Home / Romansa / Belenggu Gairah sang Presdir / BAB 2: IKATAN DI SARANG SERIGALA

Share

BAB 2: IKATAN DI SARANG SERIGALA

Author: Arinvenca
last update Last Updated: 2025-08-25 10:23:04

Deru mesin sedan mewah itu akhirnya melunak, berganti dengan suara kerikil tajam yang berderak di bawah tekanan ban. Selama dua jam perjalanan yang sunyi, hanya ada ketegangan yang menggantung pekat di udara. Dika mengeraskan rahangnya, kembali memasang topeng dingin yang telah ia latih selama berminggu-minggu untuk momen krusial. Ia melirik Aruna dari sudut matanya. Gadis itu mematung, wajahnya pucat pasi memandang ke luar jendela, menatap bangunan kolosal yang menjulang di hadapan mereka.

Mansion itu bukan sekadar rumah. Ia adalah benteng modern yang terbuat dari kaca, baja hitam, dan beton ekspos, berdiri angkuh di tengah pelukan hutan pinus yang rapat. Cahaya senja keemasan menembus kanopi pepohonan, melukis bayangan-bayangan panjang yang seolah menari di dindingnya, membuatnya tampak hidup dan mengintimidasi.

"Turun," perintah Dika, suaranya datar, tanpa emosi.

Aruna tidak bergerak. Napasnya tercekat. Aroma pinus dan tanah basah yang menyusup ke dalam mobil terasa menyesakkan. Dika tidak sabar. Dia keluar lebih dulu, membanting pintu dengan dentuman teredam, lalu membuka pintu di sisi Aruna. Tangannya terulur, bukan untuk membantu, melainkan sebuah perintah tanpa kata.

Aruna menelan ludah, akhirnya memberanikan diri menatap Dika. Tatapan pria itu sedingin es, tak terbaca, seolah Aruna hanyalah objek lain yang harus dipindahkan dari satu titik ke titik lainnya. Dengan gemetar, Aruna menerima uluran tangan itu, merasakan sentuhan kulit yang dingin dan kuat mencengkeram pergelangan tangannya.

"Lepaskan," desis Aruna, mencoba menarik tangannya.

Cengkeraman Dika justru mengerat. "Jangan mulai, Aruna. Kau hanya akan membuat segalanya lebih sulit."

Dia menarik Aruna keluar dari mobil, menyeretnya melewati halaman luas menuju pintu utama setinggi tiga meter yang terbuat dari kayu jati solid. Pintu terbuka dengan sendirinya tanpa suara, menampakkan lobi yang tak kalah megah. Lantai marmer hitam mengilap memantulkan cahaya dari lampu gantung kristal raksasa yang menggantung di langit-langit setinggi dua lantai. Gema langkah kaki mereka adalah satu-satunya suara di ruangan yang luas tersebut.

Di tengah lobi, seorang pria paruh baya berkacamata dan setelan abu-abu yang necis telah menunggu. Ia berdiri tegak dengan sebuah map kulit di tangan, auranya memancarkan profesionalisme yang kaku.

"Selamat malam, Tuan Dika," sapanya dengan nada hormat.

"Reza," balas Dika singkat, masih belum melepaskan Aruna. "Dia orangnya."

Pria bernama Reza itu mengalihkan pandangannya pada Aruna. Sorot matanya tajam, menganalisis, seolah sedang menilai sebuah aset. Aruna merasa telanjang di bawah tatapan mereka berdua.

"Nona Aruna Larasati," ucap Reza, lebih sebagai pernyataan daripada pertanyaan. Dia mengulurkan tangan. "Saya Reza, pengacara Tuan Dika."

Aruna hanya menatap uluran tangan itu dengan waspada, tidak membalasnya. Dika menariknya menuju sofa kulit berwarna gading di salah satu sudut ruangan.

"Duduk," perintahnya lagi.

Aruna menuruti. Dika akhirnya melepaskan cengkeramannya, meninggalkan bekas kemerahan di pergelangan tangan gadis itu. Dia duduk di seberang Aruna, sementara Reza mengambil tempat di kursi tunggal, membuka map di atas meja kaca di antara mereka.

