Langit hari ini nampak seperti kanvas biru tanpa coretan apapun. Matahari bersinar terik dengan leluasa. Karenanya, beberapa orang mengeluh akan gerahnya suasana meski baru jam 10 pagi.
1 jam yang lalu, seharusnya Reyhan dan Gina sudah meninggalkan kantor. Namun, kerjaan yang menumpuk membuat mereka mengurungkan niat. Penampilan Gina yang rapi semenjak pagi pun perlahan mulai agak kusut karena lelah. Ia harus menyelesaikan semua kerjaannya secepat mungkin.
"Apa belum selesai?" tanya Reyhan. CEO itu dengan santainya masuk ke ruangan Gina tanpa permisi.
Gina menggeleng. Ia sangat kesal dengan tumpukan dokumen di mejanya ini. Ia sekilas melihat Reyhan dan melanjutkan menatap laptop di depannya.
"Sudahlah. Tinggalkan saja. Aku akan suruh orang lain mengerjakannya. Jika tidak seperti itu, kau tidak akan selesai hari ini," Reyhan menutup laptop Gina. Membuat gadis itu agak kaget. Pasalnya, wajah Reyhan kini juga sangat jengkel.
Gina melihat pada jam tangannya. Sudah jam 10.15 pagi. "Apa tidak masalah bertamu ke rumahmu jam segini?"
Reyhan mengangguk. Ia menjelaskan bila hanya hari inilah kedua orang tuanya ada di rumah. Setelahnya, mereka akan berangkat ke Jakarta untuk mengurus sebuah bisnis.
Setelah menjelaskan, Reyhan beranjak pergi dari ruangan Gina. Gina pun langsung mulai membersihkan meja kerjanya. Ia mulai melangkah pergi dari ruangan ini.
***
Mobil Reyhan kini melaju konstan. Ia bersama Gina telah berangkat untuk menemui orang tua Reyhan. Di tengah perjalanan, mereka hanya saling diam.
Reyhan memperhatikan gelagat Gina yang agak aneh. Gadis itu sepertinya tengah panik, nampak dari wajahnya. Namun, itu hal yang wajar. Orang seperti apa yang tak panik dan khawatir di saat seperti ini? Bahkan, sebenarnya Reyhan pun sedikit deg-degan.
"Apa kau panik? Ini bukan pertama kalinya kau bertemu ayah dan ibuku, Gin," ucap Reyhan pada akhirnya. Mencoba menepis sunyi di antara mereka.
"Iya sih. Aku memang sudah sering bertemu mereka. Tapi kali ini aku datang bukan sebagai sekertarismu, kan?" jawab Gina. Muka gadis itu mulai memerah. Melihatnya, Reyhan hanya tersenyum.
Beberapa saat berlalu mereka habiskan hanya dengan diam. Tanpa sadar, sampailah sudah mereka di rumah Reyhan. Dengan gugup, Gina keluar dari mobil dan berjalan mengekor pada Reyhan yang sudah berjalan lebih dulu.
"Eh, Rey? Apa tidak ada kerjaan di kantor hingga kau pulang ke rumah?" kata seorang wanita setengah baya yang menghampiri mereka. Wanita itu sudah bisa dipastikan adalah ibu Reyhan, bu Dian.
"Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan pada ibu dan ayah," sahut Reyhan sambil mendudukkan diri di sofa ruang tamu. Di sana, ayah dan ibu Reyhan sudah berkumpul, membuat Gina semakin merasa panik.
"Kau membawa sekertarismu juga, apa ini berkaitan dengan perusahaan?" tanya pak Hasan, ayah Reyhan.
"Bukan. Ini lebih penting," Reyhan menjawab dengan cepat. Ia terlihat jauh lebih tenang dari pada Gina.
Sementara itu, Gina hanya diam sembari duduk di samping Reyhan. Meski tak berkata apapun, wajahnya terlihat panik. "Gina, apa kau baik-baik saja?" bu Dian memperhatikan gelagat Gina yang aneh. Tak seperti biasanya saat mereka bertemu.
Gina mengangguk sambil menyunggingkan senyuman. "Saya baik-baik saja," jawabnya.
Pak Hasan yang sepertinya sudah tau ada hal tak beres mulai bicara. "Rey, ayah harap ini tidak seperti yang ayah pikirkan," katanya.
"Tapi sayangnya, ini benar-benar seperti apa yang ayah pikirkan."
