Share

4. Bukan Aneh, Tetapi Menggairahkan

"Ada apa ini? Siapa yang berani berbuat onar di kelabku?!" tanya Hans sambil berkacak pinggang di depan pintu.

Mendengar bentakan Hans yang penuh wibawa, pria itu melepaskan tangannya dari rok Mila.

Mila langsung berlari sambil memegangi roknya yang robek. Melihat itu Hans langsung melepaskan jasnya, lalu memberikannya pada Mila.

"Pakai ini," perintahnya.

Mila mengangguk, menerima jas itu lalu melilitkannya ke pinggang. Setelah itu ia kembali ke tempatnya semula.

"Bereskan masalah ini. Tidak peduli siapa orangnya, aku menolak orang-orang cabul sebagai pelanggan kelab ini," perintah Hans pada Rovan, sang manajer kelab.

"Baik, Bos. Saya pastikan mereka akan menerima sanksinya," kata Rovan mantap.

Hans pergi dari ruangan itu, lalu menyusul Mila yang sudah kembali ke balik meja bar.

"Kamu ... membawa baju ganti?" tanya Hans perhatian.

"Tidak, Pak. Tetapi jangan khawatir, teman saya dalam perjalanan mengantarkan seragam saya yang ada di rumah," jawab Mila.

"Teman kamu ...?" tanya Hans ragu.

"Ya, teman saya ... gadis yang ... malam itu," jawab Mila terbata.

"Oh ... ya, sudah. Next time, lebih berhati-hatilah. Jangan pernah menemui tamu di luar tugas utama kamu," nasihat Hans.

"Baik, Pak. Saya akan lebih berhati-hati," jawab Mila.

Hans berbalik, bersiap untuk pergi. Namun, setelah dua langkah ia kembali.

"Teman kamu itu ...," ujar Hans, menggantung. Terlihat ada keraguan di matanya untuk terus bertanya.

"Ya, Pak. Ada apa dengan teman saya?" tanya Mila dengan perasaan was-was, khawatir jika Hans kembali mengungkit kejadian malam itu.

"Dia ... kerja dimana?" tanya Hans.

"Tidak dimana-mana, Pak. Dia freelancer. Tidak terikat kerja dimana pun," jawab Mila.

"Content creator?" tanya Hans memastikan.

"Sejenis itu. Saya juga kurang tahu pastinya apa," jawab Mila.

"Bagaimana jika dia ka—"

"Oh, itu Shenka!" seru Mila, menunjuk ke arah pintu masuk.

Seorang gadis mengenakan busana kasual melangkah anggun menuju meja bar. Hans tercekat. Tidak bisa dipungkiri, hatinya telah terpaut pada gadis muda itu.

"Bagaimana ceritanya baju kamu bisa robek? Kamu tidak digangguin tamu, kan?" tanya Shenka khawatir, sambil menyerahkan bungkusan di tangannya.

"Tidak. Bajuku tersangkut paku saat di gudang. Jangan khawatir, aku baik-baik saja," jawab Mila berbohong.

Ia menerima seragam yang dibawakan Shenka, lalu menghilang di balik pintu khusus karyawan.

Shenka memutar tubuhnya, tersentak ketika mendapati Hans tengah menatapnya dengan intens. Namun, hanya sesaat ia kembali memutar tubuhnya menghadap meja bar.

"Kau tidak berminat untuk menegurku?" tanya Hans.

"Untuk apa? Kita tidak saling kenal," jawab Shenka cuek.

Hans menghela napas, menahan diri untuk bersabar dengan sikap dingin Shenka.

"Mari lupakan apa yang telah terjadi. Bagaimana kalau kita mulai perkenalan dari awal?" usul Hans.

Shenka menoleh, menatap lurus pada manik mata Hans berharap menemukan niat yang tersembunyi di dalam hati pria itu. Akan tetapi, semakin lama menatap mata Hans ia justru merasakan dirinya tenggelam dan larut dalam pancaran magnetnya yang kuat. Dada Shenka pun bergemuruh dengan hebat.

"Bagaimana? Setuju?" tanya Hans dengan lembut, membuyarkan lamunan Shenka. Tangannya terulur, menanti tangan Shenka menyambut salam perkenalannya.

Mata Shenka menatap tangan dan wajah Hans bergantian. Tidak dipungkiri ia menemukan ketulusan di mata itu. Meski terselip rasa ragu, akhirnya Shenka mengulurkan tangannya menyambut salam perkenalan dari Hans.

"Hans Fernandez Adalrich," kata Hans dengan bibir melengkung membentuk senyuman yang sempurna.

"Shenka," jawab Shenka singkat.

"Hanya Shenka? Tidak ada nama panjang?" tanya Hans heran.

