Share

02. Renungan Malam

Hujan turun di tengah gelapnya malam. Angin dingin dengan manja menyentuh kulit tangan Erisca, membuat dia jadi merinding. Beberapa karyawan –baik cowok atau pun cewek– ikut terdiam di luar kafe menunggu angkutan umum datang. Rumah mereka searah, kecuali Erisca. Jadi, oleh sebab itu lah Guntur ingin mengantarkannya. 

"Pakai ini! Saya tahu kamu alergi dingin." Guntur memasangkan jaket tebal pada Erisca, seolah mengkhawatirkan keadaan cewek itu jika hawa sedang tidak baik. 

Meski malu, Erisca tetap menerima jaket itu demi melindungi diri. Tapi ditatap sedemikian intens oleh karyawan lain –khususnya cewek– membuat dia jadi menciut. Perlakuan Guntur tadi ternyata mengundang rasa iri terhadap orang lain. 

Sadar jika Erisca tidak nyaman, Guntur berdehem pelan lantas mengimbuhkan, "Kalau kalian enggak kuat sama dingin, kalian bisa masuk lagi ke dalam, itung-itung nunggu hujan reda. Ini kuncinya." Guntur melempar kunci pintu kepada cowok berparas manis. Ia melanjutkan, "Di dalam enggak ada uang atau barang berharga lain. Jadi kalian bebas istirahat di sana asalkan jangan berbuat macam-macam! Saya pulang bareng Erisca karena kita searah. Kalian jangan iri, oke!" 

Semua orang menganga tidak percaya. Sedangkan Erisca semakin malu apalagi saat Guntur menarik tangannya menuju mobil. Tapi pria itu malah santai-santai saja seolah kelakuannya tidak berpengaruh sama sekali.  

Mesin menyala, sejenak menyuarakan kesunyian. Mobil pun melaju melewati jalanan lengang. Erisca tidak akan berbicara apa-apa selain diam, diam dan diam. Kecuali jika Guntur duluan yang melempar pertanyaan. 

Tapi Guntur juga sama-sama bungkam. Ia tidak bisa berhenti bergerak demi menyalurkan kegelisahan yang menyerang diri. Ketika berdekatan dengan Erisca, ia seperti hilang akal sehat. Saking groginya ia sampai berkeringat dingin.

Karena tidak ingin menyia-nyiakan kebersamaan yang sangat langka terjadi, Guntur akhirnya mau bicara, "Kalau boleh tahu, rumah kamu di daerah mana?" 

Erisca sedang menatap keluar jendela mobil, tetapi dia menoleh saat Guntur bertanya demikian. Dia pun menjawab singkat, "Daerah perumahan mawar merah."

Guntur mengangguk paham. 

"Saya tinggal di komplek sebelah, perumahan kebun jeruk," terang Guntur, tanpa diminta. Tapi Erisca tetap menanggapi dengan senyuman samar demi menghargai. 

"Dulu saya juga pernah tinggal di perumahan mawar merah, tapi setelah sekian lama akhirnya saya pindah karena satu alasan." Dari pada dingin bagai kulkas tak berisi, lebih baik Guntur cerita saja. Siapa tahu Erisca terhibur dan mau banyak-banyak bicara. 

"Tahun berapa? Barang kali kita pernah ketemu," tanya Erisca, basa-basi. 

Guntur tampak mengingat-ingat kembali saat masih remaja. Ia pun mengimbuhkan, "Saya lupa. Tapi waktu itu saya masih SMA." 

"Oh ...," balas Erisca, manggut-manggut saja. 

Keadaan pun kembali hening. Keduanya sama-sama diserang rasa canggung. Sepanjang perjalanan sampai berbelok arah menuju perumahan Erisca, Guntur tak henti-henti menyeka keringat di kening. Dia ... benar-benar gugup. 

"Berhenti di sini aja, Pak," perintah Erisca, kemudian. 

"Rumah kamu di blok apa?" Guntur menoleh ke samping, menuntut Erisca untuk buka suara. 

"Blok N." 

"Kalo gitu saya anterin sampai rumah aja, dari pada kamu harus jalan jauh. Nanti kenapa-kenapa lagi." Saat Guntur hendak kembali melaju, Erisca justru malah mencegahnya. 

"Enggak usah, Pak. Saya bisa jalan sendiri, kok." Erisca menolak halus. Dia segera memegang pintu mobil, tetapi tak bisa dibuka lantaran masih terkunci. 

"Di luar hujan cukup deras. Kamu jangan khawatir, naik mobil saya gratis. Jadi, gak usah banyak protes!" 

