Share

Kecerobohan Aminah

Suatu hari, Aminah tidak sengaja memecahkan pot bunga kesayangan ibu mertuanya. Aminah sangat ketakutan, tidak ada orang di dalam rumah, selain dirinya. Kedua mertuanya, Abbas dan Khadijah, sedang berkunjung ke suatu tempat. Maklum, orang kaya, jadi setiap harinya pasti banyak kesibukan. Mungkin selain takdir dari Allah, memang faktor kesibukan inilah yang menyebabkan Sulaiman menjadi anak tunggal. Begitu pikir Aminah sambil membereskan pecahan pot bunga tersebut.

Sedangkan suaminya, apalagi yang harus dilakukan selain bekerja dan sibuk berkumpul dengan teman-temannya. Sulaiman pulang sampai larut malam kalau sudah berkumpul dengan teman-temannya, bahkan pernah tidak pulang.

Belum selesai membersihkan pecahan pot bunga tersebut, mertua Aminah datang dengan mobil mewah pada eranya. Karena di tempat tinggalnya, belum banyak yang memiliki mobil pribadi.

Khadijah menghampiri dengan muka masam. "Astaghfirullah. Ini ada apa, Aminah? Kenapa pot bunganya pecah begini?" tanyanya dengan nada tinggi.

Abbas hanya diam, mematung sambil memperhatikan apa yang akan dilakukan oleh istrinya, Khadijah, setelah melihat pot bunga kesayangannya dipecahkan oleh Aminah.

Aminah menunduk. Ketakutannya semakin menjadi saat Khadijah menarik tangan Aminah, hingga Aminah berdiri tepat di hadapannya.

Aminah tidak menatap wajah Khadijah. Dia tidak pernah membayangkan sebelumnya kalau sewaktu-waktu ibu mertua galak yang pernah ditonton di serial televisi akan ada di kehidupan nyata. Pikiran Aminah mulai berkeliaran.

Dengan penuh emosi, Khadijah membuat Aminah menangis dan semakin merasa bersalah. Dia mengajak Aminah masuk ke rumah agar obrolan mereka tidak terdengar oleh tetangga atau orang yang berlalu lalang di sekitar rumah mereka. Tangan Aminah dipegang dengan sangat kuat, hingga Aminah merasa kesakitan.

"Aminah! Sekarang kamu jawab degan jujur pertanyaan saya. Apa kamu yang sengaja memecahkan pot bunga ini?"

Emosi Khadijah semakin memuncak tatkala Aminah hanya menjawab dengan sebuah tangisan yang membuatnya terkesan menjadi ibu mertua jahat.

"Eh, nih anak ditanya malah nangis aja dari tadi."

Abbas menghela napas pendek. Ingin mengendalikan emosi istrinya agar tidak memuncak, tetapi dia juga takut kalau dirinya ikut dimarahi. Terkesan tidak tegas, sih! Namun, di rumah itu, yang paling berkuasa adalah Siti Khadijah. Wanita sosialita yang terkenal dengan sifat egoisnya, tidak pernah mau mendengarkan alasan meskipun benar. Orang yang tidak salah pun, bisa menjadi salah kalau sudah berurusan dengannya. Sifat asli Khadijah semakin terlihat. Tidak mencerminkan arti dari namanya.

Aminah menjawab dengan terbata-bata. Air matanya mengalir deras di pipinya. "Ma-maaf, Ma. Aku tadi sedang bersih-bersih rumah, terus tidak sengaja menyenggol pot bunganya. Jadi, potnya pecah."

"Baru juga kemarin-kemarin dipuji karena kamu pintar memasak. Sekarang malah buat masalah. Kamu kira saya akan luluh dengan tangisanmu itu?" bentak Khadijah. "Dasar wanita tidak berpendidikan! Wajar aja kalau tidak bisa hati-hati." Kalimat terakhir yang dilontarkan oleh Khadijah sungguh menyakiti hati Aminah.

Aminah terus menangis, sambil berusaha menahan rasa sakit di tangannya yang terjepit kuat oleh Khadijah. Abbas akhirnya mencoba meredakan situasi dengan berbicara, "Ma, sudahlah, mari kita bicarakan dengan tenang. Ini hanya sebuah kecelakaan kecil, tidak perlu membesar-besarkan masalah ini."

Namun, Khadijah tidak menerima pendekatan tersebut. "Tidak, Pa! Ini bukan sekadar kecelakaan kecil! Pot bunga itu adalah hadiah dari saudara saya yang sudah lama meninggal. Nilainya tidak bisa digantikan!"

Aminah merasa semakin bersalah dan terpojok. Dia tahu bahwa permintaan maafnya tidak akan membuat Khadijah puas. Dia mencoba memohon dengan suara bergetar, "Maafkan aku, Ma. Aku benar-benar tidak bermaksud merusak pot bunga itu. Aku sangat menyesal."

Khadijah merenung sejenak, kemudian melepaskan genggamannya pada tangan Aminah. "Baiklah, kali ini saya maafkan. Tapi kamu harus bertanggung jawab dan mengganti pot bunga tersebut dengan yang baru. Pastikan kejadian seperti ini tidak terulang lagi di masa depan."

