6. Kedekatan.
Hafsah menggeleng dan terisak. Tiba-tiba rasa hampa merayap perlahan menghimpit dada. Jauh dalam lubuk hatinya ada jeritan pilu yang terperangkap. Tangannya mengepal erat tapi tatapan matanya kosong. Hafsah mundur perlahan tanpa kata dan suara tangisan.
"Dek," ujar Hanan melirik adiknya yang seperti patung bernapas cepat.
Hafsah tak bergeming, ucapan Halimah berhasil menembus nadi hingga ke jantungnya. Benarkah Gio yang dia kenal yang dimaksud oleh neneknya? Sementara Halimah dan Hayati masih tak menyadari bahwa Hafsah telah mengetahui apa yang mereka sembunyikan.
"Terserah dia mau apa! Aku tidak perduli sekalipun lelaki sialan itu membawanya jauh dariku! Ibu tahu apa yang aku alami semenjak kehamilan Hafsah hingga dia lahir?" Hayati menatap tajam pada Halimah. "Itu kepedihan yang tidak bisa aku lupakan!"
Halimah menggeleng.
"Dia penyebab aku dan Amir berpisah. Dia penyebab Amir memilih perempuan lain dan meninggalkan aku dalam hamil besar lalu lahirkan tanpa suami! Itu suatu hal yang sangat pedih untukku, Bu," ungkapnya mengepalkan tangan.
"Aku tidak aka memberi jawaban apa pun untuk pembelaanmu. Cukup introspeksi diri saja," balas Halimah lalu memberi kode pada dua satpam yang sedang berdiri tak jauh darinya, "bawa dia keluar!"
"Ibuu!" teriak Hayati berusaha memberontak saat satpam menariknya keluar.
Halimah menutup pintu lalu melangkah tegas menuju ruang tengah, tapi di sisi kanan ada Hafsah yang sedang menangis tanpa suara di pelukan Hanan.
"Hafsah?" panggil Halimah gegas mendekati sang cucu.
"Hafsah kenapa, Sayang? Ada apa? Katakan padaku ada apa?" tanya Hanan lembut seraya membelai kepala Hafsah.
Hafsah tak bergeming, perlahan pandangannya berputar dan terasa buram. Genggamannya melemah lalu terkulai tak bertenaga di pangkuan Hanan.
"Hafsah!" pekik Halimah menepuk pelan pipinya, "Bi, panggil dokter!"
Hanan memopong Hafsah ke kamar diikuti Halimah yang cemas. Hanan menidurkan Hafsah dengan pelan lalu mengusap punggung tangannya seraya memanggil namanya. Namun, dia tetap tak bergeming.
Di sisi lain, Aryan bersiap untuk menemui Hafsah. Celana cargo dan baju kaos putih serta hoodie menjadi pilihannya malam ini. Dia begitu bersemangat menuju kediaman sang pujaan. Dengan memesan taksi online lelaki itu tersenyum menatap jalanan menuju rumah Hafsah.
"Pak, saya mau ketemu Hafsah," ujar Aryan pada satpam yang berjaga.
"Maaf kami tidak menerima tamu asing di malam hari. Silakan kembali lagi esok atau lusa," jelas satpam menatap Aryan.
"Tapi saya temannya, temannya dari Bandung," kata Aryan meyakinkan.
"Saya tahu. Tapi ini sudah peraturan di sini." Satpam masuk lalu mengunci pagar dan meninggalkan Aryan yang kecewa tak bisa menemui sang pujaannya.
"Peraturan yang aneh. Masa gak boleh bertamu di malam hari, padahal ini baru jam sembilan," gumamya melangkah menyusuri jalan dengan kekecewaan.
Aryan melangkah menuju cafe di tepi jalan dan langsung jadi kerumunan karena dia model yang banyak digemari kaum milenial. Tetapi dia membatasi untuk berfoto tidak boleh menyentuhnya atau memegang tangannya. Aryan tak mengizinkan karena hanya Hafsah yang berhak atas dirinya. Bibirnya mengembang membayangkan Hafsah akan bermanja di pangkuannya kelak.