Reyhan menghela nafas. Mencoba menenangkan diri sebelum bicara apa yang sebenarnya. "Aku akan menikahi Gina."
"Apa?!" teriak bu Dian. Ia langsung berdiri, menatap Reyhan tak percaya. "Apa kau benar-benar serius, Rey?" Bu Dian masih saja menatap Reyhan tak percaya, masih bicara dengan berteriak juga. Ia beralih menatap Gina yang sudah tak bisa mengatakan satu patah kata pun.
Suasana berubah. Semua yang mulanya hangat dan ceria menjadi dingin mencekam. Bu Dian masih berdiri marah, menatap sinis pada Gina. Sementara pak Hasan masih duduk dengan wajah tanpa ekspresi. Keduanya dengan jelas nampak sangat menentang apa yang baru saja Reyhan katakan.
Pak Hasan tiba-tiba berdiri dan menghampiri Reyhan. Ia mengajak Reyhan pergi dari ruang tamu. Bicara 4 mata, itulah hal yang akan mereka lakukan.
"Apa yang sudah kau lakukan dengan anakku?!" teriak bu Dian sesaat setelah Reyhan pergi bersama pak Hasan.
"Maafkan saya," cicit Gina. Ia benar-benar takut sampai menangis. "Saya tidak melakukan apapun. Perasaan kami terjalin begitu saja," tambah Gina dengan suara lirih.
"Gina. Aku tau kau gadis baik,aku sudah mengenalmu. Tapi bukan berarti aku akan merestui hubungan kalian! Apa kau sadar posisimu?"
"Saya tau saya hanya sekertaris, tapi-"
"Aku sama sekali tidak akan pernah merestui kalian! Aku menginginkan menantu yang punya posisi setara dengan putraku! Terlebih, apa kau tidak tau bahwa kami suku Sunda sementara kau Jawa? Pernikahan ini dilarang!" bu Dian memotong ucapan Gina. Menghujani gadis itu dengan amarah yang meluap-luap.
Sementara di sisi lain, Reyhan sedang berbicara empat mata dengan ayahnya. Pak Hasan dari tadi sangat menentang keputusan Reyhan, namun Reyhan tetap teguh pada keputusannya. Terlihat dari bagaimana Reyhan menatap ayahnya itu. Ia sangat dan sangat ingin sekali menikahi Gina.
Reyhan memaparkan segalanya. Bagaimana baiknya Gina dan kenapa ia tertarik padanya. Setelah bertahun-tahun didesak untuk menikah, Reyhan akhirnya benar-benar bersedia. Namun, itu hanya dengan Gina seorang.
Bahkan, Reyhan tak perduli harus melanggar larangan pernikahan antara suku Jawa dan Sunda. Ia sudah terlalu mencintai Gina, ia hanya ingin menikahi gadis itu. Kalau ia menikah maka itu hanya dengan Gina.
Perselisihan antara pak Hasan dan putranya ini berlangsung sengit. Mereka berargumen dan tak ada satu pun dari argumen mereka yang sama. Intinya, pak Hasan tak merestui pernikahan Reyhan dan Gina. Entah karena melanggar adat atau pun karena Gina tak sesuai dengan level keluarga mereka yang kaya raya.
Pak Hasan takut, Gina hanya memanfaatkan Reyhan demi harta. Itu adalah salah satu alasan logisnya untuk menentang pernikahan ini. Namun berkali-kali Reyhan menepis pemikiran ayahnya itu. Ia meyakinkan pak Hasan bahwa Gina bukanlah wanita seperti itu. Namun sekeras apapun Reyhan meyakinkan pak Hasan, pria paruh baya itu masih teguh dengan pendiriannya.
"Aturan adat seperti itu sudah seharusnya tidak berlaku lagi di zaman ini, ayah! Lagi pula, selain masalah beda suku, ayah pun sudah mengenal Gina dengan baik kan? Dia gadis baik, tak seperti yang ayah pikirkan!" teriak Reyhan.
"Apa kau benar-benar mencintai gadis itu?" tanya Pak Hasan sinis.
"Ya, sangat. Jadi aku mohon, restuilah kami meski ini melanggar adat! Restui kami, meski kami tak setara!"
Bersambung....
