Pukul sebelas malam pengunjung kafe masih ramai memadati ruangan. Muda-mudi yang kerap kali berkumpul bersama menghabiskan waktu, bahkan orang kantoran pun lebih memilih merilekskan tubuh dengan secangkir kopi di sini.
Kegaduhan di jalan raya sebentar lagi akan berangsur pudar, digantikan oleh kesunyian yang mengundang rasa kian mencekam. Erisca mengelap tumpahan minyak di atas meja kosong nomor sembilan. Mata gadis itu tak henti memandang sekeliling, menatap cowok remaja yang membuat dia kembali mengingat masa lalu kelam.
"Kapan dia balik?" batin Erisca. Tapi selepas itu dia menggeleng lemah. Percuma saja diharapkan, seseorang itu sudah menyakitinya dan tidak mungkin kembali.
Selesai membersihkan meja-meja kosong lainnya, Erisca beralih merapikan kursi karena sebentar lagi kafe akan tutup –menunggu pengunjung pulang. Jika tidak, mungkin orang-orang akan terus berdatangan sementara para pekerja di sini tentu perlu istirahat, termasuk Erisca.
"Mbak, kenapa kursinya malah diberesin? Udah tahu saya mau duduk! Ga becus banget, sih, jadi pekerja!" Cewek berpakaian minim menatap Erisca tajam, seolah menyatakan permusuhan.
Namun, Erisca bukan lawan sepadan. Cewek itu tidak bisa banyak tingkah di depan khalayak.
"Maaf, Kak, tapi kafe akan tutup lima belas menit lagi. Jadi saya beresin kursi dan mejanya agar pengunjung tahu jika kami tidak lagi menerima mereka, kecuali esok hari." Erisca menjelaskan dengan ekspresi lembut. Memang sudah semestinya bersikap baik walau hati tergores senjata tak terlihat alias perkataan.
"Wah ... wah ... wah .... Harusnya mbak bersyukur karena masih ada yang mau datang ke sini. Kalau enggak, mungkin kafenya udah bangkrut dan berdebu. Jadi, mbak mesti melayani saya karena pembeli adalah raja!" Cewek itu ngotot, bahkan ia tidak segan duduk sembari tumpang kaki layaknya juragan.
Sebisa mungkin Erisca tetap bersabar. Bukan sekali dua kali dia diperlakukan seperti ini. Oke, konsekuensi menjadi pelayan adalah direndahkan! Tapi jika tidak begini, Erisca akan mati kelaparan.
"Sekali lagi saya minta maaf, Kak. Memang sudah peraturannya seperti itu. Percuma saja kakak duduk di sini, karena kami benar-benar akan tutup. Kecuali kalau kakak pesan makanan dibungkus, mungkin kami bisa melayaninya."
Tersenyum, tersenyum dan tersenyum. Mental lemah, hati rapuh, fisik lelah. Erisca dituntut untuk menjadi pribadi yang ramah, meski kenyataannya dia tidak terlalu pandai berekspresi.
"Saya tetep mau makan di sini! Se-ka-rang!" perintah cewek itu, sarkastik.
"Tapi, Kak, su–"
Plak!
"Jangan banyak omong! Cepetan bikinin saya makanan atau pukulan keras bakal melayang di pipi selanjutnya?!" Cewek itu mengancam, sementara Erisca hanya diam sambil menunduk.
Pengunjung yang hendak pulang pun sampai balik badan karena terkejut mendengar kegaduhan. Cewek itu ngos-ngosan, tangan mengepal kuat, keringat dingin bercucuran deras. Erisca mundur selangkah, menubruk tubuh seseorang. Sontak dia menoleh, mendapati pria tegap dengan rahang mengeras.
"Bakal saya adukan ke atasannya!" Cewek tadi mendesis, celingak-celinguk mencari ruangan pemilik kafe ini.
