“Mau ke mana kau?”
Suara dingin Max membuat Valerie menghentikan langkahnya tepat di depan pintu. Ia menelan ludah susah payah, berusaha mengabaikan Max dan melanjutkan niatnya untuk membuka pintu.Namun, ia tersentak saat tangan kekar Max menyambar lengannya dan membuat tubuhnya berbalik. Pria itu dengan cepat menghimpitnya ke daun pintu, lalu menguncinya di sana.“Siapa yang membayarmu?” tanya Max to the point. Matanya terlihat tajam seakan mampu menghunus jantung lawan bicaranya.“Ti-tidak ada, Tuan,” sahut Valerie, berusaha untuk terlihat tenang.“Tidak usah berlagak polos,” desis Max penuh penekanan. “Aku tahu kau datang ke kamarku karena ada yang menyuruhmu kan?”Pria yang kini hanya mengenakan kimono itu, kembali mengingat kejadian semalam saat ia meneguk minuman yang dibawa seorang pelayan, dan selanjutnya tubuhnya terasa memanas, bergairah tak terkendalikan. Beruntung ia bisa sampai dengan aman ke kamarnya tanpa membuat keributan.“Siapa yang menyuruhmu memasukkan obat sialan itu ke dalam minumanku?!” lanjutnya. Max yakin Valerie adalah orang suruhan rival bisnis untuk menjatuhkan dirinya.“Saya benar-benar tidak tahu apa yang Anda maksud, Tuan.”“Kau pikir aku percaya?” Max semakin mendekatkan wajahnya sambil memberikan tatapan tajam yang seakan-akan bisa menelan mangsa di depannya hidup-hidup.Valerie memejamkan kedua matanya, posisinya yang sangat dekat membuat ia dapat menghirup aroma tubuh pria itu. Aroma sisa-sisa percintaan semalam terasa membekas, hingga membuat pipinya terasa panas.“Kau hanya seorang pelayan,” desis Max merendahkan.“Meski saya hanya seorang pelayan, tapi saya tidak akan melakukan pekerjaan serendah itu. Saya masih punya harga diri!” ujar Valerie marah.Max menarik tubuhnya menjauh. Ia melipatkan kedua tangannya di dada dan mendengus. “Oh ya? Kau sendiri yang datang ke kamarku semalam dan melemparkan tubuhmu. Dan sekarang kau masih berbicara tentang harga diri?”Valerie menelan ludah, tenggorokannya terasa tercekat, tak dapat menyangkal ucapan Max.Otaknya berusaha mengumpulkan kepingan puzzle tadi malam. Seketika tangannya mengepal, menyadari bahwa ia telah dijebak oleh saudaranya!“Saya bersumpah, saya tidak tahu apa-apa. Saya juga dijebak!” tegas Valerie.Max menatap raut polos perempuan yang sudah ia renggut mahkotanya. Ia berusaha membaca gerak-gerik dan mencari kejujuran. Dan ia tidak menemukan kejanggalan apapun.“Berapa yang kau inginkan?”Max berlalu mengambil bolpoin dan cek, lalu membawanya ke hadapan Valerie.“A-apa?” tanya Valerie tidak mengerti.Max berdecak tidak sabaran. “Berapa yang kau inginkan untuk membayar kejadian semalam?”Deg.Jantung Valerie berdetak kencang. Ia menggelengkan kepala sembari menatap pria tampan di depannya dengan rasa sesak. Valerie merasa terhina.“Tidak perlu,” katanya dengan nada dingin.Kedua mata Max membeliak mendengarnya. “Jangan main-main denganku! Katakan berapa yang kau inginkan dan anggap kejadian semalam tidak pernah terjadi!”Valerie tersenyum getir mendengarnya. Ia merasa seperti perempuan rendahan yang telah menjual keperawanannya. “Anggap saja yang terjadi semalam itu hanya kesalahan, Tuan. Saya akan lupakan tentang itu. Saya permisi.”“Bagaimana aku bisa mempercayai orang sepertimu?”Ucapan Max kembali menghentikan langkah Valerie.“Kau bisa saja membocorkan hal ini ke publik untuk menghancurkan reputasiku!”Valerie mengatupkan rahang, menahan amarah dan sakit hati akibat penghinaan pria angkuh di hadapannya.