"Mau kemana?"Kepala Mika pun sontak menoleh ke arah suara yang barusan bertanya padanya. Di sana berdiri Rafka, yang menatapnya dengan tajam."Uhm... mau ke kamar mandi," sahut Mika yang meringis dalam hati melihat sorot manik biru pria itu seolah ingin menelannya hidup-hidup."Sudah kubilang jangan banyak bergerak dulu, Mika. Aku hanya meninggalkanmu sebentar, dan kamu sudah tidak patuh."Rafka menaruh beberapa dokumen yang semula ia pegang ke atas meja, lalu buru-buru melangkah cepat menuju brankar dimana Mika sudah duduk di salah satu sisinya berniat untuk berdiri.Mika baru saja sadar dari efek bius sekitar satu jam yang lalu. Tak terbayang betapa leganya Rafka melihat wanita yang dicintainya itu kembali membuka mata. Namun karena terlalu mencemaskan Mika, pria itu pun semakin over protektif dan tidak membiarkan Mika melakukan apa-apa sendiri. "Untung saja kamu masih sakit. Karena kalau tidak, kamu pasti sudah mendapatkan hukuman karena membangkang," guman pria itu lagi, sambil
"Tolong keluarkan lidahmu, Dokter Ruby. Please."Permintaan yang disuarakan dengan nada merayu nan lembut itu membuat amarah Ruby sedikit menurun, dari yang semula hendak deras menyembur keluar. Sial. Ia memang lemah kalau sudah berhadapan dengan pria tampan yang tidak terlalu mengedepankan egonya, persis seperti yang Ervan lakukan saat ini. Pria yang tahu jika dirinya bukanlah wanita yang akan mudah tunduk begitu saja pada maskulinitas, yang menyadari sisi Alpha-female yang ada di dalam diri Ruby, dan sama sekali tidak keberatan serta tidak terancam dengan sosok wanita yang dominan.Ervan menyeringai samar saat melihat wajah cantik yang semula kaku dan gusar itu kini terlihat sedikit mengendur. Sambil mengagumi bintik-bintik halus kemerahan yang tersebar di kulit putih wajah Ruby, pria itu pun mengusapkan ibu jarinya di bibir lembut bagian bawah yang tampak sangat menggiurkan itu."Aku ingin melihat lidahmu," bujuknya lagi dengan tatapan penuh damba. Ujung ibu jari Ervan kemudian
"Sekarang bisa tinggalkan kami, Suster? Kasihan pacar saya, karena dia pasti sangat malu saat ini." Ervan bisa mendengar suara dengusan pelan dari balik selimut, dan ia pun bisa membayangkan manik bening yang cantik itu pasti sedang memutar kedua bola matanya mendengar pengakuan sepihak Ervan."Oh ya, satu lagi. Tolong untuk satu jam ke depan jangan ada yang masuk ke dalam ruangan ini. Terima kasih," tambah pria itu lagi, sembari menyunggingkan senyum samar ke arah si perawat yang menatap Ervan dengan sorot bingung."T-tapi ini... rumah sakit, Pak Ervan. Dan Anda adalah salah satu pasien kami yang harus diperiksa kondisinya secara berkala~~""Saya hanya meminta waktu satu jam," potong Ervan dengan tatapan tajam penuh intimidasi meski senyum masih terlukis di wajahnya. "Tidak masalah, kan?"Tak ada yang bisa menolak perintah tegas bernada tak ingin dibantah serta aura penuh ancaman yang terselubung di dalamnya, membuat si perawat yang malang itu hanya akhirnya hanya menganggukkan kepa
"Tentu saja aku akan membantumu keluar dari ruangan ini tanpa ketahuan siapa pun, Dokter Ruby. Tapi... itu tidak gratis." Ruby mengernyitkan keningnya dan melipat kedua tangan di dada dengan gestur waspada, ketika mendengar perkataan Ervan barusan.Sial. Gara-gara Ervan menjebaknya terlalu lama di kamar rawat ini, maka ia pun kesulitan untuk keluar dan terlihat oleh para perawat yang sejak beberapa jam yang lalu mencari keberadaannya. Mereka pasti bertanya-tanya apa yang ia lakukan di kamar salah satu pasien, dengan durasi yang cukup lama pula!Terutama setelah salah satu perawat memergoki Ervan sedang tidur bersama "seseorang" di balik selimut, dan si jaksa menyebalkan ini dengan entengnya mengakui bahwa sosok di atas brankarnya itu adalah pacarnya.Ok, Ruby memang aman tak ketahuan karena Ervan tidak menyebut nama, dan juga karena ia berlindung di balik selimut.Tapi akan jadi beda masalahnya jika seseorang memergokinya keluar dari kamar rawat Ervan!"Fine. Apa yang kamu inginkan s
