Anderson Corp
Brakkkkk!!!!!Max menggebrak mejanya setelah membaca dokumen di hadapannya, membuat Jerry terkejut. Tak hanya itu bahkan lelaki itu melemparkan dokumen itu tepat di bagian kepala divisi pemasaran.“Ampun Tuan... Saya benar-benar minta maaf.” Lelaki setengah baya itu meluruhkan tubuhnya di hadapan Max memohon ampun karena telah ketahuan melakukan korupsi.“Tidak ada ampun bagimu. Saya tidak membutuhkan karyawan yang tidak jujur!” Max melipatkan kedua tangannya di dada. Mengibaskan kakinya yang tengah dipeluk oleh lelaki itu. “Jerry pecat semua orang-orang yang terlibat di dalamnya, tanpa rasa terhormat. Blacklist nama mereka semua.”“Ampun Tuan... Saya mohon. Kasihani keluarga kami.”Sang pemilik mata biru itu memandang ke arah lelaki itu dengan bengis. “Saat kamu melakukan tindakan korupsi. Pernahkah kamu berpikir apa akibatnya? Bagaimana nasib perusahaan saya, serta karyawan-karyawan saya. Ingat setiap perbuatan pasti akan ada ganjarannya. Nikmati saja, karmamu. Masih untung saya tidak menjebloskan dirimu ke penjara!!”Max mengibaskan tangannya dengan dengan gerakan mengusir. Tak berapa lama ada dua tim keamanan yang masuk lalu menyeret lelaki itu keluar.Dan sore itu terjadi kegemparan di kantor karena satu divisi dipecat tanpa rasa hormat, tanpa adanya pesangon. Ya, begitulah Max seorang atasan yang tak bisa mentolerir kesalahan sedikitpun.“Saya sudah memasang iklan di beberapa tempat. Dan saat ini ada beberapa CV yang sudah masuk. Apakah Tuan ingin memeriksanya?” tawar Jerry.Max mengangkat tangannya tanpa ingin tahu. “Saya serahkan semua itu padamu.” Ia membuka laptop miliknya. “Katakan jadwalku setelah ini apa saja?”“Siang nanti ada pertemuan kliyen yang berasal dari Jerman....” Jerry membacakan susunan jadwal yang sudah ia tulis di Ipad-nya.“Baiklah, persiapkan semuanya.” Max menghentikan gerakan jarinya sejenak. “Dalam bulan ini adakah hari khusus yang harus aku hadiri?”Jerry mengangguk. “Ada beberapa undangan jamuan bisnis. Dan menurut saya yang paling terpenting dua Minggu yang akan datang, karena ini menyangkut tentang pembahasan kenaikan saham dengan para dewan. Tuan, perlukah saya carikan perempuan pendamping untuk anda?”Max mengangguk sejenak. “Boleh. Apakah kamu ada saran? Jangan yang manja dan terus merengek untuk dinikahi.”“Bagaimana dengan Nona Monica?”Max menggeleng. “Aku tidak suka, terlalu ambisius dan genit.”“Nona Marina?”Max kembali menggeleng. “Perempuan itu kurang mempunyai etika. Saya tidak suka.”Jerry menghela napasnya berat. Pusing memikirkan kriteria pasangan untuk sang atasan. Kadangkala ia berpikir mengapa atasannya tak menikah saja, hingga saat adanya acara, ia tidak perlu pusing memikirkan pendamping untuknya. “Bagaimana dengan perempuan yang waktu itu di kamar anda?” tanya Jerry dengan spontan membuat gerakan Max terhenti. Otaknya langsung berpikir tentang pergumulan panasnya dengan perempuan itu.“Namanya Valerie Angelica, berusia 21 tahun. Berprofesi sebagai kasir minimarket, dan kadang kala mengambil kerjaan paruh waktu sebagai pelayan pesta. Tinggal bersama Ibu tiri dan dua saudara tirinya.” Jerry semakin antusias menjelaskan sosok Valerie, tak memperdulikan tatapan kesal sang atasan. “Maksud saya hanyalah. Itu jika anda ingin tahu tentangnya, Tuan.”Terdengar dengusan tak sopan dari bibir Max. “Memangnya aku tanya tentang perempuan itu?” tanya Max cuek.Jerry mengangkat kedua bahunya. “Hanya memberi tahu, Tuan. Dan saya juga heran kenapa anda tidak mengusut tuntas masalah itu. Bukankah saat itu anda mengatakan pada Nona Valerie akan menyelidikinya.”