Share

BAB 6A

Kiran melepas kacamata hitam yang dia gunakan. Titik-titik air hujan membuat buram penglihatannya. Gerimis terus membungkus bumi seakan enggan pergi. Andai ini hari-hari biasa, pastilah Kiran lebih memilih bergelung dengan selimut di atas kasur atau menepi sejenak dari kesibukan pekerjaan dengan menikmati semangkuk bakso hangat jualan Pakde Wiryo di samping kantor.

Sayangnya, ini bukan hari biasa.

Di tengah rinai hujan, kalimah tahlil mengiringi langkah sepanjang jalan menuju tempat pemakaman. Kiran mengusap wajah. Dia merapikan jilbabnya yang sedikit basah. Wanita itu menggigil. Bukan hanya karena bajunya yang lembab terkena rintik, tapi juga karena kenyataan bahwa kini dia sedang mengantar sahabat sekaligus mantan madunya ke tempat peristirahatan menuju keabadian.

“Astaghfirullahaladzim, hati-hati, jalannya licin.” Kiran menoleh ke belakang. Beberapa pelayat tampak sibuk membantu temannya yang terpeleset barusan.

“Sudah pulang kerja, Nak?”

Kiran menoleh ke samping. Dia tidak menyadari kalau sejak tadi Ratna menggandeng tangannya sepanjang perjalanan. Wanita itu sibuk bergelut dengan perasaan dan pikirannya sendiri sehingga tidak terlalu memperhatikan keadaan sekitar.

“Belum, Bu.” Kiran menjawab pelan. “Tadi Kiran langsung berangkat kemari setelah membawa pesan dari Ibu.” Pekerjaannya sebagai Account Officer yang hampir tujuh puluh persen waktunya dihabiskan di luar membuat Kiran dengan mudah hadir disini. Beruntung dia membawa baju dan jilbab hitam sebagai cadangan.

Mobilitasnya yang menggunakan kendaraan roda dua membuat Kiran tak jarang berkeringat dan menyisakan bau matahari. Kadang, dia juga kehujanan sehingga bajunya kebasahan. Oleh karena itulah dia selalu siap sedia membawa baju ganti agar selalu tampil modis dan wangi. Di pekerjaan yang dia geluti saat ini, tolak ukur yang pertama adalah penampilan.

“Sebelum Raya tak sadarkan diri dalam perjalanan menuju rumah sakit tadi, dia mengatakan sangat ingin bertemu dengan Kiran. Jadi, maaf kalau ibu menghubungi dan ….”

“Tidak apa-apa, Bu.” Kiran meremas tangan mantan ibu mertuanya. Dia tersenyum tipis untuk menenangkan. Kiran tahu sekali, andai Ratna terus melanjutkan ucapan pasti dia akan menangis lagi. Cukup. Kiran tak ingin kembali menjadi pusat perhatian.

Kiran menegakkan pandangan. Di depan sana, Haidar menjadi ujung tombak yang mengangkat keranda istrinya. Bibir lelaki itu komat kamit mengucapkan kalimah tahlil. Sesekali Kiran dapat melihat Haidar mengusap wajah. Entah menghapus air mata atau menghela air hujan yang jatuh disana, Kiran tak tahu.

Wanita itu memicingkan mata saat tak sengaja menatap jam tangan yang dikenakan mantan suaminya. Bukankah itu hadiah darinya empat tahun yang lalu?

"Waaah, bagus sekali, Yang, mahal ini ya?" Kiran menahan napas sejenak. Bayangan hari itu mendadak mampir dan terpampang nyata di ingatannya. Dia bahkan seolah bisa melihat dengan jelas wajah lucu Haidar. Lelaki itu terlihat menggelikan di mata Kiran. Antara senang mendapat hadiah bagus dan khawatir dengan nominal yang akan dia sebut.

“Buat Mas Haidar karena sudah bekerja keras selama ini. Mas jarang sekali membeli barang-barang sebagai reward untuk diri sendiri.” Kiran meletakkan sayur lodeh dan mendekat ke arah Haidar. Dia memeluk suaminya yang sedang duduk dari belakang. Jam tangan itu terlihat sangat serasi dengan kulit terang Haidar.

“Bukan begitu, Yang, ada banyak hal yang harus kita prioritaskan. Cicilan rumah ini, program hamil di dokter, belum lagi ….”

“Kalau Mas tidak suka, ya sudah sini kembalikan lagi.” Kiran duduk di samping Haidar sambil mengulurkan tangan. Dia tersenyum lebar saat melihat wajah suaminya sedikit berkerut melihatnya meminta kembali jam tangan itu. Dia tahu persis selera Haidar, dan jam tangan yang Kiran berikan tidak mungkin dia tolak.

“Bukan begitu maksud Mas ….”

“Kalau suka bilang terima kasih, Mas. Ini malah bahas harga dan merembet kemana-mana. Sampai cicilan rumah dibawa juga. Eeeh pas diminta berat hati mengembalikannya.” Kiran menahan senyum melihat Haidar salah tingkah.

“Kamu menyindir Mas?”

“Tidak, tapi kalau Mas merasa tersentil ya baguslah.”

“Kiran ….”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nur Janah
sebahagia itu Meraka dulu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status