Share

Tidak Berhenti Berharap

"Udah dapat belum pot bunganya? Pasti enggak ada, kan, pot bunga yang sama persis dengan yang kamu pecahkan kemarin?" Khadijah bertanya dengan wajah ketus sambil memakan buah apel yang sudah dipotong-potong. Dia menikmati buah tersebut sambil menonton acara televisi. Kopi hangat pun sudah ada di meja, berikut camilan yang lainnya.

"Belum, Ma. Rencananya, hari ini aku akan mencari pot bunganya, meski tidak sama persis, apalagi kenangannya tidak akan tergantikan, tetapi setidaknya aku membelinya sebagai permintaan maaf kepada Mama." Aminah berpamitan setelah berbicara dengan ibu mertuanya tersebut.

Aminah menghirup harum bunga mawar yang mengisi ruangan saat dia memandang pot bunga di meja makan. Dia membayangkan kalau itu adalah pot bunga yang tidak sengaja dipecahkan kemarin. Pot bunga itu memiliki warna cerah dan ornamen yang khas. Aminah pun tidak bisa menahan dorongan untuk menemukan pot bunga yang serupa.

"Aku tahu bahwa ini bukan hanya tentang pot bunga itu sendiri, melainkan tentang kenangan yang terkait dengan orang yang memberikannya dan aku harus menemukan pot bunga yang mirip," ujar Aminah yang percaya bahwa dengan menemukan pot bunga tersebut, dia bisa memperbaiki hubungan dengan ibu mertuanya.

Dengan semangat yang membara, Aminah memulai pencariannya. Dia menjelajahi berbagai toko bunga di sekitar kota, memeriksa setiap rak dan meja yang dipenuhi dengan pot-pot bunga yang indah.

"Permisi, Pak. Ada pot bunga yang mirip seperti ini?" tanya Aminah sambil menunjukkan foto pot bunga milik ibu mertuanya di ponselnya.

Pedagang pot bunga itu melihat dengan seksama. "Enggak ada, Neng. Tapi di sini banyak kok pot bunga yang bagus-bagus. Bisa dilihat-lihat dulu, Neng." Seorang bapak penjual bunga dan berbagai model pot bunga itu menawarkan kepada Aminah. Namun, Aminah tidak tertarik dan memilih mencari ke tempat lain.

"Oh, enggak ada ya, Pak? Ya udah, deh. Saya cari ke tempat lain dulu ya, Pak. Makasih, Pak," ujar Aminah. Lalu, melanjutkan perjalanannya.

Di perjalanan yang panjang, Aminah merasakan kehausan yang semakin mengganggu. Sinar matahari yang terik membuat tenggorokannya terasa kering. Saat itu, Aminah tengah dalam perjalanan menggunakan kendaraan umum, karena mobil suami dan mertuanya sedang dipakai oleh mereka.

"Cuaca hari ini cukup panas. Sampai-sampai aku bermandian keringat. Kayaknya aku harus beli minum dulu, deh," ujar Aminah sambil melihat-lihat tempat jualan minuman.

Melihat sebuah minimarket di pinggir jalan, Aminah memutuskan untuk berhenti sejenak dan membeli minuman serta roti. Dia memasuki minimarket dengan harapan bisa meredakan dahaganya. Saat itu, Aminah tidak hanya merasakan haus fisik, tapi juga rasa kerinduan yang mendalam terhadap kedua orang tuanya di kampung halaman.

Sejak Aminah menikah, kedua orang tuanya belum pernah menjenguknya di kota tempat tinggalnya sekarang. Kehidupan mereka di kampung terpisah jauh oleh jarak dan keterbatasan finansial. Aminah merasa sedih karena dia merindukan kehangatan dan kasih sayang kedua orang tuanya.

Sambil berjalan di lorong minimarket, Aminah melewati rak-rak yang dipenuhi dengan berbagai barang. Tatapan matanya tanpa sadar tertuju pada bingkisan-bingkisan makanan ringan yang mengingatkannya pada masa kecilnya di kampung. Dia merasa terharu dan mengenang momen-momen bahagia bersama kedua orang tuanya.

Aminah memutuskan untuk membeli air minum dan roti, lalu duduk sejenak di sudut minimarket. Dalam keheningan yang tercipta, dia menghubungi kedua orang tuanya melalui panggilan video. Wajah ibunya yang lembut dan senyum hangat ayahnya muncul di layar ponselnya.

"Assalamualaikum, Mak, Yah! Bagaimana kabar kalian di sana?"