Hafsah aku sudah tidak sabar menunggu hari esok. Akan kujadikan dirimu ratu dan penguasa diriku. Hafsah ... aku mencintaimu.
Sementara itu, Hafsah mengerjapkan mata perlahan usai diperiksa dokter. Dokter pun menyarankan agar dia istirahat dan jangan banyak pikiran. Namun, nama Gio Adelardo menggema dalam pikirannya.
Jl oo
"Apa yang kamu rasakan?" tanya Halimah tersenyum menatap cucu perempuannya.
Hafsah menatap neneknya lalu Hanan. Dia menarik napas lalu meraih ponsel di sisi ranjang. Dia mengetik nama seseorang di layar ponsel lalu menyerahkannya pada Halimah.
"Apa ini, Hafsah?" tanya Halimah mengernyit dahinya.
Hafsah berusaha duduk dengan kepala terasa berdenyut. Lalu menarik diri ke ranjang dengan tatapan menatap Halimah dan Hanan bergantian.
"Oma tahu siapa itu?" tanya Hafsah membuat Hanan melihat ke genggaman sang nenek.
"Ada apa, Hafsah? Kamu Tiba-tiba pingsan lalu sekarang memperlihatkan foto lelaki ini pada, Oma." Halimah menggeleng keheranan.
"Itu nama lelaki yang Oma sebut tadi ketika bersama mama ... benar dia ayahku? Gio Adelardo?" ujar Hafsah menatap dan terisak.
Hanan menunduk menyamakan tinggi dengan Hafsah. Tangannya lembut menggenggam jemarinya. Tatapannya penuh cinta.
"Hafsah, abaikan apa pun itu yang akan menyakitimu. Fokus pada tujuan dan cita-citamu. Siapa pun ayah biologismu, kamu tetaplah adikku yang paling kusayangi dan tak akan tergantikan oleh apa pun. Garis keturunan bukanlah hal penting untuk sebuah hubungan persaudaraan. Kamu spesial, kamu istimewa, dan kamu kesayangan," jelas Hanan.
Hafsah menggeleng.
"Aku tetap ingin tahu kejelasannya, Bang. Bagaimanapun juga, darah Hayati juga mengalir dalam tubuhku. Dan Abang tahu apa artinya kan?" balas Hafsah menangis.
Hanan memeluk adiknya erat sambil tersenyum seolah-olah tak ingin melepaskannya. Namun, Hafsah tetap menatap Halimah meminta kejelasan.
"Oma tidak tahu seperti apa lelaki yang bersama Hayati malam itu. Tapi kalau namanya memang Gio Adelardo, pengusaha asal Kalimantan yang menikah dengan perempuan asal Bandung. Hanya itu. Hubungan mamamu dan lelaki itu hanya hubungan satu malam. Oma hanya tahu itu," ungkap Halimah mendekati Hafsah.
***
Di Bandung, malam kian larut ditemani bintang dengan cahaya perkotaan yang indah. Maher berdiri di balkon sambil menatap langit sembari membayangkan sosok gadis dengan duduk dipangkuannya dengan sorot mata yang menyimpan banyak cerita. Namun, pikirannya menginginkan hal yang lain. Sebuah kisah dan cerita yang berbeda.
Maher meraih ponsel dari saku celananya lalu menekan nomor salah satu anak buahnya.
"Siapkan mobil! Kita ke Jakarta sekarang. Pesankan juga tiket pesawat ke Padang segera mungkin," titahnya sambil masuk ke kamar lalu mengambil jaket dari lemari khusus.
Maher menuruni anak tangga dengan langkah berwibawa dan wajah yang dingin. Sesaat dia tertegun dan menyadari sikapnya yang sangat penasaran dengan seorang gadis. Selama ini dia tidak pernah menanggapi perempuan yang menggodanya. Tapi kali ini, dia merasa berbeda dan sangat menginginkan dia, meski gadis yang diinginkan tak tahu rimbanya.
