Share

Bab 3. Pesona Apa?

last update Huling Na-update: 2023-11-03 10:50:10

Sebelum benar-benar pergi dari hotel itu, Valerie mengambil tasnya yang tertinggal di loker. Ketika sampai di lobi, ia sudah ditunggu oleh sopir Max.

Dalam perjalanan, gadis itu mengambil cek yang tadi diberikan Max padanya. Matanya seketika membulat melihat nominal yang tertera di sana.

‘Laki-laki itu tidak main-main dengan ucapannya...' gumam Valerie. Bagaimana Max memberinya uang sebanyak ini hanya karena kesalahan satu malam? Apakah baginya uang miliaran tidak ada artinya?

Valerie menghela napas panjang. Seandainya waktu bisa diputar ulang, ia tidak akan mengambil job paruh waktu di pesta jamuan bisnis Anderson Corp. Dengan begitu, Valerie pasti tidak akan berakhir di ranjang pria yang paling disegani di kota ini, dan tidak kehilangan kesuciannya.

Tetapi, nasi sudah menjadi bubur. Valerie hanya bisa menerima dan menjalani takdirnya. 'Aku harap tidak akan ada apapun yang terjadi ke depannya,’ gumamnya dalam hati.

Valerie kembali menyandarkan kepalanya setelah memasukkan cek itu ke dalam tasnya. Ia mengedarkan pandangannya ke arah jendela menatap gedung-gedung yang menjulang tinggi.

“Turunkan saya di depan toko laundry itu saja, Pak.” Valerie menunjuk ke arah gang kecil tak jauh dari sana.

“Saya harus memastikan Anda benar-benar sampai rumah,” sahut si sopir.

“Rumah saya ada di belakang toko ini. Gangnya terlalu sempit, tidak bisa dilalui mobil. Cukup sampai sini saja. Terima kasih, Pak.” Valerie membuka pintu mobil itu lalu membungkukan badannya dengan sopan. Sebelum kemudian berlalu masuk ke dalam gang.

Sementara sopir Max masih terus menatap ke arahnya hingga tubuh perempuan itu benar-benar menghilang dari pandangannya.

Valerie menghela napas lega ketika sampai rumah ibu tiri dan dua saudara tirinya tidak kelihatan. Ia bergegas ke kamarnya, mengambil cek dari dalam dan ia selipkan ke dalam sebuah buku karena tidak ingin diambil oleh saudaranya yang rakus.

Setelahnya ia mulai bersiap untuk berangkat kerja. Ketika tengah mencepol rambutnya untuk ia kenakan harnet, pintu kamarnya terbuka.

“Dari mana saja kamu!” seru Cherry. Tapi Valerie tidak mengindahkannya, membuat kakaknya itu kesal.

"Aku mau kerja, Kak," kata Valerie lemah. Dia benar-benar tidak punya energi untuk meladeni saudaranya itu.

"Minta uang!" seru Cherry sambil menengadahkan tangannya tepat di depan wajah Valerie.

“Aku tidak punya uang.” Valerie menjawab sembari meraih tas selempangnya.

“Omong kosong!” Berry mencengkeram pundak Valerie. “Semalam kamu baru mendapatkan pekerjaan. Mana mungkin tidak punya uang!”

Valerie menepis tangan Berry dari pundaknya. “Aku tidak minta Kakak untuk percaya padaku. Tapi aku memang tidak punya uang.”

“Omong kosong!” Tanpa disangka Cherry menarik tas Valerie dengan kuat menyebabkan selempangnya putus.

“Kak...”

Terlambat. Cherry sudah mengeluarkan seluruh isi tasnya hingga berhamburan di lantai. “Sialan! Tidak ada apapun di dalamnya.”

Valerie merampas tasnya kembali dan mendorong tubuh saudaranya itu ke luar kamar. Ia membereskan barang-barangnya yang berserakan.

Gadis itu merasa benar-benar lelah. Sampai kapan ia akan hidup seperti ini? Dadanya terasa sesak atas semua perlakuan yang ia terima. Tapi Valerie tidak punya waktu untuk menangisi nasibnya yang kurang beruntung. Ia gegas mengambil kunci dan keluar dari kamar.

“Mana bayaranmu semalam!” Martha, ibu tirinya, menengadahkan tangannya mencegah jalan Valerie yang hendak pergi.

“Tidak ada, Ma,” jawab Valerie lemah.

“Heh!!” Tangan Martha sigap menarik kuat rambut Valerie membuatnya kembali berantakan. "Kamu pikir saya percaya?!"

