Share

Bab 5

Penulis: Antilia
last update Terakhir Diperbarui: 2024-06-19 02:28:32

Vilia tersenyum saat membaca pesan dari Giant. Saat ini Giant dan Rian masih antri menunggu pak Pramono. "Keren... luar biasa ... hari ini semua lembur termasuk KaJurnya," gumam Vilia.

Dengan tergesa-gesa Zeni menghampiri Vilia. "Vilia kamu ada acara?"

"Ada apa Zeni? kamu kelihatan khawatir?" Vilia mencoba menelisik raut wajah Zeni.

"Aku minta tolong antar ke Stasiun ya?" pinta Zeni menunjukkan raut wajah yang memelas.

"Kamu mau kemana? Ini sudah sore lho?" selidik Vilia.

"Aku disuruh pulang sekarang, ada kepentingan mendesak?" Zeni berbicara dengan nada cemas.

"Oke, kamu mau ke kos dulu atau terus ke stasiun?" tawar Vilia.

"Terus ke stasiun saja Vil, ini aku sudah pesan tiket kereta secara online."

"Oke," jawab Vilia. Keduanya segera berjalan menuju parkiran motor di depan gedung Auditorium.

Sepeda motor metic membawa keduanya menuju stasiun yang terbesar di kota Surabaya. Lalu lintas sore ini macet sehingga membutuhkan waktu agak lama menuju ke stasiun.

"Aku antar sampai depan stasiun ya, ini sudah Maghrib nanti kemaleman sampai di rumah." ucap Vilia sembari Zeni turun dari motor.

"Oke, terima kasih Vilia. Vilia melambaikan tangannya dan mulai melajukan motornya menjauh dari stasiun.

Musholla kecil didalam area stasiun menjadi tempat istirahat setelah selesai menunaikan sholat jamak. Zeni memakan snack sisa yang masih ditasnya sembari menunggu waktu pemberangkatan kereta. Rasa lelah seharian sudah terbayar saat Zeni berhasil menyelesaikan kendala terkait persyaratan tugas pengabdian masyarakat. Dia mengeluarkan kertas dari dalam tasnya dan mulai membaca ulang terkait jadwal pelaksanaan. Tertegun Zeni saat melihat di kertas tersebut tercantum nomor ponsel.

Dahinya berkerut memikirkan kepemilikan nomor ponsel tersebut. Senyum usil tersungging dibibirnya. Tanpa menunggu waktu lama nomor ponsel tanpa nama sudah tersimpan di memori ponselnya.

Tap... tap.... tap..... suara langkah kaki Zeni terdengar di area tunggu penumpang kereta. Dia mencari kursi yang kosong untuk ditempati. "Pemberangkatan kereta masih Lima belas menit lagi," gumam Zeni dengan melihat jam dilayar ponselnya. Dia merasakan tenggorokan haus, segera dia menuju mini market yang tempatnya tak jauh dari tempat duduknya.

Dua botol air mineral sudah ditangannya. Segera dia kembali ke tempat duduk dan menghilangkan dahaga di tenggorokannya. Setengah botol air mineral sudah tandas. Frans keluar dari mini market stasiun, sorot matanya tertuju pada gadis berjilbab hitam yang sedang duduk. "Sepertinya aku pernah lihat gadis tersebut," gumam Frans sambil berjalan menuju kursi yang kosong. Terkejut Zeni melihat Frans yang berjalan menuju arahnya.

"Kamu mau kemana?" tanya Frans dengan menduduki kursi yang kosong.

"Aku mau mudik," dengan acuh Zeni menjawab pertanyaan Frans.

"Besok ada kuliah-kan? kamu juga sedang sibuk di kepanitian?" cecar Frans memperlihatkan rasa ingin tahu.

Zeni terkejut mendengar pertanyaan Frans, tadi Zeni tidak berpikir kalau dia sedang sibuk dikepanitiaan.

"Heem... tadi aku terburu-buru Frans, padahal deadline distribusi surat harus kelar Minggu ini."

"Aku bisa bantu kamu, kalau kamu ada kepentingan mendesak, tak usah sungkan," tawar Frans.

"Iya, terima kasih, maaf sudah merepotkanmu Frans, kamu mau kemana?"

"Sama kayak kamu, ke Ngawi?" jawab Frans datar.

