Share

Bab 5. Menikah

Suasana ballroom hotel bintang lima itu terlihat ramai, lalu lalang orang-orang berpakaian mewah hilir mudik kesana kemari. Bisik-bisik obrolan bisnis pun terdengar. Valeria dan Zenata sibuk menghidangkan menu, sesekali mengantarkan minuman saat ada seseorang yang memerintahkannya.

“Vale. Tuan yang di sebelah sana minta minuman, tolong kamu antarkan ya. Soalnya aku juga mau ke sebelah sana,” kata Zenata sambil menunjuk ke arah kerumunan orang-orang yang duduk bagian barat.

“Baik.” Valerie mulai menata minuman ke dalam nampannya, lalu membawanya di tengah jalan ia menghentikan langkahnya, saat kepalanya tiba-tiba berdentam menyakitkan.

“Vale, kenapa?”

Pertanyaan rekan kerjanya membuat ia tersadar. “Aku tidak apa-apa,” kilahnya. Ia kembali melanjutkan langkahnya. Memaksakan diri jika ia baik-baik saja, meski sejak kemarin ia merasa tubuhnya tak baik-baik saja.

“Permisi Tuan-tuan ini minumannya.” Ia menyapa, mereka yang berada di sana. Detik berikutnya matanya terbelalak, tubuhnya gemetar melihat Max berada di antaranya. Begitu juga dengan lelaki itu yang tak mengira jika akan kembali bertemu dengan gadis itu. Wajahnya langsung menegang, namun dalam waktu sesaat mampu menguasai diri, bersikap semua baik-baik saja.

“Kenapa masih di situ? Kemarikan minumannya,” sergah Max membuat Valerie tersadar dengan cepat ia berusaha mengendalikan dirinya. Meski tangannya tampak berkeringat dingin, ia mulai meletakkan minumannya. Hingga ucapan terima kasih ia dengar dari beberapa orang di sana. “Pergilah,” usir Max kemudian.

Valerie mengangguk sebagai tanda hormat, memutar tubuhnya berkali-kali menekan dadanya yang berdegup kencang, juga tubuhnya yang terasa gemetar, bahkan ia merasa suhu tubuhnya langsung naik begitu saja. Keringat dingin langsung membanjiri keningnya, tiba-tiba pandangannya buram seiring tubuhnya yang melemas tak bertenaga. Ia terjatuh pingsan mengejutkan kerumunan orang-orang di sana.

Beberapa jam kemudian Valeria yang masih terduduk lemah di atas brankar tersenyum getir mengusap perutnya. Ia benar-benar tidak mengira jika akibat cinta satu malam itu ia akan mengandung. Ketakutan jelas menyergap dirinya, mengingat benih siapa yang kini ada dalam rahimnya.

“Valerie.” Pintu terbuka Zenata masuk menghampiri dirinya. “Apa yang terjadi denganmu?”

Valerie hanya menggelengkan kepalanya tersenyum getir.

“Anak siapa yang kau kandung, Vale? Apa yang terjadi? Apa kau diperkosa? Siapa yang melakukan hal ini.” Zenata terus mencecar sahabatnya tersebut, wajahnya memperlihatkan penuh kekhawatiran.

Valeria menunduk lidahnya terasa kaku tak mampu menjawab. Rasa dilema menyergap, haruskah ia menceritakan keadaan sesungguhnya. Sedangkan ia sudah berjanji pada Max jika tidak akan membocorkan kejadian malam itu. “Aku... Aku tidak tahu.”

Zenata terdiam merasa sedih mendengarnya, melihat sahabatnya terlihat tertekan. Meski ia meyakini ada yang tidak beres, namun ia tidak bisa memaksa. “Baiklah, lalu apa yang akan kau lakukan setelah ini?”

Valerie terdiam matanya menerawang seolah tengah mengajak otaknya berpikir. “Aku akan pergi dari kota ini.”

“Kamu yakin?”

Valerie mengangguk. “Setelah dokter mengatakan aku sehat. Aku akan langsung pergi, Zena.”

“Kemana?”

“Entahlah.”

“Baiklah, aku mendukung apapun keputusanmu. Sekarang aku pulang dulu, nanti aku akan kemari membawakanmu pakaian ganti.”

Ceklek!

“Kenapa kembali, Ze? Apa yang kau lupa....” Valerie tak melanjutkan ucapannya ketika melihat siapa yang kini masuk ke ruangannya. “Tu—tuan Max,” lanjutnya lirih seketika tubuhnya kembali gemetar, apalagi saat manik biru milik lelaki itu menatap dirinya dengan pandangan tajam.

“Saya tunggu di luar, Tuan.” Jerry mengundurkan diri dari sana.

Max melipatkan kedua tangannya di dada dengan pandangan yang terus menghunus Valerie. Seketika ruangan itu terasa mencekam. “Kau yakin anak yang dalam rahimmu itu anakku?” tanyanya to the point.

Valerie mengangkat wajahnya, tak mengira lelaki itu langsung mengetahui dirinya hamil. Ah, seketika ia lupa siapa Max dengan jentikan jari ia pun bisa mengetahui apa saja. “Iya, Tuan.”