Aminah mengangguk dengan cepat. Dia berterima kasih kepada ibu mertuanya itu karena memberikan kesempatan kedua, meskipun hatinya masih terasa hancur karena perkataan pedas yang telah dilontarkan.

Khadijah meninggalkan suami dan menantunya di ruang tamu. Sementara, dia pergi untuk melakukan meditasi. Menenangkan pikirannya sejenak di kamar. Kamar Khadijah dan Abbas memang cukup luas karena ada ruang khusus untuk berolahraga untuk mereka pribadi yang bisa dijadikan tempat melakukan meditasi dengan melakukan Yoga. Walaupun ruang olahraga juga ada di dekat ruang keluarga, tetapi Khadijah selalu memilih untuk menggunakan ruang olahraga di dalam kamarnya. Alasannya agar tidak ada yang mengganggu ketenangannya.

Di ruang tamu, Abbas menarik Aminah ke samping. Dia mengusap punggung menantunya dengan lembut sambil berbisik, "Sabar, sayang. Semuanya akan baik-baik saja. Papa akan membantumu mencari pot bunga baru dan berbicara dengan mama supaya dia lebih memahamimu."

Aminah merasa sedikit lega mendengar kata-kata dukungan dari ayah mertuanya. Meski dia masih merasa takut dengan sikap ibu mertuanya, tetapi dia yakin kalau ayah mertuanya itu bisa meredakan emosi sang mama mertua.

Malam itu, setelah suasana telah sedikit mereda, Aminah duduk di ruang tengah dan merenung. Dia bertekad untuk menjadi lebih hati-hati dan bertanggung jawab dalam setiap tindakannya. Dia ingin memperbaiki hubungannya dengan Khadijah dan membuktikan bahwa dia bisa menjadi menantu yang baik.

Selain itu, dia berharap suatu hari nanti Khadijah bisa melihatnya sebagai anak sendiri, bukan hanya sebagai menantu yang selalu menjadi sumber masalah. Aminah menyadari bahwa tidak mudah, tetapi dia siap untuk belajar dan berkembang sebagai individu yang lebih baik.

Dengan tekad baru dan dukungan dari suaminya, Sulaiman, dan ayah mertuanya, Abbas. Aminah berharap bahwa keluarganya dapat melewati cobaan ini dan memperkuat ikatan mereka. Dia yakin bahwa dengan kesabaran, pengertian, dan upaya yang sungguh-sungguh, mereka dapat membangun hubungan yang lebih baik di masa depan.

Sulaiman sudah mendengar konflik yang terjadi antara istri dan ibunya. Dia memahami perasaan istrinya itu dengan baik.

Di dalam kamar, Sulaiman mencoba menenangkan Aminah karena air matanya masih mengalir di pipinya, pelan tapi terus menetes.

Sulaiman menyentuh wajah Aminah dan menghapus air mata sang istri dengan lembut. Kedua bola mata Sulaiman dan Aminah saling mengadu.

"Menangislah kalau itu membuatmu tenang, tapi jangan terlalu dipikirkan ucapan mama, ya. Mungkin mama juga tidak berniat untuk berkata seperti tadi. Mama hanya terbawa emosi karena pot itu sangat berarti untuknya."

Aminah menelan ludahnya dan menutup mata. Dia menarik napas pelan-pelan sebelum membuka mata kembali.

"Kamu enggak marah sama aku?" tanya Aminah dengan isak tangis yang tersisa.

Sulaiman menautkan alisnya. "Marah? Untuk apa?"

"Soalnya aku tidak bisa menjadi menantu yang baik untuk mama dan sangat ceroboh." Aminah bicara dengan pelan. Tenaganya sudah terkuras sejak tadi.

Sulaiman membelai rambut Aminah dengan lembut. Mereka duduk di atas kasur.

"Sayang, kamu tidak harus menjadi menantu yang sempurna di mata mama atau pun papa. Kamu juga manusia biasa yang memiliki banyak kekurangan."

Tubuh Sulaiman dan Aminah semakin dekat. Aminah seakan tahu apa yang akan dilakukan oleh suaminya. Dia dengan sigap, menyiapkan diri untuk melakukan salah satu tugasnya sebagai seorang istri.

Aminah menjadi rileks ketika berhubungan suami-istri. Dia merasakan ketenangan dalam batin dan pikirannya. Sulaiman berhasil membuat tangisan Aminah mereda. Mereka menikmati malam itu dengan penuh kasih sayang. Sepertinya, rasa cinta dalam diri Aminah mulai muncul untuk suaminya. Keduanya mulai merasakan cinta seutuhnya sebagaimana pasangan suami-istri.

Suara jangkrik dari luar, mengiringi adegan mesra di dalam kamar tersebut. Dalam hati Aminah, dia berharap agar suaminya selalu bersikap seperti ini. Meskipun Aminah terkadang merasa kesal karena suaminya kadang lupa waktu pulang, tetapi setidaknya—sejauh ini Sulaiman tidak pernah sedikit pun menyakiti hatinya.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status