"Aku nggak tertarik," sahut Naira tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponselnya. "Aku mau ke kamar baca novel online."
Naira bangkit dari duduk. Dia pergi ke kamarnya meninggalkan Elvita dan Bastian.
"Tapi, Naira, kalo kamuー"
Menyadari situasi berubah menjadi canggung, Bastian segera menenangkan hati Elvita.
"Biarin aja, Vi! Pikiran Naira masih suka main-main."
"Tapi, Naira udah 21 tahun, Tian!"
Naira mendengar Elvita dan Bastian saling adu pendapat. Dia mengangkat kedua bahu sambil terus berjalan.
Di kamarnya, Naira merasa gerah sendiri.
"Bosen banget di rumah! Ih, baru jam 8 malem! Mau ke luar ama temen-temen, ah!"
Naira bangun dari tempat tidurnya dan memperhatikan pantulan dirinya di cermin besar. Setelah merasa rapi, dia segera pergi dari kamarnya.
Dia menuruni anak tangga dengan sangat hati-hati karena tidak ingin mengganggu acara ulang tahun Elvita.
"Ah, Tian ...."
Naira mendengar sayup-sayup suara desahan Elvita dari ruang tengah. Suara itu semakin jelas ketika dia sampai di anak tangga paling bawah.
"Jangan sekarang, Tian! Nanti Naira liat kita. Gimana kalo ke kamar aku aja?"
Naira melihat kancing kemeja Elvita sudah terlepas semua dan maminya duduk nyaman di pangkuan Bastian.
'Astaga! Mami setengah telanjang!' seru benak Naira sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Naira melihat rok hitam Elvita sudah tergeletak di lantai tepat di atas kemeja Bastian. Naira membeku di tempatnya.
"Aku udah nggak tahan, Vi." Suara Bastian begitu dalam dan berat.
Naira mengintip dari sela-sela jari. Kedua tangan Bastian mengelus lembut paha luar Elvita sambil menciumi bibir janda satu anak tersebut.
Elvita tidak mau kalah. Dia dengan agresif membalas serangan Bastian.
"Aku suka banget sama permainan lidah kamu, Tian," kata Elvita. Suaranya lembut.
Naira berpikir, 'Aku jijik banget liat Mami dan Om Tian kayak gitu! Apa Mami udah nggak inget ama Papi?'
"Naira?!"
Elvita akhirnya tersadar bahwa anaknya memergoki dia dan Bastian bercumbu. Dia segera berdiri memungut rok, lalu bergegas memakainya.
"Naira, kaーkamu mau ke mana? Kok udah rapi gitu?"
Elvita gelagapan. Dia canggung usai kepergok.
"Mau ke luar," jawab Naira ketus. Dia berjalan menuju ruang tamu.
Bastian tidak berhenti menatap Naira. Kedua matanya berapi-api seolah ingin menelan Naira.
'Sial! Aku benci banget sama Mami!' Naira memaki Elvita di dalam hati.
Naira membuka pintu utama. Sebelum pergi, dia sempat mendengar suara Bastian.
"Kalo gitu, aku pulang dulu, Vi. Banyak kerjaan yang belum selesai."
* * *
Hari berikutnya.
Pukul 4 sore waktu Scarlet. Naira masih berada di Food Junction Universitas Goldera Scarlet menunggu Elvita menjemputnya. Naira bosan. Sambil menunggu hujan reda, dia sibuk memainkan ponsel.
"Ra, kamu ngapain? Kamu belum dijemput?"
Helenaーsahabat satu-satunya yang dimiliki Naira datang. Dia duduk di samping Naira.
"Helen, kamu tau Zilong E-First?"
Helena mengintip ponsel Naira. Rupanya Naira sedang melihat-lihat profil perusahaan Zilong E-First milik Bastian.
"Ya tau lah, Ra. Emang kenapa?"
Naira tersenyum tipis. "Gimana kalau kita magang di sana aja? Kamu mau nggak?"
Bukannya mendapatkan jawaban, Helena justru melolot.
"Heh! Kamu pikir masuk ke perusahaan startup Zilong E-First itu mudah?!"
Naira bingung. Dia tidak mengerti maksud perkataan Helena.
"Maksudnya, Len?"
Helena menghela napas panjang. Dia geleng-geleng.
"Zilong E-First itu satu-satunya perusahaan startup yang berstatus decacorn di negara Scarlet. Kamu pasti tau decacorn, ‘kan?"
