Share

Dipermalukan Ibu Mertua

Suatu pagi, Aminah bangun dengan perasaan jenuh yang semakin menghimpitnya. Dia merasa bahwa rutinitas sehari-harinya telah membuat hidupnya terasa monoton dan membosankan. Aminah menyadari bahwa dia harus melakukan sesuatu untuk mengatasi perasaan ini dan menambah semangat dalam hidupnya.

Aminah merasa tenang saat merasakan pelukan hangat suaminya dari belakang. Meskipun masih pagi dan pikirannya dipenuhi pertimbangan, dekapan itu berhasil membawa sedikit kelegaan. Dia tersenyum bahagia saat merasa nyaman berada dalam dekapan suaminya.

"Kamu sudah selesai? Mau sarapan sekarang kah?" tanya Aminah, sambil tetap memandangi langit yang cerah di luar jendela.

Suaminya, dengan lembut mencium leher sang istri, seperti yang sering dia lakukan setiap pagi sebelum berangkat kerja. Meskipun Aminah belum mandi, dia tampaknya sangat menyukai aroma tubuh istrinya. Hal ini menjadi sebuah kebiasaan yang begitu intim di antara mereka berdua.

"Belum, sayang. Aku masih ingin menikmati momen ini sebentar lagi," ucap suaminya dengan penuh kasih sambil terus mencium leher Aminah.

Aminah tertawa kecil. Dia merasa tersanjung dan dihargai atas perhatian suaminya yang begitu mesra. Meskipun mereka baru menikah satu bulan, tetapi keintiman seperti ini selalu membuat hatinya meleleh. Dia sangat bersyukur memiliki seorang suami yang begitu mencintainya dengan sepenuh hati.

"Apa yang membuatmu begitu perhatian pagi ini?" tanya Aminah sambil tetap berpegangan pada pelukan suaminya.

Sulaiman menyelipkan tangannya di perut Aminah, lalu menjawab dengan lembut, "Aku hanya ingin memberikanmu sedikit kehangatan sebelum berangkat kerja. Kamu terlihat sibuk dan aku tahu kadang-kadang pikiranmu melayang jauh. Aku ingin membuatmu merasa nyaman dan diberi perhatian agar tidak stres."

Aminah tersenyum lebih lebar, merasa terharu dengan kata-kata suaminya. Dia merasa sangat beruntung memiliki seseorang yang begitu memperhatikan dan menghargainya.

"Terima kasih, sayang. Kamu selalu tahu bagaimana membuatku merasa istimewa," ucap Aminah dengan penuh cinta.

Suaminya menggenggam tangan Aminah dan membalikkan wajah istrinya agar mereka saling berhadapan. Dia memberikan ciuman lembut di kening Aminah dan berkata, "Kamu istimewa bagiku dan akan selalu menjadi yang teristimewa. Sekarang, ayo sarapan bersama! Kita bisa bicara lebih banyak lagi tentang apa yang mengganggu pikiranmu."

Aminah merasa hatinya penuh kebahagiaan dan rasa syukur. Bersama suaminya, dia tahu bahwa perjalanan hidupnya akan selalu dipenuhi dengan kasih sayang dan dukungan. Mereka berdua melangkah bersama menuju dapur, merangkul erat satu sama lain, siap menghadapi hari yang baru dengan semangat dan kebahagiaan.

***

Setelah sarapan, Aminah duduk sendirian di ruang tamu, merenung tentang apa yang bisa dia lakukan untuk menyegarkan hidupnya. Ide-ide pun mulai bergulir dalam benaknya. Dia memutuskan untuk menulis daftar hal-hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi kejenuhan dan memberi warna pada hidupnya.

Sedangkan suaminya, sudah berangkat kerja sekitar satu jam yang lalu. Begitupun dengan ayah mertuanya. Sedangkan ibu mertuanya, mungkin sedang meditasi di kamarnya atau sedang kumpul dengan teman-teman sosialitanya. Soalnya Aminah sejak tadi belum melihat ibu mertuanya yang sungguh cerewet dan sangat perfectionist.

Aminah mengambil selembar kertas dan sebuah pulpen, lalu mulai menuliskan rencana-rencana barunya. Beberapa di antaranya adalah Aminah ingin mencari kegiatan sosial yang dapat membantu dia bertemu dengan orang-orang baru dan berbagi minat yang sama.

