Share

Bab 4. Kamu Hamil?

Anderson Corp

Brakkkkk!!!!!

Max menggebrak mejanya setelah membaca dokumen di hadapannya, membuat Jerry terkejut. Tak hanya itu bahkan lelaki itu melemparkan dokumen itu tepat di bagian kepala divisi pemasaran.

“Ampun Tuan... Saya benar-benar minta maaf.” Lelaki setengah baya itu meluruhkan tubuhnya di hadapan Max memohon ampun karena telah ketahuan melakukan korupsi.

“Tidak ada ampun bagimu. Saya tidak membutuhkan karyawan yang tidak jujur!” Max melipatkan kedua tangannya di dada. Mengibaskan kakinya yang tengah dipeluk oleh lelaki itu. “Jerry pecat semua orang-orang yang terlibat di dalamnya, tanpa rasa terhormat. Blacklist nama mereka semua.”

“Ampun Tuan... Saya mohon. Kasihani keluarga kami.”

Sang pemilik mata biru itu memandang ke arah lelaki itu dengan bengis. “Saat kamu melakukan tindakan korupsi. Pernahkah kamu berpikir apa akibatnya? Bagaimana nasib perusahaan saya, serta karyawan-karyawan saya. Ingat setiap perbuatan pasti akan ada ganjarannya. Nikmati saja, karmamu. Masih untung saya tidak menjebloskan dirimu ke penjara!!”

Max mengibaskan tangannya dengan dengan gerakan mengusir. Tak berapa lama ada dua tim keamanan yang masuk lalu menyeret lelaki itu keluar.

Dan sore itu terjadi kegemparan di kantor karena satu divisi dipecat tanpa rasa hormat, tanpa adanya pesangon. Ya, begitulah Max seorang atasan yang tak bisa mentolerir kesalahan sedikitpun.

“Saya sudah memasang iklan di beberapa tempat. Dan saat ini ada beberapa CV yang sudah masuk. Apakah Tuan ingin memeriksanya?” tawar Jerry.

Max mengangkat tangannya tanpa ingin tahu. “Saya serahkan semua itu padamu.” Ia membuka laptop miliknya. “Katakan jadwalku setelah ini apa saja?”

“Siang nanti ada pertemuan kliyen yang berasal dari Jerman....” Jerry membacakan susunan jadwal yang sudah ia tulis di Ipad-nya.

“Baiklah, persiapkan semuanya.” Max menghentikan gerakan jarinya sejenak. “Dalam bulan ini adakah hari khusus yang harus aku hadiri?”

Jerry mengangguk. “Ada beberapa undangan jamuan bisnis. Dan menurut saya yang paling terpenting dua Minggu yang akan datang, karena ini menyangkut tentang pembahasan kenaikan saham dengan para dewan. Tuan, perlukah saya carikan perempuan pendamping untuk anda?”

Max mengangguk sejenak. “Boleh. Apakah kamu ada saran? Jangan yang manja dan terus merengek untuk dinikahi.”

“Bagaimana dengan Nona Monica?”

Max menggeleng. “Aku tidak suka, terlalu ambisius dan genit.”

“Nona Marina?”

Max kembali menggeleng. “Perempuan itu kurang mempunyai etika. Saya tidak suka.”

Jerry menghela napasnya berat. Pusing memikirkan kriteria pasangan untuk sang atasan. Kadangkala ia berpikir mengapa atasannya tak menikah saja, hingga saat adanya acara, ia tidak perlu pusing memikirkan pendamping untuknya. “Bagaimana dengan perempuan yang waktu itu di kamar anda?” tanya Jerry dengan spontan membuat gerakan Max terhenti. Otaknya langsung berpikir tentang pergumulan panasnya dengan perempuan itu.

“Namanya Valerie Angelica, berusia 21 tahun. Berprofesi sebagai kasir minimarket, dan kadang kala mengambil kerjaan paruh waktu sebagai pelayan pesta. Tinggal bersama Ibu tiri dan dua saudara tirinya.” Jerry semakin antusias menjelaskan sosok Valerie, tak memperdulikan tatapan kesal sang atasan. “Maksud saya hanyalah. Itu jika anda ingin tahu tentangnya, Tuan.”

