Share

Santet

Gina sudah berada di kos-kosan. Ia kacau sekali setelah dimarahi habis-habisan oleh bu Dian. Matanya pun masih sembab dan merah.

Meringkuk di atas kasur, itulah yang dilakukannya dari tadi. Hari ini berat, membuat kepalanya cenat-cenut. Seperti dugaannya, keluarga Reyhan sangat menentang hubungan mereka. Apa yang ditakutkannya sungguh terjadi.

"Kenapa adat dan cintaku tak selaras?" gumamnya. Beberapa saat kemudian, ponselnya berdering. Namun, Gina sama sekali tak berniat mengangkatnya. Bahkan, ia tak melirik ponselnya yang bersenandung berkali-kali. Entah siapa yang menelfon. Tetapi, yang jelas orang itu menelfon di saat yang tidak tepat.

Allahuakbar...Allahuakbar....

Gina tersentak dan langsung beranjak duduk. Tanpa sadar, sudah berjam-jam ia berbaring di atas kasur. Masih agak linglung, Gina mendengarkan azan asar sambil menjawabnya lirih.

Selesai adzan Gina berdiri dan berjalan menuju meja. Sambil mengusap-usap kasar bekas air matanya, ia meraih ponsel di atas meja. Ia melihat siapa yang baru saja menelfon.

"Ayah?" pekik Gina agak panik. Rupanya, ayahnya telah menelfonnya 15 kali. Tanpa basa-basi, ia langsung menelfon balik.

"Hallo, ayah?" Gina membuka percakapan setelah telfonnya diangkat.

"Ayah telfon berkali-kali loh. Kamu lagi sibuk ya?" balas ayah Gina, pak Gunawan, dari sebrang telfon.

Gina memilih diam beberapa saat sebelum menjawab. Ia berusaha menetralkan suaranya. Tentunya, suaranya agak serak karena menangis tadi. Gina tak ingin ayahnya tau ia habis menangis. Ia tak ingin ayahnya khawatir.

"Iya, Gina masih di kantor. Banyak kerjaan," bohong Gina. Ia merasa tak masalah berbohong agar ayahnya tidak khawatir. Meski ada sedikit rasa bersalah dalam hatinya.

"Jaga kesehatan ya nduk. Kalau waktunya istirahat ya istirahat. Jangan dipaksa kerja terus," pak Gunawan memberi wejangan pada putrinya itu dengan lembut.

"Iya. Gina di sini ga papa kok. Ayah, ibu, Ruka sama Ratih sehat?" Gina menanyakan kabar. Mengingat ia jauh dari keluarga agak membuatnya sedih.

"Sehat kok. 2 adikmu itu sebentar lagi juga lulus kuliah katanya."

Beberapa menit setelahnya hanya terjadi percakapan biasa. Hanya bicara sekedarnya untuk mengobati rindu akan keluarga di tanah perantauan.

Setelah mematikan telfon, Gina pergi ambil wudhu. Ia hendak menunaikan sholat asar. Ia ingin menumpahkan semua keluh-kesahnya. Tentang apa yang terjadi hari ini, tentang apa yang membuat hatinya tercabik-cabik, tentang apa yang membuat pikirannya kalut. Ia ingi menceritakan semuanya pada Tuhannya.

"Ya Allah. Masalah cinta memang merepotkan, ya."

***

Coffee shop jam 5 sore....

"Haaahhhh...," Reyhan menghela nafas berat. Ia bingung harus bagaimana lagi. Terlebih, orang tuanya sangat menentang hubungannya dan Gina. Ini akan sulit, seperti yang pernah ia perkirakan. Nyatanya ia sadar, melunturkan pandangan buruk orang tuanya terhadap suku Jawa memang butuh perjuangan.

Reyhan tak habis pikir, orang tuanya yang notabenenya terbilang sukses harusnya punya pemikiran yang maju. Namun, entah kenapa permasalahan beda suku dan jabatan masih saja mereka permasalahkan.

Tiba-tiba, pintu coffee shop itu terbuka. Reyhan tak terlalu memperdulikan itu. Ia tau jelas siapa yang datang, Gina.

Gina memasuki kafe perlahan. Ia memesan terlebih dulu, kemudian melangkah ke tempat duduk Reyhan sekarang.

"Ku pikir, sudah tidak ada yang perlu dibicarakan," kata Gina sembari duduk. Mukanya datar, agak kacau.