"Emm, mungkin aku bisa mencari klub olahraga, kelompok seni, atau komunitas sukarelawan yang menarik perhatian kali, ya?" Tangan kanan Aminah menopang dagu. Terlihat jelas kalau dia sedang berpikir apalagi matanya melirik ke atas.

Aminah menyadari bahwa selalu ada ruang untuk belajar hal baru.

"Oh, aku tahu! Sepertinya aku harus mencari kursus atau pelatihan di bidang yang menarik minatku, seperti memasak, membaca buku, dan menulis." Senyum sumringah terpancar dari wajah Aminah.

Aminah ingat bahwa dulu dia sangat menyukai menulis cerita pendek dan puisi. Dia berencana untuk menghidupkan kembali hobi tersebut dan mungkin mencoba untuk berbagi karya-karyanya secara online.

"Selain menulis, aku juga ingin menyalurkan bakat memasak. Apalagi kabarnya akan ada lomba memasak tingkat kabupaten/kota yang kemudian nantinya akan dikirim untuk lomba masak tingkat provinsi. Hmm, sepertinya menarik!" ujar Aminah sambil melihat-lihat kembali 'to do list' yang ditulis di buku agendanya.

Selain itu, karena Aminah merasa belum banyak menjelajahi kota tempat tinggalnya, jadi dia ingin mencari tempat-tempat menarik, seperti museum atau tempat wisata yang belum pernah dikunjungi sebelumnya.

Aminah juga berniat ingin mencoba hal-hal baru yang bisa menantang dirinya, seperti hiking, berkemah, atau mengikuti kegiatan petualangan. Namun, Aminah menyadari bahwa kadang-kadang dia perlu waktu untuk bersantai dan merenung. Dia ingin menyisihkan waktu untuk meditasi, yoga, atau hanya sekadar menikmati ketenangan alam.

"Eh, tapi aku juga perlu membuat pikiran rileks dengan meditasi atau melakukan yoga seperti mama mertua. Daripada stres mikirin mimpi yang entah kapan terwujud. Huft!" Aminah menghela napas berat.

Setelah menulis daftar tersebut, Aminah merasa semangatnya mulai kembali. Dia merasa memiliki rencana untuk menghadapi kejenuhan dan memberikan warna baru pada hidupnya.

Dengan tekad yang kuat, dia pun memulai perubahan kecil dalam rutinitasnya, berharap bahwa langkah-langkah tersebut akan membawanya pada pengalaman hidup yang lebih berarti dan memuaskan.

"Oke, sekarang lebih baik aku meditasi dulu." Aminah duduk bersila di lantai kamarnya, menghirup napas dalam-dalam, lalu dibuang. Dia melakukannya secara berulang.

Tidak lama kemudian, tiba-tiba terdengar suara mobil dari arah luar rumah. Aminah melihat ke arah jendela dan melihat ibu mertuanya, Khadijah, datang dengan mobil mewahnya. Klakson mobil terdengar jelas memberi tanda kedatangan mereka.

Namun, yang mengejutkan adalah Khadijah tidak datang sendirian. Dia membawa rombongan sosialitanya, tampak dari penampilan mereka yang serba glamor. Mereka mengenakan pakaian modis dan mahal, terlihat seperti para selebriti di acara kelas atas. Aminah merasa agak kaget melihat pemandangan itu, sebab gaya hidup yang demikian seringkali terkesan mewah dan hedon.

Aminah mengirimkan pesan ke suaminya, memberitahukan hal tersebut. "Mas. Mama sudah pulang, tapi bawa rombongan. Kayak mau ada acara ibu-ibu arisan aja," ujarnya sambil memperhatikan para wanita sosialita itu.

Suaminya yang sudah terbiasa dengan kedatangan ibunya bersama rombongan tersebut, hanya tersenyum dan membalas pesan Aminah dengan senyuman dan berkata, "Sepertinya mama membawa para sahabatnya untuk berkunjung. Biasalah, emak-emak rempong. Paling juga mau ngomongin arisan atau adu harta kekayaan."

