Zeni masih heran melihat reaksi berlebihan Frans. "Apa cuma perasaanku saja ya?" pikir Zeni.
Keduanya hening sesaat, yang terdengar hanya helaan nafas lembut ditambah semilirnya angin malam. Dengan memasang ekspresi wajah setenang mungkin, dan menekan gejolak hati yang kacau, Frans memberanikan diri untuk mulai membuka percakapan kembali yang sesaat terhenti. " Ayo Zen, kita berangkat sekarang, nanti malam bertambah semakin larut," ajak Frans dengan nada suara setenang mungkin. "Oke, Frans." spontan jawaban keluar dari mulut Zeni. Keduanya pun berjalan beriringan menuju area parkir stasiun. Frans segera menghubungi supir yang menjemputnya. Area parkir stasiun cukup lenggang, yang terlihat hanya beberapa hilir mudik kendaraan yang lalu lalang. Pukul 23.00 malam hari, keduanya sudah meluncur meninggal stasiun menuju Rumah sakit kota. Supir dengan leluasa membawa mobil Pajero hitam dengan kecepatan tinggi melintasi area jalan yang sepi. Lobi rumah sakit cukup sepi. Hanya terdapat beberapa perawat yang sedang piket malam. Dengan langkah tergesa keduanya berjalan menuju ruang jaga perawat. "Zeni, kamu sudah tahu orang tua kamu berada di ruang mana?" "Sebentar Frans, saya hubungi tante Denti?" Segera Zeni mengambil ponselnya yang berada didalam tas, menelepon dan memberi informasi kalau dirinya sudah berada di rumah sakit. "Zeni, kamu terus saja ke ruang ICU ya? Tante tunggu diluar ruangan." jawaban Tante Denti via telepon mengejutkan Zeni. Sesaat raut wajahnya berubah menjadi pucat. Ponselnya luruh jatuh ke lantai, dan tiba-tiba tubuhnya terasa lemas. "Zeni kamu kenapa?" Frans terkejut melihat reaksi Zeni, dengan reflek segera mengambil ponsel Zeni yang terjatuh. "Frans, antar aku ke ruang ICU sekarang?" pinta Zeni yang terlihat lemas. "Iya, sebentar aku tanyakan ke perawat jaga." Frans menghampiri perawat jaga dan menanyakan letak ruang ICU. Dengan ramah perawat jaga memberi petunjuk jalan menuju ruang ICU. Frans segera menuju Zeni, dan mengajak Zeni ke ruang ICU. Langkah keduanya pun tergesa-gesa menuju ruangan tersebut. "Ini ponselnya Zen, tadi terjatuh." Frans menyerahkan ponsel ke Zeni. Sesaat langkah Zeni terhenti dan tangannya bergerak menerima benda pipih tersebut. "Terima kasih Frans." jawab Zeni datar sembari melanjutkan langkah kakinya. Derap langkah kaki keduanya terdengar jelas dilorong rumah sakit. Perasaan was-was muncul dihati Frans. Dia masih menebak-nebak apakah korban dari proyek yang dia pegang adalah kedua orang tua Zeni. Hati Frans gusar mengingat hal tersebut, untungnya dia memakai identitas Ayyas saat memegang proyek di kota ini. "Helaan nafas lega keluar dari bibir Frans, dia masih bisa berkelit ." pikirnya. Terlihat Tante Denti dengan raut wajah cemas duduk didepan ruang ICU, Zeni segera berjalan menghampirinya. "Tante bagaimana keadaan kedua orang tuanku?" tanya Zeni penasaran. Tante Denti kemudian merengkuh tubuh Zeni dan memeluknya. Air mata keluar membasahi pipinya. "Kamu sabar Zen, ikhlas dan perbanyak doa." ucap Tante Denti dengan menahan kesedihan. "Apa yang terjadi Tante. Tadi siang Tante menghubungiku untuk segera pulang karena Tante mau ditemani check up rutin. Kenapa jadi seperti ini?" ucap Zeni sambil melepas pelukannya. "Maafkan Tante Zen," ucapnya dengan isak tangis. "Tadi siang Tante terpaksa berbohong, takut kamu cemas berlebihan dan terbawa emosi. Sebenarnya kejadiannya tiga hari yang lalu saat ada ledakan di proyek, na'as ibu kamu ikut terkena dampaknya. Dia sedang mengantarkan makan siang untuk bapak kamu." Zeni terduduk dengan lemas di kursi tunggu. Dia