Share

Bab 7

Author: Antilia
last update Last Updated: 2024-06-22 16:05:15

Baskoro masih diam membisu, pikirannya dibiarkan bebas berkelana, lebih memilih memanjakan matanya untuk menikmati nuansa malam di apartemen miliknya. Dengan posisi duduk di balkon, ditemani semilir angin malam, belum mampu membius kedua matanya untuk terlelap. Waktu sudah menunjukkan pukul 01.00 dini hari, namun perasaannya masih gusar. Informasinya dari kaki tangannya terkait ledakan di sebuah proyek masih mengganggunya.

"Aneh, kenapa proyek seperti itu bisa meledak? Dan sepertinya polisi angkat tangan terhadap kasus tersebut." pikir Baskoro. "Profil pemiliknya juga misterius, Ayyas! Apa dia pemain baru di bisnis ini." gumam Baskoro.

Bunyi ponsel di atas nakasnya terdengar, segera Baskoro melangkahkan kakinya menuju sumber suara tersebut. Terlihat sebuah nama Garvin muncul di layar ponselnya. Segera dia meraih benda pipih tersebut dan menekan tombol berlogo telepon warna hijau.

Terdengar suara familiar diseberang telepon. "Hallo Bas, kamu besok ada agenda? Aku rencana besok tiba di Indonesia." seru Garvin bersemangat.

"Besok pagi aku ke kampus, siang di rumah sakit, aku bisa jemput kamu di Bandara disaat jam istirahat." Jelas Baskoro dengan sorot mata tajam .

"Aku ada urusan sedikit, tidak usah dijemput, sorean saja kita ketemu. Untuk lokasinys nanti aku kabari lebih lanjut." Seru Garvin.

"Oke kalau begitu, aku tunggu informasi lebih lanjut." ucap Baskoro menutup percakapan di telepon.

Baskoro melangkahkan kakinya menuju tempat tidur. Tak berapa lama tubuhnya sudah berbaring, perlahan rasa kantuk datang menghampiri membawa Baskoro mengistirahatkan tubuhnya.

*****

Frans masih berkutat dengan berkas laporan, satu persatu masalah sudah ditangani. Joy dengan sabar mendengarkan penjelasan dari Frans untuk tindak lanjut penanganan proyek yang sempat tertunda. "Ini sudah vacum selama tiga hari, kita sudah tertinggal deadline." Jelas Frans dengan raut wajah kesal.

"Waktu dua hari sudah dimanfaatkan untuk pembersihan lokasi yang terbakar, dan sekarang posisinya sudah 90% siap digunakan untuk bekerja kembali." Terang Joy menjelaskan kondisi dilapangan.

"Pastikan untuk memulai kerja dua hari kedepan, serta segera urus pencairan asuransi proyek?" titah Frans.

"Ini kerja cepat Frans, dua hari harus urus semua peralatan dan administrasi harus beres?" seru Joy keberatan.

"Jalankan sistem lembur untuk persiapan dua hari ini, kerahkan karyawan untuk mulai menata ulang tempat kerja. Awal bulan depan aku akan mulai fokus sidak ke proyek ini." tegas Frans.

"Aku harus mulai persiapan berhenti dari kegiatan kampus, kepanitian ini yang terakhir, dan untuk urusan organisasi jurusan, aku bisa terus undur diri dengan alasan ada tugas pengabdian masyarakat." pikir Frans mulai menata rencana hidupnya.

"Jangan lupa update laporan untuk korban di ICU Joy, dan pastikan urus biaya pengobatan mereka dengan asuransi yang tersedia." Joy heran menatap Frans, "untuk korban ICU juga ada laporannya." Pikir Joy namun tidak berani bertanya lebih lanjut.

"Ini sudah beres, pastikan kedua orang tuaku tidak mengetahui terkait insiden ini. Aku akan segera kembali ke Surabaya, besok aku akan ke kampus." Jelas Frans, segera beranjak meninggalkan ruangan tersebut.

Jam tangan Rolex yang melingkar ditangan Frans menunjukan pukul 03.00 dini hari. Perjalanan dengan kendaraan roda empat semoga bisa cepat sampai tujuan, mengingat kondisi jalan raya masih lenggang, serta alternatif jalan Tol yang dipilih drivernya Frans untuk melajukan mobil pajeronya menuju Surabaya. Rasa penat yang menghampiri tubuh Frans, membuatnya nyaman untuk tidur didalam mobil.

*****

Zeni masih setia menemani kedua orang tuanya di bangsal ICU. Sesaat dia melihat ke arah Tante Denti. "Kasihan Tante Denti, jam segini masih terjaga, padahal dia sendiri juga sakit." pikir Zeni.

"Tante, nanti pagi pulang ya, istirahat di rumah, tante tidak boleh terlalu capai, nanti daya tahan tubuh tante terforsir." ucap Zeni dengan menggenggam jari jemari tande Denti.

