Share

BAB 5

last update Last Updated: 2023-01-24 22:55:43

“Mbak Kiran ya? Iiih benar, kan? Masya Allah tambah cantik aja.”

“Numpang parkir ya, Bu.” Kiran tersenyum sopan pada Desi. Wanita itu merapikan motor agar selaras dengan kendaraan lain yang juga sedang parkir di sana. Dia menarik napas panjang saat menoleh ke samping, rumah yang dulu pernah menjadi tempat ternyamannya untuk pulang.

Tempat itu terlihat ramai. Pakaian hitam menjadi penanda bahwa di sana sedang berduka. Bendera kuning berkibar tertiup angin sepoi-sepoi yang sedikit basah. Gerimis kecil membungkus kota itu sejak jam dua tadi.

Sebagian besar pelayat adalah tetangga sekitar sana. Beberapa tamu dikenali oleh Kiran sebagai rekan kerja Haidar kala masih bekerja di salah satu kantor BUMN dulu. Beberapa lagi dia tak tahu, mungkin dari kenalan keluarga Raya.

“Lama tak berjumpa, Mbak.” Desi menepuk pelan pundak Kiran yang sedang termangu menatap keramaian. Dalam balutan busana hitam, para pelayat terlihat muram. Tak ada canda tawa, hanya wajah kelam dan penuh duka yang menggelayut di setiap wajah.

Kiran menarik napas panjang saat merasakan tepukan pelan. “Iya, Bu.” Kiran tersenyum dan menoleh pada Desi. Dulu, mereka cukup dekat. Wanita itu bahkan sudah dia anggap seperti ibunya sendiri. Bahkan, saat dia dan Haidar bercerai tiga tahun lalu, Desi yang selalu menguatkan agar dia tegar menhadapi ujian yang sedang dijalani.

“Kondisi Mbak Raya memang sangat lemah. Setiap akan berangkat, Mas Haidar selalu kemari untuk menitipkan Mbak Raya. Dia minta tolong untuk menengok ke rumah kalian ….”

“Rumah Mas Haidar.” Kiran tersenyum saat memotong ucapan Desi. Rumah itu milik Haidar, mantan suaminya itu sudah mencicilnya sejak mereka belum menikah. Dulu, Kiran yang memproses pengajuan pinjaman Haidar. Dari sanalah mereka menjadi dekat hingga akhirnya cintapun melekat.

“Ah iya, maaf ya, Mbak Kiran. Ibu selalu ingat kalau itu rumah kalian.” Desi tersenyum tipis mendengar helaan napas Kiran. Wanita itu paham, berat bagi mantan tetangganya itu menginjakkan kaki kembali ke sini.

“Ibu pernah bertanya, kenapa tidak mencari asisten rumah tangga saja? Bukan karena Ibu keberatan dititipi Raya, tapi Ibu paham kalau Mas Haidar mulai sungkan setiap hari menitipkan istrinya.” Desi melambaikan tangan pada Yuli, tetangga yang hanya berkelang tiga rumah. Wanita itu mendekat untuk mengajak berbarengan melayat.

“Seperti yang sudah Ibu duga, jawaban Mas Haidar adalah Mbak Raya tidak mau. Mbak Raya ingin mengerjakan semua pekerjaan rumah semampunya. Terlebih lagi, Mbak Raya paham sekali Mas Haidar tidak suka ada orang asing di rumah mereka. Yaa alasan yang sama seperti dulu Mbak Kiran ceritakan. Sepertinya Mbak Raya berusaha keras agar bisa mengisi kekosongan hati Mas Haidar setelah bercerai dari Mbak Kiran. Dari setiap obrolan kami, Ibu dapat menilai dia sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menjadi istri yang baik.”

Kiran tersenyum tipis mendengar cerita Desi. Dia tahu, Raya memang sebaik itu. Dulu, wanita itu bahkan tidak pernah menuntut apapun saat mereka masih menjadi madu. Bahkan, sebulan pertama pernikahannya dengan Haidar, Raya tidak sedikitpun merengek karena Haidar mengabaikannya.

Sebulan pertama Haidar tidak pernah mengindahkan Raya. Jangankan berbagi malam, bertemu di luar saja dia seakan tak pernah kenal. Ah … serumit itu kisah yang mereka jalani dulu.

“Loh? Mbak Kiran!” Yuli memekik tertahan. “Masya Allah, makin cantik iiih.”