"Sa-sakit, Ma!" Valerie berusaha melepaskan diri dari cengkeraman ibunya.

“Anak haram yang tidak tahu diuntung! Kamu harus ingat bagaimana kamu bisa tumbuh sampai seperti sekarang. Kamu harus balas budi pada saya!” Martha melepas rambut Valerie, beralih mencengkeram dagu gadis itu.

“Ampun, Ma... tapi Vale benar-benar tidak ada uang,” jawab Valerie membuat Martha kesal lalu mendorong tubuh anak tirinya itu sampai terjungkal.

“Tidak berguna!!” makinya sambil berlalu.

Kedua kakaknya pun ikut berlalu dari sana. “Ini semua karena rencana kita gagal semalam. Kita jadi tidak punya uang,” gerutu Cherry.

“Haruskah kita melakukan rencana lain?”

“Tunggu saja jika ada kesempatan lagi.”

***

Valerie menyusuri trotoar dengan berjalan kaki menuju supermarket tempat ia akan bekerja dengan pandangan sedikit melamun. Hatinya sesak setiap kali ibu tirinya mengatakan dirinya hanya anak haram yang terpaksa ia besarkan. Sejak kecil hidupnya sudah menderita, terlebih setelah ayahnya meninggal dunia. Entah dorongan apa yang membuat ia tetap bertahan di rumah itu.

“Kenapa aku harus dilahirkan jika dianggap anak haram? Ayah, Ibu, kenapa kalian tidak mengajak anakmu ini saja.” Ia menengadahkan kepalanya menatap mendung yang menggantung di langit.

Sebuah mobil silver mengkilap melaju pelan di jalan raya. Max tetap fokus dengan iPad di tangannya.

“Ada Nona yang tadi pagi di kamar anda, Tuan.” Jerry memberi tahu saat melihat Valerie tengah berjalan di trotoar khusus pejalan kaki. Max menoleh sekilas ke arah perempuan itu dan tidak mengatakan apapun.

“Tidakkah Anda ingin memberikannya tumpangan?” usul Jerry tiba-tiba, membuat Max menatap tajam ke arahnya. “Maaf, Tuan,” katanya dengan nada segan.

Max kembali menoleh ke arah Valerie yang kali ini masuk ke dalam sebuah minimarket. ”Cari tahu tentang perempuan itu.”

Jerry tertegun, menatap tuannya lewat kaca spion depan penuh arti. Tidak biasanya Max peduli dengan orang lain seperti yang ia lakukan pada gadis muda itu. Memikirkan hal itu, Jerry tidak dapat menahan senyum, membuat Max mengerutkan keningnya.

“Apa yang tengah kau pikirkan, Jerry? Aku memintamu untuk mencari tahu tentangnya, agar dia tidak bisa macam-macam. Jangan berpikir yang tidak-tidak!” kata Max dengan nada dingin seperti biasa, tapi Jerry bisa menangkap rasa gugup yang tak biasa. Terlebih ketika Max tampak mengendurkan dasinya salah tingkah.

Benar-benar bukan seperti Max Anderson yang Jerry kenal.

"Saya tidak mengatakan apapun, Tuan,” kata sang asisten dengan nada jahil, membuat Max langsung mendelik tajam ke arahnya.

"Saya akan mencari tahu tentang Nona Valerie," kata Jerry kemudian.

Max berdeham membersihkan tenggorokannya yang terasa kering, masih tampak kesal dengan sikap asisten yang terkesan ingin menggodanya.

“Kejadian semalam tidak berarti apa-apa!” sergah Max. Entah mengapa ia merasa harus memberi penjelasan pada Jerry. Padahal biasanya ia tidak peduli dengan apa yang dipikirkan orang lain terhadapnya.

Tampaknya Valerie telah melakukan sesuatu hingga membuat Max jadi seperti ini...

Max berusaha menyingkirkan gadis itu dari kepalanya. Namun, pikiran dan perasaannya tidak bisa diajak kerja sama. Max menjadi resah dan gundah gulana.

Bayangan lekuk tubuh Valerie selalu menjelma di pandangan matanya. Seharusnya Max sudah terbiasa dengan hal itu, mengingat ia sudah sering bertemu dan melihat berbagai tipe perempuan. Dimulai dari cantik, berkelas, pintar, berkarier, seksi dan semacamnya. Namun, tak ada yang benar-benar mampu menggoda iman seorang Max Anderson.