Aminah mengangguk, mencoba menenangkan diri setelah membaca balasan pesan dari suaminya. Meskipun dia tak sepenuhnya nyaman dengan gaya hidup hedonistik ibu mertuanya, tetapi Aminah berusaha untuk selalu menghargai dan menghormati.

"Hmm, gitu ya, Mas? Ya udah, deh, aku keluar kamar dulu. Mau nyambut mereka. Kamu jangan lupa makan, ya. Kan tadi udah aku bawakan bekal," ujar Aminah mengakhiri percakapan dengan suaminya.

***

Beberapa saat kemudian, pintu rumah terbuka lebar, Khadijah bersama rombongan sosialitanya masuk dengan riuh. Mereka memberi salam dan senyum yang ramah, tetapi Aminah merasa terdapat kesenjangan antara dirinya dan teman-teman ibu mertuanya itu. Mereka seringkali membicarakan hal-hal yang agak jauh dari nilai-nilai sederhana yang dia pelajari dan terapkan dalam kehidupannya.

"Jeng, ini menantu yang kamu ceritakan itu, ya?" tanya perempuan berambut pendek dengan memakai perhiasan seperti toko mas berjalan.

Aminah tersenyum tipis.

"Iya, Jeng. Ya udahlah, enggak penting. Yuk, kita masuk dulu," kata Khadijah yang berjalan menuju ruang tamu, diikuti teman-temannya.

Selama kunjungan itu, mereka bercerita tentang peristiwa-peristiwa sosial yang penuh gemerlap dan kehebohan. Aminah berusaha ikut serta dalam percakapan, tetapi terkadang dia merasa sulit menyambungkan hubungan dengan topik-topik yang mereka bahas.

Meskipun begitu, Aminah berusaha bertoleransi dan berbicara dengan sopan. Dia tahu bahwa ibu mertuanya adalah orang yang baik dan menyayanginya. Meskipun gaya hidup mereka berbeda, tetapi Aminah berusaha mencari titik temu dan menghargai perbedaan tersebut.

Di pertengahan percakapan mereka, ada salah satu ibu-ibu yang berceletuk dan membuat Aminah merasa direndahkan.

"Oh iya, ngomong-ngomong, Aminah lulusan kuliah di mana? Pasti lulusan luar negeri juga ya, seperti Sulaiman. Kan Sulaiman lulusan Universitas Harvard. Kalian dulu ketemu di kampus, ya?" tanya seorang ibu sambil memakan kue yang dihidangkan oleh Aminah satu jam lalu.

Aminah tersenyum tipis. Hembusan napasnya menandakan kalau dia tidak nyaman dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Belum lagi, Khadijah mengambil kesempatan untuk mempermalukan Aminah. Dia tertawa terbahak-bahak. "Aminah kuliah di luar negeri? Universitas Harvard? Anak kampung sepertinya mana sanggup bayar kuliah dan kehidupan di luar negeri, Jeng. Lagian, dia juga cuma lulusan SMA. Terus nikah sama anak saya karena dijodohkan.?"

"Lah, Jeng Khadijah gimana, sih? Kok anaknya dibiarkan menikah dengan anak kampung yang hanya lulusan SMA, sih? Padahal kan Sulaiman bisa mendapatkan perempuan yang lebih berkelas di luar negeri sana." Teman Khadijah yang lain menimpali.

"Yah, biasalah, Jeng. Saya juga heran, kenapa coba suami saya mau-maunya aja menjodohkan anak kami dengan anak kampung sepertinya. Kayak enggak ada gadis lain saja yang bisa dijadikan menantu. Kan bibit, bebet, dan bobot itu sangat penting ya, Jeng," jawab Khadijah sambil tertawa puas. Sifat Khadijah memang benar-benar seperti bunglon yang suka berubah-ubah.

Rombongan ibu-ibu sosialita itu menertawakan Aminah, seolah-olah anak kampung tidak pernah pantas untuk mengenyam pendidikan perkuliahan, apalagi sampai ke luar negeri. Padahal mereka belum tahu, kalau sebenarnya Aminah mendapatkan beasiswa untuk kuliah di kampus Universitas Oxford.

Tatapan Aminah berkaca-kaca, hatinya terluka oleh ucapan ibu mertuanya yang menyakitkan. Khadijah seolah tak menyadari bahwa kata-katanya telah menimbulkan luka dalam di hati menantunya. Meskipun berusaha menahan air mata, tetesan-tetesan air mata akhirnya jatuh membasahi pipinya.

