Share

Wanita Jalang

"Besok bapak hanya ada satu rapat dengan klien, jam 9 pagi," kata Gina. Saat ini ia sedang berada di kantor. Tepatnya di ruangan Reyhan, CEO perusahaan tempatnya bekerja. Mereka hanya berdua di ruangan ini, menjalani posisi bos dan sekertarisnya. Mereka tetap bekerja secara profesional meski faktanya Reyhan telah melamar Gina.

"Apa tidak bisa dibatalkan?" tanya Reyhan.

"Maaf pak sebelumnya. Tapi, ada kepentingan apa hingga harus diundur?"

"Aku ingin membawamu ke rumah. Aku ingin mengatakan pada keluargaku jika aku berniat menikahimu," kata Reyhan dengan nada bicara lembut. Sorot matanya pun memancarkan ketulusan.

Pipi Gina memanas. Ia menahan senyum bahagianya. "Aku senang sekali. Tapi pak Rey, klien kita besok adalah klien penting."

"Sekertaris Gina, aku adalah bosmu. Aku yang berhak memutuskan. Ganti saja rapatnya lusa, segera hubungi klien kita itu."

"Ba-baiklah," cicit Gina. Ia segera keluar dari ruangan Reyhan dan sesegera mungkin mengurus rapat besok yang akan ditunda.

Selesai mengurus semuanya, tiba-tiba Reyhan mengirimkan pesan padanya.

"Persiapkan dengan baik ya, besok."

Begitulah bunyi pesan itu. Gina tak bisa menyangkal gejolak bahagia di hatinya. Ia senyum-senyum sendiri saking bahagianya. Saat ini, pasti wajahnya seperti kepiting rebus!

"Sekertaris Gina."

Gina tersentak. Di luar ruangannya ada seseorang yang mengetuk pintu, meminta izin untuk masuk.

"Masuklah," kata Gina. Ia dengan cepat menetralkan kembali ekspresi wajahnya yang cukup memalukan beberapa saat yang lalu.

Krieetttt....

Pintu terbuka sepenuhnya, menampilkan sosok wanita seumuran dengan Gina. Wanita itu mengenakan setelan jas coklat dengan rok span selutut. Rambut coklat berombaknya tergerai indah. Wanita itu adalah Nindy, teman masa kuliah Gina dulu. Bahkan, Nindy lah yang membantu semua keperluannya di Bandung saat pertama kali merantau. Dulunya, ia teman yang sangat baik. Ya, dulu.

"Ah, Nindy. Silakan masuk," kata Gina ramah. Namun, tak sedikit pun garis senyum terlihat pada wajah Nindy. Ekspresinya sinis, memancarkan aura ketidaksukaan pada Gina.

"Apa ada yang perlu kau sampaikan?" tanya Gina.

"Tidak ada. Aku hanya ingin menemuimu," ketus Nindy. Sejak Gina diangkat menjadi sekertaris Reyhan, sikap Nindy sangat berbeda. Ia yang dulunya sangat dekat dengan Gina, kini terlihat mengambil jarak. Tatapan matanya pada Gina sering kali tajam menusuk seakan tak suka.

Mulanya, Gina adalah sahabat karib Nindy. Nindy juga lah yang meminta Gina merantau dari Surabaya ke Bandung. Ia juga yang menyuruh Gina melamar kerja di perusahaan ini.

Saat Gina dinyatakan diterima perusahaan sebagai karyawan, Nindy sangat bahagia. Ia senang bisa bekerja bersama dengan sahabatnya. Kala itu, keduanya sama-sama karyawan biasa.

Beberapa bulan bekerja, Reyhan yang merupakan CEO dengan mengejutkannya mengangkat Gina menjadi sekertarisnya. Cukup terbilang cepat karena kala itu baru 2 hari Reyhan memecat sekertarisnya yang lama. Terlebih, tak pernah terlihat sedikit pun Reyhan akrab dengan Gina. Tapi, pak CEO itu telah memutuskan menjadikan Gina sekertarisnya, bahkan tanpa wawancara apapun. Tentunya, ini kabar yang sangat mengejutkan.

Muncullah iri di benak Nindy. Ia yang bekerja lebih dulu di perusahaan ini. Ia juga tak kalah rajin dengan Gina. Tapi kenapa justru Gina terpilih menjadi sekertaris? Bahkan Gina adalah gadis berbaju syar'i, berbeda dengannya yang selalu mengenakan baju seksi selayaknya sekertaris.

Lebih dari iri karena pekerjaan, sejujurnya Nindy lebih iri karena ia menaruh rasa pada Reyhan. Itulah sebabnya saat itu ia sering meledak-ledak. Berita simpang-siur tentang hubungan Reyhan dan Gina telah menjadi gosip hangat di kantor. Beberapa orang berasumsi, Reyhan mengangkat Gina sebagai sekertaris karena ia menyukai gadis Jawa itu.

Gosip itu perlahan surut dan dilupakan karena tak terjadi apapun selama 2 tahun terkahir. Namun, sepertinya gosip 2 tahun silam itu akan menjadi sebuah kenyataan saat ini. Tinggal menunggu detik-detik semua orang tau bahwa Reyhan telah melamar Gina.