"Tante tidak apa-apa Zen, nanti kamu sendirian. Kemarin udah gantian nunggu dirumah sakit dengan saudara ayah kamu, lagian sekarang Tante udah baikan, sejak selesai kemoterapi kondisi kesehatan Tante jauh lebih baik." ucap Tante Denti dengan raut wajah meyakinkan. "Walaupun sebenarnya dia berbohong pada Zeni, akhir-akhir ini kondisi tubuhnya melemah, namun dia tidak mau membuat khawatir semua orang apalagi dengan kondisi saat ini." bisik Denti dalam hati.

Melihat jawaban Tante Denti yang meyakinkan Zeni merasa yakin walaupun sebenarnya hubungan keluarga bapak dengan keluarga ibu kurang baik. walaupun sudah lahir Zeni dari pernikahan mereka, tetap saja sikap keras kepala keluarga Bapak belum merestui hubungan pernikahan mereka sampai saat ini.

"Kalau begitu nanti siang Tante pulang ya? Bujuk Zeni. Aku rindu masakan Tante, sekalian dibawakan baju gantiku." pinta Zeni dengan senyum tulusnya.

"Baiklah, kalau kamu mau masakan Tante, nanti tante pulangnya sekalian belanja ya? kamu mau masuk dimasakin apa Zen?

"Heem... apa saja dech, yang penting Tante tidak kecapean ya?

"Oke, nanti tante pulang jam 09.00 pagi saja ya? Takutnya mang sayur yang mangkal diujung komplek rumah sudah pergi."

"Siip Tante, jangan lupa bawa baju ganti Zeni ya? Tiga stel gamis dan atasan kaos beserta bawahannya."

"Iya, nanti tante siapin ya? Tante tidak lupa pesannya Zeni." ucap Tante Denti bersungguh-sungguh sembari mencatat diponsel barang titipan Zeni.

Zeni hanya tersenyum melihat tingkah laku Tante Denti, memang sejak rajin perawatan kemoterapi, daya ingat Tante Denti menurun, namun dia selalu rajin untuk mencatat semua kegiatan di memori ponselnya.

Akhirnya keduanya hanya bisa terdiam, menyelami pikirannya masing-masing. Berharap agar kondisi ini segera berakhir dan menunggu datangnya kebahagiaan.

*****

Semburat warna jingga menyambut datangnya sinar matahari disertai hembusan semilir dinginnya udara pagi membuat tubuh Zeni terasa segar. Setelah selesai menunaikan sholat subuh yang bergantian dengan Tante Denti, Zeni memilih untuk beristirahat di serambi musholla rumah sakit. Dia mengambil ponselnya didalam tas, melihat daya baterainya lemah dia segera mencari arus listrik di area masjid untuk men-charge ponselnya. Setelah dirasa aman, dia akan menunggu selama 2 jam sampai baterai diponselnya penuh. Disebelah masjid terdapat minimarket full 24 jam, dia melangkahkan kakinya menuju minimarket. Segera dia membeli perlengkapan mandi, beserta teh manis dan aneka Snack basah untuk mengganjal perutnya. Tak lupa dia sisihkan juga untuk Tante Denti. Selesai membayar di kasir, dia segera menuju serambi masjid, duduk dan menikmati teh hangat. Setelah perutnya terisi Zeni bersegera membersihkan tubuhnya di kamar mandi musholla. Ya, area kamar mandi musholla di rumah sakit memang dirancang untuk penunggu keluarga pasien yang menginap di rumah sakit. Dimana tersedia tempat yang terpisah antara toliet dengan kamar mandi.

Selesai membersihkan diri, Zeni segera mengambil ponselnya, terlihat baterainya baru terisi 50%. "Heem, baru satu jam isi daya baterai ponselnya." gumam Zeni. Segera dia meletakkan kembali ponselnya keposisi semula. Dia memilih duduk bersandar duduk diserambi masjid, sambil membaca sebuah buku yang selalu dibawa di ranselnya. Bunyi nada dering terdengar dari ponselnya. Segera dia berjalan untuk mengambil ponselnya.

"Assalamu'alaikum." Renyah suara Zeni terdengar saat membuka percakapan di telepon.

"Wa'alaikumussalam, Zen, hari ini kajur ada waktu kosong, kemarin sore aku dan Giant sudah meminta waktu untuk konsultasi, kalau bisa pagi ini kamu ke kampus ya?" ucap Rian dengan tergesa-gesa.

"Aku belum bisa ke kampus Rian, suratnya untuk kajur sudah aku titipkan ke Frans." Jawaban Zeni membuat dahi Rian berkerut. "Mengapa Zeni menitipkan surat kepanitian ke Frans, padahal Frans beda jurusan?" gumam Rian yang hanya dapat terdengar di lubuk hatinya.

