LOGINDeru mesin sedan mewah itu akhirnya melunak, berganti dengan suara kerikil tajam yang berderak di bawah tekanan ban. Selama dua jam perjalanan yang sunyi, hanya ada ketegangan yang menggantung pekat di udara. Dika mengeraskan rahangnya, kembali memasang topeng dingin yang telah ia latih selama berminggu-minggu untuk momen krusial. Ia melirik Aruna dari sudut matanya. Gadis itu mematung, wajahnya pucat pasi memandang ke luar jendela, menatap bangunan kolosal yang menjulang di hadapan mereka.
Mansion itu bukan sekadar rumah. Ia adalah benteng modern yang terbuat dari kaca, baja hitam, dan beton ekspos, berdiri angkuh di tengah pelukan hutan pinus yang rapat. Cahaya senja keemasan menembus kanopi pepohonan, melukis bayangan-bayangan panjang yang seolah menari di dindingnya, membuatnya tampak hidup dan mengintimidasi. "Turun," perintah Dika, suaranya datar, tanpa emosi. Aruna tidak bergerak. Napasnya tercekat. Aroma pinus dan tanah basah yang menyusup ke dalam mobil terasa menyesakkan. Dika tidak sabar. Dia keluar lebih dulu, membanting pintu dengan dentuman teredam, lalu membuka pintu di sisi Aruna. Tangannya terulur, bukan untuk membantu, melainkan sebuah perintah tanpa kata. Aruna menelan ludah, akhirnya memberanikan diri menatap Dika. Tatapan pria itu sedingin es, tak terbaca, seolah Aruna hanyalah objek lain yang harus dipindahkan dari satu titik ke titik lainnya. Dengan gemetar, Aruna menerima uluran tangan itu, merasakan sentuhan kulit yang dingin dan kuat mencengkeram pergelangan tangannya. "Lepaskan," desis Aruna, mencoba menarik tangannya. Cengkeraman Dika justru mengerat. "Jangan mulai, Aruna. Kau hanya akan membuat segalanya lebih sulit." Dia menarik Aruna keluar dari mobil, menyeretnya melewati halaman luas menuju pintu utama setinggi tiga meter yang terbuat dari kayu jati solid. Pintu terbuka dengan sendirinya tanpa suara, menampakkan lobi yang tak kalah megah. Lantai marmer hitam mengilap memantulkan cahaya dari lampu gantung kristal raksasa yang menggantung di langit-langit setinggi dua lantai. Gema langkah kaki mereka adalah satu-satunya suara di ruangan yang luas tersebut. Di tengah lobi, seorang pria paruh baya berkacamata dan setelan abu-abu yang necis telah menunggu. Ia berdiri tegak dengan sebuah map kulit di tangan, auranya memancarkan profesionalisme yang kaku. "Selamat malam, Tuan Dika," sapanya dengan nada hormat. "Reza," balas Dika singkat, masih belum melepaskan Aruna. "Dia orangnya." Pria bernama Reza itu mengalihkan pandangannya pada Aruna. Sorot matanya tajam, menganalisis, seolah sedang menilai sebuah aset. Aruna merasa telanjang di bawah tatapan mereka berdua. "Nona Aruna Larasati," ucap Reza, lebih sebagai pernyataan daripada pertanyaan. Dia mengulurkan tangan. "Saya Reza, pengacara Tuan Dika." Aruna hanya menatap uluran tangan itu dengan waspada, tidak membalasnya. Dika menariknya menuju sofa kulit berwarna gading di salah satu sudut ruangan. "Duduk," perintahnya lagi. Aruna menuruti. Dika akhirnya melepaskan cengkeramannya, meninggalkan bekas kemerahan di pergelangan tangan gadis itu. Dia duduk di seberang Aruna, sementara Reza mengambil tempat di kursi tunggal, membuka map di atas meja kaca di antara mereka. "Apa-apaan dokumen tersebut?" tanya Aruna, suaranya bergetar menahan amarah dan ketakutan. "Sebuah