Share

Bab 3. Pesona Apa?

Sebelum benar-benar pergi dari hotel itu, Valerie mengambil tasnya yang tertinggal di loker. Ketika sampai di lobi, ia sudah ditunggu oleh sopir Max.

Dalam perjalanan, gadis itu mengambil cek yang tadi diberikan Max padanya. Matanya seketika membulat melihat nominal yang tertera di sana.

‘Laki-laki itu tidak main-main dengan ucapannya...' gumam Valerie. Bagaimana Max memberinya uang sebanyak ini hanya karena kesalahan satu malam? Apakah baginya uang miliaran tidak ada artinya?

Valerie menghela napas panjang. Seandainya waktu bisa diputar ulang, ia tidak akan mengambil job paruh waktu di pesta jamuan bisnis Anderson Corp. Dengan begitu, Valerie pasti tidak akan berakhir di ranjang pria yang paling disegani di kota ini, dan tidak kehilangan kesuciannya.

Tetapi, nasi sudah menjadi bubur. Valerie hanya bisa menerima dan menjalani takdirnya. 'Aku harap tidak akan ada apapun yang terjadi ke depannya,’ gumamnya dalam hati.

Valerie kembali menyandarkan kepalanya setelah memasukkan cek itu ke dalam tasnya. Ia mengedarkan pandangannya ke arah jendela menatap gedung-gedung yang menjulang tinggi.

“Turunkan saya di depan toko laundry itu saja, Pak.” Valerie menunjuk ke arah gang kecil tak jauh dari sana.

“Saya harus memastikan Anda benar-benar sampai rumah,” sahut si sopir.

“Rumah saya ada di belakang toko ini. Gangnya terlalu sempit, tidak bisa dilalui mobil. Cukup sampai sini saja. Terima kasih, Pak.” Valerie membuka pintu mobil itu lalu membungkukan badannya dengan sopan. Sebelum kemudian berlalu masuk ke dalam gang.

Sementara sopir Max masih terus menatap ke arahnya hingga tubuh perempuan itu benar-benar menghilang dari pandangannya.

Valerie menghela napas lega ketika sampai rumah ibu tiri dan dua saudara tirinya tidak kelihatan. Ia bergegas ke kamarnya, mengambil cek dari dalam dan ia selipkan ke dalam sebuah buku karena tidak ingin diambil oleh saudaranya yang rakus.

Setelahnya ia mulai bersiap untuk berangkat kerja. Ketika tengah mencepol rambutnya untuk ia kenakan harnet, pintu kamarnya terbuka.

“Dari mana saja kamu!” seru Cherry. Tapi Valerie tidak mengindahkannya, membuat kakaknya itu kesal.

"Aku mau kerja, Kak," kata Valerie lemah. Dia benar-benar tidak punya energi untuk meladeni saudaranya itu.

"Minta uang!" seru Cherry sambil menengadahkan tangannya tepat di depan wajah Valerie.

“Aku tidak punya uang.” Valerie menjawab sembari meraih tas selempangnya.

“Omong kosong!” Berry mencengkeram pundak Valerie. “Semalam kamu baru mendapatkan pekerjaan. Mana mungkin tidak punya uang!”

Valerie menepis tangan Berry dari pundaknya. “Aku tidak minta Kakak untuk percaya padaku. Tapi aku memang tidak punya uang.”

“Omong kosong!” Tanpa disangka Cherry menarik tas Valerie dengan kuat menyebabkan selempangnya putus.

“Kak...”

Terlambat. Cherry sudah mengeluarkan seluruh isi tasnya hingga berhamburan di lantai. “Sialan! Tidak ada apapun di dalamnya.”

Valerie merampas tasnya kembali dan mendorong tubuh saudaranya itu ke luar kamar. Ia membereskan barang-barangnya yang berserakan.

Gadis itu merasa benar-benar lelah. Sampai kapan ia akan hidup seperti ini? Dadanya terasa sesak atas semua perlakuan yang ia terima. Tapi Valerie tidak punya waktu untuk menangisi nasibnya yang kurang beruntung. Ia gegas mengambil kunci dan keluar dari kamar.

“Mana bayaranmu semalam!” Martha, ibu tirinya, menengadahkan tangannya mencegah jalan Valerie yang hendak pergi.

“Tidak ada, Ma,” jawab Valerie lemah.

“Heh!!” Tangan Martha sigap menarik kuat rambut Valerie membuatnya kembali berantakan. "Kamu pikir saya percaya?!"

"Sa-sakit, Ma!" Valerie berusaha melepaskan diri dari cengkeraman ibunya.

“Anak haram yang tidak tahu diuntung! Kamu harus ingat bagaimana kamu bisa tumbuh sampai seperti sekarang. Kamu harus balas budi pada saya!” Martha melepas rambut Valerie, beralih mencengkeram dagu gadis itu.

“Ampun, Ma... tapi Vale benar-benar tidak ada uang,” jawab Valerie membuat Martha kesal lalu mendorong tubuh anak tirinya itu sampai terjungkal.