"Mobil sudah siap, Tuan!" ujar anak buahnya membuyarkan lamunannya.
Maher meneruskan langkah menuju mobil dan siap melaju ke Jakarta. Sepanjang perjalanan dia menatap lampu dan tetap fokus pada tujuannya. Tujuan yang entah di mana dia mendapatkannya.
Hampir dini hari dia sampai di Bandara dan memutuskan tidur di mobil saja. Keberangkatannya pagi hari dengan jadwal penerbangan awal. Matanya terpejam meski tak lelap.
Anak buahnya tak ada yang tidur satupun juga. Mereka memilih berjaga dan memesan hotel di sana dengan ruangan private dan luxury.
Pagi tiba dengan cahaya yang lebih cerah dan indah. Maher menuju bandara dan mengikuti proses keberangkatan. Setelah itu duduk nyaman dengan posisi kaki menyilang. Menikmati perjalanan dengan getar yang berbeda.
"Tunggu aku, Nona. Tunggu aku dengan segenap rasa yang ada, tunggu aku!"
Bersambung
Adnan terjaga karena dering ponsel yang begitu nyaring di sisinya. Lelaki itu masih di apartemen lama milik Maher, dia bangkit dan menatap layar dengan mengusap mata, mengusap dan berjalan ke jendela menyibak tirai, membiarkan cahaya masuk menyinari kamarnya."Ada apa?" tanyanya menatap langit biru."Perempuan itu kabur, Boss!" ungkap anak buahnya."Apa!" Adnan terperanjat dan berpaling dengan cepat, "bagaimana bisa!" "Tiba-tiba ada asap setelah itu kami semua pingsan. Saya memeriksa botol yang dilempar ternyata asap bius, Boss. Perempuan itu kabur saat kami pingsan," jelasnya."Cari Lavina! Temukan dia atau sesuatu yang buruk akan terjadi!" Adnan mengusap wajah dengan kasar."Baik, Boss!"Adnan duduk dengan cemas tapi otaknya terus berpikir. Lavina bukan gadis lemah seperti yang Maher pikirkan. Lavina bukan gadis lima tahun lalu yang begitu mengharapkan dan siap mati untuknya. Sekarang ada seseorang yang membantunya untuk balas dendam."Bagaimana cara memberitahu, Tuan. Apa kutelep
"Maher," rengek Hafsah mendadak mendayukan suaranya."Ah, merduanya suara itu menyebut namaku." Maher menyentuh dada dan memejamkan mata sambil tersenyum membuat Hafsah tersipu malu."Mandilah!" titah Hafsah sambil menyodorkan handuk baru ke hadapan suaminya.Maher menarik pergelangan tangan Hafsah hingga gadis itu menabrak dada bidang lelaki tinggi putih itu. Hafsah terkesiap dan langsung memeluk Maher karena takut jatuh membuat Hafsah memejamkan mata. "Maher." Hafsah berusaha melepaskan dekapan suaminya tapi Maher tetap mempertahannya."Aku selalu menggenggam angin saat Hanan memelukmu. Berharap waktu cepat berlalu dan tiba di mana aku dan kamu halal. Kini ... aku akan selalu memelukmu. Tidak akan kubiarkan Hanan memelukmu," katanya dengan tegas."Dia kakakku," kekeh Hafsah membuat Maher mengangkat wajahnya."Aku tahu," katanya tersenyum, "tapi aku akan balas dendam padanya. Tenang saja aku sudah mengundang Hanan dan oma untuk makan siang. Sekalian perkenalan rumah baru kita.""Ma
Suara desir angin dari balkon bertiup samar hingga menggoyangkan tirai. Menyebarkan wangi dari aroma lilin yang berkelip manja di sudut ruangan."Malam ini ... aku Rajanya," bisik Maher, suaranya terdengar rendah tapi cukup menggema di ruangan yang hanya ada mereka saja.Hafsah merasakan jemari Maher menyentuh pundaknya. Menariknya dalam kehangatan yang belum pernah dirasakan selama ini. Hafsah menahan napas saat Maher mengikis jarak antara mereka. Hafsah hanya bisa diam, tidak bisa melawan"Aku membelenggumu dengan cinta dan kesetiaan, Hafsah. Malam ini dan seterusnya aku dan kamu menjadi kita. Aku akan menjadi pelindung dan penjagamu, Istriku. Aku akan selalu menjadi garda terdepan dalam hidupmu," bisiknya seperti mantra yang mengalun indah sekaligus membunuh keberanian Hafsah untuk menatap suaminya.Hafsah menunduk dan membeku saat bayangan Maher tertangkap di mata indahnya. Napasnya berembus di permukaan kulit membuat bulu kuduknya berdiri. Hafsah ingin lari saja tapi kakinya sepe
