Beranda / Romansa / Belenggu Hasrat CEO / 7. Bertemu Hafsah

Share

7. Bertemu Hafsah

Penulis: Siska Cahaya
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-01 08:09:28

Pesawat membawa Maher ke tujuan yaitu kota Padang. Maher pernah beberapa kali ke sini untuk urusan bisnisnya. Namun, untuk urusan cinta dan perasaan dia tidak pernah semenggebu ini. 

Perasaannya sering tak terkendali saat mengingat sosok gadis yang selalu bermain dalam hayalnya belakangan ini. Sosok yang membuat dia penasaran.

Di sisi lain, pagi ini Aryan bersiap mendatangi rumah Hafsah. Dia tidak memakai pakaian formal, tapi lebih ke santai yang maskulin. Dua buah cincin dimasukkan ke saku celana dengan tergesa. Lalu keluar dari hotel dengan mobil yang di sediakan pihak hotel. Aryan menuju rumah Hafsah dengan gejolak yang sulit diredam.

Sementara gadis yang di tuju sedang bersiap ikut dengan sang kakak ke kantor. Dia tetap berpenampilan dengan pakaian muslimahnya. Hafsah menuju halaman di mana Hanan telah menunggu. 

"Kalau orang lain berpakaian seperti ini, maka akan aku katakan dia aneh dan ke arab-araban. Tapi ini malah adikku sendiri perpajakan seperti ini. Aku harus bilang apa?" Hanan menatap adiknya uang sudah duduk di sisinya.

Hafsah melirik dengan menarik napas.

"Kata umma, pakaian seperti ini bukanlah pakaian perempuan Arab. Tapi pakaian perempuan muslimah. Perempuan Islam ya seperti ini lah pakaiannya. Terlebih seorang perempuan yang paham agama dan terlihat mewah dan berkelas harus menutup aurat. Karena semakin tertutup aurat seseorang maka semakin mahal dan berharga dirinya," jelas Hafsah tersenyum dibalik cadarnya.

"Terserah, yang penting kamu bahagia," balas Hanan meminta sopir melaju menuju gedung Martadinata Corp.

"Apa posisiku di kantor nanti?" tanya Hafsah pada Hanan.

"Desain interior. Kamu ahli menggambar, jadi posisi kamu adalah mendesain model terbaru untuk perusahaan," kata Hanan sambil menatap adiknya yang hanya terlihat mata saja.

"Hah, artinya aku benar-benar harus menetap di sini. Padahal aku rindu Bandung." Hafsah menyandar di bahu Hanan.

"Tentu, kamu gak boleh pergi lagi. Kamu aset Martadinata."

Mobil Hanan terus melaju dari arah kanan, tapi sebuah mobil menyalip dari arah kiri pertigaan hingga membentur kaca lampu depan mobil Hanan. Sopir merem mendadak hingga Hanan dan Hafsah terhuyung ke depan. 

"Sialan!" umpat Hanan keluar dari mobil lalu melihat kaca lampu yang pecah.

Pengendara mobil itu juga ikut keluar dan menatap mobilnya yang menabrak mobil Hanan. Hanan mengepalkan tangan dengan rahang mengeras lalu, menarik kerah baju sopir itu dengan tatapan tajam. Kepalan tangan melayang menghantam pelipis sopir yang langsung tak bisa mengelak.

"Ini mobil mahal! Lebih mahal dari dirimu yang tidak berarti apa-apa!" ujar Hanan kembali melayangkan pukulan.

Seorang lelaki memakai kaca mata hitam serta hoodie dengan celana jeans keluar dari mobil melerai pertikaian itu.

"Maaf, kami yang salah. Kami baru di kota ini dan tidak melihat bahwa ada mobil yang melintas di depan. Mohon maafkan kami," ungkapnya dengan tenang.

Hafsah gegas keluar dari mobil menyusul Hanan. Dia menatap kaca lampu yang pecah serta serta Hanan yang begitu marah.

"Abang, udah. Gak papa, kita bisa perbaiki, hanya kaca lampu kan?" Hafsah menyentuh jemari kakaknya.