Max mendesis kesal. “Kau yakin? Tidakkah setelah itu pun kau melakukannya dengan pria lain,” katanya meragu meski ia lah yang merenggut kesucian perempuan itu.

“Saya yakin, Tuan.” Valerie menjawab dengan sangat yakin. “Saya bukan perempuan yang menjajakan tubuh pada sembarang pria,” lanjutnya membela diri seolah tidak terima Max meragukan dirinya.

“Kamu membohongi saya. Kamu bilang tidak akan mungkin hamil, nyatanya....” Max mendesah resah menatap Valerie dengan pandangan jengkel.

“Saya juga tidak tahu, Tuan.” Valerie menunduk merasa hidupnya tiba-tiba terasa suram. Sejak kecil kehadirannya tidak diinginkan oleh orang-orang terdekatnya, dan kini tiba-tiba ia hamil di luar pernikahan, akankah sang buah hati mengalami nasib yang serupa. Tak sadar tangannya bergerak meraba perutnya, di mana calon buah hatinya tumbuh

“Baiklah aku akan bertanggung jawab untuk itu, setelah kondisimu membaik aku akan membawamu keluar dari rumah sakit ini.” Max menjeda ucapannya sejenak. Memandang wajah Valerie yang tampak terkejut. “Jangan berpikir untuk melarikan diri dengan membawa anakku. Jika itu kamu lakukan kamu tahu apa yang akan aku lakukan. Nyawamu taruhannya,” lanjutnya mengancam lalu berbalik pergi dari sana. Meninggalkan Valerie yang menelan salivanya secara susah.

“Jery pindahkan perempuan itu ke ruangan VVIP, dan minta dokter berikan pelayanan terbaik agar secepatnya pulih.” Max memberi perintah asistennya. Jery bertindak dengan cepat, membuat Valerie terkejut ketika terbangun ruangan sudah pindah, bahkan ia mendapatkan pelayanan yang sangat baik. Hal tersebut membuat Zenata pun merasa heran. Pada akhirnya Valerie pun terpaksa menceritakan kejadian sebenarnya, tentu saja Zenata terkejut. Tak mengira jika sahabatnya berurusan dengan lelaki itu.

“Kau yakin akan melakukan ini, Vale?” tanya Zenata cemas. Pasalnya Valerie benar-benar ingin pergi meski kondisinya belum begitu pulih. Ya ia memutuskan untuk tetap meninggalkan kota ini dibandingkan harus berurusan dengan Max.

“Aku yakin.”

“Baiklah.”

Usai membereskan barang-barangnya. Mereka meninggalkan ruangan tersebut. Mereka memutuskan pergi pada malam hari karena suasana akan terasa sepi, tanpa takut orang mencurigai. Dengan harap-harap cemas akhirnya mereka sampai di lobi.

“Ingin pergi kemana, Nona?” tanya Jerry serius entah sejak kapan lelaki itu tiba-tiba sudah berada di sisi mereka. Valerie terdiam membisu, bola matanya bergerak dengan cepat, mencari alasan untuk terbebas dari jerat Jerry.

“S—saya...”

“Ehem, jangan coba-coba kau melarikan diri.” Suara bariton itu semakin membuat Valerie terkejut, bola matanya membelalak, saat melihat Max tiba-tiba muncul di belakang Jerry. “Mau kemana kamu?”

“Tu—tuan Max.”

“Mau kabur?” desisnya memicingkan matanya. “Jangan mimpi.” Max memberi kode pada Jery untuk membawa Valerie secara paksa. Tak memperdulikan Zenata yang berteriak meminta untuk melepaskan sahabatnya, juga Valerie yang memberontak.

Beberapa menit kemudian, mobil yang ditumpangi Valerie berhenti tepat di depan sebuah gereja. Max meminta dirinya turun.

“Tuan kenapa kita kemari?” tanya Valerie.

“Kita akan menikah malam ini juga.” Max berkata tanpa menoleh ke arah Valerie yang tampak terkejut. “Cepetan turun! Pendeta sudah menunggu.”

“A—aku...”

“Jangan membuat kesabaranku habis, Nona.” Max menyeringai sambil menarik tangan Valerie membawanya masuk ke dalam gereja secara paksa. Di sana sudah ditunggu oleh dua pendeta yang akan menikahkan keduanya.

Usai pembacaan janji suci pernikahan, dan keduanya telah dinyatakan sah menjadi suami istri. Max kembali menarik tangan Valerie keluar dari gereja. “Ingat, aku menikahimu hanya demi anak yang ada dalam perutmu. Jangan berharap lebih! Apalagi berpikir untuk melarikan diri dariku.”

Mobil tiba di depan perumahan kawasan elit, Valerie dibuat tercengang karenanya. Di sela-sela kekagumannya, ia kembali tersentak ketika tangannya kembali ditarik Max keluar. Mereka melewati pintu utama yang sudah terbuka.

“Kakak...” pekikan perempuan manja terdengar begitu Max datang. Namun, senyumnya langsung sirna ketika melihat kakak lelaki itu menggandeng seorang perempuan. “Siapa dia, Kak?”

“Kakak iparmu,” jawabnya tanpa meragu.

“Apa?!!”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Iin Romita
Makin seru. nextt, menikah menikah yey
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status