"Waalaikumsalam, Nak! Alhamdulillah, kami baik-baik saja di sini. Kamu sendiri, bagaimana kabarnya?" tanya Sarah, emaknya Aminah dengan senyum sumringah.

"Alhamdulillah, Mak. Sekarang Aminah sedang dalam perjalanan, ada yang mau dibeli, tapi sekarang lagi rehat sejenak di sebuah minimarket." Aminah menghentikan ucapannya sejenak. Dia meneguk air mineral yang ada di dalam botol minuman pada genggaman tangannya. "Emm, aku merindukan kalian, Mak, Yah. Emak sama Ayah kapan ke sini? Soalnya aku mau pulang juga belum ada yang antar. Sulaiman masih sibuk dengan kerjaannya."

"Kami juga merindukanmu, Nak. Ceritakanlah bagaimana perjalanan hidupmu di kota, tentang suamimu, dan kehidupan sehari-harimu," pinta Latif, ayahnya Aminah.

Aminah dengan penuh rasa rindu mulai menceritakan perjalanan hidupnya selama di kota, lebih tepatnya setelah menikah.

"Baik, Mak, Yah. Jadi, suamiku bekerja di sebuah perusahaan sebagai insinyur.¹ Dia sangat rajin dan bertanggung jawab dengan tugasnya. Kami tinggal di rumah mewah dengan kedua orang tua Sulaiman. Sedangkan aku, ya apalagi kalau bukan menjadi ibu rumah tangga. Meskipun mendapatkan suami kaya raya, tetapi mertuaku tidak ingin mempekerjakan asisten rumah tangga karena banyak berita beredar bahwa ada ART yang kabur bawa uang majikan. Ada pula yang malah merebut suami majikannya. Macam-macam dah pokoknya, Mak, Yah. Ngeri banget kehidupan di kota ini. Mana kemarin ada berita anak SD dilecehkan oleh gurunya."

Aminah merasakan hangatnya kasih sayang dari kedua orang tuanya yang terpancar melalui layar ponselnya. Percakapan mereka menjadi obat bagi kerinduan yang terpendam selama ini.

Kedua orang tua Aminah memberikan semangat dan dorongan kepada putri mereka yang sedang merindukan kehangatan keluarga.

"Itu sangat hebat, Nak! Kami bangga padamu. Kami selalu mendoakan yang terbaik di setiap langkahmu. Artinya kamu masih ingat pesan kami agar selalu mengabdi pada suamimu. Kan perempuan itu emang kerjaannya melayani suami, enggak perlu sekolah tinggi-tinggi sampai sarjana. Lagian, kita juga enggak punya uang buat biaya kamu kuliah. Beruntungnya ada yang mau nikahi kamu, duda kaya pula dan belum sempat punya anak karena keburu istri pertamanya meninggal. Kabar baiknya, anak kamu yang akan menjadi pewaris di keluarga suamimu." Sarah memang tidak pernah munafik soal harta. Mungkin karena sudah lelah hidup miskin di kampung dan ingin merasakan bagaimana hidup mewah. Mungkin ini salah satu alasannya ingin Aminah menikah muda.

"Emak juga berdoa, semoga kamu selalu dilindungi Allah, ya. Kehidupan di kota memang keras dan sungguh kejam. Emak dan ayah cuma bisa mendoakan yang terbaik untukmu di sana." Aminah menambahkan ucapannya dengan doa.

"Terima kasih, Mak. Mendengar suara kalian dan melihat wajah kalian di layar ponsel ini, membuatku merasa lebih baik. Aku merindukan kehangatan kasih sayang kalian." Aminah bicara dengan wajah sendu. Dia benar-benar merindukan kedua orang tuanya. Saat ini dia butuh pelukan dari emak dan ayahnya untuk menyemangatinya lebih dalam. Apalagi ibu mertuanya ternyata terkadang bersifat bunglon.

"Kami juga merindukanmu, Nak. Kamu adalah kebanggaan kami. Tetaplah berusaha dan jangan pernah berhenti bermimpi. Kami selalu mendukungmu," ujar Latif dengan mengepalkan tangannya seraya tersenyum.

Aminah tersenyum tipis. Dalam hatinya berkata, "Kalau selalu mendukung, lantas kenapa harus menjodohkanku di usia 18 tahun? Di mana masa-masa emas seseorang untuk mengejar impian. Kenapa, Mak, Yah? Kenapa? Mana dijodohkan sama seorang duda pula. Emang sih, kaya, tapi kan dia lebih tua 10 tahun dariku! Duh, enggak pernah menyangka, bisa nikah sama om-om!" Aminah menggelengkan kepalanya sambil menghela napas pendek.