Tanpa berkata sepatah kata pun, Aminah beranjak dari tempat duduknya dan berjalan menuju kamarnya. Suaminya yang saat itu pulang karena ada beberapa berkas yang ketinggalan, dia ingin mengejar dan menenangkannya, tetapi dia tahu bahwa Aminah butuh waktu dan ruang untuk merenungkan perasaannya.

Setibanya di dalam kamar, Aminah membiarkan dirinya hanyut dalam tangisan. Hatinya terasa hancur, merasa tidak dihargai dan dianggap rendah oleh ibu mertuanya. Dia merenung tentang bagaimana dia telah berusaha berdamai dengan perbedaan gaya hidup mereka, tetapi ucapan Khadijah selalu membuatnya merasa seperti orang asing.

Suaminya akhirnya memutuskan untuk memberi Aminah waktu sendiri untuk merenung dan beristirahat. Dia memahami bahwa perkataan ibunya bisa terlalu pedas dan dia tidak ingin memperburuk situasi dengan mencoba menenangkan Aminah dengan paksa.

"Eh, Sulaiman sudah pulang," sapa seorang ibu yang memakai perhiasan seperti toko mas berjalan.

Sulaiman tidak menanggapi sapaan teman mamanya itu. Tatapannya ke arah wanita yang melahirkannya 28 tahun lalu itu. "Mama benar-benar keterlaluan!" Dia pun melangkah ke arah kamarnya dan Aminah.

Beberapa jam kemudian, suami Aminah perlahan-lahan membuka pintu kamar dan menemukan istrinya yang duduk termenung di tepi tempat tidur. Dia duduk di sampingnya, mengusap lembut punggung Aminah dengan penuh kasih sayang.

"Aku minta maaf atas ucapan mamaku, sayang," ucap Sulaiman dengan suara lembut.

Aminah menoleh ke arah suaminya, wajahnya masih menyimpan bekas kesedihan. "Aku tahu kamu tidak bertanggung jawab atas ucapan mamamu. Tapi kadang, rasanya begitu sulit untuk bertahan dengan perbedaan ini," ujar Aminah dengan nada sedih.

Suaminya menggenggam erat tangan Aminah, "Aku mengerti, sayang. Tapi tolong ingat, aku akan selalu ada di sisimu. Kita akan melewati ini bersama-sama. Mamaku mungkin berbeda dalam gaya hidup, tapi dia tetap keluarga kita. Aku akan berbicara dengannya dan mencoba menjelaskan perasaanmu."

Aminah mengangguk, menghargai dukungan dan pengertian suaminya. Dia merasa lega memiliki seseorang yang memahaminya dan selalu berada di sisinya.

Dengan saling berpegangan tangan, Aminah dan suaminya menghadapi tantangan yang ada di depan mereka. Meskipun perbedaan bisa menjadi ujian, mereka berdua berkomitmen untuk terus mencintai dan saling mendukung satu sama lain dalam perjalanan hidup mereka sebagai pasangan.

Setelah rombongan sosialitas beranjak pulang, suasana rumah kembali tenang. Aminah duduk di dekat jendela, merenungkan kunjungan tersebut. Meskipun ada perbedaan antara mereka, dia berjanji untuk tetap berbuka hati dan mencoba memahami dunia ibu mertuanya. Dia percaya bahwa dengan saling menghargai dan berusaha memahami, mereka bisa mempererat hubungan keluarga dan menghadapi perbedaan hidup dengan bijaksana.

Sulaiman masuk ke dalam kamar dengan hati-hati, menemui ibunya, Khadijah, yang sedang duduk di sana. Dia tahu bahwa dia harus berbicara dengan bijaksana agar pesannya dapat diterima oleh ibunya.

"Mama, bolehkah aku bicara denganmu sejenak?" ucap Sulaiman dengan lembut.

Khadijah menoleh dan tersenyum ketika melihat anaknya. "Tentu, sayang. Ada apa?"

Sulaiman duduk di samping ibunya, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. "Aku ingin bicara tentang Aminah, Mama. Aku tahu perbedaan gaya hidupnya bisa membuatmu merasa sulit menerima kehadiran dia di keluarga kita. Tapi Aminah adalah istriku dan sekarang sudah menjadi bagian dari keluarga kita."