"Itu sudah cukup, kamu bisa gunakan nama itu untuk memanggilku," jawab Shenka.

Hans mengangguk pelan. Ia tidak mau memaksa. Namun, hati kecilnya berbisik, semakin yakin jika Shenka bukanlah gadis sembarangan.

"Boleh aku mentraktirmu minum? Untuk merayakan awal pertemanan kita," kata Hans.

Shenka terlihat ragu, tetapi Mila muncul dari belakang justru mengomporinya untuk menerima ajakan Hans.

"Sudah, pergi minum sana. Aku mau kerja dulu," kata Mila.

"Ayo. Kamu bisa memilih soft drink jika tidak suka alkohol," kata Hans lagi.

"Pergilah," kata Mila. "Titip sahabat saya ya, Pak," sambungnya pada Hans.

Hans mengangguk.

"Tenang saja, saya tidak menggigit kok," jawab Hans yang disambut tawa oleh Mila.

Dengan berat hati Shenka pun mengikuti Hans yang berjalan ke salah satu meja.

"Apakah kamu keberatan jika kita minum di sini?" tanya Hans sopan.

Tangannya menunjuk pada meja yang berada di sudut ruangan. Di kiri dan kanan meja itu ada beberapa pengunjung terlihat sedang menikmati minuman mereka.

"Jika kamu tidak nyaman, kita bisa minum di lantai dua. Di sana tidak begitu bising," kata Hans lagi.

"Tidak apa, kita di sini saja," kata Shenka.

Ia berjalan melewati Hans, berniat untuk duduk di kursi kosong di hadapannya. Namun, langkahnya terhenti karena salah satu pengunjung yang mulai mabuk merentangkan tangannya menghalangi langkah Shenka.

Melihat hal itu, Hans bergerak cepat menarik tubuh Shenka agar tidak mengenai tangan pemuda itu.

"Menurutku lebih baik kita minum di lantai dua," kata Hans.

Wajah Shenka merona karena saat ini punggungnya menyentuh dada Hans yang bidang. Tenggorokannya mendadak terasa kesat. Ia berdehem beberapa kali sebelum akhirnya menjawab.

"O-oke. Terserah kamu saja," jawab Shenka pasrah.

Hans menggandeng tangan Shenka, membawanya melewati kerumunan pengunjung menuju lantai dua. Ia tidak melepaskan tangan gadis itu, hingga saat di tangga Shenka memutuskan untuk menarik tangannya dari genggaman Hans.

"Sorry, aku tidak bermaksud lancang," kata Hans merasa tidak enak.

"Tidak apa-apa. Aku hanya tidak ingin membuatmu merasa gerah, telapak tanganku mudah berkeringat," kata Shenka berdalih.

Hans kembali tersenyum. Ia tahu sebenarnya Shenka sedang merasa gugup. Hal itu membuat Hans merasa senang karena itu membuktikan Shenka masih belum berpengalaman dengan banyak pria.

"Silakan," kata Hans sambil menarik kursi untuk Shenka.

Sayangnya, Shenka sudah menarik kursi untuk dirinya sendiri. Hal itu membuat Hans kembali menelan kecewa, tetapi ia berusaha untuk tetap tenang. Hans duduk di kursi itu, berhadapan dengan Shenka. Mereka memesan minuman. Demi menghargai Shenka, Hans memesan minuman yang sama dengan gadis itu.

Mereka terdiam sambil menikmati irama musik yang terdengar lewat pengeras suara.

Hans memandang wajah Shenka yang saat ini hanya berjarak beberapa jengkal di depannya. Sepasang manik yang berwarna coklat itu memindai setiap inci wajah Shenka, mulai dari mata, hidung, dan bibir. Hans merasakan jantungnya semakin berdebar. Arah pandangannya mulai beranjak ke bawah. Kemeja warna merah itu tampak penuh menantang. Hans menelan ludah membayangkan benda kenyal yang bersemayam di balik kemeja itu.

Tidak bisa ia pungkiri lagi, Hans memang jatuh hati pada Shenka. Bukan hanya tubuhnya yang merasakan geliat hasrat pada gadis itu, tetapi hatinya juga.

Tiba-tiba, Shenka berbalik, pandangan mereka pun bertemu. Hans tergagap, malu karena Shenka menangkap basah dirinya.

"Kenapa kamu menatapku begitu? Apakah di tubuhku ada yang aneh?" tanya Shenka.

Hans berdehem, membersihkan tenggorokannya yang mendadak terasa kesat.

"Bukan aneh," jawab Hans parau.

"Lalu?"

"Menggairahkan. Wajahmu, tubuhmu, semuanya ... membangkitkan gairahku."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status