Share

Bab 6. Dia Tengah Mengandung Anakku!!

“Apa?!” pekikan gadis berambut merah itu seketika memenuhi ruangan. Seketika tubuhnya terasa lemas tak bertenaga. Matanya masih melotot, memperlihatkan betapa ia sangat terkejut akan ucapan kakaknya tersebut. “Kakak pasti bercanda kan?” lanjutnya. Kepalanya menggeleng dengan kuat, seolah kenyataan yang ia dengar hanyalah sebuah ilusi.

“Sejak kapan aku suka bercanda, Gracia!” tegas Max penuh penekanan. Ia bisa melihat sorot keseriusan dalam mata kakak tirinya tersebut. Tidak ada jawaban darinya, bibirnya terasa kelu untuk mengeluarkan sepatah kata. Matanya beralih memindai tubuh Valerie dengan intens. Tidak ada yang spesial menurutnya gadis itu hanyalah gadis biasa. Penampilannya bahkan terkesan sangat sederhana. Bagaimana bisa kakaknya terjerat pada seorang gadis yang jauh dari kriterianya.

“Bagaimana bisa, Kak? Apa yang membuat kakak menikahinya,” tanyanya lirih. Meski ia terasa terkejut, dan marah. Namun, sebisa mungkin ia harus pandai mengendalikan diri.

“Dia tengah mengandung anakku!”

Jawaban dari Max membuat Gracia terkejut. Bumi yang ia pijak seolah runtuh dalam seketika. Tubuhnya mundur ke belakang, tangannya memegang ujung meja, menekannya dengan kuat. Ia berusaha menebak-nebak apa yang terjadi sebenarnya. Seketika ia teringat dengan rencana jahat yang ia susun satu bulan yang lalu, hingga ia bisa menebak kemana akhirnya alur tersebut.

“Jadi, kamu.....” Gadis itu mengarahkan jadi telunjuknya ke arah Valerie dengan tatapan tajamnya.

“Kenapa, Gracia?”

Suara dingin Max mengurungkan niatnya. Seketika bibirnya tertarik ke atas membentuk sebuah senyuman. “Tidak apa-apa, Kak. Aku hanya senang karena pada akhirnya kakak memutuskan untuk menikah.”

Max hanya mendengus kesal. Tanpa berniat membalas ucapan Gracia. Matanya beralih menatap ke arah Valerie yang sejak tadi hanya diam menunduk.

“Sarah, tolong antarkan Nona Valerie ke kamarnya.” Max berteriak.

Seorang perempuan berseragam biru muda datang menyongsong. “Baik Tuan.” Dia mengangguk patuh. “Mari nona,” lanjutnya.

Valerie terpaku sejenak, mengangkat wajahnya menatap ke arah Max. Di depannya tampak Gracia mengepalkan kedua tangannya, memandang Valerie dengan tajam.

“Pergilah dengannya.” Max menggerakkan tangannya dengan gerakan mengusir Valerie.

Sarah menggiring Valerie lewat tangga menuju kamarnya. Saat tiba di tengah anak tangga keduanya menghentikan langkahnya mendengar suara Max yang menggelegar. “Sarah hati-hati. Dia sedang hamil!”

“Baik Tuan.”

Valerie mengusap perutnya yang rata mendengar hal tersebut. Sadar jika kepedulian Max hanya sebatas anak dalam kandungannya. Lalu pernikahan ini apa? Kenapa dia mesti bingung dan sibuk menerka-nerka, sudah jelas semua terjadi hanya demi anak dalam kandungannya. Tak seharusnya ia berharap lebih. Seharusnya ia cukup bersyukur. Nasib anak itu tidak akan seperti dirinya yang menderita. Kelak buah hatinya akan jauh lebih bahagia, karena Max mengakuinya. Meski ia sendiri tidak tahu bagaimana akhir dari pernikahan ini.

“Ini kamarnya, Nona.” Sarah membuka pintu kamar tersebut mengantarkan Valerie masuk. Perempuan itu terpukau akan kemewahan kamar tersebut. “Silakan berisitirahat, Nona. Jika membutuhkan sesuatu anda bisa memanggil saya.”

“Terima kasih.”

