Share

2. Strange Feeling

Chapter 2

Strange Feeling

Sidney tidak menerima uluran tangan Alva. "Bukankah kau tadi mengatakan tidak suka berdansa?"

"Sepertinya aku berubah pikiran, kurasa tidak ada salahnya mencoba denganmu."

"Tapi, aku tidak pandai berdansa," sahut Sidney dengan sopan.

Alva mengedikkan bahunya. "Jadi kau menolakku?"

Bukan menolak, wanita mana pun pasti tidak sanggup menolak Alvaro Leonard. Pesepak bola seksi yang sedang naik daun dan menjadi incaran klub besar di Eropa. Tetapi, ia tidak sanggup berada terlalu dekat dengan pria memesona itu.

Pesepak bola asal Palma, Spanyol itu nyaris membuat lutut Sidney lemas hanya dengan menghirup samar-samar aroma parfumnya. Aroma khas maskulin pria itu melalui hidung Sidney dan masuk ke paru-parunya dan sepertinya menembus jantungnya.

Mata cokelat pekat Alva yang dinaungi alis tebal gelap itu seperti mata seekor elang yang sedang mengintai mangsanya membuat tubuh Sidney terasa mengecil seperti seekor kelinci yang tak berdaya di bawah tatapan mata pria itu.

Sidney menjilat bibirnya. "Maaf, aku tidak bermaksud menyinggungmu. Tapi, aku benar-benar buruk di lantai dansa. Bagaimana jika kita mengobrol dan memakan beberapa potong kue?"

"Ini sudah larut malam, Nona... Sidney...."

"Kau bisa memanggilku Sidney," potong Sidney.

"Baiklah, Sidney. Apa kau tidak masalah mengonsumsi makanan manis selarut ini?"

Sidney tersenyum lebar, nyaris tertawa karena tidak semua wanita mati-matian menjaga berat badannya dan Sidney termasuk salah satu dari mereka. Ia tidak peduli dengan berat badannya. "Aku tidak masalah dengan makanan apa pun dan jam berapa pun."

Alva mengerutkan kedua alisnya seraya memandangi tubuh Sidney. "Dan kau bisa memiliki tubuh seindah ini?"

Sidney tertawa pelan dan menggeleng pelan. "Tidak ada yang pernah memujiku seperti itu." Kecuali ayah kandungnya dan Gabe.

"Benarakah?"

Sidney mengangguk dan berjalan menuju sisi di mana hidangan yang disediakan untuk tamu disiapkan, ia mengambil beberapa potong kue kemudian mencicipinya. Berusaha menikmati setiap gigitan kuenya sekaligus menghilangkan kegugupan yang melandanya karena Alva terus mengekorinya.

"Makan terlalu banyak kue manis tidak baik untuk kesehatan," ucap Alva seraya menyodorkan cawan berisi sampanye saat Sidney hendak kembali mengambil sepotong kue.

"Terima kasih, kurasa alkohol juga tidak baik untuk kesehatan," cetus Sidney seraya menerima cawan dari tangan Alva kemudian dengan lembut mendentingkan cawan di tangannya ke ke cawan di pegang oleh Alva sembari berusaha tersenyum setenang mungkin..

"Setidaknya kandungan gula di dalam sampanye tidak sebanyak kue dan krim di atasnya," ucap Alva setelah menyesap sampanye.

"Apa semua pemain sepak bola menjaga nutrisi yang masuk ke dalam tubuh?"

"Ya. Semua orang memerlukan nutrisi yang seimbang untuk tubuhnya," jawab Alva.

Pantas kebanyakan pemain sepak bola memiliki stamina yang mencengangkan, mereka mampu berlarian mengejar bola di tengah lapangan dan tampaknya mereka tidak memiliki rasa lelah. Dan tubuh mereka dipenuhi dengan otot-otot yang tampaknya keras dengan bentuk yang dikagumi oleh kebanyakan kaum hawa.

Sidney diam-diam menjilat bibir bawahnya dan menggigitnya perlahan, membayangkan seperti apa jika ia menyentuh otot pesepak bola yang berdiri di depannya dan tiba-tiba perut bagian bawahnya terasa bergolak, dadanya terasa menegang, ia merasakan jika jiwanya tiba-tiba merasa gelisah.

Sidney meletakkan cawan di tangannya ke atas meja, ia harus segera menjauhi Alva atau pikirannya semakin kacau. Dan yang paling mengkhawatirkan adalah, puncak dadanya yang terasa mengeras, sedangkan dirinya tidak mengenakan bra. Ia khawatir jika perubahan dadanya terlihat oleh Alva.

"Maaf, aku perlu menggunakan toilet," ucapnya dengan sopan.

"Apa perlu kutemani?" Alva meletakkan cawan di tangannya ke atas meja.

