Se connecter
Jantungnya berdebar kencang serta tangan yang gemetar saat meraih gagang pintu, keringat dingin pun mulai bercucuran di dahinya. Ia baru bisa sedikit bernafas lega ketika sudah berada di luar pekarangan rumah paman dan bibinya itu, dengan langkah hati-hati, ia pergi meski tidak tahu arah tujuan.
Di sinilah ia, Aruna, berusia 21 tahun, seorang buronan dari takdirnya sendiri, terdampar di sudut kota yang asing. Rasa putus asa mulai merayap naik, lebih dingin dari gerimis yang membasahi rambutnya. Apa yang akan dia lakukan sekarang? Di mana dia akan tidur? Pikiran itu terputus oleh sebuah suara. Bukan suara klakson atau deru motor yang biasa terdengar, suara yang satu ini berbeda. Sebuah sedan hitam legam yang berkilau berhenti tepat di mulut gang, seolah sengaja memblokir satu-satunya jalan keluar. Jantung Aruna yang tadinya sudah mulai tenang kini berdebar lagi dengan ritme yang liar dan panik. Pintu mobil di sisi pengemudi terbuka dengan gerakan yang anggun dan tanpa suara, diikuti oleh sosok seorang pria jangkung dalam setelan jas yang tampak tak pada tempatnya di lingkungan kumuh ini. Pria itu melangkah mendekat, ia berhenti beberapa langkah dari Aruna. Cukup dekat hingga Aruna bisa melihat wajahnya yang terpahat tegas dan matanya yang kelam tanpa emosi. “Berhenti lari, Aruna.” Suara pria itu rendah, tenang, dan sarat akan otoritas. Bukan sebuah permintaan, melainkan perintah. Aruna membeku. Seluruh darah di tubuhnya seolah surut ke kaki. “Si-siapa kau?” suaranya bergetar, nyaris tidak keluar. “Bagaimana… bagaimana kau tahu namaku?” Pria itu tidak langsung menjawab. Matanya menelusuri penampilan Aruna yang menyedihkan dari ujung rambut hingga ujung kaki—rambut lepek, wajah pucat, baju lusuh, dan sandal jepit yang kotor. Ada kilat aneh di matanya, bukan iba, melainkan sesuatu yang lebih dingin, lebih posesif. “Pertanyaan yang tidak relevan,” jawabnya datar. “Yang relevan adalah pilihanmu sekarang sangat terbatas.” “Aku tidak mengerti, aku tidak mengenalmu!” Aruna mencoba menegakkan tubuhnya, mengumpulkan sisa-sisa keberanian yang ada. “Pergi! Tinggalkan aku sendiri!” Sebuah senyum tipis yang tidak mencapai matanya tersungging di bibir pria itu. “Namaku Dika Prasetya. Dan sayangnya, meninggalkanmu sendiri bukanlah salah satu opsi.” Dia melangkah lebih dekat lagi. Refleks, Aruna mundur hingga punggungnya terbentur keras dinding bata di belakangnya. Tidak ada lagi tempat untuk lari. “Aku tahu semua tentangmu,” lanjut Dika, suaranya tetap tenang namun setiap katanya terasa seperti belati. “Aku tahu tentang bibimu. Aku tahu tentang utang-utang bibimu. Utang yang sekarang dibebankan padanya, dan tentu saja, padamu.” Dunia Aruna seakan runtuh. Pria ini bukan orang asing yang kebetulan lewat. Dia adalah perwujudan dari semua masalah yang coba Aruna tinggalkan. Dia adalah rantai yang datang untuk menyeretnya kembali. “Aku… aku bahkan tidak tahu kalau bibi punya hutang, tapi... akan kubantu membayarnya! Beri aku waktu!” isak Aruna, keputusasaan membuat suaranya pecah. “Waktu adalah kemewahan yang tidak kau miliki,” kata Dika dingin. “Tapi aku di sini untuk menawarkan sebuah solusi. Sebuah jalan keluar permanen dari semua masalahmu. Kau tidak perlu kembali ke rumah bibimu. Kau tidak perlu hidup di jalanan.” Secercah harapan yang naif berkelip sesaat di hati Aruna, sebelum langsung dipadamkan oleh kalimat Dika selanjutnya. “Menikahlah denganku.” Hening. Hanya suara gerimis yang terdengar, seolah alam pun ikut terkejut. Aruna menatapnya, yakin bahwa dia salah dengar. Pria di hadapannya pasti sudah gila. “Apa?” bisiknya tak percaya. “Kau mendengarku dengan jelas,” tegas Dika. “Pernikahan, sebuah transaksi yang saling menguntungkan. Aku mendapatkan apa yang aku inginkan, dan kau mendapatkan keselamatan.” “Keselamatan?” Aruna tertawa getir, suara tawanya terdengar parau dan putus asa. “Kau menyebut ini keselamatan? Aku lebih baik mati di jalanan daripada menikah dengan orang asing sepertimu!” Dika maju satu langkah terakhir, kini jarak mereka hanya sejangkauan lengan. Tatapannya menajam, menusuk langsung ke jiwa Aruna yang rapuh. “Kau pikir kebebasan itu ada untuk orang