Valerie Angelica ... entah pesona apa yang gadis itu miliki hingga berhasil menguasai seluruh pikirannya.

Max tidak bisa melupakannya begitu saja. Alih-alih, Max menginginkan sesuatu yang lebih.

“Mungkin begitu, Tuan," kata Jerry, menanggapi ucapan Max sebelumnya. "Tapi kita tidak pernah tahu apa yang takdir siapkan di depan sana."

Jerry menghentikan mobilnya tepat di depan lobi Anderson Corp.

Max mendengus mendengar ucapan Jerry yang terdengar mengejek di telinganya. Pria itu lantas turun dari mobil setelah pintunya dibukakan oleh penjaga.

“Selidiki gadis itu secepatnya," kata Max dengan nada tegas. "Siang nanti, laporkan padaku, berikut laporan tentang kejadian semalam.”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Iin Romita
lanjutt ... ah aku suka pria penuh wibawa dan karismatik seperti Max.. otakku sudah membayangkan tubuhnya dan karateristik nya. lnjut
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Belitan Obsesi Presdir Dingin    Bab 115. Finally Story of Belitan Obsesi Presdir Dingin

    Lima tahun kemudian...Sebuah mobil hitam mengkilat datang dari arah jalanan, masuk ke dalam dan berhenti tepat di pintu masuk utama. Pintu belakang langsung terbuka secara otomatis.“Hati-hati sayang.”“Yes, Daddy.” Kedua bocah kecil yang masih mengenakan seragam sekolah itu langsung turun dari mobil dan diikuti oleh salah satu pengasuhnya. Max yang berada di sisi kursi kemudi pun langsung menyusulnya. Bibirnya melengkung membentuk senyuman melihat anak-anaknya terlihat begitu ceria saat pulang sekolah. Dante telah memasuki kelas satu sekolah dasar. Sementara Sena masih menduduki TK. Max merasa kehidupannya semakin bahagia. “Jangan lari...”“Mommy.... Mommy....” Mereka berteriak memanggil Mommy-nya. Ya seperti biasa saat pertama kali masuk rumah yang mereka cari pasti ibu kandungnya. “Berisik sekali ini bocah!” celetuk Dante.“Kamu juga. Ngapain ikut-ikutan teriak. Aku kan sedang manggil Mommy-ku."“Mommyku!"“Aku....”“Isshh kalian ini kenapa berisik sekali.” Perempuan hamil yang

  • Belitan Obsesi Presdir Dingin    Bab 114. Lasena Nathania Anderson

    Sembilan bulan kemudian...Seorang penjaga membukakan pintu gerbang saat sebuah mobil hitam mewah mengkilat datang dari arah jalanan. Ia pun mengangguk hormat pada sang majikan yang duduk di bagian kursi belakang kemudi.Mobil berhenti tepat di pintu masuk utama. Seorang pelayan berseragam biru muda datang menyongsong menyambut kedatangannya.“Selamat sore, Tuan?” sapanya penuh hormat.Max hanya menganggukkan kepalanya. Ia menyerahkan tas hitam yang baru saja ia ambil dari dalam mobil pada pelayan itu. “Bagaimana keadaan istri saya?" tanyanya sambil melangkah masuk dan tangannya bergerak untuk mengendurkan dasinya yang terasa mencekik lehernya.“Nyonya sudah baikan, Tuan.”“Oh. Sedang apa dia?” tanya Max karena biasanya Valerie paling antusias menyambutnya pulang begitu mendengar mobilnya tiba.“Nyonya sedang berada di taman belakang bersama Nyonya Zenata dan Tuan kecil.”Max hanya mengangguk dan berbelok ke pintu samping di mana istrinya berada. Dua hari tidak bertemu istrinya ia te

  • Belitan Obsesi Presdir Dingin    Bab 113. Akibat Lupa Pengaman

    “Selamat ya Tuan. Nyonya Valerie positif mengandung.”Ucapan Dokter membuat keduanya pun terkejut. “Ha—hamil?”“Iya Tuan, Nyonya." Dokter Elia menunjukkan hasil tes pack di tangannya. “Dari hasil tes pack ini menunjukkan garis dua menunjukkan jika istri Anda positif hamil. Dan untuk mengetahui lebih lanjutnya, sebaiknya kita lakukan USG.”Valerie menurut, dan ia berbaring di atas brankar. Max berdiri persis di sisi istrinya, di mana dokter mulai mengoleskan gel bening di perutnya, dan melanjutkan ke tahap selanjutnya. “Nah ini bayinya Nyonya masih sebentuk kacang ya. Memasuki 6 Minggu ya, Nyonya.”Setelah mendengarkan penjelasan dari dokter dan mendapatkan beberapa vitamin. Keduanya pun langsung berpamitan pulang. “Aku masih tidak menyangka loh. Kok kamu hamil ya?"Valerie memutar bola matanya jengah. “Yaz jelas bisalah. Orang aku punya suami. Kamu tidak ingat kalau aku tidak tidak kontrasepsi setelah melahirkan Dante, dan kamupun tidak mau pakai pengaman katanya tidak enak!”“Tapi,

