Share

Stasiun Kereta

***

(2 tahun yang lalu....)

Butiran air hujan masih menempel di jendela kereta. Tanah di luar masih terlihat basah, begitu pula mata seorang gadis yang bernama Gina Agustya Mahanani. Mata gadis itu masih sembab karena tangisan beberapa saat yang lalu. Dadanya pun sesak, tak rela meninggalkan kota masa kecilnya ini, Surabaya.

Hujan baru saja reda sesaat setelah Gina naik ke dalam kereta. Rasanya kota ini pun menangis melepas kepergiannya ke Bandung. Lebih daripada itu, orang tua dan dua adiknya lah yang sedih keterlaluan. Mereka mengiring Gina merantau dengan air mata membuat gadis itu makin merana. Sudah pasti ia akan menghadapi hari pertama yang berat di perantauan sebab rasa tak rela pergi.

15 menit sudah kereta ini berjalan tetapi Gina masih enggan membuka mata. Pedih nan perih terasa pada mata yang digunakannya menangis sedari tadi malam. Ia benar-benar tak rela pergi namun ia harus. Merantau adalah keputusannya sedari lama. Namun, ia tak tahu akan semenyakitkan ini pada akhirnya.

"Ya Allah, semoga Bandung adalah pilihan yang tepat," ucap Gina bermonolog. Gadis berkerudung pasmina merah muda itu membuka matanya dan menatap kearah jendela. Tersajilah pemandangan indah pesawahan. Terlihat sejuk sehabis hujan. Matahari yang mulai nampak setelah hujan pun membuat suasana terasa lebih nyaman.

Gina beralih pada jam tangan warna putih yang ia kenakan. Jam 10 pagi, begitulah yang ditunjukkan jam itu. Sudah pasti larut malam ia sampai di Bandung nantinya. Menghindari kejenuhan, Gina membuka ponselnya.

"Gin, kereta kamu sudah berangkat, kah?"

Itulah pesan yang pertama kali ia baca sesaat setelah Gina membuka ponsel. Pesan itu berasal dari temannya yang bernama Nindy. Nindy adalah teman masa kuliah Gina. Kabar baiknya, Nindy adalah orang Bandung. Sebuah kebetulan yang menyenangkan.

3 bulan sudah Gina tak bertemu Nindy. Semenjak wisuda, Nindy yang tadinya kuliah di Surabaya bersama Gina harus kembali lagi ke Bandung. Menyenangkan rasanya bertemu teman yang lama tak berjumpa.

"Udah berangkat Nin. Makasih banyak ya kamu udah mau repot jemput aku nanti. Akan aku kabari lagi lagi kalau udah deket stasiun," Gina membalas pesan Nindy. Sesaat setelah membalas pesan, ia langsung menutup kembali ponselnya. Matanya kembali terarah ke jendela melihat pemandangan di luar seraya berkata "Sayonara, Surabaya."

***

Gina telah sampai di Bandung. Ia mengedarkan mata untuk mencari temannya, Nindy. Sepertinya, Nindy belum tiba di stasiun untuk menjemputnya.

Tanpa disadari, perutnya mulai keroncongan. Akhirnya Gina memutuskan untuk mencari makan saja. Namun baru beberapa saat kemudian, dirinya dibuat terkejut dengan seorang laki-laki yang menabraknya. Gina sempat terjatuh. Namun bukan itu yang membuatnya terkejut. Laki-laki itu ternyata pencopet. Dibawanya tas selempang Gina dan langsung berlari. Gina yang panik pun mengejar pencopet itu sambil berteriak. Namun, saat ini keadaan stasiun sepi karena sudah hampir jam 12 malam.

Gina dengan sekuat tenaga berlari mengejar pencopet itu. Ia kesulitan karena harus menyeret kopernya juga. Namun, sepertinya kebaikan malam ini masih menjadi milik Gina. Entah datang dari mana, seorang lelaki langsung menolongnya. Lelaki itu mengejar sang pencopet dengan berlari kencang. Tak Butuh waktu lama, lelaki berjaket abu-abu dengan celana jeans itu pun meringkus si pencopet tadi. Lelaki itu sempat mendaratkan beberapa pukulan di wajah pencopet itu. Gina yang baru bisa mencapai kedua orang itu pun agak ngos-ngosan dan berkata "Tolong hentikan. Setidaknya barang-barangku tidak hilang. Biarkan saja si Pencopet itu pergi."

Si lelaki yang memang tak berniat untuk berkelahi lebih lanjut itu pun hanya mengangguk. Ia langsung merampas kembali tas Gina dan menyuruh si pencopet itu pergi dengan wajah garang. Setelahnya lelaki itu langsung memberikan tas Gina kembali. Di saat bersamaan, ia menyingkap tudung jaketnya hingga Gina bisa melihat wajah lelaki itu dengan jelas. "MasyaAllah," ucap Gina spontan.