sepertimu, Aruna?” desisnya, nada suaranya turun satu oktaf, mengandung ancaman yang tak terucap. “Kau pikir kau bisa lari dari takdirmu? Kau adalah bidak di permainan yang sudah dimulai jauh sebelum kau lahir, kau tidak punya pilihan. Kembali pada bibimu, membusuk di jalanan, atau ikut denganku dan hidup dalam sangkar emasku.” Air mata kembali menggenang di pelupuk mata Aruna. Pilihan macam apa itu? Semuanya adalah penjara dalam bentuk yang berbeda. Dia menatap wajah Dika yang tanpa belas kasihan, mencari setitik kehangatan, tetapi yang dia temukan hanyalah jurang yang dalam dan gelap. Dia telah melarikan diri dari satu monster, hanya untuk jatuh ke dalam genggaman monster lain yang jauh lebih menakutkan. “Ini bukan tentang utang bibiku lagi, kan?” tanya Aruna dengan suara gemetar, sebuah kesadaran mengerikan mulai terbentuk di benaknya. Dika mengangkat sebelah alisnya, seolah terkesan dengan ketajaman pikiran Aruna di tengah kepanikannya. Dia membiarkan pertanyaan itu menggantung di udara yang dingin selama beberapa detik yang terasa seperti selamanya. Kemudian, dia membungkuk sedikit, mendekatkan bibirnya ke telinga Aruna, dan berbisik dengan nada final yang menghancurkan seluruh sisa harapan gadis itu. “Bibimu tidak hanya berhutang, Aruna. Dia menjadikanmu... sebagai jaminannya.” Aruna ditarik menuju sedan hitam itu, pintu tertutup dengan bunyi klik pelan. Kemudian mobil melaju cepat, meninggalkan jalanan sepi itu. Dalam hati, Aruna berdoa ini bukan keputusan yang akan menghancurkan dirinya. Mobil itu melaju tanpa arah yang jelas, menembus jalanan kota, lalu keluar ke jalur yang semakin sepi. Aruna duduk di kursi belakang bersama Dika, kedua tangannya memeluk tas lusuhnya erat erat. Setiap kali ia melirik ke luar jendela, gedung gedung berganti pepohonan, dan jalan aspal berubah menjadi jalan berbatu. “K-kita mau ke mana?” tanyanya dengan suara yang bergetar. Dika yang duduk di sampingnya hanya melirik singkat. “Tempat yang tak seorang pun akan menemukanku, atau… menemukanmu.” Jawaban itu membuat bulu kuduk Aruna berdiri, ia hampir membuka mulut lagi, tetapi tatapan Dika yang tajam membuatnya memilih diam. "Tuhan… apa yang baru saja aku masuki ini?""Akhirnya kita bertemu kembali, Dika Prasetya," ujar seorang wanita yang tiba-tiba menghampiri Dika di lorong rumah sakit, suaranya halus seperti sutra, tetapi dengan nada baja. "Kau tidak bisa lari dari tanggung jawabmu selamanya, apa kau melupakan kesepakatan kita?" Dika tidak bergeming, rahangnya terkatup rapat, dan matanya tidak menunjukkan sedikit pun kehangatan. "Aku sudah memberitahumu, Sabila. Kita sudah selesai, dan kesepakatan itu sudah berakhir." "Oh, ayolah, Dika," wanita yang bernama Sabila itu melangkah mendekat, memendekkan jarak fisik di antara mereka dengan gerakan yang lancar dan menggoda. Ia mengulurkan tangan dan menyentuh kerah jas Dika. "Kita memiliki sejarah, kita memiliki kesepahaman. Terkait kesepakatan itu? Ah sudahlah, lupakan saja, sekarang yang aku pedulikan adalah kau. Kita bisa membangun kembali semuanya, kau dan aku. Kau tahu kita adalah pasangan yang sempurna." Dika menepis tangan Sabila dengan gerakan yang nyaris tak terlihat, tetapi tegas. Nada su
“Tuan Dika! Nona Aruna kejangnya makin parah!” Suara panik Dokter Budi mengoyak lamunan Dika.Ia tersentak, tatapannya beralih dari ponsel ke Aruna. Gadis itu kini menggeliat tak terkendali di atas ranjang, tubuhnya melengkung, matanya terpejam erat, dan napasnya tersengal-sengal. Keringat membanjiri pelipisnya, membasahi rambut hitamnya yang lepek. Tangan-tangan perawat berusaha menahan tubuh mungil itu agar tidak jatuh, sementara Bi Sumi terisak di sudut ruangan, memanjatkan doa-doa.Dika menepis ponselnya, menatap Dokter Budi dengan mata menyala. “Apa yang terjadi? Kenapa dia begini?” Suaranya serak, penuh ketakutan yang tak lagi bisa ia sembunyikan.“Suhu tubuhnya tidak juga turun, Tuan. Bahkan makin naik. Kejangnya akibat demam tinggi yang tidak terkontrol,” jelas Dokter Budi, tangannya dengan cekatan menyuntikkan sesuatu ke selang infus. “Kami sudah memberikan obat penurun panas dan penenang, tapi respons tubuhnya sangat lambat.”“Lakukan sesuatu! Jangan biarkan ia begini!”