Ruby menatap nanar ke arah paper bag putih di depannya. Jam prakteknya telah usai, dengan pasien terakhir yang baru saja keluar dari ruangan ini. Pasien yang sama sekali tidak ia sangka, dan juga meninggalkan paper bag putih ini untuknya."Aaarrghh!! Aku bisa gila kalau beginii!!" Gusar wanita itu sembari menjambak rambutnya yang seleher karena frustasi.Ia pun segera berdiri dari kursi, lalu menyambar paper bag itu dari meja dan mengayunkan kaki keluar ruangan dengan langkah lebar-lebar.Ia harus segera menyingkirkan benda ini sebelum kepalanya pecah karena stress!Ruby membuka pintu dengan kasar, lalu melangkah tegas ke arah ruangan perawat. Ia akan menaruh benda ini di sana. Ya, itu ide yang sangat bagus."Halo, Dokter Ruby. Ada yang bisa dibantu, Dok?" Salah seorang perawat berusia paruh baya menyapanya dengan ramah dan senyuman, membuat Ruby ikut membalas senyum. Meski sesungguhnya ia sedang malas sekali berbasa-basi.Ruby menaruh paper bag itu ke atas meja panjang. "Ini ada ma
"Apa kamu masih suka saat lehermu dicium seperti dulu, Mika?" Pertanyaan berupa bisikan di telinga yang menjurus ke arah yang tak sopan itu, seketika membuat manik bening beriris sehitam malam milik Mika membelalak lebar karena terkejut.Ia benar-benar tak menyangka jika pria yang sedang berdiri di belakangnya itu ternyata lancang sekali!Mika pun sontak menjauhkan wajahnya dari sosok menyebalkan yang kini tersenyum penuh arti ke arahnya. Sial, kenapa senyum itu masih sama tampannya seperti tiga tahun yang lalu?!"Jangan macam-macam, Raf," cetus Mika seraya melayangkan tatapan kesal. Bukan saja kesal dengan mantan suaminya yang tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba saja hadir di hadapannya, tapi juga karena bisikan lelaki itu di telinganya tadi yang sesungguhnya diam-diam telah membuatnya merinding serasa hingga ke tulang.Tiga tahun mereka telah berpisah secara hukum, tiga tahun sama sekali tidak pernah berjumpa, dan kini... seorang Arrafka Adhyatama mendadak kembali ke dalam hidu
"Halo." "Halo, Mika. Apa acaranya sudah selesai?" Mika tersenyum saat mendengar suara familier yang menyapanya lembut melalui sambungan telepon selular."Ya, ini baru saja selesai dan sekarang aku sedang bersiap untuk pulang. ""Lalu bagaimana tadi? Semuanya lancar? Apa ada kendala?""Syukurlah semuanya aman, Van. Sekarang hanya bisa berdoa saja semoga besok Dazzle mendapatkan ulasan positif dari media dan publik.""That's great, Mika. Aku senang sekali mendengarnya. Aku sangat yakin Dazzle akan mendapat pujian. Kamu sudah bekerja sangat keras, dan gaun hasil rancanganmu juga sangat indah," puji Ervan sembari menghela napas berat sesudahnya."Aku menyesal sekali tidak bisa hadir di sana untuk menemani kamu. Maaf ya?" Mika tertawa kecil. "Tidak masalah, Van. Tidak usah dipikirkan. Oh iya, gimana perkembangan kasusnya? Sudah ada titik terang?" Selanjutnya Mika mendengar Ervan yang bercerita tentang kasus suap di sebuah Departemen Pemerintahan yang sedang ia tangani tuntutannya. Sebe
"Dasar diktator. Tukang paksa. Ancaman kamu norak, Raf!" Meskipun pelan, namun sebenarnya Rafka dapat mendengar semua rentetan gerutuan mantan istrinya yang sangat jelas ditujukan kepada dirinya, namun ia pun memutuskan untuk mengabaikannya. Sangat wajar sebenarnya jika Mika kesal, karena Rafka yang telah mengancam akan menciumnya jika Mika tidak menurut. "Ya, memang norak. Tapi berhasil, kan?" Cetus Rafka sembari menyeringai samar. "Terpaksa." Mika menyahut sambil membuang muka ke arah jalanan, mencoba mengusir sisa-sisa desiran halus yang sejak tadi tak jua sirna dari dadanya, karena perkataan mantan suami menyebalkan ini.'Argh, kenapa pula jantungku jadi berdebar tak tahu malu mendengar ancaman itu??'Ia sadar bahwa ia tak seharusnya masih menyimpan nama Arrafka Adhyatama jauh di dalam sana. Rafka sudah membuang dirinya, itulah kenyataan yang terus menerus Mika tanamkan di dalam dirinya, mencoba membangun benteng ego yang seharusnya hadir. Namun tidak, Mika yang begitu bodoh