"Aminah. Kamu baik-baik saja kan, Nak?" tanya Sarah, memastikan karena anaknya melamun.

Aminah keluar dari lamunannya. "Iya, Yah. Terima kasih banyak. Aku sangat bersyukur memiliki orang tua seperti kalian. Terima kasih sudah mengobati rasa rinduku dengan percakapan kita ini."

"Nak, jangan khawatir. Kami akan segera berkunjung dan menemui kamu di kota tempat tinggalmu sekarang. Kita akan menghabiskan waktu bersama dan menciptakan momen indah."

Kalimat pemberitahuan dari ibunda tercinta, menciptakan senyuman manis di wajah Aminah. Dia merasa sangat berbahagia mendengar kabar tersebut dan rasa kerinduannya sedikit terobati.

"Oh, sungguh? Aku sangat berbahagia mendengarnya, Mak! Aku tidak sabar untuk bertemu dan menghabiskan waktu bersama kalian di sini."

"Kami juga tak sabar, Nak. Segera, kita akan merapatkan jarak ini dan menciptakan kebahagiaan bersama." Janji Latif.

"Terima kasih, Mak, Yah. Aku mencintai kalian dengan segenap hatiku."

"Kami juga mencintaimu, Nak. Tetaplah kuat dan bersemangat. Kami selalu ada untukmu, baik dalam kehadiran fisik maupun di hatimu." Sarah berjanji dengan segenap hati.

"Jaga dirimu dengan baik, Nak. Sampai jumpa nanti di waktu yang tepat," ujar Latif, mengakhiri percakapannya.

"Sampai jumpa, Mak, Yah. Terima kasih atas segalanya. Salam sayang untuk semua keluarga di kampung." Aminah mengirim kecupan sayangnya dari layar telepon.

"Salam sayang juga untukmu dan suamimu, Nak. Hati-hati dalam perjalanan. Assalamualaikum." Sarah menutup percakapan tersebut.

"Waalaikumsalam, Mak, Yah. Terima kasih atas waktu luangnya."

Setelah menutup panggilan video, Aminah merasa lebih kuat dan semangat untuk melanjutkan perjalanan hidupnya. Meskipun dia merindukan kedua orang tuanya, tetapi Aminah tahu bahwa mereka selalu ada di hatinya. Dengan rasa bersyukur dan harapan yang membara, Aminah kembali melanjutkan perjalanan menuju tujuannya sambil membawa minuman dan roti yang baru saja dibeli.

Kemudian, dia melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki, karena dia melihat ada deretan toko bunga di sana. Namun, tidak ada yang benar-benar menarik perhatiannya. Pot-pot bunga yang ditemui tidak memiliki karakter yang sama seperti yang dimiliki oleh ibu mertuanya.

Meskipun demikian, Aminah tidak menyerah. Dia mengunjungi toko bunga satu demi satu, berharap menemukan pot bunga yang memiliki cerita di baliknya. Dia bertanya kepada penjual tentang setiap pot bunga yang menarik minatnya, berharap mendapatkan petunjuk dan akan membawanya lebih dekat dengan pot bunga yang dicari.

"Ya Allah! Susah banget, ya, cari pot bunganya. Langka banget pot bunga yang mirip seperti punya mama." Aminah menggerutu sambil mengelap keringatnya.

Kemudian, Aminah teringat sesuatu. "Oh iya, hampir saja aku lupa. Kan aku sudah janji sama mama kalau mau belanja kebutuhan pokok. Mau masak apa coba aku nanti kalau bahan makanannya pada habis." Dia pun bergegas mencari tempat perbelanjaan sayuran, minyak, dan keperluan dapur lainnya.

Setelah hari mulai sore, Aminah memutuskan untuk pulang dan berjanji akan kembali mencari pot bunga yang diharapkan keesokan harinya. Aminah sangat optimis kalau dia pasti akan menemukan pot bunga serupa dengan yang dipecahkan kemarin.

Aminah pulang memang tidak dengan tangan kosong karena satu janjinya kepada Khadijah sudah dipenuhi. Yah, walaupun belum mendapatkan pengganti pot bunga kesayangan milik mertuanya, tetapi dia sangat senang karena sudah berhasil berkomunikasi dengan kedua orang tuanya. Rasa rindunya terobati, meskipun melalui telepon.

****

Footnote:

¹ Seorang insinyur dapat bekerja dalam hal desain dan pengembangan, pengujian, proses produksi, atau perawatan. Insinyur yang bekerja di pabrik, memiliki peran mengawasi proses produksi, menentukan penyebab kerusakan alat, dan menguji produk untuk menjaga kualitas.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status