Gina sudah berada di kos-kosan. Ia kacau sekali setelah dimarahi habis-habisan oleh bu Dian. Matanya pun masih sembab dan merah.Meringkuk di atas kasur, itulah yang dilakukannya dari tadi. Hari ini berat, membuat kepalanya cenat-cenut. Seperti dugaannya, keluarga Reyhan sangat menentang hubungan mereka. Apa yang ditakutkannya sungguh terjadi."Kenapa adat dan cintaku tak selaras?" gumamnya. Beberapa saat kemudian, ponselnya berdering. Namun, Gina sama sekali tak berniat mengangkatnya. Bahkan, ia tak melirik ponselnya yang bersenandung berkali-kali. Entah siapa yang menelfon. Tetapi, yang jelas orang itu menelfon di saat yang tidak tepat.Allahuakbar...Allahuakbar....Gina tersentak dan langsung beranjak duduk. Tanpa sadar, sudah berjam-jam ia berbaring di atas kasur. Masih agak linglung, Gina mendengarkan azan asar sambil menjawabnya lirih.Selesai adzan Gina berdiri dan berjalan menuju m
Hari ini, Gina terlihat lebih sibuk dari biasanya. Banyak dokumen menumpuk di meja. Matanya pun tak berpaling dari komputer. Sesekali, ia memainkan pena karena agak pusing.Cuaca di luar sedang buruk. Banyak awan abu-abu yang sepertinya tengah bersiap menjatuhkan air mata. Entah apa yang sebenarnya sedang terjadi. Namun, Gina memiliki firasat buruk. Ia agak sedikit gelisah dan sulit berkonsentrasi."Gina...," panggilan lembut terdengar dari luar. Suara ketukan pintu tiga kali beruntun menyusul setelahnya."Silakan masuk," sahut Gina. Kini sorot matanya beralih pada seseorang yang tengah membuka pintu perlahan.Reyhan, ia menghampiri Gina. Wajahnya juga terlihat lesu. Sudah seminggu sejak kejadian penolakan orang tuanya terhadap hubungannya dengan Gina.Belum sempat Reyhan bicara, sebuah guntur menggelegar dengan kerasnya membuat Gina bergidik takut. Ia langsung berdiri karena kaget. Spontan saja, ia menutup tirai jendela ruangannya.
Beberapa hari setelah Gina dibawa ke rumah sakit, kondisinya tak bisa dikatakan membaik. Gina terlihat makin kusut dan lesu meskipun dokter bilang jika ia hanya kelelahan dan kurang istirahat. Kondisi ini cukup membingungkan karena sudah 3 hari Gina dirawat tanpa ada tanda-tanda kondisinya membaik.Reyhan selalu setia menemani Gina meski tidak bisa 24 jam karena urusan kantor. Namun, pria itu pasti menjenguk Gina setiap hari. Lebih dari rasa sakit Gina, mungkin Reyhan merasakan hal yang lebih karena mencemaskan gadis yang dicintainya itu.Selain Reyhan, Nindy juga sering datang menjenguk. Kadang, ia datang bersama Reyhan. Kondisi seperti itu sebenarnya tidak Gina sukai. Tapi ia yakin pada Reyhan. Meski Nindy akan menggoda pak bosnya itu seperti biasa. Di sisi lain Nindy saingannya dan di sisi lain Nindy tetap temannya. Melihat Nindy masih perduli padanya saja sudah membuat Gina bahagia. Saat ini, ia tak ingin berpikir negatif."Gina. Kondisi kamu gimana?" tanya
Pesawat melaju konstan setelah lepas landas beberapa menit yang lalu. Nampak dari jendela pesawat lautan awan putih tipis dan sinar hangat matahari."Sampai jumpa lagi, Bandung."Gina menatap malas semua hal yang ada di sekitarnya. Sesekali, ia menengok jendela. Sesekali pula, ia menoleh ke arah Nindy yang tidur di sampingnya serta Reyhan yang duduk di kursi depannya. Gina akan pulang, bersama Reyhan dan Nindy. Gina akan pulang ke Surabaya."Andai aku nggak sakit, mereka berdua nggak akan repot-repot seperti ini," batin Gina. Namun, tak ia pungkiri bahwa ia cukup senang dengan fakta bahwa Nindy masih perduli padanya.Tiba-tiba, Reyhan menoleh ke belakang. Ia menatap Gina yang duduk lemas karena masih sakit. Wajah gadis itu pucat. "Lagi mikirin apa?" tanya Reyhan lembut.Gina menggeleng dan memilih melempar pandangannya ke jendela pesawat. Ia memandang hamparan tipis awan dan rumah-rumah ya
