"Len, aku duluan ya!" Naira berjalan membuntuti Bastian.
Dia terlihat kesal.
"Om, emangnya Mami ke mana?" tanya Naira pada akhirnya.
"Dia masih banyak kerjaan. Cepetan! Di luar masih hujan. Kamu punya payung?" Mau tak mau, Bastian berhenti menunggu Naira mensejajarinya.
"Nggak," jawab Naira singkat.
Bastian mendengus dingin. "Kok bisa cewek nggak punya payung?"
“Harus, gitu?” ketus Naira sambil melirik enggan ke Bastian di sampingnya.
Tidak ingin berdebat dengan anak kekasihnya, Bastian memilih untuk menyudahi topik tak penting itu.
Dia justru memberi ide, “Kita lari aja ke mobil! Kamu nggak lemah ama hujan, kan?” tanyanya sambil memberikan tatapan remeh ke Naira.
Mendengar pertanyaan yang bernada seperti menantang dan tatapan meremehkan, Naira mana mungkin membiarkan kekasih maminya bisa seenaknya menjatuhkan penilaian rendah terhadap dirinya?
“Huh! Baru ujan air doang, belum ujan batu, kan?” Naira menggunakan nada ketus menjawab Bastian.
Sesudah menjawab, Naira bergegas berlari dengan tas ditaruh di atas kepala sebagai pengganti payung karena hujan masih cukup deras mengguyur bumi Scarlet. Di belakangnya, Bastian ikut berlari, menyusul Naira.
Lekas mengeluarkan kunci untuk mengaktifkan lock mobil, Bastian buru-buru membukakan pintu kabin navigasi untuk Naira sebelum dia masuk ke kabin pengemudi.
“Sial, basah!” Bastian sedikit bersungut-sungut sambil menoleh singkat ke Naira di sampingnya.
Naira sibuk menepis sisa air yang menempel di baju kuliahnya. Setelah itu, dia mencoba merapikan rambut basahnya.
“Sorry, kamu jadi basah.” Bastian tak ingin Naira salah paham mengira dia tak peduli.
Bastian melepas jas basah yang tadi menjadi pelindungnya dari hujan, melemparkannya ke jok belakang, dan membiarkan dirinya hanya memakai kemeja biru muda yang masih kering. Terima kasih pada jas mahalnya yang tebal.
Glek! Bastian tak bisa menahan saliva yang tertelan ketika dia menatap penampilan basah Naira. Jakunnya naik-turun ketika melihat kemeja tipis gadis itu berwarna dasar putih dengan garis-garis merah muda dan ungu, sehingga menempel ketat di kulit Naira, memperlihatkan lekuk dadanya.
"Nggak masalah, hal sepele." Naira menimpali dengan gaya cuek. "Kenapa, Om?"
Sekarang, Naira menyadari bahwa dirinya tengah ditatap Bastian.
"Nggak apa-apa." Bastian beralasan. “Nih!”
Bastian menyodorkan kotak tisu ke Naira.
Naira mencabut tisu dari kotaknya dan menggunakannya untuk mengelap pipi, rambut dan bagian basah lainnya.
“Kita jalan!” Bastian tak menemukan topik lainnya. Dia bukan jenis orang yang pandai beramah-tamah dengan orang asing, apalagi yang tidak memberi keuntungan bagi perusahannya.
Setelah itu, mobil dilajukan, keluar dari area Universitas Goldera, dan berbaur dengan kendaraan lain di jalan raya.
"Kita mampir beli cokelat hangat dulu." Bastian membuat keputusan sambil menoleh singkat ke Naira. "Tak masalah, kan?"
Entah kenapa, rasanya dia masih belum rela jika terlalu singkat berduaan begini dengan Naira.
"Ya udah, terserah, sih!" Naira mengangkat kedua bahu, acuh tak acuh.
Menganggap usul Bastian masuk akal, Naira setuju saja dan membiarkan mobil melaju ke salah satu drive thru restoran fastfood ternama dari negara Raven.
Sembari menunggu Bastian memesan menu melalui drive thru, Naira mengambil ponselnya dan berharap gadget itu tidak basah di saku depan tasnya.
"Ini." Bastian menyodorkan segelas cokelat hangat ke Naira.
