Suasana ballroom hotel bintang lima itu terlihat ramai, lalu lalang orang-orang berpakaian mewah hilir mudik kesana kemari. Bisik-bisik obrolan bisnis pun terdengar. Valeria dan Zenata sibuk menghidangkan menu, sesekali mengantarkan minuman saat ada seseorang yang memerintahkannya.
“Vale. Tuan yang di sebelah sana minta minuman, tolong kamu antarkan ya. Soalnya aku juga mau ke sebelah sana,” kata Zenata sambil menunjuk ke arah kerumunan orang-orang yang duduk bagian barat.“Baik.” Valerie mulai menata minuman ke dalam nampannya, lalu membawanya di tengah jalan ia menghentikan langkahnya, saat kepalanya tiba-tiba berdentam menyakitkan.“Vale, kenapa?”Pertanyaan rekan kerjanya membuat ia tersadar. “Aku tidak apa-apa,” kilahnya. Ia kembali melanjutkan langkahnya. Memaksakan diri jika ia baik-baik saja, meski sejak kemarin ia merasa tubuhnya tak baik-baik saja.“Permisi Tuan-tuan ini minumannya.” Ia menyapa, mereka yang berada di sana. Detik berikutnya matanya terbelalak, tubuhnya gemetar melihat Max berada di antaranya. Begitu juga dengan lelaki itu yang tak mengira jika akan kembali bertemu dengan gadis itu. Wajahnya langsung menegang, namun dalam waktu sesaat mampu menguasai diri, bersikap semua baik-baik saja.“Kenapa masih di situ? Kemarikan minumannya,” sergah Max membuat Valerie tersadar dengan cepat ia berusaha mengendalikan dirinya. Meski tangannya tampak berkeringat dingin, ia mulai meletakkan minumannya. Hingga ucapan terima kasih ia dengar dari beberapa orang di sana. “Pergilah,” usir Max kemudian.Valerie mengangguk sebagai tanda hormat, memutar tubuhnya berkali-kali menekan dadanya yang berdegup kencang, juga tubuhnya yang terasa gemetar, bahkan ia merasa suhu tubuhnya langsung naik begitu saja. Keringat dingin langsung membanjiri keningnya, tiba-tiba pandangannya buram seiring tubuhnya yang melemas tak bertenaga. Ia terjatuh pingsan mengejutkan kerumunan orang-orang di sana.Beberapa jam kemudian Valeria yang masih terduduk lemah di atas brankar tersenyum getir mengusap perutnya. Ia benar-benar tidak mengira jika akibat cinta satu malam itu ia akan mengandung. Ketakutan jelas menyergap dirinya, mengingat benih siapa yang kini ada dalam rahimnya.“Valerie.” Pintu terbuka Zenata masuk menghampiri dirinya. “Apa yang terjadi denganmu?”Valerie hanya menggelengkan kepalanya tersenyum getir.“Anak siapa yang kau kandung, Vale? Apa yang terjadi? Apa kau diperkosa? Siapa yang melakukan hal ini.” Zenata terus mencecar sahabatnya tersebut, wajahnya memperlihatkan penuh kekhawatiran.Valeria menunduk lidahnya terasa kaku tak mampu menjawab. Rasa dilema menyergap, haruskah ia menceritakan keadaan sesungguhnya. Sedangkan ia sudah berjanji pada Max jika tidak akan membocorkan kejadian malam itu. “Aku... Aku tidak tahu.”Zenata terdiam merasa sedih mendengarnya, melihat sahabatnya terlihat tertekan. Meski ia meyakini ada yang tidak beres, namun ia tidak bisa memaksa. “Baiklah, lalu apa yang akan kau lakukan setelah ini?”Valerie terdiam matanya menerawang seolah tengah mengajak otaknya berpikir. “Aku akan pergi dari kota ini.”“Kamu yakin?”Valerie mengangguk. “Setelah dokter mengatakan aku sehat. Aku akan langsung pergi, Zena.”“Kemana?”“Entahlah.”“Baiklah, aku mendukung apapun keputusanmu. Sekarang aku pulang dulu, nanti aku akan kemari membawakanmu pakaian ganti.”Ceklek!“Kenapa kembali, Ze? Apa yang kau lupa....” Valerie tak melanjutkan ucapannya ketika melihat siapa yang kini masuk ke ruangannya. “Tu—tuan Max,” lanjutnya lirih seketika tubuhnya kembali gemetar, apalagi saat manik biru milik lelaki itu menatap dirinya dengan pandangan tajam.