Kiran tertawa kecil sambil menyambut pelukan Yuli. Dulu, dia memang cukup dekat dengan tetangga perumahan ini. Setelah keluar dari tempat kerja, Kiran mengisi hari dengan berbaur dan mengikuti kegiatan Ibu-ibu di sana agar tidak bosan selama menunggu Haidar pulang kerja.

“Ayo kita rumah duka, sepertinya sudah akan berangkat ke pemakaman.”

Kiran menggigit bibir menyadari Raya benar-benar telah tiada. Dari sini, dia bisa melihat dengan jelas keranda yang sudah disiapkan untuk membawa mantan madunya itu ke tempat peristirahatan terakhir.

Mata Kiran mengembun. Mendadak semua kenangan masa lalu memenuhi ruang pikirannya. Melihat rumah itu kembali, seakan membawanya tersesat ke ruang memori. Bahkan dari posisinya berdiri saat ini, Kiran bisa melihat bunga mawar merah yang sedang mekar di halaman rumah itu.

Ah … Raya benar-benar tak mengubah seditpun semua yang ada di sana. Bukan hanya mawar, tanaman hias lainnya pun tak berubah letaknya sejak dia pergi tiga tahun lalu. Kiran menyukai tanaman hias. Dia jugalah yang menata taman dan setiap detil yang ada di sana.

Sama.

Tak ada yang berbeda.

Mawar merah di pojok dekat pagar. Kembang anting-anting (Fuschia) tergantung di atap depan, berderet 3 pot dalam posisi sejajar, menjuntai manis memamerkan mahkota bunga yang berwarna putih berpadu dengan kelopak merah. Pohon cemara di … Ah … tak ada yang berubah. Raya sempurna merawat semua agar tetap seperti sedia kala.

“Mbak Kiran? Mau kesana?” Desi menoleh ke belakang saat menyadari wanita itu tak bergeming dari tempatnya.

“Duluan saja, Bu, ada yang harus saya selesaikan dulu.” Kiran menjawab pelan. Dia masih harus menguatkan hati untuk menginjak rumah itu kembali. Terlebih, di dalam sana ada Raya yang terbaring dalam damai. Kalau bukan atas permintaan Raya waktu itu, dia tidak akan pernah datang kemari.

“Assalamualaikum, Mbak Kiran sehat? Mbak, Raya hamil lagi. Alhamdulillah. Sesekali, mainlah kemari. Raya rindu sekali mengobrol dengan Mbak Kiran ….” Kiran menunduk. Dia tak sanggup mengingat pesan yang Raya kirim minggu lalu. Pesan yang sengaja dia abaikan.

Tak disangka, umur Raya ternyata tidak panjang. Andai mau peka, mungkin saja pesan itu bisa menjadi pertanda. Namun, Kiran masih sibuk membalut luka. Jangankan bertamu dan bertemu dengan Raya, mengingat nama wanita itupun masih menyisakan sebak di dada.

“Bareng saja, Mbak Kiran, justru akan terasa lebih berat kalau datang sendiri.” Yuli tersenyum. Dia paham perasaan mantan tetangganya itu. Dulu, dia menjadi saksi betapa harmonisnya pernikahan Kiran dan Haidar walau belum dikaruniai buah hati. Bahkan, pasangan itu selalu menjadi simbol keindahan cinta di perumahan mereka.

Kiran yang tinggi semampai, berkulit putih dengan hidung mancung dan wajah sehalus porselen sangat serasi berdampingan dengan Haidar yang berbadan tegap dan gagah seperti anggota TNI. Kalau sedang bersama, setiap mata akan setuju simbol keindahan adalah mereka.

“Terima kasih, Bu.” Kiran akhirnya melangkah pelan mengiringi Desi dan Yuli.

“Bukan apa-apa.” Yuli mengelus punggung Kiran. Sungguh, dia yang bukan siapa-siapa pun miris dengan kisah cinta Kiran, Haidar dan Raya.

Bacaan surah yasin memenuhi pendengaran saat mereka mulai memasuki gerbang. Kiran mengepalkan tangan saat melihat satu sosok terbaring di dalam sana. Kain panjang dengan corak batik mega mendung menutupi jasad itu.

“Kiran?”

Kiran membeku saat satu suara yang sangat dia kenal menyapa. Dia tak menyangka Haidar duduk di dekat pintu depan sehingga mereka langsung berhadapan. Tadinya dia pikir lelaki itu akan duduk di dalam sana, ikut membacakan surah yasin di samping jasad Raya.

