Hujan turun di tengah gelapnya malam. Angin dingin dengan manja menyentuh kulit tangan Erisca, membuat dia jadi merinding. Beberapa karyawan –baik cowok atau pun cewek– ikut terdiam di luar kafe menunggu angkutan umum datang. Rumah mereka searah, kecuali Erisca. Jadi, oleh sebab itu lah Guntur ingin mengantarkannya.
"Pakai ini! Saya tahu kamu alergi dingin." Guntur memasangkan jaket tebal pada Erisca, seolah mengkhawatirkan keadaan cewek itu jika hawa sedang tidak baik.
Meski malu, Erisca tetap menerima jaket itu demi melindungi diri. Tapi ditatap sedemikian intens oleh karyawan lain –khususnya cewek– membuat dia jadi menciut. Perlakuan Guntur tadi ternyata mengundang rasa iri terhadap orang lain.
Sadar jika Erisca tidak nyaman, Guntur berdehem pelan lantas mengimbuhkan, "Kalau kalian enggak kuat sama dingin, kalian bisa masuk lagi ke dalam, itung-itung nunggu hujan reda. Ini kuncinya." Guntur melempar kunci pintu kepada cowok berparas manis. Ia melanjutkan, "Di dalam enggak ada uang atau barang berharga lain. Jadi kalian bebas istirahat di sana asalkan jangan berbuat macam-macam! Saya pulang bareng Erisca karena kita searah. Kalian jangan iri, oke!"
Semua orang menganga tidak percaya. Sedangkan Erisca semakin malu apalagi saat Guntur menarik tangannya menuju mobil. Tapi pria itu malah santai-santai saja seolah kelakuannya tidak berpengaruh sama sekali.
Mesin menyala, sejenak menyuarakan kesunyian. Mobil pun melaju melewati jalanan lengang. Erisca tidak akan berbicara apa-apa selain diam, diam dan diam. Kecuali jika Guntur duluan yang melempar pertanyaan.
Tapi Guntur juga sama-sama bungkam. Ia tidak bisa berhenti bergerak demi menyalurkan kegelisahan yang menyerang diri. Ketika berdekatan dengan Erisca, ia seperti hilang akal sehat. Saking groginya ia sampai berkeringat dingin.
Karena tidak ingin menyia-nyiakan kebersamaan yang sangat langka terjadi, Guntur akhirnya mau bicara, "Kalau boleh tahu, rumah kamu di daerah mana?"
Erisca sedang menatap keluar jendela mobil, tetapi dia menoleh saat Guntur bertanya demikian. Dia pun menjawab singkat, "Daerah perumahan mawar merah."
Guntur mengangguk paham.
"Saya tinggal di komplek sebelah, perumahan kebun jeruk," terang Guntur, tanpa diminta. Tapi Erisca tetap menanggapi dengan senyuman samar demi menghargai.
"Dulu saya juga pernah tinggal di perumahan mawar merah, tapi setelah sekian lama akhirnya saya pindah karena satu alasan." Dari pada dingin bagai kulkas tak berisi, lebih baik Guntur cerita saja. Siapa tahu Erisca terhibur dan mau banyak-banyak bicara.
"Tahun berapa? Barang kali kita pernah ketemu," tanya Erisca, basa-basi.
Guntur tampak mengingat-ingat kembali saat masih remaja. Ia pun mengimbuhkan, "Saya lupa. Tapi waktu itu saya masih SMA."
"Oh ...," balas Erisca, manggut-manggut saja.
Keadaan pun kembali hening. Keduanya sama-sama diserang rasa canggung. Sepanjang perjalanan sampai berbelok arah menuju perumahan Erisca, Guntur tak henti-henti menyeka keringat di kening. Dia ... benar-benar gugup.
"Berhenti di sini aja, Pak," perintah Erisca, kemudian.
"Rumah kamu di blok apa?" Guntur menoleh ke samping, menuntut Erisca untuk buka suara.
"Blok N."
"Kalo gitu saya anterin sampai rumah aja, dari pada kamu harus jalan jauh. Nanti kenapa-kenapa lagi." Saat Guntur hendak kembali melaju, Erisca justru malah mencegahnya.
"Enggak usah, Pak. Saya bisa jalan sendiri, kok." Erisca menolak halus. Dia segera memegang pintu mobil, tetapi tak bisa dibuka lantaran masih terkunci.
"Di luar hujan cukup deras. Kamu jangan khawatir, naik mobil saya gratis. Jadi, gak usah banyak protes!"