“Saya tunggu di luar, Tuan.” Jerry mengundurkan diri dari sana.Max melipatkan kedua tangannya di dada dengan pandangan yang terus menghunus Valerie. Seketika ruangan itu terasa mencekam. “Kau yakin anak yang dalam rahimmu itu anakku?” tanyanya to the point.Valerie mengangkat wajahnya, tak mengira lelaki itu langsung mengetahui dirinya hamil. Ah, seketika ia lupa siapa Max dengan jentikan jari ia pun bisa mengetahui apa saja. “Iya, Tuan.”Max mendesis kesal. “Kau yakin? Tidakkah setelah itu pun kau melakukannya dengan pria lain,” katanya meragu meski ia lah yang merenggut kesucian perempuan itu.“Saya yakin, Tuan.” Valerie menjawab dengan sangat yakin. “Saya bukan perempuan yang menjajakan tubuh pada sembarang pria,” lanjutnya membela diri seolah tidak terima Max meragukan dirinya.“Kamu membohongi saya. Kamu bilang tidak akan mungkin hamil, nyatanya....” Max mendesah resah menatap Valerie dengan pandangan jengkel.“Saya juga tidak tahu, Tuan.” Valerie menunduk merasa hidupnya tiba-tiba terasa suram. Sejak kecil kehadirannya tidak diinginkan oleh orang-orang terdekatnya, dan kini tiba-tiba ia hamil di luar pernikahan, akankah sang buah hati mengalami nasib yang serupa. Tak sadar tangannya bergerak meraba perutnya, di mana calon buah hatinya tumbuh“Baiklah aku akan bertanggung jawab untuk itu, setelah kondisimu membaik aku akan membawamu keluar dari rumah sakit ini.” Max menjeda ucapannya sejenak. Memandang wajah Valerie yang tampak terkejut. “Jangan berpikir untuk melarikan diri dengan membawa anakku. Jika itu kamu lakukan kamu tahu apa yang akan aku lakukan. Nyawamu taruhannya,” lanjutnya mengancam lalu berbalik pergi dari sana. Meninggalkan Valerie yang menelan salivanya secara susah.“Jery pindahkan perempuan itu ke ruangan VVIP, dan minta dokter berikan pelayanan terbaik agar secepatnya pulih.” Max memberi perintah asistennya. Jery bertindak dengan cepat, membuat Valerie terkejut ketika terbangun ruangan sudah pindah, bahkan ia mendapatkan pelayanan yang sangat baik. Hal tersebut membuat Zenata pun merasa heran. Pada akhirnya Valerie pun terpaksa menceritakan kejadian sebenarnya, tentu saja Zenata terkejut. Tak mengira jika sahabatnya berurusan dengan lelaki itu.“Kau yakin akan melakukan ini, Vale?” tanya Zenata cemas. Pasalnya Valerie benar-benar ingin pergi meski kondisinya belum begitu pulih. Ya ia memutuskan untuk tetap meninggalkan kota ini dibandingkan harus berurusan dengan Max.“Aku yakin.”“Baiklah.”Usai membereskan barang-barangnya. Mereka meninggalkan ruangan tersebut. Mereka memutuskan pergi pada malam hari karena suasana akan terasa sepi, tanpa takut orang mencurigai. Dengan harap-harap cemas akhirnya mereka sampai di lobi.“Ingin pergi kemana, Nona?” tanya Jerry serius entah sejak kapan lelaki itu tiba-tiba sudah berada di sisi mereka. Valerie terdiam membisu, bola matanya bergerak dengan cepat, mencari alasan untuk terbebas dari jerat Jerry.“S—saya...”“Ehem, jangan coba-coba kau melarikan diri.” Suara bariton itu semakin membuat Valerie terkejut, bola matanya membelalak, saat melihat Max tiba-tiba muncul di belakang Jerry. “Mau kemana kamu?”“Tu—tuan Max.”“Mau kabur?” desisnya memicingkan matanya. “Jangan mimpi.” Max memberi kode pada Jery untuk membawa Valerie secara paksa. Tak memperdulikan Zenata yang berteriak meminta untuk melepaskan sahabatnya, juga Valerie yang memberontak.Beberapa menit kemudian, mobil yang ditumpangi Valerie berhenti tepat di depan sebuah gereja. Max meminta dirinya turun.