Share

6. Off-road

️✔️ HAPPY READING

Chapter 6

Off-road

Ketika mereka tiba di lahan parkir area off-road di tengah padang pasir dan mobil telah terparkir dengan sempurna, Sidney hendak membuka pintu mobil, tetapi tangan Alva lebih dulu mencekal salah satu pergelangan tangannya.

"Ada apa?" tanya Sidney berpura-pura tidak mengerti dengan apa yang Alva inginkan darinya.

Alva melepaskan kacamata hitamnya. "Kau belum menjawab pertanyaanku."

"Hah?" Sidney melirik pergelangan tangannya. Jemari tangan Alva melingkar dengan kokoh, terasa kuat tetapi lembut. "Pertanyaan apa?"

Alva menjilat bibirnya. "Aku ingin menjadi temanmu."

Sidney tersenyum lebar hingga hidungnya terlihat berkerut. "Tidak ada pertemanan yang tulus antara pria dan wanita." Dan lagi pula ia mengerti motif Alva mendekatinya, pria itu gigih mendekatinya hanya karena sebuah maksud. One night stand.

"Kau menolakku?" Alva benar-benar tidak terima karena belum dua puluh empat jam ia menerima penolakan berkali-kali dari Sidney.

Sidney menaikkan kedua alisnya. "Ya, kita tidak perlu berteman."

"Kalau begitu tidak usah berteman," ujar Alva dengan nada datar.

"Memang seharusnya begitu, 'kan?"

Lagi pula apa yang diharapkan dari pertemanan mereka? Jika ada keakraban di antara mereka nanti, Sidney justru mengkhawatirkan dirinya sendiri. Ia mungkin akan jatuh ke dalam pesona pesepak bola itu kemudian patah hati, dan masih ada kemungkinan lain yang lebih buruk karena ia memiliki calon suami. Tidak ada sedikit pun kebaikan dari pertemanan yang ditawarkan Alva.

"Aku belum selesai bicara," ujar Alva seraya menatap Sidney dengan tatapan seolah sedang memberikan peringatan.

"Well, kalau begitu bicaralah." Sidney mengangkat tangannya yang dicekal Alva. "Dan lepaskan tanganku."

Alva sama sekali tidak menggubris apa yang Sidney ucapkan. "Jika kau tidak menginginkan pertemanan bagaimana dengan kencan satu malam sebelum kau kembali ke London?"

Sidney justru tertawa geli. "Kau sangat gigih, ya?"

Alva juga tidak mengerti mengapa ia sangat gigih kepada Sidney. Sialan. Ia merasa jika Sidney terlalu jual mahal padanya dan seolah sedang mempermainkannya.

"Aku terbiasa mendapatkan semua yang kuinginkan," cetus Alva terdengar sedikit angkuh.

"Terdengar menakjubkan, tapi sayangnya aku adalah pengecualian."

Rasanya sangat geram karena Sidney terlalu menyepelekannya. Alva beringsut, ia mencekal kedua pergelangan tangan Sidney dan menahannya di atas kepala Sidney. Sedikit menekannya ke kursi.

"Dengar, Nona pemilik bokong indah. Aku tidak ingin berbasa-basi lebih jauh lagi karena...." Ia mengamati mata Sidney, tidak ada ketakutan di mata berwarna hazel itu. Ia bersumpah jika sorot mata itu justru seolah sedang mendamba kemudian menelusuri pipi wanita itu dan matanya tertuju pada bibir Sidney yang tampak merekah. Alva menelan ludah kemudian mendekati wajah Sidney hingga jarak mereka sangat dekat. "Aku tahu, kau juga menginginkan aku."

Bibir Sidney nyaris bergetar karena perasaan-perasaan aneh yang ditimbulkan oleh Alva. Apa lagi jarak mereka yang terlalu dekat hingga bibir mereka nyaris bersentuhan, Sidney bahkan hampir tidak berani bernapas.

Ia tidak bisa menyangkal ucapan Alva karena faktanya memang demikian. Ia menginginkan pria itu. Ia ingin kembali berada dalam dekapan tubuh berotot itu.

Ya Tuhan, ini gila.

Dadanya terasa menegang dan mengeras, puncaknya terasa hendak menyeruak merobek kain bra yang ia kenakan juga jantungnya berdetak tidak beraturan dan semua itu menyiksanya.

Ia menjilat bibirnya. "Ya. Kuakui, aku seperti wanita lain yang menginginkanmu. Tapi, bukan berarti aku bersedia kau tiduri."

Alva mengeraskan rahangnya. "Bagaimana jika kita melakukan balapan di arena off-road?"

"Dan jika kau pemenangnya, aku harus tidur denganmu?"

"Aku menyukai wanita cerdas."

"Itu juga tidak perlu karena pemenangnya sudah pasti kau," ujar Sidney diiringi tawa ringan yang mengejek.