Bukan tidak mau diantar sampai ke rumah, hanya saja Erisca takut jika orang tuanya melihat dia bersama dengan cowok asing. Mama dan Papa Erisca cukup ketat menjaga sang anak. Bahkan saat Erisca lulus sekolah, mereka tidak mengijinkan gadis itu untuk bekerja.
Tapi untung saja Erisca berhasil meluluhkan hati kedua orang tuanya hingga dia bisa mencari rupiah. Meski kenyataannya sampai saat ini mereka belum mengetahui atasan Erisca.
"Berhenti di pas bloknya aja, Pak," pinta Erisca, agak ragu.
Guntur membuang napas kasar. Ia berkata, "Kenapa gak mau dianter sampai depan rumah? Emangnya saya gak berhak tahu rumah kamu?"
Erisca menoleh sekilas lalu kembali membuang muka. Dia menjawab, "Bukan. Saya cuma takut aja sama mama dan papa. Mereka suka marah kalau tahu saya diantar sama cowok yang bukan muhrim."
Guntur paham. Ia mematikan mesin mobil, mengambil payung di samping kursi kemudi, keluar menerobos hujan lalu membukakan pintu untuk Erisca.
"Ayo, saya antar sambil jalan kaki aja supaya orang tua kamu gak curiga." Guntur mengulurkan tangan, dan entah dorongan dari mana, Erisca menerima uluran itu dengan senang hati.
Mereka berjalan di tengah-tengah kesepian, kecuali ribuan atau mungkin jutaan rintik hujan yang rela menemani. Rasa dingin kian memudar saat Guntur memeluk pinggang Erisca. Sontak saja gadis itu terkejut, tetapi dia bisa menyembunyikannya.
"Masuk sana! Nanti sakit kalo kelamaan diam di luar." Guntur menyadarkan Erisca dari lamunan. Pria itu bersembunyi di samping pagar rumah agar tidak tertangkap basah oleh orang tua Erisca.
"Makasih banyak, ya, Pak. Saya jadi gak enak karena ngerepotin bapak." Erisca menatap Guntur lembut, membuat yang bersangkutan merasa gugup.
Guntur menggaruk tengkuk yang gak gatal. Ia mengimbuhkan, "Sama-sama. Kamu enggak usah kayak gitu, saya iklhas, kok."
"Em ... maaf juga karena saya gak bisa ajak bapak mampir. Tapi nanti saya usahain supaya orang tua gak curiga atau marah."
"Eh, enggak masalah, kok, Ris. Kalo gitu saya pulang dulu. Kamu jangan lupa istirahat."
Erisca mengangguk. Guntur melambaikan tangan tanpa berpaling dari wajah cewek itu sampai ia tersandung batu. Untung saja ia bisa menyeimbangkan tubuh, kalau tidak mungkin ia sudah jatuh dan basah oleh genangan air.
"Hati-hati, Pak!" Erisca sudah panik duluan, bahkan dia hendak berlari, tapi tidak jadi karena Guntur selamat.
"I-iya, he he. Saya pulang, ya? Permisi."
Tanpa melihat lagi wajah Erisca, Guntur segera pergi dengan langkah cepat. Ia malu karena sering berkelakuan aneh di depan cewek itu. Guntur harap, semoga saja Erisca tidak ilfil terhadapnya.
***
Gelisah. Erisca berusaha mencari posisi ternyaman untuk tidur, tetapi tidak ada. Dia sudah memakai baju hangat serta selimut tebal. Namun, rasa dingin dari luar masih saja melingkupi tubuh.
Em ... saat ini jantung Erisca sedang tidak baik. Sejak berhadapan langsung dengan Guntur sampai sekarang, dia benar-benar dibuat gugup. Padahal Guntur sudah tidak ada lagi di dekatnya. Namun, wajah pria itu terus saja terbayang-bayang dalam benak.
"Apa aku jatuh cinta sama pak Guntur? Tapi kita 'kan baru kenal satu bulan kurang. Masa, sih, aku udah punya perasaan aja sama dia?"
Erisca memegangi dadanya. Benar, dia merasakan lagi getaran ajaib yang telah lama menghilang. Mungkin ini lah saatnya untuk melupakan masa lalu.
"Oke, aku harus move on! Benar-benar harus lupain kenangan yang udah bikin aku sakit hati." Erisca bertekad untuk merubah dirinya. Dia tidak akan terus-terusan bergelut dengan memori pahit yang membuatnya selalu murung.
Ini kesempatan yang tidak boleh dilepas. Barang kali Guntur juga suka padanya. Semoga saja terjadi.