“Tuan kenapa kita kemari?” tanya Valerie.“Kita akan menikah malam ini juga.” Max berkata tanpa menoleh ke arah Valerie yang tampak terkejut. “Cepetan turun! Pendeta sudah menunggu.”“A—aku...”“Jangan membuat kesabaranku habis, Nona.” Max menyeringai sambil menarik tangan Valerie membawanya masuk ke dalam gereja secara paksa. Di sana sudah ditunggu oleh dua pendeta yang akan menikahkan keduanya.Usai pembacaan janji suci pernikahan, dan keduanya telah dinyatakan sah menjadi suami istri. Max kembali menarik tangan Valerie keluar dari gereja. “Ingat, aku menikahimu hanya demi anak yang ada dalam perutmu. Jangan berharap lebih! Apalagi berpikir untuk melarikan diri dariku.”Mobil tiba di depan perumahan kawasan elit, Valerie dibuat tercengang karenanya. Di sela-sela kekagumannya, ia kembali tersentak ketika tangannya kembali ditarik Max keluar. Mereka melewati pintu utama yang sudah terbuka.“Kakak...” pekikan perempuan manja terdengar begitu Max datang. Namun, senyumnya langsung sirna ketika melihat kakak lelaki itu menggandeng seorang perempuan. “Siapa dia, Kak?”“Kakak iparmu,” jawabnya tanpa meragu.“Apa?!!”Lima tahun kemudian...Sebuah mobil hitam mengkilat datang dari arah jalanan, masuk ke dalam dan berhenti tepat di pintu masuk utama. Pintu belakang langsung terbuka secara otomatis.“Hati-hati sayang.”“Yes, Daddy.” Kedua bocah kecil yang masih mengenakan seragam sekolah itu langsung turun dari mobil dan diikuti oleh salah satu pengasuhnya. Max yang berada di sisi kursi kemudi pun langsung menyusulnya. Bibirnya melengkung membentuk senyuman melihat anak-anaknya terlihat begitu ceria saat pulang sekolah. Dante telah memasuki kelas satu sekolah dasar. Sementara Sena masih menduduki TK. Max merasa kehidupannya semakin bahagia. “Jangan lari...”“Mommy.... Mommy....” Mereka berteriak memanggil Mommy-nya. Ya seperti biasa saat pertama kali masuk rumah yang mereka cari pasti ibu kandungnya. “Berisik sekali ini bocah!” celetuk Dante.“Kamu juga. Ngapain ikut-ikutan teriak. Aku kan sedang manggil Mommy-ku."“Mommyku!"“Aku....”“Isshh kalian ini kenapa berisik sekali.” Perempuan hamil yang
Sembilan bulan kemudian...Seorang penjaga membukakan pintu gerbang saat sebuah mobil hitam mewah mengkilat datang dari arah jalanan. Ia pun mengangguk hormat pada sang majikan yang duduk di bagian kursi belakang kemudi.Mobil berhenti tepat di pintu masuk utama. Seorang pelayan berseragam biru muda datang menyongsong menyambut kedatangannya.“Selamat sore, Tuan?” sapanya penuh hormat.Max hanya menganggukkan kepalanya. Ia menyerahkan tas hitam yang baru saja ia ambil dari dalam mobil pada pelayan itu. “Bagaimana keadaan istri saya?" tanyanya sambil melangkah masuk dan tangannya bergerak untuk mengendurkan dasinya yang terasa mencekik lehernya.“Nyonya sudah baikan, Tuan.”“Oh. Sedang apa dia?” tanya Max karena biasanya Valerie paling antusias menyambutnya pulang begitu mendengar mobilnya tiba.“Nyonya sedang berada di taman belakang bersama Nyonya Zenata dan Tuan kecil.”Max hanya mengangguk dan berbelok ke pintu samping di mana istrinya berada. Dua hari tidak bertemu istrinya ia te