"Apa kau ada hubungan dengan pak Reyhan?" tanya Nindy ketus. Ia menyilangkan tangan di depan dada sambil menatap Gina penuh tatapan benci.

"Kenapa kau menanyakan hal itu? 2 tahun lalu kau juga menanyakannya," lirih Gina. Ia agak panik. Tentunya, ia tak ingin semua orang tau perihal lamaran Reyhan padanya kemarin.

"Kau tau kan aku menyukai pak Reyhan? Hubungan pertemanan kita hancur karena itu. Kenapa Gin, kenapa?! Kau pikir aku tidak tau?" Nindy menggebrak meja. Ia terlihat sangat murka.

Gina bingung dengan alur pembicaraan Nindy. "Apa maksudmu?"

Plaaaakkkkk!

Nindy menampar Gina kuat. Sontak Gina mengaduh kesakitan, ia hampir tersungkur dari duduknya. Ia langsung memegangi pipi kirinya itu. Nampak merah sekali.

Beberapa detik kemudian, Gina langsung berdiri. Ia melotot, menatap tak percaya pada Nindy. Ia tak percaya Nindy menamparnya.

"Sebenarnya kau ini kenapa Nin!"

"Pak Reyhan melamarmu kan?! Iya kan?! Kau pikir aku tidak tau itu?"

"Bagaimana--,"

"Bagaimana aku tau itu tidak penting! Kau, ku kira kau adalah sahabat yang baik. Tapi apa? Kau merebut semuanya. Pertama, kau jadi sekertaris Reyhan dan sekarang kau ingin merebutnya juga dariku?!" Nindy berteriak. Ia sungguh mendidih. Nafasnya pun memburu, matanya melotot. Tak diragukan lagi, suara Nindy pasti terdengar sampai keluar ruangan.

"Nindy, aku hanya...."

"Apa? Hanya apa? Hanya merebut semuanya dariku? Dasar wanita jalang! Menjijikan! Apa setiap malam kau menggoda Reyhan hingga dia buta karena cintamu itu?!"

"Beraninya kau!" Gina melayangkan tangan kanannya. Hendak menampar Nindy karena tak terima dengan apa yang baru saja Nindy katakan. Namun tangannya berhenti. Ia tak kuasa, tak tega.

"Pukul aku Gin! Pukul! Kenapa? Kenapa kau berhenti? Oh, aku tau. Pasti ucapanku semua itu benar kan? Dasar wanita ular!"

"Tutup mulutmu itu! Aku tidak mungkin melakukan hal hina seperti itu Nin!" kata Gina. Kini, pipinya yang tadi panas karena tamparan malah basah karena air mata. Ia menangis sambil meneriaki Nindy yang kurang ajar.

"Hentikan! Ada apa ini?!" tiba-tiba suara Reyhan menggema. Ia buru-buru datang ketika mendengar kegaduhan di ruang sekertaris.

Reyhan memasuki ruangan Gina. Pemandangan yang ia lihat sangat tak mengenakan. Gina yang menangis tersedu-sedu dengan pipi kiri yang merah dan Nindy yang berdiri angkuh seakan tak melakukan kesalahan apapun.

"Apa yang sebenarnya terjadi?! Ini kantor, bukan hutan. Bisa-bisanya kalian berdua bertengkar!" kata Reyhan. Ia segera menghampiri mereka berdua, lebih tepatnya ia ingin melihat keadaan Gina yang sepertinya sangat berantakan.

"Nindy, keluarlah. Aku ada perlu dengan Gina," ucap Reyhan. Nindy tak menjawab dan hanya berlalu saja. Ia menutup pintu ruangan itu dengan sangat keras.

"Apa yang terjadi? Pipimu juga merah. Apa Nindy menamparmu?" nada bicara Reyhan penuh kekhawatiran.

Gina mengangguk, memberi jawaban "iya." Seketika, hati Reyhan mendidih tak terima Gina diperlakukan seperti itu.

Beberapa saat setelah menghentikan tangisannya, Reyhan menuntut penjelasan dari Gina tentang segala yang baru saja terjadi. Dengan air mata yang belum sepenuhnya kering dan pipi yang masih nyeri, Gina menceritakan semuanya.

"Ini salahku," kata Reyhan. Ia menundukkan kepalanya. "Setelah kau meninggalkan ruanganku, Nindy datang. Menanyakan perihal rapat besok. Aku malah menjelaskan yang sebenarnya. Pantas saja tadi ia keluar ruanganku dengan wajah marah," jelasnya.

"Seperti apapun, nantinya kebenaran ini akan terungkap juga. Ini bukan salahmu." Gina masih memegangi pipi kirinya. Makin lama, makin sakit dan terasa berdenyut.

Di dalam hatinya, Reyhan bermonolog. "Hubungan kita bahkan belum sampai pada keluargaku dan kau sudah seperti ini. Maafkan aku karena telah mencintaimu."

Bersambung....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status