“Kau sudah melakukannya, dan hasilnya nihil kan. Orang yang melakukan hal ini adalah orang yang cukup cerdik. Dan aku hanya memintamu untuk tetap memantau wanita itu. Aku heran sejauh ini, kenapa dia tidak menggunakan cek yang aku berikan.””Dia adalah satu-satunya perempuan yang tidak memandang anda dengan uang.” Jerry tersenyum jumawa, ada rasa kagum pada sosok gadis polos yang pernah bersama atasannya tersebut. Wajahnya tetap cantik meski tanpa polesan make up yang berlebih, ia rasa perempuan itu cocok dengan atasannya.****“Vale, mana sarapannya!!” teriak Cherry dan Berry bebarengan dari meja makan pada pagi hari. Namun, tak ada sahutan dari Valerie. Merekapun bergegas menghampirinya ke dapur.“Kamu itu tuli ya sejak tadi kamu sudah memanggilmu!” sergah Berry dengan wajah marah. “Mana sarapan kami,” lanjutnya.“Belum siap.” Valerie menjawab dengan lemah. Entah kenapa beberapa hari belakangan ini kepalanya berdentam menyakitkan.“Terus dari tadi kamu ngapain saja?” bentak Cherry memandang ke arah tangan Valerie yang tengah memotong sayuran. “Masa baru mulai sih. Kamu mau buat kami mati kelaparan ya!”“Bisa jadi itu lebih baik.”“Heh!” Cherry langsung menarik rambut Valerie. “Anak haram sialan! Berani sekali kamu manggil menyumpahi kami mati!”“Lepaskan!” Valerie mencoba melepaskan cengkraman tangan Cherry di rambutnya. “Kalau kalian gak sabar. Ya sudah kalian bisa masak sendiri kan.”“Aku adukan sama Mama biar tahu rasa!” ancam Berry sebelum kemudian berteriak memanggil Mamanya. “Mama......”Huek!Tiba-tiba Valerie merasa perutnya bergejolak dengan hebat, bergegas ia berlari ke wastafel memuntahkan isi perutnya yang ternyata hanya berisi cairan kuning. Hal itu membuat Berry dan Cherry pun cukup terkejut, keduanya saling beradu pandang, seolah menggumamkan perkataan yang sama.“Kalian ini ada apa sih pagi-pagi ribut terus?” Martha tiba-tiba datang dengan wajah kusutnya khas bangun tidur.“Ini ma...”Huek! Huek!!Ucapan Cherry terhenti karena Valerie terus muntah-muntah, membuat pandangan semua orang kini mengalih padanya.“Hei, kenapa kamu?!” Martha mendekati dirinya dengan wajah marah.Valerie buru-buru membasuh mukanya. “Aku merasa gak enak badan, Ma. Sepertinya masuk angin,” katanya berusaha menahan rasa mualnya.Huek!“Halah bilang saja kalau kamu hamil,” celetuk Berry tiba-tiba membuat semuanya terkejut tak terkecuali Valerie.Hamil? Seketika otaknya langsung berputar memori di hotel satu bulan yang lalu dengan Max. Wajahnya langsung memucat, berusaha menyangkal praduga kakak tirinya itu.“Hamil! Kamu hamil sama siapa?” tanya Martha mendesak. Namun, Valerie hanya terpaku dengan wajah pucatnya.Suasana ballroom hotel bintang lima itu terlihat ramai, lalu lalang orang-orang berpakaian mewah hilir mudik kesana kemari. Bisik-bisik obrolan bisnis pun terdengar. Valeria dan Zenata sibuk menghidangkan menu, sesekali mengantarkan minuman saat ada seseorang yang memerintahkannya. “Vale. Tuan yang di sebelah sana minta minuman, tolong kamu antarkan ya. Soalnya aku juga mau ke sebelah sana,” kata Zenata sambil menunjuk ke arah kerumunan orang-orang yang duduk bagian barat.“Baik.” Valerie mulai menata minuman ke dalam nampannya, lalu membawanya di tengah jalan ia menghentikan langkahnya, saat kepalanya tiba-tiba berdentam menyakitkan. “Vale, kenapa?” Pertanyaan rekan kerjanya membuat ia tersadar. “Aku tidak apa-apa,” kilahnya. Ia kembali melanjutkan langkahnya. Memaksakan diri jika ia baik-baik saja, meski sejak kemarin ia merasa tubuhnya tak baik-baik saja. “Permisi Tuan-tuan ini minumannya.” Ia menyapa, mereka yang berada di sana. Detik berikutnya matanya terbelalak, tubuhnya gem