"Apa-apaan dokumen tersebut?" tanya Aruna, suaranya bergetar menahan amarah dan ketakutan.

"Sebuah perjanjian," jawab Dika dingin. "Sesuatu yang akan memastikan kau tetap di sini dan mematuhi semua aturanku."

Reza mendorong beberapa lembar kertas ke hadapan Aruna, bersama sebuah pulpen emas yang mewah. "Secara garis besar, Nona Aruna," Reza mulai menjelaskan dengan suara tenang yang mengerikan, "perjanjian ini menyatakan bahwa Anda akan tinggal di properti milik Tuan Dika selama jangka waktu yang tidak ditentukan. Anda akan diberikan semua fasilitas, namun tidak diizinkan meninggalkan area mansion tanpa izin tertulis dari Tuan Dika. Anda juga dilarang berkomunikasi dengan dunia luar melalui cara apa pun."

Mata Aruna membelalak. "Kau gila! Aku tidak akan menandatangani apa pun! Ini penculikan!"

Dika terkekeh sinis, sebuah suara serak yang membuat bulu kuduk Aruna meremang. "Penculikan adalah kata yang kasar, Aruna. Aku lebih suka menyebutnya… proteksi." Hati Dika mencelos saat mengucapkan kebohongan itu. Setiap kata dingin yang keluar dari mulutnya terasa seperti belati yang ia tusukkan pada dirinya sendiri, tapi dia tidak punya pilihan. Wajahnya harus tetap sekeras batu.

"Proteksi dari apa? Dari kebebasanku sendiri?" balas Aruna sengit.

"Dari konsekuensi," sahut Dika, mencondongkan tubuhnya ke depan. Intensitas dalam matanya membuat Aruna terdiam. "Utang ayahmu tidak hilang begitu saja. Orang-orang yang dia pinjami uang bukan orang yang akan menerima kata 'tidak' sebagai jawaban. Aku sudah melunasi semuanya."

Napas Aruna tercekat di tenggorokan.

"Semuanya?" bisiknya tak percaya.

"Setiap Rupiah terakhir," Dika menegaskan. "Anggap saja perjanjian tersebut sebagai jaminan. Jaminan bahwa investasiku tidak sia-sia. Tanda tangani, Aruna. Atau aku akan membiarkan para lintah darat itu datang menagih langsung pada pamanmu. Kurasa mereka akan lebih kreatif dalam meminta pembayaran."

Ancaman itu menghantam Aruna lebih keras dari tamparan. Wajah pamannya yang sakit-sakitan dan rapuh terlintas di benaknya. Dia tidak akan pernah bisa membiarkan sesuatu yang buruk menimpa pamannya, karena hanya pamannya lah yang selama ini selalu membantunya dari perlakuan buruk bibinya. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, tapi dia menahannya sekuat tenaga. Dia tidak akan memberikan kepuasan pada pria iblis di hadapannya.

Tangannya yang gemetar meraih pulpen. Dia menatap Dika dengan tatapan penuh kebencian. "Aku membencimu," desisnya.

Sebuah kilat emosi yang tak terbaca—penyesalan? rasa sakit?—melintas di mata Dika begitu cepat hingga Aruna mengira dia hanya berhalusinasi. Namun, secepat kilat itu datang, secepat itu pula ia menghilang, digantikan oleh kekosongan yang dingin.

"Aku bisa hidup dengan kebencianmu," jawab Dika datar.

Dengan satu tarikan napas panjang yang sarat akan kekalahan, Aruna membubuhkan tanda tangannya di atas kertas. Tinta hitam itu terasa seperti rantai yang mengikat jiwanya. Reza dengan sigap mengambil kembali dokumen tersebut, memeriksanya, lalu mengangguk puas pada Dika.

"Semuanya sudah beres, Tuan," kata Reza sambil membereskan kertas-kertasnya.

"Bagus. Kau boleh pergi."

Setelah Reza menghilang di balik pintu utama, keheningan yang canggung kembali menyelimuti mereka. Kini hanya ada mereka berdua. predator dan mangsanya, terikat oleh selembar kertas sialan.