" Kamu di gerbong berapa Zen?"

"Gerbong 10," jawab Zeni

"Beda gerbong sama aku, tapi nanti kita ketemu di stasiun pemberhentian ya, ini sudah malam," ajak Frans.

"Aku dijemput saudara di stasiun Frans, kamu serius mau membantuku dikepanitiaan? kita kan beda jurusan?

"Iya, aku serius Zen? apa yang bisa aku bantu,? tawar Frans

"Aku mudik tiga hari, boleh minta tolong untuk mengantarkan surat ini ke kajur?" sembari menunjukkan 4 amplop yang didalamnya berisi surat kepanitian.

"Tentu saja, apa hanya ini? kamu bilang deadline Minggu ini selesai, kamu juga mudik tiga hari?"

"Heem... itu ada satu surat lagi tapi bukan diJurusan, harus diantar ke Gedung Rektorat?" ucap Zeni

"Kebetulan Jumat aku ke Auditorium, sekalian ke Rektorat, mana suratnya?"

Zeni mengambil kembali satu buah surat dan menyerahkan kepada Frans.

"Kereta Parahyangan sudah tiba di stasiun, kepada para penumpang diharapkan untuk memasuki gerbong sesuai tiket Kereta, sekian dan terima kasih," pengumuman dari petugas Kereta api menghentikan percakapan keduanya. Bergegas Frans dan Zeni memasuki kereta sesuai gerbong masing-masing.

Setelah mendapatkan tempat duduk sesuai tiket, Zeni mulai merehatkan badannya. Seharian ini cukup menguras tenaga, beruntung tubuhnya prima jadi bisa tetap beraktivitas tanpa gangguan. Laju kereta api malam dari Kota Surabaya menuju Ngawi menghabiskan waktu 3 jam 40 menit, membuat mata Zeni perlahan tertutup berkelana ke alam mimpi.

Ritme suara telepon terdengar didalam tas Zeni, membuat refleks gerakan kecil tangannya untuk mulai mengambil benda pipih tersebut.

"Assalamu'alaikum," Suara Zeni terdengar parau saat menjawab telepon.

"Wa'alaikumussalam... Zeni kamu sudah naik kereta? Nanti terus ke rumah sakit kota ya, jangan pulang ke rumah dulu." Suara tante Dinta mengagetkan Zeni.

"Memang ada apa Tante? Siapa yang sakit?" Cecar Zeni

"Nanti tante kabari lagi ya," terdengar suara tangis diujung telepon diiringi dengan terputusnya suara tante Dinta.

Hati Zeni mendadak kacau bercampur cemas. "Ada apa gerangan? Tadi sore disuruh pulang mendadak karena Tante Dinta besok ditemani check up rutin? tapi kenapa sekarang di rumah sakit?" gumam Zeni dengan memijit pelipisnya.

Sepanjang perjalanan di kereta Zeni hanya bisa menghilangkan perasaan cemas dengan berdoa. Tak lupa bibirnya senantiasa basah mengagungkan penciptanya. Waktupun dirasa berputar terasa lambat membuat Zeni berkeinginan untuk segera menuju ke rumah sakit.

Kereta sampai di Stasiun Ngawi. Bergegas Zeni mengemasi barang bawaannya di tas dan mulai berjalan menuju pintu gerbong.

Terlihat Frans berdiri tepat didepan gerbong 10.

Zeni turun dari kereta dan berjalan menuju Frans.

"Kamu sudah dikabari saudara yang menjemputmu Zen?" Aku sudah dijemput supir, kalau mau bareng saja tak antar.

Dahi Zeni berkerut, dia mulai penasaran akan kedatangan Frans yang bersama ke kota Ngawi.

"Kamu punya saudara di Ngawi Frans?"

"Aku mau ke rumah sakit kota, ada saudara Ayah yang mengalami masalah dan dia tidak bisa datang. Makanya aku bergegas ke Ngawi." jelas Frans

"Saudara Ayahmu tinggal di kota ini?" selidik Zeni

"Dia kerja di kota ini, ada proyek yang harus ditangani, namun saat ini Om Ayas harus ke Kalimantan ada proyek yang failed, ayo Zen, kamu mau pulang ke rumahkan? Sekalian bareng, ini sudah malam.