Bukan tidak mau diantar sampai ke rumah, hanya saja Erisca takut jika orang tuanya melihat dia bersama dengan cowok asing. Mama dan Papa Erisca cukup ketat menjaga sang anak. Bahkan saat Erisca lulus sekolah, mereka tidak mengijinkan gadis itu untuk bekerja. 

Tapi untung saja Erisca berhasil meluluhkan hati kedua orang tuanya hingga dia bisa mencari rupiah. Meski kenyataannya sampai saat ini mereka belum mengetahui atasan Erisca. 

"Berhenti di pas bloknya aja, Pak," pinta Erisca, agak ragu. 

Guntur membuang napas kasar. Ia berkata, "Kenapa gak mau dianter sampai depan rumah? Emangnya saya gak berhak tahu rumah kamu?" 

Erisca menoleh sekilas lalu kembali membuang muka. Dia menjawab, "Bukan. Saya cuma takut aja sama mama dan papa. Mereka suka marah kalau tahu saya diantar sama cowok yang bukan muhrim." 

Guntur paham. Ia mematikan mesin mobil, mengambil payung di samping kursi kemudi, keluar menerobos hujan lalu membukakan pintu untuk Erisca. 

"Ayo, saya antar sambil jalan kaki aja supaya orang tua kamu gak curiga." Guntur mengulurkan tangan, dan entah dorongan dari mana, Erisca menerima uluran itu dengan senang hati. 

Mereka berjalan di tengah-tengah kesepian, kecuali ribuan atau mungkin jutaan rintik hujan yang rela menemani. Rasa dingin kian memudar saat Guntur memeluk pinggang Erisca. Sontak saja gadis itu terkejut, tetapi dia bisa menyembunyikannya. 

"Masuk sana! Nanti sakit kalo kelamaan diam di luar." Guntur menyadarkan Erisca dari lamunan. Pria itu bersembunyi di samping pagar rumah agar tidak tertangkap basah oleh orang tua Erisca. 

"Makasih banyak, ya, Pak. Saya jadi gak enak karena ngerepotin bapak." Erisca menatap Guntur lembut, membuat yang bersangkutan merasa gugup. 

Guntur menggaruk tengkuk yang gak gatal. Ia mengimbuhkan, "Sama-sama. Kamu enggak usah kayak gitu, saya iklhas, kok." 

"Em ... maaf juga karena saya gak bisa ajak bapak mampir. Tapi nanti saya usahain supaya orang tua gak curiga atau marah." 

"Eh, enggak masalah, kok, Ris. Kalo gitu saya pulang dulu. Kamu jangan lupa istirahat." 

Erisca mengangguk. Guntur melambaikan tangan tanpa berpaling dari wajah cewek itu sampai ia tersandung batu. Untung saja ia bisa menyeimbangkan tubuh, kalau tidak mungkin ia sudah jatuh dan basah oleh genangan air. 

"Hati-hati, Pak!" Erisca sudah panik duluan, bahkan dia hendak berlari, tapi tidak jadi karena Guntur selamat. 

"I-iya, he he. Saya pulang, ya? Permisi." 

Tanpa melihat lagi wajah Erisca, Guntur segera pergi dengan langkah cepat. Ia malu karena sering berkelakuan aneh di depan cewek itu. Guntur harap, semoga saja Erisca tidak ilfil terhadapnya. 

***

Gelisah. Erisca berusaha mencari posisi ternyaman untuk tidur, tetapi tidak ada. Dia sudah memakai baju hangat serta selimut tebal. Namun, rasa dingin dari luar masih saja melingkupi tubuh. 

Em ... saat ini jantung Erisca sedang tidak baik. Sejak berhadapan langsung dengan Guntur sampai sekarang, dia benar-benar dibuat gugup. Padahal Guntur sudah tidak ada lagi di dekatnya. Namun, wajah pria itu terus saja terbayang-bayang dalam benak. 

"Apa aku jatuh cinta sama pak Guntur? Tapi kita 'kan baru kenal satu bulan kurang. Masa, sih, aku udah punya perasaan aja sama dia?" 

Erisca memegangi dadanya. Benar, dia merasakan lagi getaran ajaib yang telah lama menghilang. Mungkin ini lah saatnya untuk melupakan masa lalu. 

"Oke, aku harus move on! Benar-benar harus lupain kenangan yang udah bikin aku sakit hati." Erisca bertekad untuk merubah dirinya. Dia tidak akan terus-terusan bergelut dengan memori pahit yang membuatnya selalu murung. 

Ini kesempatan yang tidak boleh dilepas. Barang kali Guntur juga suka padanya. Semoga saja terjadi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status