Menerima gelas dari Bastian, Naira akhirnya menaruh ponselnya kembali ke dalam tas. Dia sesap pelan-pelan minuman hangatnya sembari Bastian melajukan mobil.
Namun, ternyata Bastian memarkirkan mobil di restoran tersebut. Kening Naira berkerut heran. Untuk apa mereka berhenti? Kenapa tidak langsung ke rumah saja?
"Minum dulu di sini." Bastian memberi alasan seraya mematikan mesin mobil.
Naira tidak keberatan dan kembali meneguk pelan cokelat hangatnya. Dia tak tahu Bastian terus meliriknya, berulang kali mencuri pandang dari samping dengan mata melekat ke wajah dan dadanya.
‘Aduhai, kenapa cantik nian anak pacarku? Kalo gini aku jadi dilema, kepingin ibunya apa anaknya?’ Bastian malah sibuk membatin.
Sebagai pria, meski dianggap dingin dan arogan oleh banyak orang di sekitarnya, tapi Bastian tetap lelaki normal yang mengerti mana wanita cantik dan menarik.
‘Ibunya atau anaknya?’ Pikiran Bastian bergulat dengan itu sambil menyesap cokelat hangatnya.
Sebulan kemudian, Bastian berencana membawa Naira ke kantor E-First, tempat di mana mereka pernah bekerja bersama.“Ini beneran gak apa-apa, Tian?” tanya Naira untuk memastikan saja.Mereka sudah selesai berdandan rapi dan siap berangkat bersama ke kantor Bastian.“Tentu aja nggak apa-apa, Nai. Gimanapun, mereka harus tau ini. Nggak mungkin hubungan kita terus disembunyikan dan menjadi diam-diam aja, kan?” Bastian mengambil tangan Naira, ingin menguatkan hati calon istrinya.Saat ini, Naira sudah membubarkan segala ujian dan apa pun tes yang harus dilalui Bastian. Dia tidak lagi menginginkan itu karena dia sadar bahwa dia tak sanggup hidup tanpa Bastian.Pengalaman di ambang batas kematian membuat Naira memahami apa yang paling dia inginkan.“Kalo mereka marah, gimana? Ntar mereka demo, gimana?” Naira masih khawatir.Dulu rumor hubungan mereka sempat membuat geger kantor dan berhasil ditepis dengan berbagai cara. Sekarang justru hendak dibuka terang-terangan. Akan seperti apa respon pa
“Beneran? Len lairan?! Kapan?” Naira bertanya dengan senyum penuh kebahagiaan, seolah rasa sakit yang tadi dialaminya seketika menghilang.“Setelah kamu kelar operasi dan mendadak aja ketubannya pecah sewaktu mau ngantar kamu ke kamarmu ini. Oh ya, bayinya perempuan,” lanjut Bastian.Naira menatap Bastian dengan tatapan penuh arti. Hari ini benar-benar penuh dengan emosi—kesedihan, harapan, dan kebahagiaan yang semuanya berkumpul di satu tempat.Namun, wajah Bastian kembali serius sejenak saat dia menghela napas. “Ada kabar lain yang perlu kamu tau,” ujarnya. “Vera udah ditahan di kantor polisi. Mereka memastikan dia nggak akan kemana-mana, dan proses hukumnya akan segera berjalan. Sidangnya mungkin akan berlangsung dalam beberapa minggu lagi.”Naira terdiam, memikirkan peristiwa yang hampir merenggut nyawanya. Meski dia merasa lega bahwa Vera akan mempertanggungjawabkan perbuatannya, hatinya tetap tergetar.Kejadian ini meninggalkan luka yang dalam, tapi dia merasa lebih kuat ketika
Suster menatapnya dengan penuh empati. "Nyonya stabil untuk saat ini, Pak. Tapi kami harus memantau dengan ketat. Mengenai janinnya... kita perlu menunggu perkembangan lebih lanjut."Bastian mengangguk pelan, meski hatinya masih penuh kekhawatiran. Naira beserta janinnya harus baik-baik saja, mereka berdua harus baik-baik saja. Itu yang menjadi harapan utama Bastian.***Di kamar VIP yang tenang itu, Naira perlahan membuka matanya. Cahaya lembut dari jendela menembus tirai, menyinari wajahnya yang masih terlihat lemah.Saat kesadarannya mulai kembali, matanya terasa hangat dan basah. Mungkin efek samping dari obat, pikirnya.Tapi begitu dia sadar sepenuhnya, yang pertama kali dia rasakan adalah tangan Bastian yang menggenggam erat tangannya.“Om….” panggilnya dengan suara serak.“Nai… akhirnya kamu sadar.” Suara Bastian bergetar pelan, penuh dengan rasa syukur dan kelegaan.Dia menatap Naira dengan tatapan yang penuh kasih, seolah tidak ada yang lebih penting di dunia ini selain dia d