perjanjian," jawab Dika dingin. "Sesuatu yang akan memastikan kau tetap di sini dan mematuhi semua aturanku." Reza mendorong beberapa lembar kertas ke hadapan Aruna, bersama sebuah pulpen emas yang mewah. "Secara garis besar, Nona Aruna," Reza mulai menjelaskan dengan suara tenang yang mengerikan, "perjanjian ini menyatakan bahwa Anda akan tinggal di properti milik Tuan Dika selama jangka waktu yang tidak ditentukan. Anda akan diberikan semua fasilitas, namun tidak diizinkan meninggalkan area mansion tanpa izin tertulis dari Tuan Dika. Anda juga dilarang berkomunikasi dengan dunia luar melalui cara apa pun." Mata Aruna membelalak. "Kau gila! Aku tidak akan menandatangani apa pun! Ini penculikan!" Dika terkekeh sinis, sebuah suara serak yang membuat bulu kuduk Aruna meremang. "Penculikan adalah kata yang kasar, Aruna. Aku lebih suka menyebutnya… proteksi." Hati Dika mencelos saat mengucapkan kebohongan itu. Setiap kata dingin yang keluar dari mulutnya terasa seperti belati yang ia tusukkan pada dirinya sendiri, tapi dia tidak punya pilihan. Wajahnya harus tetap sekeras batu. "Proteksi dari apa? Dari kebebasanku sendiri?" balas Aruna sengit. "Dari konsekuensi," sahut Dika, mencondongkan tubuhnya ke depan. Intensitas dalam matanya membuat Aruna terdiam. "Utang bibimu tidak hilang begitu saja. Orang-orang yang dia pinjami uang bukan orang yang akan menerima kata 'tidak' sebagai jawaban. Aku sudah melunasi semuanya." Napas Aruna tercekat di tenggorokan. "Semuanya?" bisiknya tak percaya. "Setiap Rupiah terakhir," Dika menegaskan. "Anggap saja perjanjian tersebut sebagai jaminan. Jaminan bahwa investasiku tidak sia-sia. Tanda tangani, Aruna. Atau aku akan membiarkan para lintah darat itu datang menagih langsung pada pamanmu. Kurasa mereka akan lebih kreatif dalam meminta pembayaran." Ancaman itu menghantam Aruna lebih keras dari tamparan. Wajah pamannya yang sakit-sakitan dan rapuh terlintas di benaknya. Dia tidak akan pernah bisa membiarkan sesuatu yang buruk menimpa pamannya, karena hanya pamannya lah yang selama ini selalu membantunya dari perlakuan buruk bibinya. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, tapi dia menahannya sekuat tenaga. Dia tidak akan memberikan kepuasan pada pria iblis di hadapannya. Tangannya yang gemetar meraih pulpen. Dia menatap Dika dengan tatapan penuh kebencian. "Aku membencimu," desisnya. Sebuah kilat emosi yang tak terbaca—penyesalan? rasa sakit?—melintas di mata Dika begitu cepat hingga Aruna mengira dia hanya berhalusinasi. Namun, secepat kilat itu datang, secepat itu pula ia menghilang, digantikan oleh kekosongan yang dingin. "Aku bisa hidup dengan kebencianmu," jawab Dika datar. Dengan satu tarikan napas panjang yang sarat akan kekalahan, Aruna membubuhkan tanda tangannya di atas kertas. Tinta hitam itu terasa seperti rantai yang mengikat jiwanya. Reza dengan sigap mengambil kembali dokumen tersebut, memeriksanya, lalu mengangguk puas pada Dika. "Semuanya sudah beres, Tuan," kata Reza sambil membereskan kertas-kertasnya. "Bagus. Kau boleh pergi." Setelah Reza menghilang di balik pintu utama, keheningan yang canggung kembali menyelimuti mereka. Kini hanya ada mereka berdua. predator dan mangsanya, terikat oleh selembar kertas sialan. Aruna bangkit, memeluk dirinya sendiri seolah mencari kehangatan. "Lalu sekarang