"Rian, aku boleh minta tolong, hari ini sampai Sabtu aku ijin tidak masuk kuliah, nanti saat kamu absensi di daftar hadir, isi kolom namaku dengan keterangan ijin ya?" pinta Zeni

"Apa! Terkejut Rian mendengar ucapan Zeni.

"Iya, tadi malam aku sampai Ngawi, ada urusan mendesak." jelas Zeni.

"Oke, nanti absensi aku isi ijin. Kamu kalau ada info penting kabari aku ya?" selidik Rian.

"Iya, tenang saja. Oh iya Rian, kemarin aku sudah masukin surat ke Dekan Fakultas, tapi untuk konfirmasi jawabannya hari ini. Apa kamu bisa menemui pak Anto selaku TU fakultas untuk menanyakan hasilnya?" pinta Zeni.

"Iya. Tentu saja. Nanti kamu saya kabari." Jawaban Rian menenangkan Zeni.

"Terima kasih." Sembari menutup percakapan di telepon.

Sesaat kemudian layar ponsel Zeni berdering, terlihat nama Tante Denti muncul di layar ponselnya. Dia segera menerima panggilan tersebut. Terdengar suara Tante Denti yang histeris disertai isak tangis yang pilu. Tanpa mematikan sambungan telepon, Zeni segera menuju ruang ICU.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Belenggu Cinta Sang Mafia dengan Aktivis Kampus   Bab 120

    Zeni mengambil ponselnya dan menghubungi Baskoro. Sesaat panggilan mulai terhubung.“Hallo Zeni. Apakah kamu sudah bertemu dengan driver?” tanya Baskoro melalui sambungan telepon.“Aku sudah bertemu dengan driver dan saat ini sedang dalam perjalanan. Baskoro, aku akan pergi ke kantor sebentar untuk melakukan absensi online dan bertemu dengan pak Leon. Apakah kamu tidak keberatan?”“Tentu saja aku tidak keberatan. Driver akan mengantarkanmu ke kantor sebelum pergi ke rumah sakit.”“Baiklah… Bagaimana kondisi bapak Hutama?”“Keadaannya jauh lebih baik dibandingkan tadi malam. Saat ini bapak sedang sarapan pagi ditemani oleh Ibu dan Om Laksana.”“Syukurlah jika kondisi pak Hutama semakin baik. Sebentar lagi aku akan sampai di kantor, aku tutup teleponnya sekarang Baskoro.”“Siapa yang meneleponmu Baskoro?” tanya Galuh tepat berada didepan Baskoro.“Tante!” kata Baskoro dengan terkejut. “Kapan tante Galuh datang ke balkon ini? Kenapa aku tidak menyadari kedatangan tante?”“Aku baru saja d

  • Belenggu Cinta Sang Mafia dengan Aktivis Kampus   Bab 119

    Laksana dan Galuh masuk ke dalam ruang perawatan. Dia melihat Baskoro sedang berbicara dengan seorang perawat yang berdiri tak jauh dari Hutama. Galuh segera duduk disamping Indraswari.“Kak, bersabarlah! Aku yakin kak Hutama segera sembuh. Jika kak Indraswari sudah lelah, istirahatlah! Biarkan aku dan Laksana yang menjaga kak Hutama.”“Aku belum lelah Galuh. Nanti saja sekalian aku menunggu Ardiansyah.” ucapnya dengan sedih.“Kak Hutama memiliki semangat hidup yang tinggi, tentu dia akan lekas sembuh. Kak Indraswari tidak perlu larut dalam kesedihan.”“Benar apa yang kamu katakan Laksana, Hutama memang tipe orang yang bersemangat dan memilki optimis yang tinggi. Aku hanya merasa shock atas kesehatan Hutama yang tiba-tiba jatuh sakit. Selama aku hidup berumah tangga dengannya dia tidak pernah sakit parah. Ini adalah pertama kalinnya.”“Kak Hutama sudah tidak muda lagi, tentu energinya tidak seperti dulu. Yang sama hanyalah semangat hidupnya yang masih berjiwa muda. Kemarin dia sakit s