Lelaki di hadapan Hafsah seketika mengangkat wajah dan menatap dirinya dengan lekat. 

"Anda?" katanya menatap penuh selidik, "apa kita pernah bertemu sebelumnya?" 

Hafsah menatap sekilas lalu menunduk kembali.

"Tidak," jawab Hafsah.

Lelaki itu menelisik dari kaki hingga ke mata Hafsah. Namun, sesekali dia memejamkan mata dan mengerucutkan hidung seolah tengah menghidu wangi seseorang. Setelah itu kembali menatap Hafsah dengan intens. Sadar dirinya jadi pusat perhatian lelaki itu, Hafsah gegas menarik Hanan untuk gegas pergi dari hadapan lelaki itu.

"Aku akan menuntut ganti rugi!" teriak Hanan sambil melangkah masuk ke mobil lalu melaju meninggalkan lelaki yang seperti terpaku di tempatnya.

"Tuan, kita ke hotel dulu atau makan dulu?" tanya sopir yang tengah merasakan ngilu dan perih di sudut bibirnya akibat pukulan Hanan.

"Ikuti mobil itu! Tapi jangan sampai dia menyadarinya!" titah lelaki itu menatap tajam kepergian mobil Hafsah.

Hafsah menenangkan Hanan yang tengah emosi. Dia tidak terima kaca lampu mobilnya rusak dan benar-benar pecah. Andai, Hafsah tak menghalanginya mungkin lelaki itu telah di hajar oleh Hanan.

    

"Aku tidak suka mengalah, Hafsah! Aku benci kekalahan apalagi ini bukanlah aku yang mengawalinya," ujar Hanan tegas dan keras.

"Bang, ini bukanlah saatnya kita menunjukkan kekuatan melalui kekerasan. Tapi saatnya menuju awal yang baik dan elegan dalam bersikap. Kita trah Martadinata yang harus mengubah sikap seperti oma. Bukan mama." Hafsah menenangkan Hanan dengan lembut.

"Kenapa Bonekaku semakin bijaksana saja?" Hanan menatap adiknya dari samping. "Kamu, Hasan, dan oma adalah satu garis. Sedangkan aku lebih ke mama dan cenderung ke Oma jika bertemu orang yang baik."

Hafsah tersenyum lalu menatap jalanan karena mereka hampir sampai di kantor. Hafsah turun tapi gamisnya tersangkut sesuatu hingga dia terhuyung ke depan dan satu kakinya tidak sampai menginjak lantai parkiran dengan tepat.  

"Astaghfirullah," lirih Hafsah pasrah karena di parkiran banyak orang dan dia pun siap malu jika terjatuh. Namun, seseorang menahannya dengan erat dan menatap matanya dengan lembut.

"Hafsah!" teriak Hanan memutar tubuhnya dan bergegas menuju adiknya.

Mata keduanya saling mengunci dalam diam dan menunggu seseorang menyadarkan dari segala kesyahduan.

"Tuan Maher!" 

Lelaki itu mengangguk lalu menahan Hafsah agar tak terjatuh. Hanan melepaskan sangkutan ujung gamisnya yang sedikit sobek. Setelah lepas, Maher melepaskan Hafsah.

"Maaf," ucap Maher karena Hanan menatapnya tajam.

"Tidak apa-apa," balas Hafsah 

"Maher, Maher Anggara." Maher mengulurkan tangan pada Hafsah.

"Hafsah," jawabnya mengatupkan kedua tangannya.

Hanan melirik tak suka. Dia merasa ada sesuatu yang sedang terjadi. 

"Maaf aku telah merusak mobil kalian. Aku ke sini hanya untuk memberikan ini," jelas Maher menyerahkan kartu namanya pada Hafsah.

"Untuk?" tanya Hafsah.

"Perbaiki mobil kalian, dan kabari aku berapa biayanya. Aku tahu ini mahal, tapi aku akan bertanggung jawab," jawab Maher terus menatap Hafsah yang jadi salah tingkah.