Semua mata sontak memandang ke arahnya. Dia sempurna menjadi pusat perhatian.

Sesak.

Kiran sesak menyadari semua yang ada di tempat ini tak berubah sedikitpun sejak dia pergi. Bahkan, sandal yang biasa dia gunakan untuk merawat taman masih tersimpan rapi di tempatnya.

“Kiran …. ”

Tangis pecah di rumah itu saat Ratna sambil menahan isak mendekati mantan istri anaknya. Dia menuntun Kiran untuk duduk di samping jasad Raya. Setetes air mata yang sejak tadi Kiran tahan akhirnya terjatuh saat kain penutup wajah mantan madunya dibuka.

“Raya,” ucapnya lirih.

Ruangan itu sempurna membisu saat tangan gemetar Kiran mengelus wajah Raya. lalu, sekejap kemudian isakan memenuhi ruangan. Seperti ada yang melecut hati setiap orang, mendadak rasa perih memenuhi rongga dada.

Mereka mengenal Kiran dengan baik. Mereka pun tahu banyak tentang Raya. Sungguh, kalau harus memilih siapa yang paling terluka di antara semua, mereka tak bisa menjawabnya. Kiran, Haidar dan Raya menyimpan luka dan duka dengan porsi mereka sendiri. Mereka terjebak dalam sakit hati yang tak satupun bisa mengobati.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nur Janah
ya tau mau komen apa KK, ikut nangis
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Belenggu Hati Mantan Suami   BAB 50B [TAMAT]

    Namun, tak sekalipun dia membicarakan mantan istrinya itu di hadapan istrinya. Bahkan sampai usia pernikahan mereka yang ke empat, Kamila tidak tahu kalau Haidar pernah menikah sebelum dengan Raya. Kamila hanya tahu Haidar pernah menikah dan itu dengan Raya.Bagi Haidar, tidak ada gunanya menceritakan semua yang telah berlalu. Cukup dia dan hatinya saja yang merasakan. Cinta yang tersimpan rapi di dalam hati. Perasaan yang terus ada walau telah coba dia lupakan dan tak pernah lagi dia ucapkan.Untuk Kamila, dia mempersembahkan hati yang baru. Cinta dan rasa hormat yang berdasarkan pada komitmen dan tanggung jawab pada wanita yang sebentar lagi akan memberinya dua buah hati. Cinta dan kasih untuk ibu dari anak-anaknya.“Ah iya, hati-hati di jalan.”Kiran menatap Pras bingung. Sejak pulang dari bertemu Haidar tadi, entah sudah berapa belas kali Pras mengulangi kalimat terakhir yang Haidar ucapkan. Wanita itu menarik napas panjang. Dia melirik jam di dinding, sudah hampir jam sembilan

  • Belenggu Hati Mantan Suami   BAB 50A

    “Kiran?”Kiran dan Pras yang baru saja keluar dari menebus vitamin kehamilan di bagian farmasi menoleh berbarengan. Pras langsung melingkarkan tangan dengan posesif di bahu Kiran mengetahui siapa yang menyapa.“Mas Haidar?” Kiran tersenyum lebar. Dia menoleh pada Pras hingga mereka saling berpandangan. Suaminya itu meremas bahu istrinya pelan. Kiran hampir kelepasan tertawa melihat sorot mata Pras yang seolah mengatakan “jangan tebar pesona”.“Pras, sehat?” Haidar mengulurkan tangan pada Pras saat menyadari dia terpaku cukup lama menatap Kiran barusan. Ah … hampir lima tahun tak berjumpa, Kiran tak berubah. Wajah mulus, hidung mancung, bibir kecil dan penuh, kombinasi yang menciptakan keindahan di mata Haidar.Perlahan, pandangannya turun ke bawah. Mata Haidar mengembun. Mendadak perasaannya buncah. Hampir saja isaknya keluar tak tertahankan menyadari perut Kiran yang membuncit. Sungguh, walau bukan dia yang menjadi Ayah dari anak yang Kiran kandung saat ini, dia bahagia.“Kapan Kiran