apa?" tanyanya dengan suara kosong. Dika memperhatikannya, pertarungan batin berkecamuk di dalam dirinya. Sebagian dari dirinya ingin menghampiri gadis itu, menjelaskan segalanya, memohon maaf. Tapi bagian lain, bagian yang harus menang, memaksanya untuk tetap diam dan menjaga jarak. Dia tidak boleh lemah. Tidak sekarang. "Di lantai atas, koridor sebelah kanan, pintu terakhir. Itu kamarmu. Beristirahatlah," katanya, suaranya terdengar seperti seorang sipir penjara. Aruna berbalik tanpa sepatah kata pun, berjalan gontai menuju tangga spiral yang megah. Dia tidak menoleh ke belakang. Saat Aruna mulai menaiki anak tangga, matanya secara tidak sengaja tertuju pada sebuah foto dalam bingkai perak yang berdiri di atas perapian marmer yang padam. Langkahnya terhenti seketika. Di dalam foto itu, seorang Dika yang jauh lebih muda dan tersenyum lepas merangkul seorang gadis. Gadis dengan rambut panjang yang sama, mata besar yang sama, dan senyum yang... yang persis seperti miliknya. Seolah Aruna sedang menatap kembarannya sendiri dari masa lalu. Jantungnya berdebar begitu kencang, memukul-mukul rongga dadanya. Dia berbalik perlahan, menatap Dika dengan mata membelalak ngeri, pulpen yang masih ada di tangannya jatuh ke lantai marmer dengan bunyi kelontang yang memecah keheningan. "Siapa... siapa perempuan itu?""Akhirnya kita bertemu kembali, Dika Prasetya," ujar seorang wanita yang tiba-tiba menghampiri Dika di lorong rumah sakit, suaranya halus seperti sutra, tetapi dengan nada baja. "Kau tidak bisa lari dari tanggung jawabmu selamanya, apa kau melupakan kesepakatan kita?" Dika tidak bergeming, rahangnya terkatup rapat, dan matanya tidak menunjukkan sedikit pun kehangatan. "Aku sudah memberitahumu, Sabila. Kita sudah selesai, dan kesepakatan itu sudah berakhir." "Oh, ayolah, Dika," wanita yang bernama Sabila itu melangkah mendekat, memendekkan jarak fisik di antara mereka dengan gerakan yang lancar dan menggoda. Ia mengulurkan tangan dan menyentuh kerah jas Dika. "Kita memiliki sejarah, kita memiliki kesepahaman. Terkait kesepakatan itu? Ah sudahlah, lupakan saja, sekarang yang aku pedulikan adalah kau. Kita bisa membangun kembali semuanya, kau dan aku. Kau tahu kita adalah pasangan yang sempurna." Dika menepis tangan Sabila dengan gerakan yang nyaris tak terlihat, tetapi tegas. Nada su
“Tuan Dika! Nona Aruna kejangnya makin parah!” Suara panik Dokter Budi mengoyak lamunan Dika.Ia tersentak, tatapannya beralih dari ponsel ke Aruna. Gadis itu kini menggeliat tak terkendali di atas ranjang, tubuhnya melengkung, matanya terpejam erat, dan napasnya tersengal-sengal. Keringat membanjiri pelipisnya, membasahi rambut hitamnya yang lepek. Tangan-tangan perawat berusaha menahan tubuh mungil itu agar tidak jatuh, sementara Bi Sumi terisak di sudut ruangan, memanjatkan doa-doa.Dika menepis ponselnya, menatap Dokter Budi dengan mata menyala. “Apa yang terjadi? Kenapa dia begini?” Suaranya serak, penuh ketakutan yang tak lagi bisa ia sembunyikan.“Suhu tubuhnya tidak juga turun, Tuan. Bahkan makin naik. Kejangnya akibat demam tinggi yang tidak terkontrol,” jelas Dokter Budi, tangannya dengan cekatan menyuntikkan sesuatu ke selang infus. “Kami sudah memberikan obat penurun panas dan penenang, tapi respons tubuhnya sangat lambat.”“Lakukan sesuatu! Jangan biarkan ia begini!”
