“Ilona. Ayo ucapkan lagi Il-“
“Il – lo … na.”
“Bagus.” Kenedict tersenyum. Ia mengusap puncak kepala Ilona dengan lembut.
Sementara di samping mereka, Christian malah melongo. Ia masih tidak paham harus berbuat apa. Sedari tadi pria itu hanya mematri tatapan kepada dua orang di sampingnya. Seharian ini dia tidak bicara apa pun. Apa pun. Sungguh. Dia bisu seharian.
Sejak semalam Christian tidak bisa memejamkan matanya. Terlebih, saat Kenedict menjelaskan keadaan Ilona, mendadak Christian jadi bisu. Bahkan tak ada selera untuk makan.
“Chris, makan makananmu. Sialan kau membuatku harus mengurusimu. Lagi pula kenapa kau mengusir Hailey, hah?”
Christian mendengkus. Ia memutar pandangannya kepada Kenedict. “Jangan sebut nama wanita itu,” desis Christian.
“Oh, sekarang kau bicara? Kupikir kau bisu,” kata Kent sarkasme. “Kalau begitu makan. Kau menunggu aku menyuapimu.”
“Diamlah, Kenedict, demi Tuhan!”
Kali ini giliran
Hei, aku punya buku baru judulnya The Bastard Wants Me jangan lupa mampir yah :)
Kenedict membawa satu tangannya terlipat di depan dada, sementara satu tangannya lagi yang telah mengepal bergerak meninju pelan bibirnya. Sejak tadi ia mondar-mandir di depan sebuah ruang pemeriksaan. Lebih dari gelisah pria itu saat ini. “Kent, tidak bisakah kau duduk saja? Kau mulai membuatku pusing,” keluh Christian. Dia menegur Kenedict, padahal sedari tadi jantungnya terus bertalu dengan kencang dan duduknya semakin gelisah. Ilona telah dibawa ke sebuah ruangan kedap suara. Kent dan Christian sempat melihat ruangan tersebut. Sebuah ruangan dengan dinding berwarna putih. Kaca bentangan di dinding menghadap keluar. Sebuah kursi seperti ditempat relaksasi. Alat monitoring dan juga sebuah ventilator. Ilona di dudukkan di tempat tersebut lalu dipasangkan alat mirip earphone. Seorang pria bernama Charter merupakan teman dokter Anna dan ia seorang psikiater ternama di Inggris. Terakhir kali, mereka melihat Ilona diberi suntikan amobarbital sebelum akhi
Pada akhirnya aku hanya bisa memandang. Sepertinya takdir memang telah menggariskan dirinya untukmu. Menjadi pilihan terbaik. Dan aku telah berada pada posisi yang tepat di mana aku hanya bisa memandangimu dari jarak yang cukup jauh. Christian Archer~ _______________ “Satu suapan lagi, aaa … bagus.” Kent tersenyum lalu meletakan peralatan makan Ilona ke atas nakas. Pria itu memutar pandangannya pada bangsal di samping tempat tidur Ilona. Seketika ia mendengkus. “Chris, demi Tuhan, katakan padaku kau ingin makan apa, hah? Wellington? Rib eye? Lobster? Katakan!” kata Kent nyaris menyentak. Christian mendengkus. Ia memalingkan wajah ke samping sekadar untuk menghindari tatapan Kenedict. Sejurus kemudian tangan Christian mulai terangkat memasukkan makanan ke dalam mulut. Tidak ada pilihan lain. Ia benci terus diomeli oleh adiknya. Ya, walaupun Christian juga merasa senang, akhirnya Kent memerhatikannya. “Hari ini kau terapi, kan?”
Satu jam berada dalam pesawat pribadi milik Kenedict Archer, akhirnya mereka pun tiba di kota London. Sebelumnya, Kenedict sudah membeli sebuah aset real estate kelas dunia di jantung kota London. Penthouse seharga 241 juta dolar itu dibeli Kenedict pada seorang pengusaha asal Asia beberapa waktu yang lalu. Rencananya Kent akan menetap di sini setelah menikah. Ia tak menyangka jika dia dan Ilona akan kemari walau bukan sebagai pasangan suami istri. “Tuan, biar saya dan Jane yang bawakan barang-barangnya,” kata Massimo. Kenedict mengangguk. Sambil mendekap tubuh Ilona, mereka pun masuk ke apartemen luxury tersebut. Selain harganya yang fantastis, bangunan ini dilengkapi dengan jendela anti peluru dan selalu dijaga oleh petugas keamanan spesial yang sudah terlatih. Apartemen seluas 1579 m2 ini akan menjadi tempat tinggal Kenedict dan Ilona selama enam bulan kedepan. Sebagai tamu VVIP, Kent memiliki lift khusus yang hanya diperuntukkan un
Pagi hari yang indah di The King Tower Penthouse. Cahaya yang menyelusup lewat celah gorden yang tidak tertutup membuat tidur Ilona terganggu. Tampak kelopak matanya bergerak. Sedetik kemudian sepasang manik cokelat mulai terlihat. Ilona masih butuh beberapa detik sebelum akhirnya kelopak matanya terbuka sempurna. Senyum di wajah gadis itu ketika menatap suguhan pemandangan indah di hadapannya. Ada sepasang manik berwarna hijau yang kilatannya bak batu zamrud menyambut pemandangan pertamanya. “Good morning.” Dan suara bariton berat barusan menjadi nada termedu yang ingin ia dengar setiap saat. “Good morning,” balas Ilona dengan suara serak. Suara yang mampu membangunkan Kenedict dari kegelapan yang panjang. Suara yang tak akan pernah rela dilupakannya bahkan walau hanya sedetik. “Bagaimana tidurmu, Tuan putri?” Sambil menahan wajah dengan tangan yang bertumpu di atas bantal, Kenedict mulai menggerakkan tangan kanannya.