“Tidak berguna!!” makinya sambil berlalu.

Kedua kakaknya pun ikut berlalu dari sana. “Ini semua karena rencana kita gagal semalam. Kita jadi tidak punya uang,” gerutu Cherry.

“Haruskah kita melakukan rencana lain?”

“Tunggu saja jika ada kesempatan lagi.”

***

Valerie menyusuri trotoar dengan berjalan kaki menuju supermarket tempat ia akan bekerja dengan pandangan sedikit melamun. Hatinya sesak setiap kali ibu tirinya mengatakan dirinya hanya anak haram yang terpaksa ia besarkan. Sejak kecil hidupnya sudah menderita, terlebih setelah ayahnya meninggal dunia. Entah dorongan apa yang membuat ia tetap bertahan di rumah itu.

“Kenapa aku harus dilahirkan jika dianggap anak haram? Ayah, Ibu, kenapa kalian tidak mengajak anakmu ini saja.” Ia menengadahkan kepalanya menatap mendung yang menggantung di langit.

Sebuah mobil silver mengkilap melaju pelan di jalan raya. Max tetap fokus dengan iPad di tangannya.

“Ada Nona yang tadi pagi di kamar anda, Tuan.” Jerry memberi tahu saat melihat Valerie tengah berjalan di trotoar khusus pejalan kaki. Max menoleh sekilas ke arah perempuan itu dan tidak mengatakan apapun.

“Tidakkah Anda ingin memberikannya tumpangan?” usul Jerry tiba-tiba, membuat Max menatap tajam ke arahnya. “Maaf, Tuan,” katanya dengan nada segan.

Max kembali menoleh ke arah Valerie yang kali ini masuk ke dalam sebuah minimarket. ”Cari tahu tentang perempuan itu.”

Jerry tertegun, menatap tuannya lewat kaca spion depan penuh arti. Tidak biasanya Max peduli dengan orang lain seperti yang ia lakukan pada gadis muda itu. Memikirkan hal itu, Jerry tidak dapat menahan senyum, membuat Max mengerutkan keningnya.

“Apa yang tengah kau pikirkan, Jerry? Aku memintamu untuk mencari tahu tentangnya, agar dia tidak bisa macam-macam. Jangan berpikir yang tidak-tidak!” kata Max dengan nada dingin seperti biasa, tapi Jerry bisa menangkap rasa gugup yang tak biasa. Terlebih ketika Max tampak mengendurkan dasinya salah tingkah.

Benar-benar bukan seperti Max Anderson yang Jerry kenal.

"Saya tidak mengatakan apapun, Tuan,” kata sang asisten dengan nada jahil, membuat Max langsung mendelik tajam ke arahnya.

"Saya akan mencari tahu tentang Nona Valerie," kata Jerry kemudian.

Max berdeham membersihkan tenggorokannya yang terasa kering, masih tampak kesal dengan sikap asisten yang terkesan ingin menggodanya.

“Kejadian semalam tidak berarti apa-apa!” sergah Max. Entah mengapa ia merasa harus memberi penjelasan pada Jerry. Padahal biasanya ia tidak peduli dengan apa yang dipikirkan orang lain terhadapnya.

Tampaknya Valerie telah melakukan sesuatu hingga membuat Max jadi seperti ini...

Max berusaha menyingkirkan gadis itu dari kepalanya. Namun, pikiran dan perasaannya tidak bisa diajak kerja sama. Max menjadi resah dan gundah gulana.

Bayangan lekuk tubuh Valerie selalu menjelma di pandangan matanya. Seharusnya Max sudah terbiasa dengan hal itu, mengingat ia sudah sering bertemu dan melihat berbagai tipe perempuan. Dimulai dari cantik, berkelas, pintar, berkarier, seksi dan semacamnya. Namun, tak ada yang benar-benar mampu menggoda iman seorang Max Anderson.

Valerie Angelica ... entah pesona apa yang gadis itu miliki hingga berhasil menguasai seluruh pikirannya.

Max tidak bisa melupakannya begitu saja. Alih-alih, Max menginginkan sesuatu yang lebih.

“Mungkin begitu, Tuan," kata Jerry, menanggapi ucapan Max sebelumnya. "Tapi kita tidak pernah tahu apa yang takdir siapkan di depan sana."

Jerry menghentikan mobilnya tepat di depan lobi Anderson Corp.

Max mendengus mendengar ucapan Jerry yang terdengar mengejek di telinganya. Pria itu lantas turun dari mobil setelah pintunya dibukakan oleh penjaga.

“Selidiki gadis itu secepatnya," kata Max dengan nada tegas. "Siang nanti, laporkan padaku, berikut laporan tentang kejadian semalam.”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Iin Romita
lanjutt ... ah aku suka pria penuh wibawa dan karismatik seperti Max.. otakku sudah membayangkan tubuhnya dan karateristik nya. lnjut
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status