Naira mengangguk. Dia meletakkan ponsel di atas meja. "Perusahaan decacorn itu punya valuasi nilai yang lebih tinggi yakni USD10 miliar atau sekitar Rp140 triliun. Iya, ‘kan?"
Helena tersenyum lega. "Iya. Eh, ada cowok cakep jalan ke arah meja kita!" seru Helena. Wajahnya merona malu.
Naira menoleh ke belakangnya mengikuti arah pandang Helena. Dia terkejut melihat sosok pria yang dikenalnya berjalan mendekat.
"Naira, aku daritadi telepon kamu, kenapa nggak dijawab?" tanya si pria dengan raut wajah dingin dan ada sedikit kekesalan di pancaran matanya.
"Oh, itu nomor Om Tian? Aku jarang terima telepon orang asing." Naira justru membalas dengan acuh tak acuh sambil mengaduk es tehnya yang tinggal setengah.
Helena menepuk pundak kanan Naira. "Ra, kamu kenal dia?"
Anggukan Naira membuat Helena nyaris pingsan.
Tanpa memedulikan Helena, Naira kembali menatap Bastian. "Om ngapain ke sini?"
"Aku disuruh Elvita jemput kamu. Ayo pulang!" Setelah mengucapkan itu, Bastian berjalan beberapa langkah meninggalkan Naira.
Sebulan kemudian, Bastian berencana membawa Naira ke kantor E-First, tempat di mana mereka pernah bekerja bersama.“Ini beneran gak apa-apa, Tian?” tanya Naira untuk memastikan saja.Mereka sudah selesai berdandan rapi dan siap berangkat bersama ke kantor Bastian.“Tentu aja nggak apa-apa, Nai. Gimanapun, mereka harus tau ini. Nggak mungkin hubungan kita terus disembunyikan dan menjadi diam-diam aja, kan?” Bastian mengambil tangan Naira, ingin menguatkan hati calon istrinya.Saat ini, Naira sudah membubarkan segala ujian dan apa pun tes yang harus dilalui Bastian. Dia tidak lagi menginginkan itu karena dia sadar bahwa dia tak sanggup hidup tanpa Bastian.Pengalaman di ambang batas kematian membuat Naira memahami apa yang paling dia inginkan.“Kalo mereka marah, gimana? Ntar mereka demo, gimana?” Naira masih khawatir.Dulu rumor hubungan mereka sempat membuat geger kantor dan berhasil ditepis dengan berbagai cara. Sekarang justru hendak dibuka terang-terangan. Akan seperti apa respon pa
“Beneran? Len lairan?! Kapan?” Naira bertanya dengan senyum penuh kebahagiaan, seolah rasa sakit yang tadi dialaminya seketika menghilang.“Setelah kamu kelar operasi dan mendadak aja ketubannya pecah sewaktu mau ngantar kamu ke kamarmu ini. Oh ya, bayinya perempuan,” lanjut Bastian.Naira menatap Bastian dengan tatapan penuh arti. Hari ini benar-benar penuh dengan emosi—kesedihan, harapan, dan kebahagiaan yang semuanya berkumpul di satu tempat.Namun, wajah Bastian kembali serius sejenak saat dia menghela napas. “Ada kabar lain yang perlu kamu tau,” ujarnya. “Vera udah ditahan di kantor polisi. Mereka memastikan dia nggak akan kemana-mana, dan proses hukumnya akan segera berjalan. Sidangnya mungkin akan berlangsung dalam beberapa minggu lagi.”Naira terdiam, memikirkan peristiwa yang hampir merenggut nyawanya. Meski dia merasa lega bahwa Vera akan mempertanggungjawabkan perbuatannya, hatinya tetap tergetar.Kejadian ini meninggalkan luka yang dalam, tapi dia merasa lebih kuat ketika