Langkah kaki Maher mendekat menyongsong Hafsah yang masih menatap dalam diam. Hafsah menoleh dan langsung panik saat melihat Maher berdiri di depannya dengan sorot mata penuh kelembutan dan cinta. Menatap tersenyum.Hafsah menunduk dengan meremas jemarinya. Dia merasa gugup saat tangan besar itu menarik jemarinya yang lentik. Hafsah menoleh ke samping saat Maher menariknya lebih ketengah. Menampakkan Hafsah seutuhnya di antara cahaya lilin yang berkelip tertiup angin.Maher menatap Hafsah dengan mata menyipit. Dadanya berdegup lebih kencang dan kakinya gemetar. "Hafsah, kamu?" Maher menggeleng tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Lelaki itu mengangkat dagu istrinya agar lebih tegap lagi."Aku tidak percaya ini, Hafsah?" ujar Maher mengitari Hafsah dengan keterkejutan yang tidak bisa disembunyikannya.Tampilan Hafsah mirip dengan malam itu. Malam di mana dia berani duduk dipangkuan Maher dengan rambut panjang dan dress yang lebih pendek meski yang dipakai saat ini lebih pendek da
Aryan mengumpat kesal karena panggilannya diabaikan. Aryan masuk ke dalam mobil dan menatap layar ponsel yang masih menampilkan notifikasi panggilan telepon yang diabaikan oleh Maher. Tak patah semangat, dia kembali menekan nomor Maher dengan cemas tapi juga kesal.Aryan merasa kesal dan kecewa. Dia tidak mengerti mengapa Maher mengabaikan panggilan telepon darinya. Apakah dia tidak ingin berbicara dengan aku? Apakah dia tidak peduli dengan perasaanku?Aryan memutuskan untuk mengirimkan pesan kepada lelaki yang tengah tersenyum bahagia menyambut kedatangan Hafsah pasca dirinya usai mengucapkan ijab kabul. Aryan berharap dia akan membalas dan menjelaskan mengapa dia mengabaikan panggilannya.Tapi Adnan hanya diam menyimpan ponsel di saku jasnya."Tidak apa-apa, Oma. Aku hanya ingin tahu mengapa kamu tidak menjawab panggilanku," tulisnya lalu mengirimkan pesan kepada Maher.Tapi hingga beberapa jam kemudian, lelaki yang dipanggil Oma atau Om Maher itu masih belum membalas pesan darin
Hafsah mengangguk dengan menggigit bibirnya. Bersiap untuk segala kemungkinan yang akan terjadi malam ini. Maher melepaskan jarum pengait di kerudung Hafsah. Satu persatu dengan pelan tangan itu menarik jarum dan meletakkan ditempat khusus di meja rias yang telah dipenuhi bedak milik Hafsah.Azan ashar berkumandang membuat Hafsah secara reflek menghentikan pergerakan tangan Maher."Kita salat dulu," katanya menatap suaminya."Sendiri-sendiri dulu ya. Aku merasa belum pas takut salah," jelas Maher."Pelan-pelan kita belajar bareng. Gak papa kita coba," ajak Hafsah meyakinkan suaminya yang mengangguk juga pada akhirnya."Tapi mukenaku," bisik Hafsah menyadari dia tidak datang dengan membawa satu barang apa pun.Maher mengusap pipi itu untuk pertama kalinya membuat Hafsah membeku merasakan sesuatu dalam dirinya mengalir lebih cepat. Lelaki itu melangkah menuju walk-in closet. Tak lama dia kembali dengan mukena putih di tangannya."Ini," katanya menyodorkan kehadapan Hafsah, "pakailah!
