“Euhhh… sial berpa lama aku pingsan?” tanya Alessandro saat terbangun dari pingsannya.Franco yang berdiri di sisi ranjang hanya menghela nafas bentar lalu melirik ke arah jam di tangannya. “Dua belas jam, tuan.”Alessandro memijat pelipisnya pelan, merasakan denyut nyeri yang masih tersisa di tengkuknya. “Dua belas jam?” gumamnya dengan nada tak percaya, lalu menggeram pelan. “Perempuan sialan itu...”Franco tetap tenang di sisi ranjang, meski dalam hati ia turut heran melihat betapa kacau kondisi pria itu kali ini.“Tuan ingin saya mengusirnya?” tanya Franco hati-hati.Alessandro tak langsung menjawab. Matanya menatap kosong ke langit-langit kamar, mencoba m
Livia menelan ludahnya sendiri ketika ruang makan berubah menjadi sunyi.Tangannya mengepal dengan kuat, menguatkan mentalnya karena keputusannya sudah bulat.Dengan lembut dia berjalan dengan anggun, menurunkan jubah satinnya keseluruhan.Tentu, berikut versi ulangnya dengan gaun malam berwarna merah marun, sambil mempertahankan ketegangan dan elegansi suasana:Suara kain satin jatuh menyapu lantai marmer dengan lirih, namun cukup untuk membuat ruang makan yang sunyi terasa makin mencekam. Livia berdiri tegak di tengah ruangan, tubuhnya kini hanya terbalut gaun malam berwarna merah marun—lembut, namun menyala berani di bawah cahaya lampu gantung kristal yang menggantung tinggi di atas mereka.Warna itu bukan sekadar pi
Di ruangan serba hitam dengan nuansa barat, ruangan itu tampak sedikit suram.Franco yang berdiri di depan meja Alessandro hanya menunduk pelan.“Bagaimana? apa Livia sudah mau makan?” tanya pria itu dengan santai sambil mematikan cerutunya.Franco mengangguk pelan, “Sudah tuan, saya pasikan nona akan menjadi penurut.”Alessandro yang mendengar itu entah mengapa tak menyukainya, “Kenapa kau terlihat bisa mengendalikan dirinya dibanding aku?”Franco langsung terdiam, tubuhnya menegang. Ia bisa merasakan hawa dingin menusuk meski suara Alessandro terdengar tenang. Kesalahan kecil dalam pilihan kata bisa berarti kematian di tempat ini.“Saya tidak bermaksud seperti itu, Tuan,” jawab Franco cepat, matanya tetap menunduk. “Saya hanya... memastikan semuanya berjalan sesuai rencana Anda.”Alessandro menatap pria itu tajam, lalu berdiri perlahan dari kursinya, langkahnya tenang namun penuh tekanan saat ia menghampiri Franco.“Mulai sekarang jangan berinteraksi dengannya.”Franco langsung meng
“Tidak mau makan?” suara dingin itu menusuk.Pelayan yang biasanya melayani Livia menunduk dalam tak berani menatap tuannya.“B-bahkan pintu kamar dikunci, tuan. K-kami tidak bisa masuk.” Ucp pelayan itu dengan nada gemetar ketakutan.Franco yang mendengar itu menengahi, “Biar saya yang urus nona tuan, kemungkinan dia masih trauma dengan kejadian semalam.”Alessandro menatap Franco dengan mata tajam seperti pisau yang hendak menusuk. Ia tak berkata apa pun selama beberapa detik, hanya membiarkan ketegangan menggantung di udara seperti tali gantung yang siap menjatuhkan kepala siapa saja yang bicara tanpa diminta.“Trauma?” ulangnya pelan, kemudian tertawa kecil, penuh ejekan. “Itu bukan alasan untuk menolak makan. Dia harus sadar, ini bukan hotel.”Franco tetap tenang meski nada suara Alessandro cukup diri yang untuk membuat siapa pun merinding. “Saya mengerti, Tuan. Tapi jika dipaksa, dia mungkin akan semakin melawan. Biarkan saya berbicara padanya dengan cara yang lebih... lembut.”
Alessandro tersenyum miring, melihat wanita yang dia cari terlihat ketakutan dan berlari ke arahnya. Seolah wanita itu akan selalu tunduk pandanya.“Turunkan senjatamu! Apa kau gila?!” Ucap Livia yang memegang pistol Alessandro yang mengarah ke arah Freddy.Alessandro hanya diam, membiarkan Livia mencengkram pergelangan tangannya yang masih memegang pistol. Sorot matanya menatapnya dalam—dingin, namun di balik itu ada kilatan emosi yang sulit dibaca.“Kenapa kau membelanya?” tanyanya dengan suara rendah, nyaris seperti bisikan maut.Livia menggeleng cepat, matanya tak lepas dari mata tajam Alessandro. “Aku tidak membelanya… aku hanya tidak ingin kau membunuh orang tanpa alasan!”Freddy yang masih menahan rasa sakit di bahunya mencoba bangkit, tapi Michael segera menahannya agar tidak membuat situasi semakin buruk.Alessandro perlahan menurunkan pistolnya, tapi tidak melepas tatapan dari pria yang hampir saja dia habisi. “Dia berbohong. Dia tahu kau di sini. Dan dia tetap menahanmu.”L
“Kita hampir sampai, Tuan,” ucap Franco dengan datar, matanya menatap ke layar navigasi di depannya. Deru helikopter semakin stabil, menunjukkan bahwa mereka sudah memasuki wilayah udara Pulau Tamothe.Alessandro berdiri di dekat pintu helikopter, memandang ke bawah melalui jendela kecil. Terlihat hamparan hutan lebat, jalan tambang, dan beberapa bangunan tua yang tersembunyi di antara kabut tipis.Senyum mengembang di sudut bibir Alessandro, pelan tapi mengerikan. “Hanya markas kecil,” gumamnya. “Jika aku keluarkan bom atomku… apakah mereka akan lenyap seketika?”Franco menoleh pelan. “Tuan tahu konsekuensinya.”“Aku juga tahu rasa puasnya,” potong Alessandro dingin. “Tapi sayang… Livia mungkin tidak akan utuh kalau aku lakukan itu.”Franco mengangguk. “Itulah sebabnya kami siapkan opsi kedua. Tim infiltrasi sudah berada di perimeter timur. Mereka menunggu aba-aba.”Alessandro menarik napas dalam, lalu mengeluarkannya dengan tenang. “Bagus. Kirim pesan pada mereka… Tidak ada belas ka