“Anda tidak perlu khawatir. Kita tidak akan pernah bertemu lagi,” kata Valerie tegas.Max menghela napas gusar. Ia bisa melihat kesungguhan dan ketakutan dalam diri perempuan itu. Sementara ia merasa cemas bukan hanya akan reputasinya yang terancam, tapi ada perasaan aneh yang membuatnya khawatir jika perempuan itu sampai mengandung anaknya.“Anggap saja ini kompensasi. Aku tidak sudi berhutang pada siapapun,” kata Max dengan nada dingin dan arogan.Pria itu mengulurkan cek yang sudah dibubuhi sederet angka fantastis padanya. Valerie hanya bergeming, membuat Max merasa geram. Pria itu menarik tangan Valerie dan memaksanya untuk menerima.“Aku akan selidiki kasus ini,” katanya. “Jika sampai kau terlibat, kupastikan tidak akan ada ampun untukmu!”Tepat setelah mengatakan itu, terdengar pintu diketuk dari luar. Max membukanya dan mendapati dua orang kepercayaannya berdiri di depan pintu.“Antarkan dia ke rumahnya,” titah Max pada sopirnya.Valerie berniat membuka suaranya, tetapi Max langsung memberikan tatapan tajam, membuat Valerie mau tidak mau menelan protesnya.“Baik, Tuan.”Sementara satu pria lainnya mengikuti langkah kaki Max masuk. “Apakah sesuatu telah terjadi, Tuan?” tanya Jerry—asisten pribadi Max.“Selidiki semua CCTV pesta semalam. Cari tahu siapa yang berani bermain-main denganku,” kata Max dengan nada tajam. “Jika benar perempuan tadi terlibat, jangan kasih ampun padanya.”Jerry terdiam sejenak sebelum mengangguk. “Baik Tuan.”***“Tidak becus! Kalian tidak berguna! Menjebak pria seperti itu saja tidak bisa!” teriak seorang perempuan berambut merah pada dua orang di depannya.“Maafkan saya, Nona. Setelah meminum minuman itu, Tuan Max langsung berlari ke kamarnya. Sepertinya ia menyadari ada yang tidak beres dengan tubuhnya.”Perempuan itu menggeram marah. “Aku sudah berikan obat perangsang dengan dosis tinggi, seharusnya aku bisa menghabiskan malam yang indah bersamanya!” Ia menatap kedua orang suruhannya tajam. “Tapi kalian malah menghancurkan semuanya!”“Ma-maafkan kami, Nona.” Tidak ada yang berani melawan. Mereka tertunduk di hadapan wanita yang terbakar amarah.“Ah, sialan! Bagaimana jika dia mengetahui semua ini? Bukan hanya kalian yang habis, tapi aku juga!”Salah satu dari mereka menatap wanita itu dengan penuh keyakinan.“Saya pastikan itu tidak akan terjadi. Saya sudah mempersiapkan semuanya dengan matang, Nona.”Sebelum benar-benar pergi dari hotel itu, Valerie mengambil tasnya yang tertinggal di loker. Ketika sampai di lobi, ia sudah ditunggu oleh sopir Max. Dalam perjalanan, gadis itu mengambil cek yang tadi diberikan Max padanya. Matanya seketika membulat melihat nominal yang tertera di sana. ‘Laki-laki itu tidak main-main dengan ucapannya...' gumam Valerie. Bagaimana Max memberinya uang sebanyak ini hanya karena kesalahan satu malam? Apakah baginya uang miliaran tidak ada artinya? Valerie menghela napas panjang. Seandainya waktu bisa diputar ulang, ia tidak akan mengambil job paruh waktu di pesta jamuan bisnis Anderson Corp. Dengan begitu, Valerie pasti tidak akan berakhir di ranjang pria yang paling disegani di kota ini, dan tidak kehilangan kesuciannya. Tetapi, nasi sudah menjadi bubur. Valerie hanya bisa menerima dan menjalani takdirnya. 'Aku harap tidak akan ada apapun yang terjadi ke depannya,’ gumamnya dalam hati. Valerie kembali menyandarkan kepalanya setelah memasukkan cek itu