“Apa?!” pekikan gadis berambut merah itu seketika memenuhi ruangan. Seketika tubuhnya terasa lemas tak bertenaga. Matanya masih melotot, memperlihatkan betapa ia sangat terkejut akan ucapan kakaknya tersebut. “Kakak pasti bercanda kan?” lanjutnya. Kepalanya menggeleng dengan kuat, seolah kenyataan yang ia dengar hanyalah sebuah ilusi. “Sejak kapan aku suka bercanda, Gracia!” tegas Max penuh penekanan. Ia bisa melihat sorot keseriusan dalam mata kakak tirinya tersebut. Tidak ada jawaban darinya, bibirnya terasa kelu untuk mengeluarkan sepatah kata. Matanya beralih memindai tubuh Valerie dengan intens. Tidak ada yang spesial menurutnya gadis itu hanyalah gadis biasa. Penampilannya bahkan terkesan sangat sederhana. Bagaimana bisa kakaknya terjerat pada seorang gadis yang jauh dari kriterianya. “Bagaimana bisa, Kak? Apa yang membuat kakak menikahinya,” tanyanya lirih. Meski ia terasa terkejut, dan marah. Namun, sebisa mungkin ia harus pandai mengendalikan diri. “Dia tengah mengandung an
Setelah memastikan Valerie mendapatkan penanganan yang terbaik di rumah sakit. Jerry kembali masuk ke dalam mobil di mana sang Tuan sudah menunggu. “Apa yang terjadi dengannya?” tanya Max dingin. Namun, Jerry bisa menangkap kekhawatiran dari wajahnya. “Anda mengkhawatirkannya, Tuan?” “Apa yang kau katakan. Aku tidak peduli dengannya,” seloroh Max marah membuang pandangannya ke arah jendela dengan menatap lobi rumah sakit tersebut. Membuat pria yang mulai mengemudikan mobil meninggalkan kawasan rumah sakit itu hampir tertawa lepas. Meski sang atasan mengatakan tidak tapi berbanding terbalik dengan suasana hatinya. Ia bahkan bisa menangkap gerakan salah tingkah dari gelagatnya. Hanya saja ia tahu, Max bukan orang yang pandai mengekpresikan semua itu. Max terdiam gusar pikirannya mengembara pada kejadian pagi tadi saat hendak sarapan. Kedatangan Sarah yang memberitahukan bahwa Valerie pingsan cukup membuat ia merasa cemas. Terlebih saat melihat kondisinya dengan wajah pucat, tanganny
Ballroom Hotel Grand Luxury Buana itu terlihat mewah. Sang penyelenggara pesta tak main-main dalam menyajikan acara tersebut. Tamu berbagai kalangan atas, dan berpakaian mewah lalu lalang silih berganti. Max masuk dengan langkah tegap dan berwibawa. Dengan jas resmi yang dipadukan dengan kemeja biru navy di dalamnya menambah ketampanannya kian memancar. Rahang tegas dengan bola mata berwarna biru itu seketika berhasil menjadi pusat perhatian kaum wanita. Tak terkecuali dengan Monica sang pemilik pesta tersebut. Perempuan bergaun merah menyala dengan potongan dada yang rendah itu tampak terpukau, hingga menelan ludahnya secara susah. Otaknya seketika berkeliaran, bagaimana jika ia berhasil menyandarkan dan mengusap dada bidang pria itu saat tanpa sehelai pakaian. Itu pasti akan menjadi momen yang tidak akan terlupakan. Dengan langkah elegan ia mengambil satu gelas bear lalu ia bawa ke hadapan Max yang saat itu tengah terlibat obrolan bersama Tuan Jhonson.“Max inikah kau,” sapanya den