"Itu sudah seharusnya!" Hanan menatap Maher lalu meraih tangan Hafsah dan berlalu pergi.

"Nona, tunggu!" teriak Maher mengejar Hafsah yang langsung mendapatkan halangan dari Hanan.

"Ada apa?"

"Aku merasa kita begitu dekat. Apa kita bisa bertemu lagi?" tanya Maher penuh harap.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Belenggu Hasrat CEO    80. akhir sebuah keputusan

    Adnan terjaga karena dering ponsel yang begitu nyaring di sisinya. Lelaki itu masih di apartemen lama milik Maher, dia bangkit dan menatap layar dengan mengusap mata, mengusap dan berjalan ke jendela menyibak tirai, membiarkan cahaya masuk menyinari kamarnya."Ada apa?" tanyanya menatap langit biru."Perempuan itu kabur, Boss!" ungkap anak buahnya."Apa!" Adnan terperanjat dan berpaling dengan cepat, "bagaimana bisa!" "Tiba-tiba ada asap setelah itu kami semua pingsan. Saya memeriksa botol yang dilempar ternyata asap bius, Boss. Perempuan itu kabur saat kami pingsan," jelasnya."Cari Lavina! Temukan dia atau sesuatu yang buruk akan terjadi!" Adnan mengusap wajah dengan kasar."Baik, Boss!"Adnan duduk dengan cemas tapi otaknya terus berpikir. Lavina bukan gadis lemah seperti yang Maher pikirkan. Lavina bukan gadis lima tahun lalu yang begitu mengharapkan dan siap mati untuknya. Sekarang ada seseorang yang membantunya untuk balas dendam."Bagaimana cara memberitahu, Tuan. Apa kutelep

  • Belenggu Hasrat CEO    79. Cinta Yang Hilang

    "Maher," rengek Hafsah mendadak mendayukan suaranya."Ah, merduanya suara itu menyebut namaku." Maher menyentuh dada dan memejamkan mata sambil tersenyum membuat Hafsah tersipu malu."Mandilah!" titah Hafsah sambil menyodorkan handuk baru ke hadapan suaminya.Maher menarik pergelangan tangan Hafsah hingga gadis itu menabrak dada bidang lelaki tinggi putih itu. Hafsah terkesiap dan langsung memeluk Maher karena takut jatuh membuat Hafsah memejamkan mata. "Maher." Hafsah berusaha melepaskan dekapan suaminya tapi Maher tetap mempertahannya."Aku selalu menggenggam angin saat Hanan memelukmu. Berharap waktu cepat berlalu dan tiba di mana aku dan kamu halal. Kini ... aku akan selalu memelukmu. Tidak akan kubiarkan Hanan memelukmu," katanya dengan tegas."Dia kakakku," kekeh Hafsah membuat Maher mengangkat wajahnya."Aku tahu," katanya tersenyum, "tapi aku akan balas dendam padanya. Tenang saja aku sudah mengundang Hanan dan oma untuk makan siang. Sekalian perkenalan rumah baru kita.""Ma

  • Belenggu Hasrat CEO    78. Kekaguman Maher

    Suara desir angin dari balkon bertiup samar hingga menggoyangkan tirai. Menyebarkan wangi dari aroma lilin yang berkelip manja di sudut ruangan."Malam ini ... aku Rajanya," bisik Maher, suaranya terdengar rendah tapi cukup menggema di ruangan yang hanya ada mereka saja.Hafsah merasakan jemari Maher menyentuh pundaknya. Menariknya dalam kehangatan yang belum pernah dirasakan selama ini. Hafsah menahan napas saat Maher mengikis jarak antara mereka. Hafsah hanya bisa diam, tidak bisa melawan"Aku membelenggumu dengan cinta dan kesetiaan, Hafsah. Malam ini dan seterusnya aku dan kamu menjadi kita. Aku akan menjadi pelindung dan penjagamu, Istriku. Aku akan selalu menjadi garda terdepan dalam hidupmu," bisiknya seperti mantra yang mengalun indah sekaligus membunuh keberanian Hafsah untuk menatap suaminya.Hafsah menunduk dan membeku saat bayangan Maher tertangkap di mata indahnya. Napasnya berembus di permukaan kulit membuat bulu kuduknya berdiri. Hafsah ingin lari saja tapi kakinya sepe