Suster menatapnya dengan penuh empati. "Nyonya stabil untuk saat ini, Pak. Tapi kami harus memantau dengan ketat. Mengenai janinnya... kita perlu menunggu perkembangan lebih lanjut."Bastian mengangguk pelan, meski hatinya masih penuh kekhawatiran. Naira beserta janinnya harus baik-baik saja, mereka berdua harus baik-baik saja. Itu yang menjadi harapan utama Bastian.***Di kamar VIP yang tenang itu, Naira perlahan membuka matanya. Cahaya lembut dari jendela menembus tirai, menyinari wajahnya yang masih terlihat lemah.Saat kesadarannya mulai kembali, matanya terasa hangat dan basah. Mungkin efek samping dari obat, pikirnya.Tapi begitu dia sadar sepenuhnya, yang pertama kali dia rasakan adalah tangan Bastian yang menggenggam erat tangannya.“Om….” panggilnya dengan suara serak.“Nai… akhirnya kamu sadar.” Suara Bastian bergetar pelan, penuh dengan rasa syukur dan kelegaan.Dia menatap Naira dengan tatapan yang penuh kasih, seolah tidak ada yang lebih penting di dunia ini selain dia d
“Kamu ngancam aku, Bas? Kamu berani ngancam aku?!” jerit Vera, tak terima.“Jika itu memang harus, maka aku akan melakukannya. Kamu bisa memilih, ingin aku mengambil langkah yang mana.” Bastian menyahut dengan suara dingin.Keributan semakin membesar di bandara, dan Bastian bisa mendengar suara ibunya Vera yang semakin marah, memaki-maki anak buah Bastian.Namun, situasi itu berubah ketika polisi bandara tiba di tempat kejadian setelah mendengar keributan. Mereka segera menahan Vera dan ibunya dari keberangkatan, meminta keduanya untuk tidak meninggalkan negara Scarlet sampai masalah ini selesai.“Aku akan mengurus semuanya,” kata Bastian pada petugas bandara yang mencoba menenangkan situasi. “Jika perlu, aku akan membayar empat kali lipat dari harga tiket yang sudah mereka beli. Yang penting, jangan biarkan mereka terbang.”Polisi dan staf bandara menerima tawaran Bastian. Uang memang bisa menyelesaikan sebagian masalah, pikirnya dengan dingin. Dia menutup telepon, tetapi belum sempa
‘Kumohon… aku ingin… terus bareng Om… selamanya….’ pinta Naira ketika dia memejamkan mata dan membiarkan dokter memulai operasinya.Di luar, Bastian sibuk mondar-mandir di depan kamar operasi.“Haahh… lama banget, sih?” rutuk Bastian, tak sabar.Helena yang juga ada di sana, hanya memutar matanya dengan jengah pada ucapan Bastian.“Ya elah… baru juga 10 menit, udah diprotes lama.” Helena merespon dengan suara nyinyir. “Buruan duduk! Mual aku liat kamu mondar-mandir rempong gitu!”Helena tidak takut sama sekali pada Bastian meski dia tahu siapa Bastian. Baginya, orang yang sudah membuat sahabatnya sedih, tak perlu ditakuti.Mau tak mau, Bastian menghentikan langkahnya yang bagaikan setrika. Dengan hembusan keras dari napasnya, dia pun duduk tak jauh dari Helena.“Bisa tolong ceritain, gimana kok Naira bisa kena tusuk gitu?” Bastian akhirnya teringat bahwa dia belum mengetahui mengenai kronologi dan latar belakang kejadiannya.Helena melirik sinis ke Bastian, menunjukkan permusuhan seca
“A-aku… aku….” Suara Vera bergetar.Vera kaget bercampur syok ketika menatap pisau lipat yang menancap di perut Naira. Meski dia benci Naira, tapi ketika usai menusukkan pisau ke Naira, rasa takut menyergapnya, seolah sebentar lagi dia akan dikejar iblis.“Arghh!” Vera menjerit panik dan bergegas pergi dari sana.Dia memang wanita jahat, tapi untuk berbuat lebih dari sekedar menusuk seseorang, dia tak memiliki nyali mengenai itu.Bahkan, menusuk perut seseorang merupakan kegilaannya paling maksimal dalam hidupnya.Sedangkan di kamar kosnya, napas Naira terengah-engah sambil terus memandangi perutnya.“Perutku… anak…ku….” Naira gemetaran.Takut dan sakit menguasai dirinya. Darah sudah mulai merembes banyak di bajunya.“Gak, gak boleh aku cabut pisaunya. Bahaya….”Di sela-sela kepanikan dan rasa takutnya, dia masih cukup bernalar mengenai itu.Maka, menahan rasa sakit dan dengan langkah tertatih, dia mengambil ponselnya, menghubungi nomor Bastian.“Ya ampun, buruan angkat, sialan! Aku b