Khadijah mendengarkan dengan serius, mengenali bahwa putranya ingin membahas sesuatu yang penting baginya.

Sulaiman melanjutkan, "Aku mengerti bahwa Mama dan Aminah mungkin berbeda dalam banyak hal, tapi aku berharap kita semua bisa mencoba menghargai dan menghormati perbedaan itu. Aminah adalah wanita yang hebat dan berusaha keras untuk mendukung hidup kita bersama."

Khadijah mengangguk, menyerap kata-kata putranya. "Kamu benar, sayang. Aku seharusnya lebih bijaksana dalam menyikapi kehadiran Aminah di keluarga kita. Aku memang berbeda dengannya dalam banyak hal, tapi aku akan berusaha untuk menghormati peran dan posisinya sebagai menantu."

Sulaiman tersenyum lega mendengar jawaban ibunya. "Terima kasih, Mama. Aku tahu bukan hal yang mudah, tapi aku berharap kita bisa menjalani hidup ini dengan kebahagiaan dan harmoni bersama-sama."

Khadijah memeluk putranya dengan penuh kasih sayang. "Tentu, Sayang. Aku akan mencoba lebih terbuka dan menghargai Aminah dengan baik. Dia adalah pilihan hatimu dan aku ingin kalian bahagia bersama."

Namun, dalam hatinya berkata lain, "Aminah ini pintar banget mencari muka di depan anak saya. Awas kamu, Aminah. Entah apa yang sudah kamu katakan di depan anak saya." Sorot matanya tajam, seakan menyimpan dendam. Padahal dia memang bersalah karena sudah melukai hati Aminah dengan merendahkan dan mempermalukan di depan teman-temannya.

Dari percakapan tersebut, Sulaiman merasa lega dan bahagia. Dia tahu bahwa perubahan tidak akan terjadi dengan cepat, tapi dia yakin ibunya akan berusaha untuk lebih menerima Aminah sebagai anggota keluarga dengan baik.

Setelah itu, Sulaiman memutuskan untuk kembali menemui Aminah di dalam kamar. Dia menemukan istrinya masih duduk sendiri, tetapi senyum lembut telah kembali muncul di wajahnya.

"Aku berbicara dengan Mama," ucap Sulaiman sambil duduk di samping Aminah.

"Apa yang mama katakan?" tanya Aminah, rasa penasaran terpancar dari matanya.

Sulaiman tersenyum. "Mama akan berusaha lebih menghargai dan menerimamu sebagai menantunya. Aku yakin semuanya akan baik-baik saja. Kita akan menghadapi ini bersama, sayang. Percayalah padaku!"

Aminah merasa haru mendengar kabar itu. Dia menggenggam tangan suaminya erat-erat dan berkata, "Terima kasih, Sayang. Aku tahu kamu selalu berusaha untuk menjembatani perbedaan antara kami."

Sulaiman mencium kening Aminah dengan penuh cinta. "Sebagai pasangan, kita akan saling mendukung dan mencintai satu sama lain, tak peduli apa pun yang terjadi."

Mereka berdua duduk bersama, berbicara tentang masa depan dan harapan ke depannya. Mereka tahu bahwa setiap perjalanan memiliki rintangan, tetapi dengan saling mencintai dan mendukung, mereka bisa melewati segala kesulitan bersama-sama.

Lalu, tiba-tiba Sulaiman membahas tentang anak.

"Mungkin kalau kita sudah punya anak, sifat mama akan berubah. Gimana kalau sekarang kita ...."

Belum melanjutkan kalimatnya, Aminah memahami apa yang dimaksud suaminya itu.

Sambil menyeka air mata, Aminah mengangguk. "Semoga demikian. Ayo kita wujudkan!"

Lalu, mereka pun berusaha untuk mewujudkan ide dari Sulaiman. Semoga usaha mereka kali ini berhasil. Semua atas izin Allah, Maha Pemberi Rezeki. Karena anak merupakan rezeki dari Allah, itu sebabnya mereka hanya bisa berikhtiar, sisanya biar Allah yang menentukan kapan mereka diberikan amanah untuk memiliki anak.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status