Reyhan menatap Gina sebelum bicara. Ia berkata "Apa kamu mau menyerah?" sambil memiringkan sedikit kepalanya. Reyhan pun tau, pertanyaannya terdengar konyol. Tentu Gina akan mudah menyerah setelah tragedi hari ini. Terlebih, Gina juga sudah mempertanyakan hubungan mereka sebelum sampai pada orang tuanya.

"Setelah kejadian hari ini, apa besok aku masih boleh bekerja?" tanya Gina mengalihkan topik pembicaraan. Pertanyaan itu tak sepenuhnya alibi untuk mengalihkan topik, Gina sedikit khawatir akan pekerjaannya.

"Aku akan memarahimu 2 jam penuh jika besok kau terlambat 1 detik saja," kesal Reyhan. Ia memutar matanya jengkel. Gina benar-benar pintar mengalihkan topik pembicaraan.

Di saat yang bersamaan, pesanan Gina datang. Ia hanya memesan segelas cappucino meski ia tak suka kopi. Tapi mau bagaimana lagi, Reyhan yang mengajak bertemu di coffee shop ini.

"Aku tak berniat mundur. Tapi, jika kau tidak mau lagi memperjuangkan hubungan ini aku terpaksa mundur," kata Gina setelah meminum sedikit cappucino miliknya.

"Aku pasti memperjuangkannya. Baik restu keluargaku atau keluargamu, aku pasti usahakan!"

"Apa kau benar-benar mencintaiku?" tanya Gina tiba-tiba. Sontak Reyhan terkejut dengan pertanyaan itu.

"Apa maksudmu?! Tentu saja aku mencintaimu, Gin. Apa kau tidak melihat tadi betapa kerasnya aku memperjuangkan hubungan kita di depan orang tuaku?" marah Reyhan. Nafasnya sedikit tak beraturan.

"Ini pertama kalinya aku dilamar seorang lelaki. Tapi, malah tidak direstui. Aku takut," cicit Gina. Nampak jelas sekali di mata gadis itu memancarkan kecemasan.

"Aku janji. Kita akan menikah."

Mendengar perkataan Reyhan yang penuh penekanan itu, Gina tersenyum lega. Namun, senyumnya juga nampak sedikit meledek. "Aku harap ga lagi digombalin buaya kali Ciliwung," Gina tertawa geli. Sementara itu, Reyhan yang menatapnya malah cemberut.

Meski masih sempat bergurau,sejujurnya hati Gina lega. Ia sangat bersyukur setidaknya lelaki yang menyukainya pantang menyerah. Di dalam hatinya, Gina berjanji akan berjuang demi cintanya dan pak bos. Pak CEO, Reyhan Mahardika.

***

Di sisi lain, seorang wanita baru saja turun dari sebuah mobil. Wanita itu tak sendirian, melainkan bersama seorang pria. Keduanya melangkah masuk ke dalam rumah tua nan antik. Di dalamnya, kedua orang itu langsung disambut wangi kemenyan dan melati yang menyengat.

Kedua orang itu masih saja meneruskan langkahnya, masuk lebih jauh ke dalam rumah hingga mereka menjumpai kakek tua. Kakek tua itu sudah beruban, memakai baju serba hitam dan banyak cincin batu akik di jemarinya. Sekilas, kakek tua ini sangat menakutkan. Kakek tua itu duduk di sebuah kursi tua. Di sampingnya, terdapat meja penuh sesajen dan bunga.

"Ada perlu apa kalian mengunjungi kediamanku?" tanya kakek tua itu.

Sebelum menjawab, kedua orang itu duduk di kursi yang ada di sana. "Saya dengar, eyang adalah dukun yang sangat sakti. Kami datang kesini ingin meminta bantuan dari eyang," kata sang wanita tadi. Lelaki yang disampingnya nampak agak takut, namun ia ikut mengangguk.

"Jika kalian punya upah sepadan, maka akan ku bantu. Jika tidak, kalian pulang saja!"

"Kami punya bayaran yang sesuai untuk eyang. Tidak perlu khawatir," wanita tadi menginstruksikan si lelaki agar memberikan kakek tua itu uang. Si lelaki itu pun mengangguk dan mengeluarkan segepok uang seratus ribu dari saku jasnya.

"Berapa jumlah uang itu," tanya dukun itu.

"20 juta," jawab si lelaki.

Mendengarnya, dukun itu mengangguk dan berkata "Apa yang kalian inginkan?"

"Kami ingin eyang menyantet seseorang," wanita itu menunjukkan sebuah foto pada si dukun. Di dalam foto, nampak jelas wajah seorang wanita.

"Kami ingin eyang menyantet seorang wanita bernama Gina Agustya Mahanani."

Bersambung.....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status