"Saya atasannya!" Pria berkemeja merah berjalan tiga langkah dari balik punggung Erisca. Urat-urat di tepian kening tampak keluar jelas. Ia marah, benar-benar marah!
"Pak, harusnya pekerja seperti dia tidak pantas diterima kerja di sini. Ada pelanggan, kok, malah ngusir. Lebih baik bapak pecat saja dia!" perintah cewek itu –lagi– seolah kafe ini adalah miliknya.
"Siapa kamu berani menunjuk saya?" Guntur berlagak sombong, memasukan satu tangan ke dalam saku celana.
Cewek yang hendak mengeluarkan perkataan pedas itu pun hanya bisa bungkam. Gigi atas dan bawahnya saling beradu dengan tekanan kuat. Ia juga sama-sama marah.
"Lebih baik anda pergi sebelum saya bertindak jauh." Guntur mendesis, tatapan tajamnya membuat siapa pun merasa waswas.
"Kalian sama-sama gak profesional! Saya nyesel datang ke sini!" Cewek itu pergi dengan hati dongkol. Sepanjang jalan sampai keluar dari kafe, ia menghentakkan kakinya karena kesal.
"Kamu baik-baik aja?" Guntur membalikkan tubuh Erisca dengan gerakan gesit sampai cewek itu terkejut.
"Saya enggak apa-apa, kok, Pak," balas Erisca, hendak berlalu, tapi Guntur malah meraih tangannya.
"Tapi pipi kamu merah." Perlahan Guntur mengelus pipi kanan Erisca penuh kasih sayang.
Erisca mematung, tidak percaya jika Guntur akan memperlakukannya seperti itu. Sudah lama hati tak tersentuh getaran ajaib. Tapi kali ini dia merasakannya lagi.
"Kita obati." Tanpa permisi Guntur menarik pelan Erisca menuju ruangan khusus yang ada di belakang kafe.
Guntur memang baik serta pandai. Ia sengaja menyiapkan dua ruangan luas dan bersih untuk para pekerja. Di sana juga disediakan lemari sebagai wadah pakaian, alat solat, atau obat-obatan.
"Sebentar, saya ambil dulu air hangat." Guntur berlalu keluar sementara Erisca sudah duduk manis di atas sofa empuk.
Sepeninggal pria itu, Erisca memegang pipinya. Kenapa Guntur sangat baik? Padahal dia tidak terluka parah. Aneh bin heran, Guntur berwatak tegas kepada siapa saja. Tapi mengapa hanya Erisca yang diperhatikan?
"Jangan banyak bergerak, biar saya kompres dulu lukanya supaya cepat pulih." Guntur mengusap pipi Erisca menggunakan handuk super halus. Dalam wajah tersirat kekhawatiran yang begitu kentara.
Erisca dibuat bertanya-tanya oleh tingkah pria itu. Apakah ia menyukainya? Atau hanya kasihan saja?
"Lain kali kalau ada pelanggan sewot kayak tadi, kamu pergi dan temui saya. Jangan diladeni karena kamu juga yang bakalan sakit." Guntur sangat fokus mengobati pipi Erisca. Meski tak ada luka berat, tetapi tampak memerah bagai pewarna wajah.
Dulu kala, ada satu orang yang selalu bisa memulihkan kesakitan. Orang itu adalah penolong di saat kesusahan berkunjung ke dalam jiwa dan raga. Baik Erisca mau pun Guntur saling melempar pandang. Mereka kembali mengingat masa lalu.
Dari atas sampai bawah, tubuh Erisca bagai disengat listrik saat tiba-tiba Guntur memajukan wajahnya. Jika ada yang mendorong, mungkin mereka sudah menyatu. Tapi untung saja Erisca lebih cepat menghindar hingga kejadian terlarang tidak terlaksana.
"Em ... maaf, saya gak bermaksud seperti itu. Tadi saya hanya–"
"Gak apa-apa, Pak. Lebih baik saya ke depan lagi, soalnya ada beberapa meja yang belum diberesin." Erisca mengelak. Dia berjalan keluar ruangan, tapi Guntur menghentikannya.