Mobil Lexus hitam membelah jalan raya yang cukup padat Malam kian beranjak tapi pesta belum juga selesai. Ia yang merasa sudah bosan memilih pamit undur diri, pun ia merasa jengah dengan tingkah keagresifan sang pemilik pesta. Klakson mobil terdengar bingar mengesalkan, sekesal suasana hati Max saat ini.“Kau tahu apa yang dikatakan Monica di pesta tadi, Jerry.” Pria bertubuh kekar dalam balutan jas resmi itu membuka obrolan, membuat Jerry yang tengah mengemudikan mobilnya itu menatap ke arahnya dari balik spion mobilnya dengan penasaran.“Tidak tahu, Tuan.”Max mengendurkan dasinya, melepaskan satu kancing kemejanya, lalu menghela napas berat. “Dia melamarku,” katanya kemudian membuat Jerry cukup terkejut.“Luar biasa.” Sang asisten berdecak kagum sekaligus heran. Dengusan menyebalkan terdengar dari bibir Max. “Dia mengancamku akan melakukan apapun. Jika, aku tidak menerima lamarannya.”Pria yang sudah beberapa tahun bersama dengan Max itu bahkan sampai melongo mendengarnya, bahkan
“Apa yang kau lakukan?”Suara bariton dari ambang pintu mengejutkan keduanya. Kedua tangan Gracia yang kini berada di atas pundak Valerie, ingin mencekik lehernya terhenti dan ia tarik kembali. “Kakak...” “Sedang apa kau di sini, Gracia?” Max melangkah ke arah keduanya dengan tatapan dingin. Namun, terasa mengintimidasi. Wajah Valerie masih pucat, tangannya terasa dingin tapi tak ia pungkiri kehadiran Max membuatnya lega, jika saja pria itu tidak datang entah apa yang akan terjadi pada dirinya. Bisa jadi ia hanya tinggal nama. “Kenapa kakak mesti bertanya. Tentu saja aku di sini ingin menjenguk kakak ipar dan calon keponakanku, Kak.” Gadis berambut merah itu beralih menoleh ke arah Valerie dengan tersenyum. Namun, Valerie bisa menangkap senyum mengerikan dari wajahnya, seakan-akan tengah memberi sebuah ancaman. “Pagi tadi aku ke rumah, Kakak. Tapi aku tidak bertemu dengan kalian, pelayan bilang jika kakak ipar di rawat di sini. Untuk itulah aku kemari.”Max mengangguk kecil dengan m
“Berani sekali kalian mendorongnya! Kalian cari mati ya!”Suara bariton itu membuat semua terkejut, tak terkecuali Valerie, ia tak menyangka jika Jerry berada di sana. Padahal ia datang hanya bersama sopir dan Sarah, itupun ia hanya memintanya menunggu di gang. “Kamu siapa?” tanya Martha sinis. Sementara kedua saudara tiri Valerie saling berpandangan bingung. “Tidak penting kalian tahu siapa saya. Yang perlu kalian tahu hanyalah jangan pernah menyakiti atau menyentuh seujung kuku pun Nona Valerie. Atau kalian akan berhadapan dengan saya!” sergah Jerry menatap satu persatu keluarga istri atasannya itu dengan tajam penuh ancaman.“Urusan kami hanya dengan Valerie. Kamu orang luar tidak berhak ikut campur urusan kami!” kekeh Martha menatap Valerie dengan kesal. Lalu beralih menoleh pada kedua anaknya, lewat matanya ia memberi kode untuk melakukan niatnya, yaitu meminta uang. “Cepat berikan kami uang!” Cherry dengan cepat meraih tangan Valerie. Begitu juga dengan Berry yang baru saja in
“Maaf saya terlambat.” Suara itu membuat keduanya menoleh, mendapati Valerie berdiri tak jauh dari mereka dengan gaun malam yang menjuntai ke bawah. Namun, tetap terkesan elegan. Wajahnya di poles dengan make up yang tak terlalu berlebihan, terkesan sederhana. Bibirnya yang sore tadi Max lihat terlihat pucat, kini di poles dengan lipbalm berwarna merah muda, rambut panjangnya di gulung rapi. Jerry menahan senyumnya melihat cara tuannya menatap sang istri dengan intens, tatapan yang tak pernah ia lihat saat Max menatap gadis lain. Bertahun-tahun ia mendampingi Max kemanapun pria itu pergi, tentu saja ia sedikit mengetahui gaya Max. Dan menurutnya kali ini ada yang tak biasa, dari cara Max menatap Valerie. Ia yakin tuannya itu telah terpesona dengan perempuan itu. Di tatap sedemikian rupa oleh sang suami, tentu saja membuat Valerie merasa gugup tak karuan. Saat matanya bertabrakan dengan Max, ia langsung menundukkan kepalanya menatap ke arah lantai.“Ehem!” Jerry sengaja berdeham d