  • Belenggu Cinta Sang Mafia dengan Aktivis Kampus   Bab 118

    “Tidak tante Galuh. Aku hanya terkejut saja atas pertanyaan yang tiba-tiba menyudutkanku untuk segera menikah. Aku benar-benar belum memilki teman dekat laki-laki yang cocok dan sesuai dengan kriteriaku.”“Apakah kamu memiliki masalah? Tante berpikir jika kamu memiliki pergaulan yang luas, sehingga tidaklah sulit untuk mendapatkan pasangan hidup.”“Itu tidak semudah yang tante lihat. Aku merasa belum waktunya untuk menikah, usiaku juga belum memasuki kepala tiga, jadi aku masih memiliki waktu untuk menikmati masa lajangku.”“Tidak seperti itu Adiratna, kamu adalah anak perempuan satu-satunya dari kak Hutama, jadi kedua orang tuamu tentu lebih memperhatikan masa depanmu. Mungkin tante dan om Laksana bisa membantumu untuk mengenalkan beberapa lelaki yang pantas untukmu.”“Lakukan saja Galuh! Aku juga pernah memikirkan hal tersebut dengan Hutama, namun karena kami jarang bertemu ditambah dengan kesibukan masing-masing, rencana kami belum terlaksana sampai saat ini.”“Apakah kak Indraswar

  • Belenggu Cinta Sang Mafia dengan Aktivis Kampus   Bab 117

    Baskoro dan pak Archery segera berjalan masuk ke dalam rumah sakit. Mereka segera menuju ke lift yang membawanya menuju ke lantai dua.“Apakah kamu sudah mengetahui di ruang mana Hutama menjalani perawatan?” “Sudah pak Archery, prof. Jack telah mengirim pesan mengenai ruangan yang digunakan untuk perawatan bapak.”“Oh… benar! Aku hampir lupa. Kamu adalah calon dokter. Apakah kamu sebentar lagi akan menuntaskan kuliahmu?”“Kemungkinan tahun ini aku akan wisuda. Bulan depan aku akan menjalani sidang skripsi.”“Aku salut kepadamu Baskoro. Hutama dan Indraswari pandai mendidik kamu. Selain kamu kuliah saya dengar kamu juga sudah memiliki bisnis. Di usiamu yang cukup muda kamu sudah mendulang kesuksesan.” “Apa yang pak Archery katakan itu sungguh berlebihan. Aku merasa posisiku masih stagnan dan belum ada perkembangan apapun. Bisnis yang aku geluti pun belum berkembang dengan pesat dan masih berskala nasional.”“Apa kamu pikir aku tidak mengetahui bisnismu Baskoro? Kamu telah bekerjasama

  • Belenggu Cinta Sang Mafia dengan Aktivis Kampus   Bab 116

    Ibu Indraswari mulai menguraikan pelukannya. Perlahan dia mengusap bulir air mata yang mengalir di kedua pipinya.“Ibu tidak tahu mengapa tiba-tiba bapakmu sakit. Tadi saat sedang minum teh di ruang tengah ibu meninggalkan bapakmu sebentar untuk mengambil kudapan di dapur. Saat itu dia masih sehat, kami memang sedang menunggu kerabat dari keluarga bapak yang akan berkunjung ke rumah. Ibu terkejut melihat bapakmu sudah pingsan sekembali dari dapur. Segera ibu memanggil pelayan untuk membawanya menuju ke kamar.”“Setahuku bapak sehat selama ini. Apa ibu menyembunyikan sesuatu dari ku? Apa bapak menderita penyakit tertentu? Tidak mungkin bapak pingan secara tiba-tiba.”“Sudahlah Baskoro! Kamu jangan menyudutkan ibu dengan berbagai pertanyaanmu. Ibu juga tidak tahu sama seperti kita. Sebaiknya kita menunggu dokter memeriksa bapak.” kata Ardiansyah.Om Laksana yang baru saja masuk ke dalam kamar, melihat sedikit keributan yang muncul antara Baskoro dan Ardiansyah. Dia segera berjalan mende

  • Belenggu Cinta Sang Mafia dengan Aktivis Kampus   Bab 115

    Sesampainya di kamar kos, Lisa mengajak Zeni duduk. “Sebentar mba Zeni, tunggulah disini. Aku menaruh barangnya di motor.” Lisa bergegas keluar dari kamar.Tak lama kemudian Lisa kembali dengan membawa satu buah paper bag dan meletakkannya di atas meja.“Ini mba Zeni, terimalah. Aku tadi sempat mampir ke butik dan aku lihat ini cocok untuk mba Zeni. Cobalah!”“Aku tidak mau merepotkanmu Lisa. Kenapa kamu membelikan ini untukku? Apakah ini kado pernikahan darimu?” kata Zeni sembari membuka paper bag tersebut.Lisa segera duduk disamping Zeni. “Itu bukan kado pernikahan untuk mba Zeni, tapi kenang-kenangan dariku. Mba Zeni sebentar lagi akan melakukan tugas pengabdian masyarakat selama satu bulan dan setelah itu pasti mba sibuk untuk mempersiapkan pernikahan dan tentunya akan mengambil libur kuliah beberapa hari kan? Setelah itu kita pasti jarang bertemu, apalagi fakultas kita berbeda. Aku pasti merindukan mba Zeni.”“Apa yang kamu katakan Lisa? Kamu jangan lebay seperti Lintang, seol

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status