Aruna bangkit, memeluk dirinya sendiri seolah mencari kehangatan. "Lalu sekarang apa?" tanyanya dengan suara kosong.

Dika memperhatikannya, pertarungan batin berkecamuk di dalam dirinya. Sebagian dari dirinya ingin menghampiri gadis itu, menjelaskan segalanya, memohon maaf. Tapi bagian lain, bagian yang harus menang, memaksanya untuk tetap diam dan menjaga jarak. Dia tidak boleh lemah. Tidak sekarang.

"Di lantai atas, koridor sebelah kanan, pintu terakhir. Itu kamarmu. Beristirahatlah," katanya, suaranya terdengar seperti seorang sipir penjara.

Aruna berbalik tanpa sepatah kata pun, berjalan gontai menuju tangga spiral yang megah. Dia tidak menoleh ke belakang. Saat Aruna mulai menaiki anak tangga, matanya secara tidak sengaja tertuju pada sebuah foto dalam bingkai perak yang berdiri di atas perapian marmer yang padam.

Langkahnya terhenti seketika.

Di dalam foto itu, seorang Dika yang jauh lebih muda dan tersenyum lepas merangkul seorang gadis. Gadis dengan rambut panjang yang sama, mata besar yang sama, dan senyum yang... yang persis seperti miliknya. Seolah Aruna sedang menatap kembarannya sendiri dari masa lalu.

Jantungnya berdebar begitu kencang, memukul-mukul rongga dadanya. Dia berbalik perlahan, menatap Dika dengan mata membelalak ngeri, pulpen yang masih ada di tangannya jatuh ke lantai marmer dengan bunyi kelontang yang memecah keheningan.

"Siapa... siapa perempuan itu?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Belenggu Gairah sang Presdir   BAB 5: BAYANGAN MASA LALU

    “Jangan harap kau bisa jadi orang sukses kalau terus malas-malasan seperti ini, Aruna! Bersihkan seluruh rumah dan siapkan makanan! Dasar anak pembawa sial, kalau saja ibumu tidak menikah dengan Indrawan, mungkin nasibnya tidak akan sial seperti ini!”Suara bentakan itu menggema di kepalanya, menusuk jauh ke dalam dada. Aruna terlonjak dari tidurnya dengan napas yang terengah, dan keringat dingin membasahi pelipis. Aruna mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan untuk memastikan bibinya tidak ada di sini, tapi kata-kata terlalu nyata, seakan baru saja dilontarkan ke telinganya.Ia baru menyadari kalau Dika sudah tidak ada di sampingnya, hanya menyisakan sunyi dan sepi. Hari pertamanya sebagai Nyonya Prasetya seharusnya diisi dengan penyesuaian, dengan mencoba mencari celah untuk bernapas di dalam sangkar emas.Tiba-tiba, suara langkah kaki yang terburu-buru memecah kesunyian yang tebal, disusul oleh bisikan cemas para pelayan dari lantai bawah. Jantung Aruna berdegup lebih kencang. Fir

  • Belenggu Gairah sang Presdir   BAB 4: ATURAN MAIN SANG PENGUASA

    “satu hal yang perlu kau tahu, Aruna. Dika tidak sejahat yang kau kira. Dia melindungi. Melindungi segalanya, bahkan dirinya sendiri dari rasa sakit yang tak terlukiskan. Beri dia waktu. Dan kau, Nak… kau harus kuat. Karena saat semua terungkap, kau akan butuh kekuatan lebih dari yang pernah kau bayangkan.”Kata-kata Widya menggema di benak Aruna, meninggalkan jejak kekhawatiran yang mendalam. Apa sebenarnya yang disembunyikan Dika? Apa rahasia mengejutkan yang berkaitan dengan ibunya dan Dharana? Aruna menatap cincin di jari manisnya, yang kini terasa lebih berat dari sebelumnya, bukan hanya sebagai simbol ikatan paksa, tetapi juga sebagai kunci menuju misteri yang lebih besar.Pesta pernikahan siang itu telah lama usai, namun kegelisahan Aruna justru baru dimulai. Gelap malam menyelimuti, tetapi bayangan foto usang waktu itu masih menari-nari di pelupuk matanya, diselingi bisikan tajam tentang fakta yang Dika sembunyikan.Udara di dalam kamar pengantin yang seharusnya romantis teras