Malamnya, tepatnya kisaran pukul 19.30 banyak tetangga yang berdatangan. Mereka datang untuk menjenguk Gina. Kabar pulangnya Gina dalam kondisi sakit menyebar dengan cepat di antara tetangga.Kebanyakan dari para tetangga yang menjenguk membawa buah tangan. Entah itu buah, roti, atau pun yang lainnya. Sudah jadi kebiasaan melakukan itu. Rasanya, menjenguk orang yang tengah sakit tanpa membawa apapun itu rasanya kurang baik.Semua berkumpul di ruang tamu. Mereka semua mengobrol dengan topik utama adalah Gina. Tentu saja, karena gadis itulah para tetangga berbondong-bondong menjenguk.Rumah kediaman pak Broto ini terasa ramai. Tetangga yang datang cukup banyak. Mereka saling peduli satu sama lain. Tak hanya ibu-ibu tentunya yang datang. Melainkan ada pula beberapa bapak-bapak dan anak kecil yang diajak menjenguk. Selain itu, Reyhan, Nindy, pak Broto dan Satria juga menyambut tamu dengan baik.Di saat ruang t
"Santet?!" kata semua orang yang ada di dalam kamar Gina karena terkejut. Suasana di kamar Gina menjadi heboh setelah perkataan pak ustad bahwa Gina terkena santet."Tidak salah lagi, pasti santet," kata pak ustad mengulangi perkataannya."Bagaimana bisa? Siapa yang tega melakukan ini ke mbak Gina?!" pekik Santi heboh. Ia menutup mulut karena tak percaya bahwa asumsinya ternyata benar.Reyhan yang mematung karena masih sulit percaya pun kini angkat bicara. "Tapi, apa alasan Gina disantet?"Pak ustad menggeleng dan berkata "Motif melakukan santet tidak bisa diketahui. Tapi, apa ada orang yang membenci Gina?""Anakku adalah anak yang baik. Tidak mungkin ada yang tega melakukan ini!" teriak bu Yati sambil berderai air mata.Pak Broto yang tak kuat berdiri pun akhirnya bertekuk lutut. Ia sangat terguncang dengan fakta yang baru saja ia dengar sendiri. Ia tak habis pikir. Bisa-
Reyhan menundukkan pandangan karena takut. Ia khawatir akan respons pak Broto setelah ia mengakui bawa dirinya mencintai Gina."Apa?! Kamu mencintai Gina? Bukankah kau ini orang Sunda?" tanya pak Broto keheranan. Tentunya, pak Broto pun masih sangat percaya bahwa pernikahan antara suku Jawa dan Sunda itu dilarang."Memang benar. Tapi apa yang salah dengan perasaan saya?" kata Reyhan sambil memberanikan diri menatap pak Broto yang sepertinya agak terkejut. Bagaimana tidak terkejut, anaknya yang merantau di tanah orang ternyata disukai oleh bosnya sendiri. Sebuah fakta yang sangat mencengangkan dan mengguncang hatinya.Pak Ustad menyela pembicaraan serius dua laki-laki itu. "Kita fokus dulu menyembuhkan Gina, ya. Masalah siapa pelakunya dan perasaan nak Reyhan kita kesampingkan dulu. Santet bukanlah hal yang sepele," pak ustad berusaha menasehati dan memberikan jalan tengah. Jika tidak seperti itu, pasti perdebatan antara Re
Reyhan telah sampai di Bandung. Tempat yang pertama akan ia kunjungi adalah rumahnya. Ia ingin segera bertemu ayah dan ibunya. Dengan bertemu orang tuanya, Reyhan ingin memastikan bahwa bukan mereka pelaku yang menyantet Gina.Reyhan memasuki rumahnya dengan wajah datar. Ia juga mengambil langkah lebar agar segera menjumpai ayah ibunya. "Ayah, ibu. Aku ingin bicara!" ucap Reyhan dengan keras namun tak sampai membentak.Ayah dan ibunya yang sekarang sudah berada di ruang tamu hanya keheranan. Mereka tak mengerti kenapa Reyhan memasang wajah datar cenderung marah kepada mereka."Apa yang ingin kau bicarakan, Rey? Lagi pula, kemarin kau sudah menentang kami dengan terbang ke Surabaya kan? Kau tidak mendengarkan kami untuk tidak mengantar Gina," ucap bu Dian. Terlihat wajah tua yang masih sangat cantik itu menjadi murung."Jika kau menanyakan restu, maka kami tidak berubah pikiran sama sekali," imbuh pak Hasan