Cinta itu adalah sebuah ketulusan. Kau tidak perlu mengerti arti kata cinta. Karena cinta hadir untuk dirasakan. Kenedict Archer~ _______________Bethlem Royal – London10.09 AM________Sambil berpegangan tangan dengan erat, Kenedict dan Ilona memasuki lift. Sebelumnya, Kent telah menghubungi asisten dokter Charter dan mereka sepakat bertemu pagi ini. Setibanya di lantai lima, Kent langsung menghampiri seorang staff rumah sakit yang telah berdiri saat melihat kedatangan mereka. “Dokter Charter,” ucap Kent. Wanita itu berjalan meninggalkan kubikelnya. Sambil menjulurkan tangan, ia menuntun Kenedict dan Ilona memasuki sebuah ruangan. Tampak seorang pria tengah duduk di kursi kerjanya. Kaca mata berwarna putih bertengger di wajahnya. Ia menoleh ketika mendengar suara pintu. Pria itu bangkit dari tempat duduknya. “Hai,” sapa dokter Charter saat melihat dua orang muda yang baru masuk. Kent dan Ilona komp
“LEPAS!” teriak Ilona. Gadis itu menepis tangan Kent yang hendak meraih pundaknya. “Ayolah … bukannya kau juga menikmatinya?” Kent menyeringai. Saat Ilona memutar pandangannya, pria itu pura-pura bersiul sembari membuang muka menghindari tatapan membunuh milik Ilona. “It’s not funny!” gerutu Ilona nyaris membentak. “But you enjoyed, right?” Ilona kembali mendengkus. Gadis itu mengentakkan kedua kaki sambil berjalan menuju mobil. Massimo sedari tadi telah berdiri dan ia sedang menantikan kedua majikannya. Kenedict kembali mengembuskan napas panjang seraya berdecak dan menggelengkan kepalanya. Pria itu melangkah menuju mobil. “Massimo kita kembali.” “Baik, Tuan.” “TIDAK!” Ilona berteriak dari dalam mobil. “Kau bilang kita ke karnaval,” ucap gadis itu sambil menatap Kent dengan wajah marah. Kent tersenyum. Dia menaruh satu tangan ke atas pundak Ilona. Pria itu mendekat. Embusan napas darinya menyapu sebelah
Kenedict langsung membungkus tubuh Ilona dengan tubuhnya saat suara tembakan terdengar. Orang-orang di jalanan berbondong-bondong melarikan diri. DOR Sementara suara tembakan masih menggema, Kent mendorong tubuh Ilona menjauh dari trotoar. Mereka memasuki jalanan sempit di antara pertokoan. “Kent, ada apa?” tanya Ilona. “Ada teroris. Kau tidak dengar suara tembakan itu?” Kenedict masih menudungi punggung Ilona dengan tubuhnya dan saat ia berbalik, pria itu pun menyeringai. Lewat sudut matanya, ia memberikan hinaan pada sepasang manik berwarna abu-abu yang memandangnya dengan tatapan membunuh. “KENEDICT.” Ilona hendak menoleh saat mendengar suara teriakan seorang gadis yang terdengar begitu lantang, membuat Ilona begitu penasaran. “Siapa itu?” “DIA TIDAK BISA MEMILIKIMU, KENEDICT KAU HARUS CAMKAN ITU!” Kent menoleh. Pria itu terlihat begitu santai. Tak perduli dengan senjata yang sedang diarahkan oleh wan
Layla mengembuskan napas panjang. Kedua pangkal bahunya lemas. Jantungnya seperti diremas. Ia mendukkan kepala. Sementara di depannya, Kenedict meringis. Dada sebelah kanan mengeluarkan darah. Rahangnya mengencang dan ia memaksa tubuhnya berdiri. Kent menunduk di depan kaki Layla lalu membawa gadis itu ke dalam pelukannya. Seketika tangisan Layla pecah. “Maafkan aku, Layla,” gumam Kent. Pria itu memeluk Layla sangat erat. Membiarkan rasa sakit yang memang pantas ia dapatkan. Bahkan menurut Kenedict, semua ini masih tidak seberapa. Sedetik yang lalu Kenedict memang berharap Layla menembaknya di jantung. “Aku sadar kelakuan burukku telah merusak mental beberapa wanita termasuk dirimu.” “Kent, apa yang salah dariku, hah? Mengapa aku tidak bisa memilikimu? Mengapa kau lebih memilih wanita kampungan itu, Kent? Apa kurangnya aku ini, hah!” Suara Layla bak berubah menjadi decitan tikus. Kent menarik dirinya dari pelukan Layla. Wanita