Justru ia pergi ke toilet untuk menghindari tatapan mata cokelat pekat yang seolah hendak menerkamnya, juga menghindari perasaan aneh yang menjalari sekujur tubuhnya. Sidney segera menggelengkan kepalanya. "Terima kasih. Tapi, aku bisa sendiri."

Sidney buru-buru meninggalkan Alva, memasuki toilet dan meletakkan tas tangannya ke atas meja wastafel yang berbahan marmer kemudian mencuci tangannya kemudian memandangi wajahnya yang seraya menata paru-parunya yang seolah bernapas terlalu cepat.

Ia menyentuh kulit pipinya yang terasa memanas dan memejamkan matanya beberapa saat, ia berharap saat keluar dari toilet, Alva telah bersama wanita lain atau paling tidak Aliyah dan Grant ada bersama Alva agar ia tidak perlu lagi terjebak suasana mendebarkan bersama Alva.

Setelah lima menit berlalu dan memastikan jika dadanya telah kembali normal, Sidney memutuskan keluar dari toilet, tetapi saat membuka pintu toilet ia menghentikan langkah karena pria yang sedang ia hindari berada tidak jauh dari tempatnya berdiri.

Ya Tuhan, Sidney nyaris mengerang karena pria tampan itu kembali menatapnya seolah hendak menerkamnya dan yang paling menakutkan adalah hasrat di dalam dirinya yang menginginkan tubuh kekar Alva mengurungkan tubuhnya. Dan dadanya kembali mengeras. Sangat menjengkelkan.

Sialan. Sidney tidak pernah merasakan perasaan ganjil semacam ini terhadap lawan jenis. Ia menelan ludah dan menata ketenangannya seraya melangkah mendekati Alva.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya.

Alva menatap Sidney dengan intens. "Kau terlalu lama di dalam sana, kupikir terjadi sesuatu atau mungkin kau mabuk...."

Sidney terkekeh. "Satu gelas sampanye tidak akan membuatku mabuk."

"Baguslah, Grant dan Aliyah telah kembali."

Sidney mengangguk, ketika ia hendak melangkahkan kakinya, Alva merentangkan lengan kirinya memberikan kode agar Sidney menggandeng pria itu membuat Sidney membeku sesaat.

"Aku tidak menerima penolakan ke dua kali." Ucapan Alva tegas dan tatapan mata pria itu lebih tegas dari ucapannya.

Kali ini memang ia tidak bisa lagi menghindar, Sidney terpaksa mengesampingkan kegugupannya dan dengan patuh menggamit lengan Alva. Ia mengikuti langkah pria itu yang membawanya bergabung bersama Grant dan Aliyah.

Secara keseluruhan pesta berjalan dengan lancar dan saat waktu menunjukkan pukul sebelas malam, pesta berakhir dan hanya menyisakan teman-teman dekat Grant dan Aliyah. Mereka kini berada di sebuah balkon yang sangat luas, nyaris menyerupai roof top gedung tinggi dan di sana mereka mengobrol sembari menikmati sisha dan juga sampanye.

"Apa kau besok memiliki acara?" tanya Alva sembari meletakkan cawan sampanye yang telah kosong ke atas meja.

"Aku berencana melakukan tur padang pasir," jawab Sidney seraya memutar cawan di tangannya dan menatap isinya yang berwarna kuning jernih. Entah berapa gelas sampanye yang telah melewati kerongkongannya dan kini kepalanya terasa sedikit berputar dan kulit wajahnya seolah menebal. Ia tidak yakin bisa berdiri dengan benar.

"Kedengarannya menyenangkan."

Sidney mengerjapkan matanya, berusaha mempertahankan kesadarannya. "Ya."

Hanya itu yang terucap meski sebenarnya ia ingin bertanya apakah alva juga memiliki rencana besok, atau mungkin mereka bisa pergi tur padang pasir bersama-sama. Sayangnya keinginannya tidak mampu ia kemukakan, Sidney tidak ingin Alva sakah paham karena bisa saja Alva mengira jika ia sedang berusaha mendekati pria itu.

"Dan kau? Apa rencanamu besok?" Pada akhirnya Sidney tidak bisa menahan rasa ingin tahunya.

Alva melepaskan jasnya kemudian melonggarkan dasi kupu-kupu yang mencekik lehernya. Pria itu juga dengan menggunakan satu tangan melepaskan kancing kemeja di dadanya dan berucap, "Aku berencana tidur sepanjang hari."

Sidney menjilat bibirnya, bagian bawah perutnya bergolak dan ia merasakan gelenyar asing di tubuhnya saat Alva kembali membuka satu kancing kemejanya dan ia dapat menyaksikan dada bidang Alva meski tidak secara keseluruhan.

"Oh, rencana yang bagus," desah Sindey.

Alva tersenyum lembut. "Lebih bagus lagi jika kau tidur di sampingku."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status