Maher menatap pantulan dirinya dicermin. Dia tampak gagah dengan balutan jas hitam serta rambut yang tertata rapi. Berulangkali dia menarik napas guna mengurangi kegugupan. Maher begitu gugup untuk menjalani hari ini."Rasanya menghadapi penjahat tidak segugup ini!" katanya menarik napas.Maher keluar dari kamar melewati kilauan cahaya dan kebahagiaan para tamu undangan. Ruangan dipenuhi bunga-bunga yang wanginya samar terbawa angin tapi mampu menusuk hidung ditambah lampu kristal yang menggantung mewah di langit-langit ruangan. Para tamu tersenyum dan berbisik kagum saat Maher melewatinya. Aura positif begitu menguar dari dirinya. Tampan dan berkelas. Halimah, Hanan, Puti dan Vass tersenyum menikmati pemandangan dua insan yang akan bersatu dalam ikatan suci."Kuharap setelah ini anda selanjutnya, Boss," bisik Vass yang langsung mendapat tatapan tajam dari Hanan. Maher duduk di hadapan penghulu dengan Hanan sebagai saksi dari pihak Hafsah dan Adnan dari pihak Maher. Halimah berdoa
Hayati diam. Dia sadar sebagai ibu sudah sangat keterlaluan kepada putrinya. Namun, di balik sikap keras dan tidak pedulinya, perempuan itu menyimpan luka dan kesedihan yang tidak bisa dibaginya dengan siapa pun. Sejak dia mengetahui hamil Hafsah, suaminya langsung berubah dan menanyakan tentang kehamilan. Hayati yang tidak pernah disentuh suaminya sejak beberapa bulan lalu tiba-tiba hamil tentu saja menjadi pertanyaan oleh suaminya. Suaminya jadi curiga, dingin, dan menolak satu ranjang dengannya. Bahkan saat Hayati jujur bahwa dia telah berselingkuh, suaminya memilih menceraikannya sesaat setelah melahirkan.Hayati menjadi marah dan terhina diceraikan didepan dokter dan perawat yang membantu proses melahirkannya. Namun, mereka tidak tahu penyebab perceraian itu. Andai saat itu Hayati bisa menjaga diri dan marwah rumah tangganya maka segalanya tidak akan terjadi. Di dalam kehidupan sehari-hari dan pergaulan antara lelaki dan perempuan ada batasan dan aturannya dalam Islam. Terutam
"Aryan," isak Malini menutup bibir dengan kedua tangannya."Pemahaman agamaku lemah, Pa. Tapi aku tahu bahwa setetes saja seorang suami membuat air mata istrinya jatuh, maka disetiap langkahnya akan dilaknat oleh para malaikat." Aryan menatap Gio dengan kepala terangkat. "Aku sangat kecewa kepadamu, Papa. Sangat!"Aryan meninggalkan Gio yang membeku dan tidak menyangka akan ucapan Aryan. Selama ini lelaki itu selalu menunjukkan cinta dan hormat padanya. Tak pernah mengatakan hal buruk padanya. Tapi kali ini, Aryan bicara dengan tegas dan kepala terangkat. Lelaki itu menyesali segala perbuatannya tapi segalanya telah menjadi masa lalu yang tidak bisa diubah.Aryan mengambil dompet dan jaketnya di lemari lalu keluar bersama Vino menggeret koper miliknya. Lelaki itu melewati Gio begitu saja. Tapi dia memeluk Malini dan mencium keningnya. Sama setiap kali dia akan pergi, Aryan akan melakukannya. Malini hanya diam dan sedikit mengangguk saat Aryan meminta izin padanya."Aku berangkat, Ma,"