"Kamu marah?" tanya Guntur, khawatir jika Erisca akan berubah drastis karena kejadian tadi.
"Oh, enggak, kok. Saya cuma kaget aja." Menunduk malu, menggigit bibir bawah karena dia mendadak grogi.
"Oke, sekali lagi saya minta maaf. Sekarang kamu boleh ke depan buat beresin kafe. Nanti setelah itu kita pulang bareng." Tanpa menunggu persetujuan, Guntur kembali memasuki ruangan lantas menutup pintu.
Erisca semakin bingung. Tapi akhirnya dia tersadar saat salah satu cewek imut menepuk pundak, "Ayo, kerja! Malah ngelamun." Erisca terkekeh pelan. Mereka berjalan bersamaan ke depan untuk bergabung dengan yang lain.
Sementara itu, ada jantung yang berdetak hebat akibat tatapan lembut seorang karyawan. Guntur memukuli kepalanya sendiri, berusaha menghilangkan getaran dalam dada agar bisa bersikap normal.
Setelah pudar kegelisahannya, Guntur dapat bernapas lega.
Langit menggelap, waktu semakin larut saja. Erisca membuang napas hingga embun-embun dari dalam mulutnya menempel pada jendela kaca. Ini sudah malam, dan Erisca berhasil menghindari Gema, tetapi dia malah mendapat masalah baru.Setengah hari ini Erisca tidak mengindahkan kehadiran Guntur. Terakhir kali mengobrol ketika istirahat dan duduk-duduk di kursi kafe, setelahnya Erisca mengabaikan. Tentu saja Guntur bingung, jika bertanya pun Erisca hanya menjawab, "Enggak apa-apa.""Tapi kamu tiba-tiba aneh, Ris. Apa aku ada salah? Atau kamu tersinggung lagi sama karyawan di sini?" Guntur diam di belakang Erisca, menatap wajah sang kekasih melalui pantulan kaca.Lagi-lagi Erisca menggeleng lemah. Dia belum siap bertanya tentang masa lalu Guntur. Selain karena tidak ada hak, dia juga takut salah dan berakhir menuduh. Erisca masih yakin jika Susi hanya ingin membuat hubungan mereka kandas. Jadi, Erisca mesti hati-hati."Kelakuan kamu ini bik
"Ada apa, ya, Kak?" Seorang karyawan cewek mendekat, tersenyum-senyum tidak jelas begitu menatap wajah Gema."Enggak apa-apa. Cuma kaget aja sama mainan bentuk kecoa di lemari itu, kirain beneran. Lain kali kalau mau simpan pajangan, yang agak enak dilihat bisa, 'kan?" Gema memberi saran, tetapi terkesan memerintah."Oh, i-iya." Karyawan itu mengangguk.Gema pun pergi ke belakang. Entah mau ke mana? Mungkin ke toilet? Erisca tidak terlalu mengindahkan, yang penting dia tidak ketahuan oleh Gema. Bisa-bisa Erisca tidak dapat berkutik ketika cowok itu mengetahui keberadaannya.Sebelum Gema kembali, Erisca buru-buru menjauh dari sana. Dia berjalan tak tentu arah, melihat bangku yang sempat ditempati Guntur, tetapi pria itu sudah tidak ada. Mumpung masih jam istirahat, Erisca keluar kafe saja, mencari tempat ternyaman yang dapat menyembunyikan seluruh tubuhnya.Erisca memilih terdiam di dalam warung bakso sebelah kafe