tidak pernah membayangkan hal seperti ini bisa menimpa kehidupannya. Setelah sebulan yang lalu kakaknya meninggal karena kecelakaan motor, saat ini dia harus menahan goncangan jiwa terkait insiden yang terjadi pada kedua orang tuanya. Frans yang sembari tadi berdiri melihat percakapan keduanya, tiba-tiba menghampiri dan duduk bersebelahan dengan Zeni. "Zeni, kamu sabar ya, aku hanya bisa kasih support dan motivasi ke kamu." Zeni hanya mendengar perkataan Frans, tanpa menjawab sepatah katapun. Perawat keluar dari ruang ICU setelah melakukan pemantauan pada pasien. Sesaat perawat memanggil keluarga Abdillah. Tante Denti segera berjalan menuju perawat. "Apa sekarang keluarga pasien boleh masuk?" "Iya, silakan pasien ditemani, ini sudah hari kedua dan keduanya belum sadar dari koma." jawab perawat dengan nada tegas. "Terima kasih informasinya." balas Tante Denti dengan melangkah kakinya menuju Zeni yang tengah duduk di kursi tunggu. "Zeni, keluarga pasien sudah di ijinkan masuk ke ruang ICU, kamu mau masuk sekarang?" tanya Tante Denti dengan hati-hati. "Iya, Tante, aku akan masuk." sembari melihat Frans. "Kamu tunggu disini ya Frans?" pinta Zeni. "Siapa dia Zen? Kamu belum mengenalkan ke Tante?" tanya Tante Denti dengan gusar. Spontan Frans berdiri dan berjabat tangan dengan Tante Denti. "Selamat malam Tante, Frans teman satu fakultas, kebetulan ada kepentingan di rumah sakit ini." Jawab Frans dengan ramah sembari melepas jabatan tangannya. "Iya Frans, Tante dan Zeni mau ke ruang ICU ya? kamu ditinggal dulu." "Iya Tante, sekalian saya pamit. Mau melanjutkan urusan." jawab Frans. "Baiklah Frans, semoga urusan kamu lancar." jawab Tante Denti dengan senyum ramah. Frans hanya tersenyum menjawab pertanyaan dari Tante Denti. Sesaat dia pergi meninggalkan ruang tunggu ICU setelah melihat Tante Denti dan Zeni berjalan ke ruang ICU. Zeni menggandeng lengan Tante Denti saat memasuki ruang ICU. Detak jantungnya berpacu lebih cepat saat melihat wajah yang familiar terbaring di brankar ruang ICU. Suara patient monitor membius konsentrasi Zeni untuk tetap kuat melihat kondisi kedua orangtuanya. "Ada kursi Zen, kamu duduk saja." Tante Denti menggeser kursi dan meletakkannya di antara ruang kosong brankar ibu dan bapaknya. Perlahan Zeni duduk menghadap wajah orang tuanya yang tertutup perban, luka bakar akibat ledakan merata di tubuh kedua orangtuanya. Tante Denti mengusap bahu Zeni, "Sabar Zen, kamu yang sehat, kuat menghadapi ini." Tanpa bisa mengucapkan sepatah katapun, Zeni masih shock dengan kondisi yang memprihatinkan ini. Tante Denti memimpin doa untuk kakaknya, dan keduanya pun larut dalam lantunan doa yang terlafalkan di malam yang mencekam. ***** Langkah Frans tergesa-gesa dengan irama degup jantung yang senada dengan hembusan nafasnya. Segera dia memasuki lift dan menekan tombol Lantai 3 di gedung rumah sakit ini. Dia sudah memberitahu kedatangannya pada orang kepercayaanna yang mengurusi proyek tersebut. Satu ruangan kantor tepat disebelah ruang Direktur rumah sakit, sudah dia reservasi untuk mengurusi administrasi dan prosedur untuk penanganan korban ledakan. Bergegas dia masuk ruangan, Joy terkejut melihat kedatangan Frans yang datang tepat tengah malam. " Frans, aku kira kamu mau istirahat di hotel dulu, baru ke rumah sakit." tanya Joy dengan raut wajah heran. "Aku besok ada urusan, nanti jam tiga malam aku balik ke Surabaya." Sembari duduk di sofa melepaskan rasa penat. "Mana berkas korbannya dan kronologi kejadian ledakan proyek?" Joy menyerahkan data korban dan gambar kondisi proyek