Sepeninggal pelayan itu, ia duduk di bibir ranjang. Tangannya meraba ranjang mewah yang tampak halus itu. Ekor matanya kembali bergerak menyapu ruangan yang terasa luas tersebut. Ia benar-benar tidak menyangka, jika dalam sekejap ia berubah menjadi seorang istri seorang konglomerat. Namun, ada ketakutannya yang mendera. Tentang latar belakang keduanya yang saling bertolak belakang. Ia hanyalah gadis miskin yang terjebak belenggu pernikahan karena adanya calon buah hati mereka. Sedangkan, Max seorang pembisnis hebat, yang sangat disegani. Ia yakin di luaran sana ada jutaan perempuan yang menginginkan lelaki itu. Untuk itu wajar saja, jika laki-laki mengatakan pernikahan ini hanya sebatas untuk anak yang dalam kandungannya.

Memikirkan hal itu membuat kepala Valerie pusing, dan berdentam menyakitkan. Ia ingat terakhir makan pada jatah makan terakhir di sore hari. Dan sekarang ia merasa lapar, tapi terasa enggan untuk memanggil pelayan. Tubuhnya terasa lelah, bisa jadi karena tadi sibuk memburu waktu untuk melarikan diri dari rumah sakit. Seketika ia teringat pada sahabatnya. Bagaimana keadaannya? Zenata pasti sangat ketakutan melihat ia masuk ke mobil Max. Ia berdiri mencari ponsel miliknya. Namun, tak ia temukan. Bagaimana ia bisa lupa. Jika semua barangnya ada pada sahabatnya, dan ia masuk ke dalam rumah ini tanpa membawa barang apapun. Valerie tertunduk lesu, kepalanya semakin pusing. Belum lagi lengannya yang terasa begitu pegal, akibat jarum infus yang ia cabut secara paksa.

Sementara di bawah Gracia terpaku, masih tak percaya akan apa yang sebenarnya terjadi.

”Ada apa kau kemari?” tanya Max dengan datar.

“Tentu saja aku kangen denganmu, Kak. Kau tahu aku baru pulang dari Singapura. Dan kedatanganku kemari ingin memberimu kejutan. Tapi, ternyata justru aku yang mendapatkan kejutan.” Dia kembali bergelayut manja di lengan Max. Namun, pria itu menepisnya pelan, membuatnya kecewa.

“Pulanglah, aku lelah.”

Gracia hampir tak percaya mendapatkan usiran dari Max. “Aku baru datang, Kak. Tega sekali kau mengusirku. Dan soal tadi? Kakak berhutang penjelasan padaku.”

“Apa?”

“Tentang gadis itu.”

”Namanya Valerie.”

”Aku tidak menanyakan namanya. Yang ingin ku tahu, bagaimana kakak bisa menikahinya? Apa Mama dan Papa tahu?”

“Tidak!” jawab Max cepat. Terdiam sejenak ingatannya kembali melayang akan kejadian panas di hotel satu bulan yang lalu. “Seseorang menjebakku, hingga akhirnya aku menghamili gadis itu. Aku berjanji jika aku menemukan pelakunya, tidak akan ada ampun baginya,” ancamnya kemudian. Wajahnya memerah, menahan amarah, tangannya mengepal. Mengingat kejadian yang sampai detik ini tak juga ia dapatkan siapa dalangnya.

Tak sadar Gracia menelan ludahnya, seketika rasa gugup mendera. Keringat dingin meluncur membasahi keningnya. Tak ingin gelagatnya terbaca oleh Max, ia pun berpamitan pulang. Dalam perjalanan ia berkali-kali mengumpat marah. “Sial!!”

Keesokan harinya Max dan Jerry tengah melakukan sarapan bersama. Asistennya Max tampak memindai ruangan itu seperti mencari seseorang. “Di mana Nona Valerie, Tuan?” tanyanya kemudian.

Gerakan tangan Max terhenti, seketika ia sadar jika di rumah itu ada penghuni lain. “Sarah panggilkan Nona Valerie untuk sarapan.”

“Baik Tuan.”

Jerry menggelengkan kepalanya akan tingkat ketidakpedulian atasannya tersebut. “Nona Valerie itu tengah hamil, Tuan. Seharusnya anda mulai lebih peduli dengannya.”

Max mendengus, menatap tajam ke arah Jerry. “Kau pikir pekerjaanku hanya mengurusi dirinya!” selorohnya membuat Jerry tak lagi bisa berkata. Hingga kedatangan Sarah yang tergopoh-gopoh membuat keduanya merasa heran.

“Di mana dia?” tanya Max dingin.

“Tuan, Nona... Nona Valerie....”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Iin Romita
Bikin deg degan thur.. nextt... Gracia,, ada sesuatu dengan mu ya Nona .
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status