Terdengar dengusan tak sopan dari bibir Max. “Memangnya aku tanya tentang perempuan itu?” tanya Max cuek.

Jerry mengangkat kedua bahunya. “Hanya memberi tahu, Tuan. Dan saya juga heran kenapa anda tidak mengusut tuntas masalah itu. Bukankah saat itu anda mengatakan pada Nona Valerie akan menyelidikinya.”

“Kau sudah melakukannya, dan hasilnya nihil kan. Orang yang melakukan hal ini adalah orang yang cukup cerdik. Dan aku hanya memintamu untuk tetap memantau wanita itu. Aku heran sejauh ini, kenapa dia tidak menggunakan cek yang aku berikan.”

”Dia adalah satu-satunya perempuan yang tidak memandang anda dengan uang.” Jerry tersenyum jumawa, ada rasa kagum pada sosok gadis polos yang pernah bersama atasannya tersebut. Wajahnya tetap cantik meski tanpa polesan make up yang berlebih, ia rasa perempuan itu cocok dengan atasannya.

****

“Vale, mana sarapannya!!” teriak Cherry dan Berry bebarengan dari meja makan pada pagi hari. Namun, tak ada sahutan dari Valerie. Merekapun bergegas menghampirinya ke dapur.

“Kamu itu tuli ya sejak tadi kamu sudah memanggilmu!” sergah Berry dengan wajah marah. “Mana sarapan kami,” lanjutnya.

“Belum siap.” Valerie menjawab dengan lemah. Entah kenapa beberapa hari belakangan ini kepalanya berdentam menyakitkan.

“Terus dari tadi kamu ngapain saja?” bentak Cherry memandang ke arah tangan Valerie yang tengah memotong sayuran. “Masa baru mulai sih. Kamu mau buat kami mati kelaparan ya!”

“Bisa jadi itu lebih baik.”

“Heh!” Cherry langsung menarik rambut Valerie. “Anak haram sialan! Berani sekali kamu manggil menyumpahi kami mati!”

“Lepaskan!” Valerie mencoba melepaskan cengkraman tangan Cherry di rambutnya. “Kalau kalian gak sabar. Ya sudah kalian bisa masak sendiri kan.”

“Aku adukan sama Mama biar tahu rasa!” ancam Berry sebelum kemudian berteriak memanggil Mamanya. “Mama......”

Huek!

Tiba-tiba Valerie merasa perutnya bergejolak dengan hebat, bergegas ia berlari ke wastafel memuntahkan isi perutnya yang ternyata hanya berisi cairan kuning. Hal itu membuat Berry dan Cherry pun cukup terkejut, keduanya saling beradu pandang, seolah menggumamkan perkataan yang sama.

“Kalian ini ada apa sih pagi-pagi ribut terus?” Martha tiba-tiba datang dengan wajah kusutnya khas bangun tidur.

“Ini ma...”

Huek! Huek!!

Ucapan Cherry terhenti karena Valerie terus muntah-muntah, membuat pandangan semua orang kini mengalih padanya.

“Hei, kenapa kamu?!” Martha mendekati dirinya dengan wajah marah.

Valerie buru-buru membasuh mukanya. “Aku merasa gak enak badan, Ma. Sepertinya masuk angin,” katanya berusaha menahan rasa mualnya.

Huek!

“Halah bilang saja kalau kamu hamil,” celetuk Berry tiba-tiba membuat semuanya terkejut tak terkecuali Valerie.

Hamil? Seketika otaknya langsung berputar memori di hotel satu bulan yang lalu dengan Max. Wajahnya langsung memucat, berusaha menyangkal praduga kakak tirinya itu.

“Hamil! Kamu hamil sama siapa?” tanya Martha mendesak. Namun, Valerie hanya terpaku dengan wajah pucatnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status