yang sudah terkena ledakan. Frans membaca berkas tersebut dengan teliti. Terlihat ada lima orang yang dirawat di ICU dan lima belas orang yang menjalani perawatan di ruang rawat inap serta sepuluh orang luka ringan yang menjalani rawat jalan. "Joy tetap jaga identitas namaku, tetap gunakan nama Ayyas saat aku kerja pegang proyek ini." tegas Frans dengan sorot mata tajam. "Siap, Frans?" Kasus ini tidak akan masuk ranah hukum, aku sudah hubungi pengacara dan menjelaskan detail kronologi kejadian ledakan ini murni kecelakaan kerja. "Kamu bisa kuandalkan Joy, tapi lain kali kelainan ini jangan terulang lagi." Braak... gebrakan tangan Frans diatas meja mengagetkan Joy. "Raut wajah Joy menjadi pias mendapat amukan dari Frans. "Segera atur lokasi baru untuk tempat stock bahan bakar, dipastikan aman dan jauh dari tempat kerja karyawan. Proyek ini deadline enam bulan lagi selesai, dipastikan bisa mengejar target." perintah Frans kepada Joy. "Baik Frans, akan aku urus." jawaban datar keluar dari Joy. Senyum smirk muncul di wajah Frans, "Untungnya semua ruang sudah rusak semua, sehingga bisa menghilangkan jejak dari kepolisian." gumam Frans.Zeni mengambil ponselnya dan menghubungi Baskoro. Sesaat panggilan mulai terhubung.“Hallo Zeni. Apakah kamu sudah bertemu dengan driver?” tanya Baskoro melalui sambungan telepon.“Aku sudah bertemu dengan driver dan saat ini sedang dalam perjalanan. Baskoro, aku akan pergi ke kantor sebentar untuk melakukan absensi online dan bertemu dengan pak Leon. Apakah kamu tidak keberatan?”“Tentu saja aku tidak keberatan. Driver akan mengantarkanmu ke kantor sebelum pergi ke rumah sakit.”“Baiklah… Bagaimana kondisi bapak Hutama?”“Keadaannya jauh lebih baik dibandingkan tadi malam. Saat ini bapak sedang sarapan pagi ditemani oleh Ibu dan Om Laksana.”“Syukurlah jika kondisi pak Hutama semakin baik. Sebentar lagi aku akan sampai di kantor, aku tutup teleponnya sekarang Baskoro.”“Siapa yang meneleponmu Baskoro?” tanya Galuh tepat berada didepan Baskoro.“Tante!” kata Baskoro dengan terkejut. “Kapan tante Galuh datang ke balkon ini? Kenapa aku tidak menyadari kedatangan tante?”“Aku baru saja d
Laksana dan Galuh masuk ke dalam ruang perawatan. Dia melihat Baskoro sedang berbicara dengan seorang perawat yang berdiri tak jauh dari Hutama. Galuh segera duduk disamping Indraswari.“Kak, bersabarlah! Aku yakin kak Hutama segera sembuh. Jika kak Indraswari sudah lelah, istirahatlah! Biarkan aku dan Laksana yang menjaga kak Hutama.”“Aku belum lelah Galuh. Nanti saja sekalian aku menunggu Ardiansyah.” ucapnya dengan sedih.“Kak Hutama memiliki semangat hidup yang tinggi, tentu dia akan lekas sembuh. Kak Indraswari tidak perlu larut dalam kesedihan.”“Benar apa yang kamu katakan Laksana, Hutama memang tipe orang yang bersemangat dan memilki optimis yang tinggi. Aku hanya merasa shock atas kesehatan Hutama yang tiba-tiba jatuh sakit. Selama aku hidup berumah tangga dengannya dia tidak pernah sakit parah. Ini adalah pertama kalinnya.”“Kak Hutama sudah tidak muda lagi, tentu energinya tidak seperti dulu. Yang sama hanyalah semangat hidupnya yang masih berjiwa muda. Kemarin dia sakit s