Laki-laki itu pun memiringkan kepala heran karena Gina tak berkedip menatapnya. "Apa kau tidak mau mengambil tasmu?" katanya, masih menyodorkan tas selempang itu.

Gina yang terpaku melihat wajah tampan lelaki itu pun beristigfar dan langsung meraih tasnya. Ia berkata "Ma-mafkan saya. Dan, terima kasih."

"Apa kau sedang menunggu seseorang untuk menjemputmu di sini? Tapi, sepertinya orang itu terlambat. Ini sudah larut malam loh," kata lelaki itu. "Ngomong-ngomong, namaku Reyhan," sambungnya sambil menyodorkan tangan kanannya. Ia bermaksud berkenalan dengan Gina.

Namun, Gina membalas dengan menyatukan kedua tangannya di depan dada. "Namaku Gina," ucap Gina kikuk.

Reyhan yang melihat itu langsung salah tingkah dan menarik lagi tangannya. Ia menggunakan tangan itu untuk mengusap rambutnya sambil tertawa. "Maaf, maaf. Kamu asal mana?" Reyhan mengalihkan topik, ia berusaha menyembunyikan rasa malunya.

"Aku asal Surabaya. Aku ke sini untuk mencari pekerjaan. Harusnya, sekarang temanku sudah menjemputku. Tapi entah dimana dia sekarang," kata Gina sambil menatap ujung rok panjangnya. Ia tak berani menatap Reyhan lagi. Mungkin, ia takut khilaf.

Reyhan mengangguk. Setelah itu juga ia menatap jam tangannya. Sontak ia terkejut.

"Gina, apa kau baik-baik saja ku tinggal? Aku benar-benar harus pergi sekarang," nada bicara Reyhan penuh cemas.

"Hm. Tak apa." Gina berbohong. Sejujurnya, masih ada rasa takut di benaknya. Hanya saja, tak mungkin ia melarang seseorang yang baru dikenalnya untuk pergi.

"Baiklah. Senang bertemu denganmu. Aku harap kita bertemu lagi dilain waktu," Reyhan mulai beranjak. Ia berjalan menjauh dari Gina. Beberapa langkah berjalan, ia berbalik lagi dan melihat ke arah Gina. "Ngomong-ngomong...," kata Reyhan menggantung. Sontak Gina mengangkat kepalanya yang tadi agak menunduk. Ia menatap Reyhan yang sudah agak jauh darinya dengan penuh tanda tanya.

"Aku tidak tau kenapa aku ingin mengatakan ini. Tapi, kau manis sekali," sambung Reyhan. Ia langsung berbalik dan berlari kecil, meninggalkan Gina yang mulai memerah wajahnya.

***

"Saat itu, yang aku pikirkan tentangmu adalah kau seorang laki-laki yang suka modus-in cewek. Apa yang kau pikirkan saat itu? Kau bilang aku manis?" tanya Gina setelah ia mengingat rentetan kejadian 2 tahun yang lalu.

"Aku ga pernah modus-in cewek. Saat itu aku benar-benar tulus mengatakan bahwa kau manis."

"Apa aku tidak cantik?"

"Sangat. Tapi, banyak wanita yang cantik. Kau lebih," Reyhan tersenyum. Saat itu juga, Gina merasa Reyhan jauh terlihat lebih manis darinya.

Langit mulai menjingga. Lampu-lampu taman pun satu-persatu menyala. Pedagang-pedagang yang berjualan di sekitar taman kota Bandung ini pun mulai menggelar dagangannya.

Pukul 17.50, begitulah tertulis di ponsel Gina. Ia agak tersentak. "Udah mau magrib," ucapnya. Ia menaruh kembali ponselnya itu pada tas yang dibawanya.

"Yuk, aku antar pulang," Reyhan berdiri dari tempat duduknya diikuti Gina.

"Tidak perlu. Apa yang akan ibu kosku pikirkan nanti? Aku pulang berdua bersama bosku, begitu?"

"Memangnya kenapa? Apa yang dipikirkan ibu kosmu itu mungkin benar adanya. Lagian, aku kan sudah melamarmu."

"Yang dipirkannya pasti lebih buruk dari apa yang kau pikirkan!"

Reyhan menarik nafas panjang. "Ini perintah dari pak Reyhan Mahendra untuk sekertarisnya, Gina Agustya Mahanani," kata Reyhan dengan gaya bicara ala CEO yang menyuruh-nyuruh bawahannya.

Gina cemberut. Tentu saja, ia akhirnya menurut.

Bersambung....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status