“Kamu ngancam aku, Bas? Kamu berani ngancam aku?!” jerit Vera, tak terima.“Jika itu memang harus, maka aku akan melakukannya. Kamu bisa memilih, ingin aku mengambil langkah yang mana.” Bastian menyahut dengan suara dingin.Keributan semakin membesar di bandara, dan Bastian bisa mendengar suara ibunya Vera yang semakin marah, memaki-maki anak buah Bastian.Namun, situasi itu berubah ketika polisi bandara tiba di tempat kejadian setelah mendengar keributan. Mereka segera menahan Vera dan ibunya dari keberangkatan, meminta keduanya untuk tidak meninggalkan negara Scarlet sampai masalah ini selesai.“Aku akan mengurus semuanya,” kata Bastian pada petugas bandara yang mencoba menenangkan situasi. “Jika perlu, aku akan membayar empat kali lipat dari harga tiket yang sudah mereka beli. Yang penting, jangan biarkan mereka terbang.”Polisi dan staf bandara menerima tawaran Bastian. Uang memang bisa menyelesaikan sebagian masalah, pikirnya dengan dingin. Dia menutup telepon, tetapi belum sempa
‘Kumohon… aku ingin… terus bareng Om… selamanya….’ pinta Naira ketika dia memejamkan mata dan membiarkan dokter memulai operasinya.Di luar, Bastian sibuk mondar-mandir di depan kamar operasi.“Haahh… lama banget, sih?” rutuk Bastian, tak sabar.Helena yang juga ada di sana, hanya memutar matanya dengan jengah pada ucapan Bastian.“Ya elah… baru juga 10 menit, udah diprotes lama.” Helena merespon dengan suara nyinyir. “Buruan duduk! Mual aku liat kamu mondar-mandir rempong gitu!”Helena tidak takut sama sekali pada Bastian meski dia tahu siapa Bastian. Baginya, orang yang sudah membuat sahabatnya sedih, tak perlu ditakuti.Mau tak mau, Bastian menghentikan langkahnya yang bagaikan setrika. Dengan hembusan keras dari napasnya, dia pun duduk tak jauh dari Helena.“Bisa tolong ceritain, gimana kok Naira bisa kena tusuk gitu?” Bastian akhirnya teringat bahwa dia belum mengetahui mengenai kronologi dan latar belakang kejadiannya.Helena melirik sinis ke Bastian, menunjukkan permusuhan seca
“A-aku… aku….” Suara Vera bergetar.Vera kaget bercampur syok ketika menatap pisau lipat yang menancap di perut Naira. Meski dia benci Naira, tapi ketika usai menusukkan pisau ke Naira, rasa takut menyergapnya, seolah sebentar lagi dia akan dikejar iblis.“Arghh!” Vera menjerit panik dan bergegas pergi dari sana.Dia memang wanita jahat, tapi untuk berbuat lebih dari sekedar menusuk seseorang, dia tak memiliki nyali mengenai itu.Bahkan, menusuk perut seseorang merupakan kegilaannya paling maksimal dalam hidupnya.Sedangkan di kamar kosnya, napas Naira terengah-engah sambil terus memandangi perutnya.“Perutku… anak…ku….” Naira gemetaran.Takut dan sakit menguasai dirinya. Darah sudah mulai merembes banyak di bajunya.“Gak, gak boleh aku cabut pisaunya. Bahaya….”Di sela-sela kepanikan dan rasa takutnya, dia masih cukup bernalar mengenai itu.Maka, menahan rasa sakit dan dengan langkah tertatih, dia mengambil ponselnya, menghubungi nomor Bastian.“Ya ampun, buruan angkat, sialan! Aku b