  • Belenggu Gairah sang Presdir   BAB 3: KEPINGAN PUZZLE MASA LALU

    Desiran angin malam seolah membawa bisikan tak kasat mata, menyelinap melalui celah jendela besar di mansion mewah itu, namun tak mampu menembus selubung ketegangan yang menggantung di udara. Aruna merasakan jantungnya berdetak tak beraturan, memekakkan telinga di tengah keheningan yang menyesakkan. Bola matanya yang gelap masih terpaku pada foto dalam bingkai itu, sebuah artefak masa lalu yang entah mengapa terasa begitu familiar, namun kini diakui sebagai sesuatu yang asing."Dika, tolong jujur padaku," suara Aruna terdengar lebih rapuh dari yang ia iinginka. "Anak perempuan di foto itu... itu aku, kan? Dan anak laki-laki di sampingnya... itu kau?"Dika mendengus pelan, menatap foto itu sejenak sebelum pandangannya beralih pada Aruna, penuh keraguan. Dika melangkah mendekat, sementara tatapan Aruna tak lepas dari kedua mata Dika. Ada gurat tak terbaca di matanya, seperti teka-teki yang sengaja ia sembunyikan."Jangan konyol, Aruna. Kau terlalu banyak berimajinasi." Dika mengambil fo

  • Belenggu Gairah sang Presdir   BAB 2: IKATAN DI SARANG SERIGALA

    Deru mesin sedan mewah itu akhirnya melunak, berganti dengan suara kerikil tajam yang berderak di bawah tekanan ban. Selama dua jam perjalanan yang sunyi, hanya ada ketegangan yang menggantung pekat di udara. Dika mengeraskan rahangnya, kembali memasang topeng dingin yang telah ia latih selama berminggu-minggu untuk momen krusial. Ia melirik Aruna dari sudut matanya. Gadis itu mematung, wajahnya pucat pasi memandang ke luar jendela, menatap bangunan kolosal yang menjulang di hadapan mereka.Mansion itu bukan sekadar rumah. Ia adalah benteng modern yang terbuat dari kaca, baja hitam, dan beton ekspos, berdiri angkuh di tengah pelukan hutan pinus yang rapat. Cahaya senja keemasan menembus kanopi pepohonan, melukis bayangan-bayangan panjang yang seolah menari di dindingnya, membuatnya tampak hidup dan mengintimidasi."Turun," perintah Dika, suaranya datar, tanpa emosi.Aruna tidak bergerak. Napasnya tercekat. Aroma pinus dan tanah basah yang menyusup ke dalam mobil terasa menyesakkan. Di

  • Belenggu Gairah sang Presdir   BAB 1: PELARIAN YANG TERJEBAK

    Jantungnya berdebar kencang serta tangan yang gemetar saat meraih gagang pintu, keringat dingin pun mulai bercucuran di dahinya. Ia baru bisa sedikit bernafas lega ketika sudah berada di luar pekarangan rumah paman dan bibinya itu, dengan langkah hati-hati, ia pergi meski tidak tahu arah tujuan. Di sinilah ia, Aruna, berusia 21 tahun, seorang buronan dari takdirnya sendiri, terdampar di sudut kota yang asing. Rasa putus asa mulai merayap naik, lebih dingin dari gerimis yang membasahi rambutnya. Apa yang akan dia lakukan sekarang? Di mana dia akan tidur? Pikiran itu terputus oleh sebuah suara. Bukan suara klakson atau deru motor yang biasa terdengar, suara yang satu ini berbeda. Sebuah sedan hitam legam yang berkilau berhenti tepat di mulut gang, seolah sengaja memblokir satu-satunya jalan keluar. Jantung Aruna yang tadinya sudah mulai tenang kini berdebar lagi dengan ritme yang liar dan panik. Pintu mobil di sisi pengemudi terbuka dengan gerakan yang anggun dan tanpa suara, diikut

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status