  • Belitan Obsesi Presdir Dingin    Bab 112. Wedding Jerry dan Zenata

    Ballroom hotel bintang lima itu terlihat begitu ramai lalu lalang para tamu yang hadir memenuhi senterio. Para tamu yang hadir terlihat berkelas dan mewah.Para tamu menatap takjub pada dekorasi pernikahan yang terlihat begitu mewah. Meja bundar dan kursi berpelitur mengkilap, dilapisi kain satin yang berjajar rapi. Meja ditutup taplak meja linen putih, dengan rangkaian mawar putih di setiap permukaannya. Di posisi kanan dan kiri terlihat berbagai hidangan yang tersaji dengan meja yang menempel ketat di dinding. Terlihat lampu kristal menggantung tinggi di langit-langit yang megah.Di atas panggung pelaminan yang mewah bernuansa emas, banyak bunga mawar putih, serta ada semacam dekorasi kaca dengan air mengalir ditimpa cahaya lembut. Jerry terlihat begitu tampan dalam balutan pakaian pengantin yang berwarna senada dengan gaun yang Zenata kenakan.Segalanya berjalan dengan lancar. Beberapa jam yang lalu keduanya telah melangsungkan acara janji suci pernikahan yang di bacakan langsung

  • Belitan Obsesi Presdir Dingin    Bab 111. Gara-gara Kotak Makan

    Layaknya anak muda yang tengah kasmaran. Jerry dan Zenata tiada hari tanpa jumpa. Di sela-sela aktivitasnya mengurus rencana pernikahannya. Keduanya masih selalu menyempatkan untuk bertemu. Bahkan tidak segan Zenata kerap datang meski hanya sekedar mengantarkan makanan padanya. Max yang mengetahui hal itu merasa geli. Jerry — seorang pria yang ia ketahui anti terhadap perempuan. Bisa-bisanya tiba-tiba bertekuk lutut pada seorang perempuan. Ah, ia lupa bagaimana dengan dirinya. Ia yang dulu hidup hanya demi sebuah ambisi pun kini mulai terasa berwarna, karena adanya Valerie dalam kehidupannya. Apalagi saat ini ada Dante di antara mereka. “Jerry, berkas yang aku butuhkan untuk—” Max yang baru saja membuka pintu ruangan asistennya itu tidak dapat melanjutkan ucapannya, saat melihat aktivitas asistennya bersama calon istrinya. “Sorry...” lanjutnya dan berlalu pergi.“Astaga...” Zenata yang sudah tersadar langsung buru-buru beranjak dari pangkuan Jerry. Demi Tuhan ia tidak sengaja, tadi

  • Belitan Obsesi Presdir Dingin    Bab 110. Ungkapan Cinta Max

    Seharusnya saat ini Valerie tengah menikmati masa-masa indahnya menjadi seorang ibu baru. Tapi, ia merasa aneh karena ASI-nya tidak keluar dengan deras, padahal dokter sudah memberikan vitamin. Hal itu membuat moodnya memburuk, ia sedih merasa menjadi ibu yang buruk bagi sang buah hati. Sore ini tiba-tiba Dante menangis dengan kencang. Ia sudah memberikan ASI padanya, tapi Dante tetap menangis, sepertinya ASI-nya tidak keluar, hingga menimbulkan bayi yang baru berusia lima hari itu kecewa. Dante terus menangis kencang, menggemparkan isi rumah. “Sabar sayang, sebentar. ASI mommy keluarnya belum lancar.” Valerie mencoba kembali menyusuinya, ia meringis merasakan gesekan bibir buah hatinya. Hal itu menimbulkan rasa perih dan sakit. Ia coba menahannya, tapi Dante kembali melepaskan pucuk dadanya dan menangis. Ia mencoba mencari cara agar ASI-nya kembali keluar, tapi tangisan Dante yang terdengar begitu kencang membuat kesabaran Valerie nyaris habis. “Dante, bekerja samalah dengan M

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status