Anderson Corp Brakkkkk!!!!!Max menggebrak mejanya setelah membaca dokumen di hadapannya, membuat Jerry terkejut. Tak hanya itu bahkan lelaki itu melemparkan dokumen itu tepat di bagian kepala divisi pemasaran. “Ampun Tuan... Saya benar-benar minta maaf.” Lelaki setengah baya itu meluruhkan tubuhnya di hadapan Max memohon ampun karena telah ketahuan melakukan korupsi. “Tidak ada ampun bagimu. Saya tidak membutuhkan karyawan yang tidak jujur!” Max melipatkan kedua tangannya di dada. Mengibaskan kakinya yang tengah dipeluk oleh lelaki itu. “Jerry pecat semua orang-orang yang terlibat di dalamnya, tanpa rasa terhormat. Blacklist nama mereka semua.”“Ampun Tuan... Saya mohon. Kasihani keluarga kami.”Sang pemilik mata biru itu memandang ke arah lelaki itu dengan bengis. “Saat kamu melakukan tindakan korupsi. Pernahkah kamu berpikir apa akibatnya? Bagaimana nasib perusahaan saya, serta karyawan-karyawan saya. Ingat setiap perbuatan pasti akan ada ganjarannya. Nikmati saja, karmamu. Masih
Suasana ballroom hotel bintang lima itu terlihat ramai, lalu lalang orang-orang berpakaian mewah hilir mudik kesana kemari. Bisik-bisik obrolan bisnis pun terdengar. Valeria dan Zenata sibuk menghidangkan menu, sesekali mengantarkan minuman saat ada seseorang yang memerintahkannya. “Vale. Tuan yang di sebelah sana minta minuman, tolong kamu antarkan ya. Soalnya aku juga mau ke sebelah sana,” kata Zenata sambil menunjuk ke arah kerumunan orang-orang yang duduk bagian barat.“Baik.” Valerie mulai menata minuman ke dalam nampannya, lalu membawanya di tengah jalan ia menghentikan langkahnya, saat kepalanya tiba-tiba berdentam menyakitkan. “Vale, kenapa?” Pertanyaan rekan kerjanya membuat ia tersadar. “Aku tidak apa-apa,” kilahnya. Ia kembali melanjutkan langkahnya. Memaksakan diri jika ia baik-baik saja, meski sejak kemarin ia merasa tubuhnya tak baik-baik saja. “Permisi Tuan-tuan ini minumannya.” Ia menyapa, mereka yang berada di sana. Detik berikutnya matanya terbelalak, tubuhnya gem
“Apa?!” pekikan gadis berambut merah itu seketika memenuhi ruangan. Seketika tubuhnya terasa lemas tak bertenaga. Matanya masih melotot, memperlihatkan betapa ia sangat terkejut akan ucapan kakaknya tersebut. “Kakak pasti bercanda kan?” lanjutnya. Kepalanya menggeleng dengan kuat, seolah kenyataan yang ia dengar hanyalah sebuah ilusi. “Sejak kapan aku suka bercanda, Gracia!” tegas Max penuh penekanan. Ia bisa melihat sorot keseriusan dalam mata kakak tirinya tersebut. Tidak ada jawaban darinya, bibirnya terasa kelu untuk mengeluarkan sepatah kata. Matanya beralih memindai tubuh Valerie dengan intens. Tidak ada yang spesial menurutnya gadis itu hanyalah gadis biasa. Penampilannya bahkan terkesan sangat sederhana. Bagaimana bisa kakaknya terjerat pada seorang gadis yang jauh dari kriterianya. “Bagaimana bisa, Kak? Apa yang membuat kakak menikahinya,” tanyanya lirih. Meski ia terasa terkejut, dan marah. Namun, sebisa mungkin ia harus pandai mengendalikan diri. “Dia tengah mengandung an
Setelah memastikan Valerie mendapatkan penanganan yang terbaik di rumah sakit. Jerry kembali masuk ke dalam mobil di mana sang Tuan sudah menunggu. “Apa yang terjadi dengannya?” tanya Max dingin. Namun, Jerry bisa menangkap kekhawatiran dari wajahnya. “Anda mengkhawatirkannya, Tuan?” “Apa yang kau katakan. Aku tidak peduli dengannya,” seloroh Max marah membuang pandangannya ke arah jendela dengan menatap lobi rumah sakit tersebut. Membuat pria yang mulai mengemudikan mobil meninggalkan kawasan rumah sakit itu hampir tertawa lepas. Meski sang atasan mengatakan tidak tapi berbanding terbalik dengan suasana hatinya. Ia bahkan bisa menangkap gerakan salah tingkah dari gelagatnya. Hanya saja ia tahu, Max bukan orang yang pandai mengekpresikan semua itu. Max terdiam gusar pikirannya mengembara pada kejadian pagi tadi saat hendak sarapan. Kedatangan Sarah yang memberitahukan bahwa Valerie pingsan cukup membuat ia merasa cemas. Terlebih saat melihat kondisinya dengan wajah pucat, tanganny