“Selamat ya Tuan. Nyonya Valerie positif mengandung.”Ucapan Dokter membuat keduanya pun terkejut. “Ha—hamil?”“Iya Tuan, Nyonya." Dokter Elia menunjukkan hasil tes pack di tangannya. “Dari hasil tes pack ini menunjukkan garis dua menunjukkan jika istri Anda positif hamil. Dan untuk mengetahui lebih lanjutnya, sebaiknya kita lakukan USG.”Valerie menurut, dan ia berbaring di atas brankar. Max berdiri persis di sisi istrinya, di mana dokter mulai mengoleskan gel bening di perutnya, dan melanjutkan ke tahap selanjutnya. “Nah ini bayinya Nyonya masih sebentuk kacang ya. Memasuki 6 Minggu ya, Nyonya.”Setelah mendengarkan penjelasan dari dokter dan mendapatkan beberapa vitamin. Keduanya pun langsung berpamitan pulang. “Aku masih tidak menyangka loh. Kok kamu hamil ya?"Valerie memutar bola matanya jengah. “Yaz jelas bisalah. Orang aku punya suami. Kamu tidak ingat kalau aku tidak tidak kontrasepsi setelah melahirkan Dante, dan kamupun tidak mau pakai pengaman katanya tidak enak!”“Tapi,
Ballroom hotel bintang lima itu terlihat begitu ramai lalu lalang para tamu yang hadir memenuhi senterio. Para tamu yang hadir terlihat berkelas dan mewah.Para tamu menatap takjub pada dekorasi pernikahan yang terlihat begitu mewah. Meja bundar dan kursi berpelitur mengkilap, dilapisi kain satin yang berjajar rapi. Meja ditutup taplak meja linen putih, dengan rangkaian mawar putih di setiap permukaannya. Di posisi kanan dan kiri terlihat berbagai hidangan yang tersaji dengan meja yang menempel ketat di dinding. Terlihat lampu kristal menggantung tinggi di langit-langit yang megah.Di atas panggung pelaminan yang mewah bernuansa emas, banyak bunga mawar putih, serta ada semacam dekorasi kaca dengan air mengalir ditimpa cahaya lembut. Jerry terlihat begitu tampan dalam balutan pakaian pengantin yang berwarna senada dengan gaun yang Zenata kenakan.Segalanya berjalan dengan lancar. Beberapa jam yang lalu keduanya telah melangsungkan acara janji suci pernikahan yang di bacakan langsung
Layaknya anak muda yang tengah kasmaran. Jerry dan Zenata tiada hari tanpa jumpa. Di sela-sela aktivitasnya mengurus rencana pernikahannya. Keduanya masih selalu menyempatkan untuk bertemu. Bahkan tidak segan Zenata kerap datang meski hanya sekedar mengantarkan makanan padanya. Max yang mengetahui hal itu merasa geli. Jerry — seorang pria yang ia ketahui anti terhadap perempuan. Bisa-bisanya tiba-tiba bertekuk lutut pada seorang perempuan. Ah, ia lupa bagaimana dengan dirinya. Ia yang dulu hidup hanya demi sebuah ambisi pun kini mulai terasa berwarna, karena adanya Valerie dalam kehidupannya. Apalagi saat ini ada Dante di antara mereka. “Jerry, berkas yang aku butuhkan untuk—” Max yang baru saja membuka pintu ruangan asistennya itu tidak dapat melanjutkan ucapannya, saat melihat aktivitas asistennya bersama calon istrinya. “Sorry...” lanjutnya dan berlalu pergi.“Astaga...” Zenata yang sudah tersadar langsung buru-buru beranjak dari pangkuan Jerry. Demi Tuhan ia tidak sengaja, tadi
Seharusnya saat ini Valerie tengah menikmati masa-masa indahnya menjadi seorang ibu baru. Tapi, ia merasa aneh karena ASI-nya tidak keluar dengan deras, padahal dokter sudah memberikan vitamin. Hal itu membuat moodnya memburuk, ia sedih merasa menjadi ibu yang buruk bagi sang buah hati. Sore ini tiba-tiba Dante menangis dengan kencang. Ia sudah memberikan ASI padanya, tapi Dante tetap menangis, sepertinya ASI-nya tidak keluar, hingga menimbulkan bayi yang baru berusia lima hari itu kecewa. Dante terus menangis kencang, menggemparkan isi rumah. “Sabar sayang, sebentar. ASI mommy keluarnya belum lancar.” Valerie mencoba kembali menyusuinya, ia meringis merasakan gesekan bibir buah hatinya. Hal itu menimbulkan rasa perih dan sakit. Ia coba menahannya, tapi Dante kembali melepaskan pucuk dadanya dan menangis. Ia mencoba mencari cara agar ASI-nya kembali keluar, tapi tangisan Dante yang terdengar begitu kencang membuat kesabaran Valerie nyaris habis. “Dante, bekerja samalah dengan M