“Tidak tante Galuh. Aku hanya terkejut saja atas pertanyaan yang tiba-tiba menyudutkanku untuk segera menikah. Aku benar-benar belum memilki teman dekat laki-laki yang cocok dan sesuai dengan kriteriaku.”“Apakah kamu memiliki masalah? Tante berpikir jika kamu memiliki pergaulan yang luas, sehingga tidaklah sulit untuk mendapatkan pasangan hidup.”“Itu tidak semudah yang tante lihat. Aku merasa belum waktunya untuk menikah, usiaku juga belum memasuki kepala tiga, jadi aku masih memiliki waktu untuk menikmati masa lajangku.”“Tidak seperti itu Adiratna, kamu adalah anak perempuan satu-satunya dari kak Hutama, jadi kedua orang tuamu tentu lebih memperhatikan masa depanmu. Mungkin tante dan om Laksana bisa membantumu untuk mengenalkan beberapa lelaki yang pantas untukmu.”“Lakukan saja Galuh! Aku juga pernah memikirkan hal tersebut dengan Hutama, namun karena kami jarang bertemu ditambah dengan kesibukan masing-masing, rencana kami belum terlaksana sampai saat ini.”“Apakah kak Indraswar
Baskoro dan pak Archery segera berjalan masuk ke dalam rumah sakit. Mereka segera menuju ke lift yang membawanya menuju ke lantai dua.“Apakah kamu sudah mengetahui di ruang mana Hutama menjalani perawatan?” “Sudah pak Archery, prof. Jack telah mengirim pesan mengenai ruangan yang digunakan untuk perawatan bapak.”“Oh… benar! Aku hampir lupa. Kamu adalah calon dokter. Apakah kamu sebentar lagi akan menuntaskan kuliahmu?”“Kemungkinan tahun ini aku akan wisuda. Bulan depan aku akan menjalani sidang skripsi.”“Aku salut kepadamu Baskoro. Hutama dan Indraswari pandai mendidik kamu. Selain kamu kuliah saya dengar kamu juga sudah memiliki bisnis. Di usiamu yang cukup muda kamu sudah mendulang kesuksesan.” “Apa yang pak Archery katakan itu sungguh berlebihan. Aku merasa posisiku masih stagnan dan belum ada perkembangan apapun. Bisnis yang aku geluti pun belum berkembang dengan pesat dan masih berskala nasional.”“Apa kamu pikir aku tidak mengetahui bisnismu Baskoro? Kamu telah bekerjasama
Ibu Indraswari mulai menguraikan pelukannya. Perlahan dia mengusap bulir air mata yang mengalir di kedua pipinya.“Ibu tidak tahu mengapa tiba-tiba bapakmu sakit. Tadi saat sedang minum teh di ruang tengah ibu meninggalkan bapakmu sebentar untuk mengambil kudapan di dapur. Saat itu dia masih sehat, kami memang sedang menunggu kerabat dari keluarga bapak yang akan berkunjung ke rumah. Ibu terkejut melihat bapakmu sudah pingsan sekembali dari dapur. Segera ibu memanggil pelayan untuk membawanya menuju ke kamar.”“Setahuku bapak sehat selama ini. Apa ibu menyembunyikan sesuatu dari ku? Apa bapak menderita penyakit tertentu? Tidak mungkin bapak pingan secara tiba-tiba.”“Sudahlah Baskoro! Kamu jangan menyudutkan ibu dengan berbagai pertanyaanmu. Ibu juga tidak tahu sama seperti kita. Sebaiknya kita menunggu dokter memeriksa bapak.” kata Ardiansyah.Om Laksana yang baru saja masuk ke dalam kamar, melihat sedikit keributan yang muncul antara Baskoro dan Ardiansyah. Dia segera berjalan mende
Sesampainya di kamar kos, Lisa mengajak Zeni duduk. “Sebentar mba Zeni, tunggulah disini. Aku menaruh barangnya di motor.” Lisa bergegas keluar dari kamar.Tak lama kemudian Lisa kembali dengan membawa satu buah paper bag dan meletakkannya di atas meja.“Ini mba Zeni, terimalah. Aku tadi sempat mampir ke butik dan aku lihat ini cocok untuk mba Zeni. Cobalah!”“Aku tidak mau merepotkanmu Lisa. Kenapa kamu membelikan ini untukku? Apakah ini kado pernikahan darimu?” kata Zeni sembari membuka paper bag tersebut.Lisa segera duduk disamping Zeni. “Itu bukan kado pernikahan untuk mba Zeni, tapi kenang-kenangan dariku. Mba Zeni sebentar lagi akan melakukan tugas pengabdian masyarakat selama satu bulan dan setelah itu pasti mba sibuk untuk mempersiapkan pernikahan dan tentunya akan mengambil libur kuliah beberapa hari kan? Setelah itu kita pasti jarang bertemu, apalagi fakultas kita berbeda. Aku pasti merindukan mba Zeni.”“Apa yang kamu katakan Lisa? Kamu jangan lebay seperti Lintang, seol