Hari ini Erisca datang terlambat karena Guntur sengaja berlama-lama mengurungnya di apartemen. Alhasil, banyak pasang mata yang menyorot sinis ke arahnya. Erisca berusaha abai, tidak ingin mempermasalahkan hal yang kurang bermanfaat.Pikiran Erisca saat ini hanya tertuju pada tas yang tertinggal semalaman. Dia berjalan cepat ke arah ruangan khusus yang sempat dipakai untuk tidur oleh Guntur. Syukurlah tasnya masih ada di sana."Barang-barang aku gimana, ya?" Karena ragu, Erisca mengeluarkan seluruh isi dari dalam tas, mengusap dada lega karena tidak ada yang hilang."Hey, Ris, kamu lagi ngapain?" Key datang dari luar, menepuk pundak Erisca hingga cewek itu menoleh."Enggak lagi ngapa-ngapain, kok, cuma cek tas yang ketinggalan aja," balas Erisca, tersenyum manis."Tas kamu ketinggalan? Tapi isinya aman, 'kan?" Key bertanya panik, seolah mengkhawatirkan barang-barang berharga milik Erisca."Alhamdulillah am
"Kamu mau ke mana?" Guntur spontan membuka mata ketika merasakan gerakkan pada kasur. Ia menatap Erisca sedikit buram, sesekali mengusap.Gadis itu sedang melotot ke arah Guntur, merasa tidak percaya jika semalaman mereka tidur satu ranjang. Jika saja malam tadi Erisca tidak mengantuk, mungkin saat ini dia masih ada di kamarnya sendiri. Lalu ... apa Guntur sudah melakukan ...Mata Erisca semakin membulat. Dia meraba-raba seluruh tubuh, mulai dari atas hingga ke bawah. Ternyata pakaiannya masih sempurna menutupi diri. Tapi bisa saja Guntur kembali memasangkan kain itu setelah berbuat hal aneh-aneh?Erisca segera menyingkirkan selimut yang masih menutupi bagian kaki. Dia berjalan mondar-mandir, atau sesekali melompat-lompat di tempat. Barangkali ada rasa sakit pada bagian tertentu. Namun, sepertinya tidak. Dia malah lancar-lancar saja bergerak ke sana-kemari."Kamu lagi ngapain, Ris? Kok aneh gitu?" Guntur bangun, mengucek mata dengan ramb
Erisca menghempas tangan Guntur agak kasar. Dia tidak suka jika Guntur berlebihan seperti tadi. Pandangan orang lain terhadap Erisca dan Guntur itu beda. Mereka hanya akan menggunjingkan Erisca dengan cara yang tidak pantas, sedangkan Guntur malah sebaliknya.Orang berpendidikan tinggi memang selalu dihargai. Kekayaan dan juga ketampanan membuat atensi besar terhadapnya.Tidak seperti Erisca, karyawan kafe lulusan SMA. Memang bukan salah siapa-siapa, sih. Lagipula dia sendiri yang enggan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Padahal orang tuanya telah mempersiapkan banyak hal untuk sang anak, termasuk masalah sekolah. Namun, bagai kuda yang sudah tidak ingin melaju, sangat sulit diatur sekali pun dicambuk rotan.Kalau dipaksa terus yang ada bisa ngamuk."Jangan-jangan kamu emang suka digoda sama laki-laki lain?" Guntur mendesis. Tatapan matanya menyorot penuh ke arah Erisca.Jujur saja, Erisca gemetaran dipandang
Hari ini Erisca mulai bekerja karena keadaan tubuhnya telah membaik. Fendi sempat mengantarkan sang anak sampai masuk kafe, tetapi ia langsung pergi ke kantor karena ada pertemuan dengan klien. Erisca sedang berdiri di depan meja kasir –mengelap seluruh bagiannya agar kinclong dan enak dilihat pengunjung.Suasana di sini sangat nyaman apalagi di pagi-pagi buta. Embun-embun kecil masih menempel pada jendela, dipadukan dengan semburan sinar matahari, membuat mata termanjakan. Erisca rindu membersihkan tumpukkan piring-piring kotor, meski itu adalah perkejaan melelahkan bagi setiap orang.Di rumah, dia hanya akan diam saja tanpa melakukan apa-apa. Sarah selalu tidak setuju membiarkan Erisca bergerak ke sana-kemari. Apalagi jika harus membersihkan seluruh ruangan, cuci piring atau lain sebagainya. Karena rumah mereka juga jarang terjamah orang luar terutama anak kecil, jadi kotoran tidak terlalu menumpuk seperti kebanyakan.Mungkin salah satu
