam dalam lima tahun ini, dan mengapa harus disampaikan padanya? Bukankah semuanya telah selesai?Tiara tiba di depan Blue Elephant. Seorang penerima tamu menyambutnya dengan senyum ramah.“Selamat siang. Untuk berapa orang, Bu?”“Sepertinya teman saya sudah di sini,” Tiara agak melongokkan kepala. “Entah dia sudah sampai belum…”“Boleh saya cek namanya?”“Tristan.”Penerima tamu itu memeriksa daftar nama di meja, “Sudah datang, mari saya antar, Bu.” Dia berjalan mendahului Tiara.Tiara mengikutinya ke sebuah meja. Ini bahka

  • Belahan Jiwa   64. Ekstra 1 - Lima Tahun Kemudian

    Tiara berdiri di depan sebuah jendela lebar yang tirainya disingkapkan, menatap jajaran box berisi bayi-bayi yang terbaring di dalamnya.Kirana berdiri di sebelahnya, berjingkat-jingkat sambil memanjangkan leher.“Yang mana ya Mam?” Kirana bertanya.“Kayaknya yang itu tuh, yang ketiga dari kiri.” Tiara meletakkan telunjuknya di kaca.Kirana menoleh padanya, “Kok Mami milih yang itu?”“Soalnya merah sendiri. Yang lain pada kuning.” Tiara menjelaskan alasan akan bayi yang dipilihnya.Kirana kembali mengalihkan pandang ke box bayi itu, berusa

  • Belahan Jiwa   63. Kamu Adalah Luka Parut

    And if you should ask mewhich you are,my answer is -you are a scar. -Lang Leav-Pada akhirnya kita harus mengakui bahwa cinta tidak selalu benar. Cinta bisa jatuh di waktu yang salah, pada orang yang keliru, dalam keadaan yang tidak tepat. Pun ketidakbenaran itu tak menutupi kenyataan bahwa cinta itu hadir. Tak pula lalu meniadakan keberadaannya, bagaimana keras pun itu berusaha disingkirkan, dihapus, dilupakan.Pada akhirnya, itu hanya bisa dibiarkan mereda, mengendap, terkikis bersama waktu. Jika itu tak juga lenyap, dan rasa sakitnya terus terasa, kesakitan itu justru membuatnya nyata. Bahwa cinta itu ada. Pernah ada.Sebab siapa yang bisa menjamin apakah sebuah cinta akan berlangsung selamanya. Atau hanya hadir sesaat. Bukan kemampuan kita untuk melepaskan atau terus menggenggamnya yang akan menentukan rentang waktu cinta, melainkan kedalamannya. Terlepas dari apakah cinta itu benar, atau salah.Tiara menelusuri percakapan-percakapan di layar ponselnya. Semua percakapan denga

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status