  • Belenggu Hasrat CEO    77. Gadis malam itu

    Langkah kaki Maher mendekat menyongsong Hafsah yang masih menatap dalam diam. Hafsah menoleh dan langsung panik saat melihat Maher berdiri di depannya dengan sorot mata penuh kelembutan dan cinta. Menatap tersenyum.Hafsah menunduk dengan meremas jemarinya. Dia merasa gugup saat tangan besar itu menarik jemarinya yang lentik. Hafsah menoleh ke samping saat Maher menariknya lebih ketengah. Menampakkan Hafsah seutuhnya di antara cahaya lilin yang berkelip tertiup angin.Maher menatap Hafsah dengan mata menyipit. Dadanya berdegup lebih kencang dan kakinya gemetar. "Hafsah, kamu?" Maher menggeleng tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Lelaki itu mengangkat dagu istrinya agar lebih tegap lagi."Aku tidak percaya ini, Hafsah?" ujar Maher mengitari Hafsah dengan keterkejutan yang tidak bisa disembunyikannya.Tampilan Hafsah mirip dengan malam itu. Malam di mana dia berani duduk dipangkuan Maher dengan rambut panjang dan dress yang lebih pendek meski yang dipakai saat ini lebih pendek da

  • Belenggu Hasrat CEO    76. Sebuah Hubungan Yang Halal

    Aryan mengumpat kesal karena panggilannya diabaikan. Aryan masuk ke dalam mobil dan menatap layar ponsel yang masih menampilkan notifikasi panggilan telepon yang diabaikan oleh Maher. Tak patah semangat, dia kembali menekan nomor Maher dengan cemas tapi juga kesal.Aryan merasa kesal dan kecewa. Dia tidak mengerti mengapa Maher mengabaikan panggilan telepon darinya. Apakah dia tidak ingin berbicara dengan aku? Apakah dia tidak peduli dengan perasaanku?Aryan memutuskan untuk mengirimkan pesan kepada lelaki yang tengah tersenyum bahagia menyambut kedatangan Hafsah pasca dirinya usai mengucapkan ijab kabul. Aryan berharap dia akan membalas dan menjelaskan mengapa dia mengabaikan panggilannya.Tapi Adnan hanya diam menyimpan ponsel di saku jasnya."Tidak apa-apa, Oma. Aku hanya ingin tahu mengapa kamu tidak menjawab panggilanku," tulisnya lalu mengirimkan pesan kepada Maher.Tapi hingga beberapa jam kemudian, lelaki yang dipanggil Oma atau Om Maher itu masih belum membalas pesan darin

  • Belenggu Hasrat CEO    75. kenapa harus Maher

    Hafsah mengangguk dengan menggigit bibirnya. Bersiap untuk segala kemungkinan yang akan terjadi malam ini. Maher melepaskan jarum pengait di kerudung Hafsah. Satu persatu dengan pelan tangan itu menarik jarum dan meletakkan ditempat khusus di meja rias yang telah dipenuhi bedak milik Hafsah.Azan ashar berkumandang membuat Hafsah secara reflek menghentikan pergerakan tangan Maher."Kita salat dulu," katanya menatap suaminya."Sendiri-sendiri dulu ya. Aku merasa belum pas takut salah," jelas Maher."Pelan-pelan kita belajar bareng. Gak papa kita coba," ajak Hafsah meyakinkan suaminya yang mengangguk juga pada akhirnya."Tapi mukenaku," bisik Hafsah menyadari dia tidak datang dengan membawa satu barang apa pun.Maher mengusap pipi itu untuk pertama kalinya membuat Hafsah membeku merasakan sesuatu dalam dirinya mengalir lebih cepat. Lelaki itu melangkah menuju walk-in closet. Tak lama dia kembali dengan mukena putih di tangannya."Ini," katanya menyodorkan kehadapan Hafsah, "pakailah!

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status