"Aku udah sehat! Nih, lihat, badan aku juga enggak sakit lagi meski banyak gerak." Erisca melompat dari kasur, menggoyang-goyangkan tubuh ke sana-kemari guna meyakinkan Sarah.Hari ini Sarah hendak pergi berziarah ke makam mendiang sang ibu. Fendi yang mengantarkan menggunakan mobil karena letak pemakaman itu lumayan jauh dari kawasan komplek. Jika Erisca ikut, Sarah khawatir gadis itu akan lebih sakit lagi."Enggak, Erisca! Mama takut kamu makin parah. Lebih baik kamu istirahat aja di rumah supaya pulih total. Nanti kita ziarah bareng-bareng kalau kamu udah bener-bener sembuh." Sarah memutar kenop pintu, ingin pergi dari sana, tetapi Erisca malah menahannya."Aku mohon, Ma .... Lagian udah lama juga aku enggak datang ke makam nenek. Masa mama larang anaknya buat ziarah, sih? Itu sama aja dosa, lho, Ma." Erisca menakut-nakuti. Sarah menghela napas pelan, mengangguk samar meski sebenarnya enggan menyetujui."Yeay! Makasih, Ma. Aku s
Keringat dingin bercucuran di kening. Jangan lupakan sang jantung yang sibuk berdetak kencang di dalam sana. Bukan takut dipukul atau dikasari, Guntur tidak ingin Erisca semakin dikekang oleh orang tuanya, dan otomatis mereka jadi sulit untuk bertemu. Kalau benar semua itu terjadi, Guntur tidak bisa membayangkan nasib nyawanya. Mungkin ia sudah mati karena tak sanggup kehilangan kekasih. Untung di balkon Erisca ada tembok yang cukup untuk menghalangi tubuh kekarnya. Jikalau tidak ada tempat persembunyian, mungkin saat ini Sarah sudah marah-marah. "Kamu lagi ngapain di sini? Badan masih lemes juga." Sarah mengomeli. Ia menatap sekeliling karena tidak enak perasaan. "Lah, ini makanan dari mana?" Mata Sarah membulat, menatap Erisca penuh pertanyaan. "Em ... aku kira mama enggak masak. Karena udah lapar banget, aku pesan makanan lewat aplikasi online aja, deh. Nah ... aku, tuh, cuma bosen diem di kamar terus, jadi lebih enak lagi makan d
Kesehatan adalah sesuatu paling berharga setelah usia yang panjang. Dengan tubuh bugar kita dapat melakukan apa-apa tanpa merepotkan orang lain. Bukan seperti sekarang, terbaring lemas di atas kasur ditemani detik-detik jarum jam. Erisca pegal, ingin bergerak lebih, tetapi sulit sekali.Mestinya hari ini dia masuk kerja. Namun, karena kondisi tubuh yang amat rusak, Guntur tidak mengijinkan Erisca melakukan hal-hal berat. Pria itu menyuruh Erisca untuk tetap diam dan istirahat secukupnya."Eh, aduh! Badan aku sakit banget."Pergerakkan terbatasi. Erisca pegal jika harus terus begini. Dia hanya ingin pindah posisi, tetapi bergerak sedikit pun terasa menjadi beban.Kemarin malam Erisca meminta pulang dari rumah sakit karena orang tuanya terus meneror. Guntur bukan pria bodoh, ia tidak ingin Erisca tambah parah karena kurang perhatian medis. Namun, tatapan memelas cewek itu meruntuhkan pertahanan hatinya. Mau tidak mau Guntur pun menuruti sa