  • Belenggu Hati Mantan Suami   BAB 49B

    “Untuk proses bayi tabung, ada beberapa tahapan yang harus kita lalui. Secara simpel saja saya jelaskan ya, pertama adalah tahapan induksi ovulasi. Nanti akan ada penyuntikan hormon untuk merangsang proses pembentukan sel telur. Nanti bisa dilakukan secara mandiri di rumah setelah saya berikan petunjuknya.Nah selama proses ini, Ibu harus kontrol setiap beberapa hari karena saya harus memantau ukuran telur yang ada. Setelah dirasa ukurannya sesuai, nanti disuntik dengan hormon lagi untuk membantu proses pematangannya.Maaf sebelumnya, apa menstruasi Ibu sudah teratur?”Kiran menggeleng. “Kadang dua bulan sekali, pernah sampai tiga bulan tidak halangan.” Kiran menjawab dengan bibir bergetar.“Baik, berarti kemungkinan besar tidak ada sel telur yang matang sehingga tidak terjadi pembuahan. Nah, setelah penyuntikan hormon untuk pematangan telur dilakukan, kita bisa mulai mengambil sel telur. Kemudian pengambilan sp**ma, proses pembuahan dan terakhir transfer embrio. Singkatnya seperti it

  • Belenggu Hati Mantan Suami   BAB 49A

    “Wa ja’alna minal-maa-I kulla syai’in hayyin. Afala yu’minuna.” (QS. Al-Anbiya: 30).“Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?”"Alhamdulillah." Kiran langsung mengucap hamdalah begitu turun dari mobil. Waktu sudah senja saat mereka tiba. "Bu, Pak." Kiran berjalan menghampiri orangtuanya yang memang sudah menunggu kedatangan mereka.Kiran menatap sekitar. Dia benar-benar merindukan suasana rumah mereka. Dua belas hari perjalanan umroh ditambah dengan masa karantina membuat dia dan Pras cukup lama meninggalkan tempat itu."Istirahat dulu." Linda yang menjemput mereka di tempat karantina tadi menepuk punggung Kiran pelan. Wanita itu membantu membawakan beberapa bawaan khas oleh-oleh dari tanah suci. Rista dan Ahmad bergegas ikut bergabung membawakan barang-barang dari mobil.Tidak terasa, azan isya’ berkumandang saat mereka baru saja selesai merapikan barang bawaan agar tidak terlalu berantakan.Setelah membersihkan diri dan makan m

  • Belenggu Hati Mantan Suami   BAB 48B

    Kesyahduan itu terhenti saat dua kanak-kanak berteriak riang di dekat mereka. Anak lelaki berusia sekitar enam tahun sedang mengejar anak wanita berusia sekitar empat tahun yang tertawa-tawa. “Oh!” Kiran menutup mulut. Matanya membelalak lebar pada Pras. Sedetik kemudian tawa Kiran berderai saat kedua anak itu berlarian di bawah meja mereka. Dia benar-benar senang melihat anak-anak itu bercanda.“Sini!” Teriak si anak laki-laki.“Tangkap ayo tangkap!” Anak wanita itu menjulurkan lidah dari seberang meja.“Nina, Fajar, kemari!” Wanita muda yang seusia dengan Kiran dan Pras berteriak galak pada kedua anaknya. “Maaf ya, Mas, Mbak, anak saya mengganggu makan malamnya.” Wanita itu mengangguk sungkan.“Tidak apa-apa, anaknya lucu.” Kiran menuntun anak itu memutari meja dan menyerahkannya pada ibunya. Kiran masih sempat mencubit gemas pipi gembil itu sebelum mereka berlalu.Pras dan Kiran tersenyum berbarengan saat meja mereka kembali sepi. Mereka mulai menikmati hidangan penutup malam itu.

  • Belenggu Hati Mantan Suami   BAB 48A

    "Makan yang banyak, biar cepat pulih. Ini Mama bawakan buah-buahan, bolu gulung, dimsum, ayo dimakan." Linda mengeluarkan barang bawaannya di meja. Satu persatu makanan itu diletakkan di hadapan Kiran. "Atau kalau nggak selera, biar Mama pesankan, Nak Kiran mau apa?"Kiran menggeleng pelan sambil tersenyum pada Linda. "Terima kasih, Ma." Tangannya terulur mengambil sumpit, dia mengangguk-angguk saat satu gigitan dimsum masuk ke mulutnya. "Enak, Ma." Kiran mengacungkan jempol."Sama-sama." Linda ikut duduk di meja makan. Wanita itu mengelus bahu Kiran pelan. "Habiskan." Linda tersenyum lembut."Diminum, Bu Linda, Pak Sakti." Rista meletakkan teh hangat. Dia lalu mengambil beberapa buah dan mengupasnya untuk dimakan bersama. Sementara Ahmad dan Sakti mulai asyik dengan topik obrolan mereka berdua."Kata Pras, Nak Kiran susah makan. Masih kepikiran ya?" Linda mengelus bahu Kiran. "Paksakan makan biar cepat pulih. Ajak Pras liburan, mumpung Nak Kiran dapat jatah cuti, toko nanti biar Papa