"Aku tadi dapat telepon disuruh ke rumah sakit kota segera," jawab Zeni

Wajah Frans seketika berubah pucat mendengar jawaban dari Zeni. "Apa? kamu mau ke rumah sakit kota?" pekik Frans

Terkejut Zeni melihat ekspresi Frans yang tiba-tiba berubah drastis. "Kamu ada masalah Frans?"

"Eemmm.... emmm ti... ti.... dak... " jawab Frans gelagapan sambil mengusap peluh yang muncul di dahinya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Belenggu Cinta Sang Mafia dengan Aktivis Kampus   Bab 120

    Zeni mengambil ponselnya dan menghubungi Baskoro. Sesaat panggilan mulai terhubung.“Hallo Zeni. Apakah kamu sudah bertemu dengan driver?” tanya Baskoro melalui sambungan telepon.“Aku sudah bertemu dengan driver dan saat ini sedang dalam perjalanan. Baskoro, aku akan pergi ke kantor sebentar untuk melakukan absensi online dan bertemu dengan pak Leon. Apakah kamu tidak keberatan?”“Tentu saja aku tidak keberatan. Driver akan mengantarkanmu ke kantor sebelum pergi ke rumah sakit.”“Baiklah… Bagaimana kondisi bapak Hutama?”“Keadaannya jauh lebih baik dibandingkan tadi malam. Saat ini bapak sedang sarapan pagi ditemani oleh Ibu dan Om Laksana.”“Syukurlah jika kondisi pak Hutama semakin baik. Sebentar lagi aku akan sampai di kantor, aku tutup teleponnya sekarang Baskoro.”“Siapa yang meneleponmu Baskoro?” tanya Galuh tepat berada didepan Baskoro.“Tante!” kata Baskoro dengan terkejut. “Kapan tante Galuh datang ke balkon ini? Kenapa aku tidak menyadari kedatangan tante?”“Aku baru saja d

  • Belenggu Cinta Sang Mafia dengan Aktivis Kampus   Bab 119

    Laksana dan Galuh masuk ke dalam ruang perawatan. Dia melihat Baskoro sedang berbicara dengan seorang perawat yang berdiri tak jauh dari Hutama. Galuh segera duduk disamping Indraswari.“Kak, bersabarlah! Aku yakin kak Hutama segera sembuh. Jika kak Indraswari sudah lelah, istirahatlah! Biarkan aku dan Laksana yang menjaga kak Hutama.”“Aku belum lelah Galuh. Nanti saja sekalian aku menunggu Ardiansyah.” ucapnya dengan sedih.“Kak Hutama memiliki semangat hidup yang tinggi, tentu dia akan lekas sembuh. Kak Indraswari tidak perlu larut dalam kesedihan.”“Benar apa yang kamu katakan Laksana, Hutama memang tipe orang yang bersemangat dan memilki optimis yang tinggi. Aku hanya merasa shock atas kesehatan Hutama yang tiba-tiba jatuh sakit. Selama aku hidup berumah tangga dengannya dia tidak pernah sakit parah. Ini adalah pertama kalinnya.”“Kak Hutama sudah tidak muda lagi, tentu energinya tidak seperti dulu. Yang sama hanyalah semangat hidupnya yang masih berjiwa muda. Kemarin dia sakit s

  • Belenggu Cinta Sang Mafia dengan Aktivis Kampus   Bab 118

    “Tidak tante Galuh. Aku hanya terkejut saja atas pertanyaan yang tiba-tiba menyudutkanku untuk segera menikah. Aku benar-benar belum memilki teman dekat laki-laki yang cocok dan sesuai dengan kriteriaku.”“Apakah kamu memiliki masalah? Tante berpikir jika kamu memiliki pergaulan yang luas, sehingga tidaklah sulit untuk mendapatkan pasangan hidup.”“Itu tidak semudah yang tante lihat. Aku merasa belum waktunya untuk menikah, usiaku juga belum memasuki kepala tiga, jadi aku masih memiliki waktu untuk menikmati masa lajangku.”“Tidak seperti itu Adiratna, kamu adalah anak perempuan satu-satunya dari kak Hutama, jadi kedua orang tuamu tentu lebih memperhatikan masa depanmu. Mungkin tante dan om Laksana bisa membantumu untuk mengenalkan beberapa lelaki yang pantas untukmu.”“Lakukan saja Galuh! Aku juga pernah memikirkan hal tersebut dengan Hutama, namun karena kami jarang bertemu ditambah dengan kesibukan masing-masing, rencana kami belum terlaksana sampai saat ini.”“Apakah kak Indraswar