—seperti suara retakan di dasar kolam kaca yang rapuh, lalu sebuah hentakan. Tubuh Aruna jatuh lunglai ke depan, kepalanya terantuk meja samping ranjang dengan suara tumpul yang memilukan. “Nona Aruna!” pekik Bi Sumi, berlari mendekat dengan wajah pucat pasi. Ia melihat darah yang mengalir dari sudut bibir Aruna, dan matanya langsung berkaca-kaca. “Ya Tuhan, apa yang terjadi?” “Panggil dokter! Cepat, Bi! Panggil mereka!” perintah Dika, suaranya serak karena ketakutan. Ia mendekatkan telinganya ke dada Aruna, mencoba mendengar detak jantung yang terasa sangat lemah. “Dia… dia tidak bernapas.” Bi Sumi tidak menunggu dua kali. Ia segera berlari ke luar kamar, berteriak memanggil tim medis yang memang sudah disiagakan di apartemen. Dalam hitungan detik, Dokter Budi dan dua perawat bergegas masuk, membawa peralatan darurat. “Cepat! Pasien kolaps!” Dokter Budi berseru, wajahnya tegang. Ia segera menyuruh Dika minggir, lalu dengan sigap memeriksa Aruna. Alat pendengar ditempelkan ke
“Aruna!” pekik Dika, suaranya parau. Kepanikan yang selama ini ia coba tutupi akhirnya pecah. Ia memeluk tubuh ringkih Aruna lebih erat, gemetar, merasakan detak jantungnya sendiri berpacu gila-gilaan. Pintu rumah sakit terbuka dengan tiba-tiba, dan perawat serta seorang dokter sudah siap dengan brankar.“Cepat! Pasien pendarahan!” perintah dokter yang mendampingi mereka dari mansion, suaranya tegang.Dika melepaskan Aruna dengan hati-hati, menyerahkannya kepada para tenaga medis. Ia melihat selang-selang infus segera dipasang, monitor-monitor dihidupkan, dan Aruna digulirkan masuk ke lorong yang dingin. Wajahnya yang pucat, bibirnya yang membiru, dan noda darah yang kini memenuhi bantal brankar adalah pemandangan yang tak akan pernah bisa ia lupakan.“Dika, bagaimana Aruna?” Widya, yang menyusul kemudian bersama Bi Sumi dan Bima, bertanya, suaranya bergetar. Ia meraih lengan putranya, merasakan dingin yang menjalar dari tubuh Dika.Dika hanya bisa menggeleng. “Dia… dia muntah darah l
…Dika merasakan sentuhan di tangan Aruna dan saat ia mendongak, matanya melebar melihat cairan kental berwarna merah kehitaman menyembur dari bibirnya, mengotori bantal putih. Alarm detak jantung itu kini berteriak lebih nyaring, seolah meratapi pemandangan mengerikan di depan mereka.“Dika!” Bi Sumi menjerit tertahan, kedua tangannya menutup mulut, matanya terbelalak penuh horor. Bima, yang baru saja menerima panggilan telepon, segera menjatuhkan ponselnya, beralih pada Aruna dengan ekspresi tak percaya.“Panggil dokter lain, Bima! Sekarang!” perintah Dika, suaranya menggelegar, penuh otoritas yang tak terbantahkan, memecah kepanikan. Ia meraih Aruna, berusaha mengangkat tubuh gadis itu agar tidak tersedak, namun kekuatannya terasa tak berdaya menghadapi tubuh yang kini bergetar hebat. “Dia butuh rumah sakit!”Bima mengangguk cepat, tangannya bergerak sigap mengambil kembali ponselnya. “Sudah dalam perjalanan, Tuan. Tapi sepertinya dokter pertama kita akan tiba lebih dulu. Saya sudah
Jika saja ia punya waktu sedikit lebih lama…Aruna merasakan denyutan di pelipisnya semakin kuat, seolah ada palu godam menghantam otaknya. Kata "Larasati.docx" berputar-putar dalam kepalanya yang panas, bercampur dengan wajah Indrawan yang dingin dan tatapan Dika yang menusuk. Suara Bi Sumi yang lembut tadi sudah tidak terdengar, hanya meninggalkan keheningan yang mencekam, diselingi desah napasnya yang berat dan detak jantungnya yang menggila. Sebuah sensasi menggigil yang aneh menjalari tubuhnya, meski keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya.Beberapa jam berlalu seperti kabut. Ketika ia membuka mata lagi, ruangan kamar terasa asing. Langit-langit putih, tirai sutra yang berkibar samar ditiup pendingin ruangan, semuanya tampak mengambang dalam pandangannya yang kabur. Ia tahu Dika ada di sana, di suatu tempat di rumah ini, namun pria itu tidak pernah menampakkan diri. Kebekuan Dika terasa begitu nyata, bahkan menembus selimut tebal yang menutupi tubuhnya. “Dia peduli dengan cara