—seperti suara retakan di dasar kolam kaca yang rapuh, lalu sebuah hentakan. Tubuh Aruna jatuh lunglai ke depan, kepalanya terantuk meja samping ranjang dengan suara tumpul yang memilukan. “Nona Aruna!” pekik Bi Sumi, berlari mendekat dengan wajah pucat pasi. Ia melihat darah yang mengalir dari sudut bibir Aruna, dan matanya langsung berkaca-kaca. “Ya Tuhan, apa yang terjadi?” “Panggil dokter! Cepat, Bi! Panggil mereka!” perintah Dika, suaranya serak karena ketakutan. Ia mendekatkan telinganya ke dada Aruna, mencoba mendengar detak jantung yang terasa sangat lemah. “Dia… dia tidak bernapas.” Bi Sumi tidak menunggu dua kali. Ia segera berlari ke luar kamar, berteriak memanggil tim medis yang memang sudah disiagakan di apartemen. Dalam hitungan detik, Dokter Budi dan dua perawat bergegas masuk, membawa peralatan darurat. “Cepat! Pasien kolaps!” Dokter Budi berseru, wajahnya tegang. Ia segera menyuruh Dika minggir, lalu dengan sigap memeriksa Aruna. Alat pendengar ditempelkan ke
“Aruna!” pekik Dika, suaranya parau. Kepanikan yang selama ini ia coba tutupi akhirnya pecah. Ia memeluk tubuh ringkih Aruna lebih erat, gemetar, merasakan detak jantungnya sendiri berpacu gila-gilaan. Pintu rumah sakit terbuka dengan tiba-tiba, dan perawat serta seorang dokter sudah siap dengan brankar.“Cepat! Pasien pendarahan!” perintah dokter yang mendampingi mereka dari mansion, suaranya tegang.Dika melepaskan Aruna dengan hati-hati, menyerahkannya kepada para tenaga medis. Ia melihat selang-selang infus segera dipasang, monitor-monitor dihidupkan, dan Aruna digulirkan masuk ke lorong yang dingin. Wajahnya yang pucat, bibirnya yang membiru, dan noda darah yang kini memenuhi bantal brankar adalah pemandangan yang tak akan pernah bisa ia lupakan.“Dika, bagaimana Aruna?” Widya, yang menyusul kemudian bersama Bi Sumi dan Bima, bertanya, suaranya bergetar. Ia meraih lengan putranya, merasakan dingin yang menjalar dari tubuh Dika.Dika hanya bisa menggeleng. “Dia… dia muntah darah l
…Dika merasakan sentuhan di tangan Aruna dan saat ia mendongak, matanya melebar melihat cairan kental berwarna merah kehitaman menyembur dari bibirnya, mengotori bantal putih. Alarm detak jantung itu kini berteriak lebih nyaring, seolah meratapi pemandangan mengerikan di depan mereka.“Dika!” Bi Sumi menjerit tertahan, kedua tangannya menutup mulut, matanya terbelalak penuh horor. Bima, yang baru saja menerima panggilan telepon, segera menjatuhkan ponselnya, beralih pada Aruna dengan ekspresi tak percaya.“Panggil dokter lain, Bima! Sekarang!” perintah Dika, suaranya menggelegar, penuh otoritas yang tak terbantahkan, memecah kepanikan. Ia meraih Aruna, berusaha mengangkat tubuh gadis itu agar tidak tersedak, namun kekuatannya terasa tak berdaya menghadapi tubuh yang kini bergetar hebat. “Dia butuh rumah sakit!”Bima mengangguk cepat, tangannya bergerak sigap mengambil kembali ponselnya. “Sudah dalam perjalanan, Tuan. Tapi sepertinya dokter pertama kita akan tiba lebih dulu. Saya sudah
Jika saja ia punya waktu sedikit lebih lama…Aruna merasakan denyutan di pelipisnya semakin kuat, seolah ada palu godam menghantam otaknya. Kata "Larasati.docx" berputar-putar dalam kepalanya yang panas, bercampur dengan wajah Indrawan yang dingin dan tatapan Dika yang menusuk. Suara Bi Sumi yang lembut tadi sudah tidak terdengar, hanya meninggalkan keheningan yang mencekam, diselingi desah napasnya yang berat dan detak jantungnya yang menggila. Sebuah sensasi menggigil yang aneh menjalari tubuhnya, meski keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya.Beberapa jam berlalu seperti kabut. Ketika ia membuka mata lagi, ruangan kamar terasa asing. Langit-langit putih, tirai sutra yang berkibar samar ditiup pendingin ruangan, semuanya tampak mengambang dalam pandangannya yang kabur. Ia tahu Dika ada di sana, di suatu tempat di rumah ini, namun pria itu tidak pernah menampakkan diri. Kebekuan Dika terasa begitu nyata, bahkan menembus selimut tebal yang menutupi tubuhnya. “Dia peduli dengan cara