Erisca sedang duduk di kursi makan, menikmati hidangan sarapan pagi yang tak enak masuk ke dalam mulut. Perutnya belum minat menerima pemasok energi hingga berakhir hambar."Maaf, ya, semalam papa enggak bisa jemput kamu. Kemarin itu papa juga ada lembur di kantor. Mana hujan pula, makanya telat pulang." Fendi menjelaskan, Erisca mengangguk paham."Enggak apa-apa lah, Pa. Lagian aku juga bisa, kok, pulang sendiri," imbuh Erisca, sekalian memberi kode kepada orang tuanya bahwa dia sudah dewasa –tidak perlu dikekang lagi."Iya, papa juga tahu kalau kamu bisa pulang sendiri. Tapi apa kamu sadar sama orang-orang jahat di sekitaran? Bukannya papa egois awasi kamu seketat ini, tapi papa cuma khawatir karena kamu anak gadis satu-satunya."Erisca hanya diam saja. Dia bosan mendengar perkataan sang papa yang terus diulang-ulang setiap hari. Harusnya mereka sadar jika anak muda punya keinginan untuk bebas. Pasti mereka juga pernah mengalami
Guntur: Aku udah ada di depan rumah. Kamu cepetan keluar!Rambut acak-acakan, aroma napas tidak sedap, wajah pun kusam karena belum terkena air. Erisca cepat-cepat berlari memburu balkon kamar, menilik Guntur yang tampak santai berdiam di depan gerbang.Erisca: Bapak jangan diem di situ, nanti orang tua saya marah.Terkirim!Guntur tersenyum kecil membaca pesan balasan dari Erisca. Ia sebenarnya tidak terlalu takut, sih, pada orang tua gadis itu. Hanya saja ia menghargai sekaligus melindungi Erisca agar tidak diamuk.Guntur: Oke, aku sembunyi. Tapi kamu cepetan ke bawah, ya! Aku udah gak sabar, nih. He he.Erisca membuang napas lega ketika Guntur berjalan ke balik pohon. Gadis itu pun segera membersihkan tubuh lantas memilih pakaian seadanya. Setelah dirasa cukup, Erisca buru-buru keluar rumah.Selagi memakai sepatu, Sarah menghampiri sang anak karena penasaran tingkat dewa. "Kamu mau ke mana? Ini '
Lagi-lagi Guntur sudah ada di depan gerbang. Sepertinya tidak butuh satu atau dua teguran untuk menyadarkan pria itu, mungkin setiap detik Erisca harus memberitahu jika orang tuanya tukang ngatur. Erisca hanya tidak ingin Guntur terkena imbas gara-gara dirinya."Ih, bapak, udah berapa kali aku bilang jangan diem di depan rumah! Kalau ada papa atau mama buka gerbang terus lihat cowok di sini, bisa-bisa aku enggak dibolehin lagi buat kerja." Wajah Erisca merah padam, dia kesal lantaran Guntur tidak mau nurut."Aku enggak masalah ketemu orang tua kamu sekarang. Justru itu suatu hal yang bagus. Aku bisa minta restu sama mereka buat deketin kamu. Beres, 'kan?" Guntur berkata enteng, padahal ia sadar jika saat ini gadisnya sedang marah."Beres bapak bilang? Segampang itu kah minta restu? Bapak enggak tahu aja kalau orang tua aku keras kepala." Erisca melipat kedua tangan di depan dada. Menatap lurus ke arah yang bersangkutan."Iya-iya, a
"Kamu udah sarapan, 'kan?" Guntur bertanya sembari fokus menyetir mobil.Cewek di sampingnya menoleh lantas tersenyum manis, "Udah, dong. Aku mana mungkin pergi kerja tanpa sarapan? Bisa kena omel orang tua kalau sampai enggak makan pagi.""Bagus-bagus. Orang tua kamu memang patut diacungi jempol. Mereka paling bisa bikin kamu nurut." Dengan lihai Guntur memutar setir, berbelok arah menuju kafe."Diacungi jempol? Mana ada! Aku juga nurut karena terpaksa." Erisca memalingkan wajah. Dia pikir Guntur belum paham bagaimana perasaannya ketika berhadapan dengan Fendi dan Sarah."Mau gimana pun, mereka tetap orang tua yang harus kamu hormati. Jangan pernah buat hati mereka sakit gara-gara kelakuan sendiri." Guntur menasihati sang kekasih agar tidak terlalu kesal pada orang tuanya."Aku selalu hormati mereka, tapi mereka aja yang enggak pernah mau ngerti perasaan anaknya. Udah tau aku terkekang. Segala pergerakan serasa dibatasi ban