  • Belenggu Cinta Sang Mafia dengan Aktivis Kampus   Bab 117

    Baskoro dan pak Archery segera berjalan masuk ke dalam rumah sakit. Mereka segera menuju ke lift yang membawanya menuju ke lantai dua.“Apakah kamu sudah mengetahui di ruang mana Hutama menjalani perawatan?” “Sudah pak Archery, prof. Jack telah mengirim pesan mengenai ruangan yang digunakan untuk perawatan bapak.”“Oh… benar! Aku hampir lupa. Kamu adalah calon dokter. Apakah kamu sebentar lagi akan menuntaskan kuliahmu?”“Kemungkinan tahun ini aku akan wisuda. Bulan depan aku akan menjalani sidang skripsi.”“Aku salut kepadamu Baskoro. Hutama dan Indraswari pandai mendidik kamu. Selain kamu kuliah saya dengar kamu juga sudah memiliki bisnis. Di usiamu yang cukup muda kamu sudah mendulang kesuksesan.” “Apa yang pak Archery katakan itu sungguh berlebihan. Aku merasa posisiku masih stagnan dan belum ada perkembangan apapun. Bisnis yang aku geluti pun belum berkembang dengan pesat dan masih berskala nasional.”“Apa kamu pikir aku tidak mengetahui bisnismu Baskoro? Kamu telah bekerjasama

  • Belenggu Cinta Sang Mafia dengan Aktivis Kampus   Bab 116

    Ibu Indraswari mulai menguraikan pelukannya. Perlahan dia mengusap bulir air mata yang mengalir di kedua pipinya.“Ibu tidak tahu mengapa tiba-tiba bapakmu sakit. Tadi saat sedang minum teh di ruang tengah ibu meninggalkan bapakmu sebentar untuk mengambil kudapan di dapur. Saat itu dia masih sehat, kami memang sedang menunggu kerabat dari keluarga bapak yang akan berkunjung ke rumah. Ibu terkejut melihat bapakmu sudah pingsan sekembali dari dapur. Segera ibu memanggil pelayan untuk membawanya menuju ke kamar.”“Setahuku bapak sehat selama ini. Apa ibu menyembunyikan sesuatu dari ku? Apa bapak menderita penyakit tertentu? Tidak mungkin bapak pingan secara tiba-tiba.”“Sudahlah Baskoro! Kamu jangan menyudutkan ibu dengan berbagai pertanyaanmu. Ibu juga tidak tahu sama seperti kita. Sebaiknya kita menunggu dokter memeriksa bapak.” kata Ardiansyah.Om Laksana yang baru saja masuk ke dalam kamar, melihat sedikit keributan yang muncul antara Baskoro dan Ardiansyah. Dia segera berjalan mende

  • Belenggu Cinta Sang Mafia dengan Aktivis Kampus   Bab 115

    Sesampainya di kamar kos, Lisa mengajak Zeni duduk. “Sebentar mba Zeni, tunggulah disini. Aku menaruh barangnya di motor.” Lisa bergegas keluar dari kamar.Tak lama kemudian Lisa kembali dengan membawa satu buah paper bag dan meletakkannya di atas meja.“Ini mba Zeni, terimalah. Aku tadi sempat mampir ke butik dan aku lihat ini cocok untuk mba Zeni. Cobalah!”“Aku tidak mau merepotkanmu Lisa. Kenapa kamu membelikan ini untukku? Apakah ini kado pernikahan darimu?” kata Zeni sembari membuka paper bag tersebut.Lisa segera duduk disamping Zeni. “Itu bukan kado pernikahan untuk mba Zeni, tapi kenang-kenangan dariku. Mba Zeni sebentar lagi akan melakukan tugas pengabdian masyarakat selama satu bulan dan setelah itu pasti mba sibuk untuk mempersiapkan pernikahan dan tentunya akan mengambil libur kuliah beberapa hari kan? Setelah itu kita pasti jarang bertemu, apalagi fakultas kita berbeda. Aku pasti merindukan mba Zeni.”“Apa yang kamu katakan Lisa? Kamu jangan lebay seperti Lintang, seol

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status