"Kau belum mencobanya dan kau menyerah?" Alva menaikkan sebelah alisnya.

Tentu saja menyerah. Ia bukan pengemudi mobil yang terampil apa lagi dengan medan gurun pasir yang belum pernah ia jajal, ia pasti akan kalah telak. Tetapi, ia tidak ingin terlihat seperti seorang pecundang di depan Alva dan kali ini ia lebih baik mempertaruhkan keberuntungannya. Lagi pula tidak ada salahnya mencoba, toh jika kalah pun ia tidak mengalami kerugian karena kencan satu malam bersama Alva juga sejak tadi malam menjadi keinginannya.

Sidney menghela napasnya. "Baiklah, anggap saja kau berhasil memprovokasiku. Aku terima tentangmu."

Sudut bibir Alva terangkat membentuk senyum licik penuh kemenangan. "Aku pegang kesepakatan ini, Nona."

Keduanya keluar dari mobil dan dihampiri oleh dua orang pria yang mengenakan pakaian putih panjang khas gurun pasir, mereka adalah petugas yang mengawasi arena off-road. Setelah membayar biaya sewa Jeep yang akan mereka gunakan untuk melakukan off-road, Alva mendekati Sidney yang duduk bawah tenda tunggu, pria itu membawa selembar kain di tangannya.

"Biar kubantu kau mengenakan ini," ujar Alva.

"Apa kau pernah ke sini sebelumnya?" tanya Sidney seraya diam-diam mengamati Alva yang telah menggunakan kain khas gurun pasir di kepalanya dan pria itu terlihat cocok dengan kain itu.

"Beberapa kali."

Jawaban itu membuat Sidney semakin yakin jika pertaruhannya hanya akan menjadi formalitas. Ia dipastikan akan melakukan kencan satu malam dengan Alva malam ini. Mengingat itu pipi Sidney terasa memanas. Ia kembali melirik Alva yang sedang melilitkan kain di kepalanya, batin Sidney mengerang membayangkan malam yang akan ia lalui bersama Alva nanti.

"Nah, sudah selesai," ucap Alva. Ia menatap hasil karyanya yang ia buat kurang dari satu menit.

Kain persegi empat itu dilipat membentuk persegi tiga kemudian letakkan di kepala dengan sisi sama panjang lalu salah satu bagian dipelintir dan diikatkan di kepala sedangkan salah satu sisinya dibiarkan begitu saja.

"Kau terlihat seperti wanita Arab menggunakan kain ini," ucap Alva mengomentari penampilan Sidney. "dan kau sangat cantik."

"Terima kasih atas pujiannya." Sidney mengulum senyumnya kemudian cepat-cepat ia mengambil salah satu sisi kain yang ia kenakan dan menariknya hingga menutupi wajahnya seperti menggunakan cadar.

Terima kasih untuk kain itu karena di samping menutupi kepalanya dari sengatan terik matahari ternyata juga berguna untuk menutupi wajahnya yang merona.

Alva menaikkan sebelah alisnya. "Kau tidak memujiku?"

Sidney nyaris tergelak karena ucapan Alva. "Kau memerlukan pujianku?"

"Aku butuh pengakuan."

Sidney mengerutkan keningnya. "Pengakuan?"

Alva mengenakan kembali kacamata hitamnya. "Ya."

Sidney geli oleh ucapan Alva. "Baiklah, aku mengakuinya. Kau mirip pria Arab menggunakan kain itu "

Sidney mengakui, saat Alva menggunakan kain khas gurun pasir di kepalanya, dengan alis tebal dan berwarna gelap juga kulit kecokelatan yang dimiliki Alva, pria itu lebih tampan dibandingkan pangeran Arab sekali pun.

"Itu pernyataan," ujar Alva dengan nada tidak terima.

Diam-diam bibir Sidney tersenyum di balik kain, Alva sudah tampan di mata semua wanita dan seharusnya pria itu juga tidak memerlukan pengakuan darinya karena sudah tentu jika ia juga mengakui ketampanan Alva. Ketampanan dan keseksiannya.

Sidney meletakkan tangannya di depan hidungnya yang terhalang kain. "Baiklah, jika kau memaksa. Kau tampan... seperti pengusaha minyak dari Arab."

Sudut bibir Alva berkedut dan rahangnya diam-diam mengeras. Sialan, Sidney benar-benar sulit didekati. Wanita itu membangun tembok setiap kali ia berusaha berbicara lebih akrab dan santai.

Ia menghela napas dan berucap, "Baiklah, kita mulai off-road ini. Apa kau siap?"

Bersambung....

Jangan lupa tinggalkan jejak komentar dan RATE.

Terima kasih dan salam manis dari Cherry yang manis.

🍒❤️

Komen (2)
goodnovel comment avatar
FayzaQila03
pepet trz va, nnti jg Sidney bkal lluh
goodnovel comment avatar
Dewi Balfas
tarik ulur terus ya sid
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status