Kesehatan adalah sesuatu paling berharga setelah usia yang panjang. Dengan tubuh bugar kita dapat melakukan apa-apa tanpa merepotkan orang lain. Bukan seperti sekarang, terbaring lemas di atas kasur ditemani detik-detik jarum jam. Erisca pegal, ingin bergerak lebih, tetapi sulit sekali.Mestinya hari ini dia masuk kerja. Namun, karena kondisi tubuh yang amat rusak, Guntur tidak mengijinkan Erisca melakukan hal-hal berat. Pria itu menyuruh Erisca untuk tetap diam dan istirahat secukupnya."Eh, aduh! Badan aku sakit banget."Pergerakkan terbatasi. Erisca pegal jika harus terus begini. Dia hanya ingin pindah posisi, tetapi bergerak sedikit pun terasa menjadi beban.Kemarin malam Erisca meminta pulang dari rumah sakit karena orang tuanya terus meneror. Guntur bukan pria bodoh, ia tidak ingin Erisca tambah parah karena kurang perhatian medis. Namun, tatapan memelas cewek itu meruntuhkan pertahanan hatinya. Mau tidak mau Guntur pun menuruti sa
Keringat dingin bercucuran di kening. Jangan lupakan sang jantung yang sibuk berdetak kencang di dalam sana. Bukan takut dipukul atau dikasari, Guntur tidak ingin Erisca semakin dikekang oleh orang tuanya, dan otomatis mereka jadi sulit untuk bertemu. Kalau benar semua itu terjadi, Guntur tidak bisa membayangkan nasib nyawanya. Mungkin ia sudah mati karena tak sanggup kehilangan kekasih. Untung di balkon Erisca ada tembok yang cukup untuk menghalangi tubuh kekarnya. Jikalau tidak ada tempat persembunyian, mungkin saat ini Sarah sudah marah-marah. "Kamu lagi ngapain di sini? Badan masih lemes juga." Sarah mengomeli. Ia menatap sekeliling karena tidak enak perasaan. "Lah, ini makanan dari mana?" Mata Sarah membulat, menatap Erisca penuh pertanyaan. "Em ... aku kira mama enggak masak. Karena udah lapar banget, aku pesan makanan lewat aplikasi online aja, deh. Nah ... aku, tuh, cuma bosen diem di kamar terus, jadi lebih enak lagi makan d
"Aku udah sehat! Nih, lihat, badan aku juga enggak sakit lagi meski banyak gerak." Erisca melompat dari kasur, menggoyang-goyangkan tubuh ke sana-kemari guna meyakinkan Sarah.Hari ini Sarah hendak pergi berziarah ke makam mendiang sang ibu. Fendi yang mengantarkan menggunakan mobil karena letak pemakaman itu lumayan jauh dari kawasan komplek. Jika Erisca ikut, Sarah khawatir gadis itu akan lebih sakit lagi."Enggak, Erisca! Mama takut kamu makin parah. Lebih baik kamu istirahat aja di rumah supaya pulih total. Nanti kita ziarah bareng-bareng kalau kamu udah bener-bener sembuh." Sarah memutar kenop pintu, ingin pergi dari sana, tetapi Erisca malah menahannya."Aku mohon, Ma .... Lagian udah lama juga aku enggak datang ke makam nenek. Masa mama larang anaknya buat ziarah, sih? Itu sama aja dosa, lho, Ma." Erisca menakut-nakuti. Sarah menghela napas pelan, mengangguk samar meski sebenarnya enggan menyetujui."Yeay! Makasih, Ma. Aku s
Hari ini Erisca mulai bekerja karena keadaan tubuhnya telah membaik. Fendi sempat mengantarkan sang anak sampai masuk kafe, tetapi ia langsung pergi ke kantor karena ada pertemuan dengan klien. Erisca sedang berdiri di depan meja kasir –mengelap seluruh bagiannya agar kinclong dan enak dilihat pengunjung.Suasana di sini sangat nyaman apalagi di pagi-pagi buta. Embun-embun kecil masih menempel pada jendela, dipadukan dengan semburan sinar matahari, membuat mata termanjakan. Erisca rindu membersihkan tumpukkan piring-piring kotor, meski itu adalah perkejaan melelahkan bagi setiap orang.Di rumah, dia hanya akan diam saja tanpa melakukan apa-apa. Sarah selalu tidak setuju membiarkan Erisca bergerak ke sana-kemari. Apalagi jika harus membersihkan seluruh ruangan, cuci piring atau lain sebagainya. Karena rumah mereka juga jarang terjamah orang luar terutama anak kecil, jadi kotoran tidak terlalu menumpuk seperti kebanyakan.Mungkin salah satu