Ballroom Hotel Grand Luxury Buana itu terlihat mewah. Sang penyelenggara pesta tak main-main dalam menyajikan acara tersebut. Tamu berbagai kalangan atas, dan berpakaian mewah lalu lalang silih berganti. Max masuk dengan langkah tegap dan berwibawa. Dengan jas resmi yang dipadukan dengan kemeja biru navy di dalamnya menambah ketampanannya kian memancar. Rahang tegas dengan bola mata berwarna biru itu seketika berhasil menjadi pusat perhatian kaum wanita. Tak terkecuali dengan Monica sang pemilik pesta tersebut. Perempuan bergaun merah menyala dengan potongan dada yang rendah itu tampak terpukau, hingga menelan ludahnya secara susah. Otaknya seketika berkeliaran, bagaimana jika ia berhasil menyandarkan dan mengusap dada bidang pria itu saat tanpa sehelai pakaian. Itu pasti akan menjadi momen yang tidak akan terlupakan. Dengan langkah elegan ia mengambil satu gelas bear lalu ia bawa ke hadapan Max yang saat itu tengah terlibat obrolan bersama Tuan Jhonson.“Max inikah kau,” sapanya den
Mobil Lexus hitam membelah jalan raya yang cukup padat Malam kian beranjak tapi pesta belum juga selesai. Ia yang merasa sudah bosan memilih pamit undur diri, pun ia merasa jengah dengan tingkah keagresifan sang pemilik pesta. Klakson mobil terdengar bingar mengesalkan, sekesal suasana hati Max saat ini.“Kau tahu apa yang dikatakan Monica di pesta tadi, Jerry.” Pria bertubuh kekar dalam balutan jas resmi itu membuka obrolan, membuat Jerry yang tengah mengemudikan mobilnya itu menatap ke arahnya dari balik spion mobilnya dengan penasaran.“Tidak tahu, Tuan.”Max mengendurkan dasinya, melepaskan satu kancing kemejanya, lalu menghela napas berat. “Dia melamarku,” katanya kemudian membuat Jerry cukup terkejut.“Luar biasa.” Sang asisten berdecak kagum sekaligus heran. Dengusan menyebalkan terdengar dari bibir Max. “Dia mengancamku akan melakukan apapun. Jika, aku tidak menerima lamarannya.”Pria yang sudah beberapa tahun bersama dengan Max itu bahkan sampai melongo mendengarnya, bahkan
“Apa yang kau lakukan?”Suara bariton dari ambang pintu mengejutkan keduanya. Kedua tangan Gracia yang kini berada di atas pundak Valerie, ingin mencekik lehernya terhenti dan ia tarik kembali. “Kakak...” “Sedang apa kau di sini, Gracia?” Max melangkah ke arah keduanya dengan tatapan dingin. Namun, terasa mengintimidasi. Wajah Valerie masih pucat, tangannya terasa dingin tapi tak ia pungkiri kehadiran Max membuatnya lega, jika saja pria itu tidak datang entah apa yang akan terjadi pada dirinya. Bisa jadi ia hanya tinggal nama. “Kenapa kakak mesti bertanya. Tentu saja aku di sini ingin menjenguk kakak ipar dan calon keponakanku, Kak.” Gadis berambut merah itu beralih menoleh ke arah Valerie dengan tersenyum. Namun, Valerie bisa menangkap senyum mengerikan dari wajahnya, seakan-akan tengah memberi sebuah ancaman. “Pagi tadi aku ke rumah, Kakak. Tapi aku tidak bertemu dengan kalian, pelayan bilang jika kakak ipar di rawat di sini. Untuk itulah aku kemari.”Max mengangguk kecil dengan m