  • Belenggu Hati Mantan Suami   BAB 47B

    “Dugaan awal saya, kemungkinan janin tidak berkembang, Pak, Bu.” Dokter menjelaskan dengan hati-hati. Dia tahu sekali bagaimana perasaan dua orang di hadapannya ini. Mereka yang tadi datang dengan wajah cerah dan penuh rona bahagia kini terlihat pucat pasi seolah tak ada aliran darah di wajahnya.“Tidak berkembang bagaimana?” Pras mengepalkan tangan. Suaranya terdengar meninggi karena merasa dokter begitu lambat menjelaskan. Napasnya terengah menahan perasaan yang tidak karuan di dalam sana.“Begini, saya akan resepkan obat.” Dokter berdehem menyadari kondisi Kiran dan Pras yang mulai tidak bisa mengendalikan diri. “Semoga kontrol bulan depan, janinnya sudah bergerak aktif dan terdengar detak jantung. Dalam beberapa kasus, hal seperti ini sering terjadi. Kita usahakan yang terbaik.”Pras menekan matanya dengan jari. Sebisa mungkin dia mengendalikan diri dan menahan tangis. Dalam keadaan seperti ini, Pras menyadari ada Kiran yang pasti sangat terpukul mengetahui hasil pemeriksaan. Kala

  • Belenggu Hati Mantan Suami   BAB 47A

    "Berhenti dulu, Pi, beliin rujak buah itu." Kiran mencengkram tangan Pras sambil menunjuk ke pinggir jalan. "Mual, pengen yang asem-asem." Kiran nyengir melihat wajah Pras yang kesal karena dia minta berhenti mendadak."Ini Dedek yang mau, bukan aku.” Kiran mengelus perutnya pelan. Dia menahan tawa saat Pras memperhatikan dia dengan pandangan curiga.Pras menatap istrinya penuh selidik. Setelahnya, Pras tertawa dengan pandangan tidak percaya. “Dedek yang mau?” Pras tersenyum menggoda dengan sebelah alis terangkat. Dia mengelus pelan perut Kiran yang masih rata.“Iya.” Kiran mengangguk dengan raut wajah lucu hingga membuat Pras merasa gemas. Lelaki itu mencubit pipi istrinya sebelum membuka pintu mobil dan menyeberang jalan menuruti keinginan Kiran.Pras menggeleng pelan sambil menyerahkan plastik berisi irisan buah segar pada Kiran. Sejak tadi malam, istrinya itu mulai merasakan “ngidam”. Kiran bahkan menjadi lebih manja padanya. Pras sedikit heran karena sebelum mengetahui sedang ham

  • Belenggu Hati Mantan Suami   BAB 46

    Mata Kiran membelalak lebar melihat testpack di tangannya. Garis dua. Seketika sekujur tubuh wanita itu bergetar hebat hingga dia harus berpegangan pada dinding agar tidak terjatuh.Kiran akhirnya jongkok di toilet kantor. Dia masih menatap tidak percaya pada hasil tes di tangannya. Dia bahkan berkali-kali memastikan bahwa itu adalah alat tes kehamilan, bukan testpack ovulasi untuk mengetahui masa subur."Ran?"Gedoran di pintu terdengar. Sementara Kiran masih tercekat tidak percaya dengan testpack di tangannya. Pagi tadi, Mira mendadak membawakan alat pengecek kehamilan dan memberikannya pada Kiran."Sana cek dulu!" Melihat Mira yang sangat ngotot bahkan sampai meminta OB membelikan alat itu tadi, Kiran akhirnya menerima walau dengan sedikit enggan.Sudah lama sekali dia tidak menggunakan testpack, dia takut kecewa dan sakit hati saat hasilnya tidak garis dua. Bahkan, selama menjalani program kehamilan dengan Pras, Kiran juga tidak menggunakannya. Untuk Kiran yang PCOS, telat dapat s

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status